Beberapa hari setelah ancaman itu, Kartika menelepon Dinda. Seperti yang sudah Bima prediksi, hampir setiap hari Kartika menanyakan kegiatan Bima. Wanita itu berpikiran kepindahan Bima ke apartemen ada hubungannya dengan teman perempuannya. Kartika menebak kalau penyebab utama Bima pindah adalah bahwa anaknya itu sudah punya pacar hingga tidak ingin dijodohkan dan ingin bebas seperti saat di luar negeri. Tetapi sejauh ini jawaban Dinda selalu monoton. Bima bangun pagi kemudian berangkat kerja. Hari sudah larut saat Bima kembali ke apartemen. Dia bahkan belum pernah membawa teman-temannya ke rumah.
“Mas Bima mau makan malam?” Itu adalah pertanyaan rutin Dinda setiap Bima baru pulang, tak peduli jam berapapun pria itu kembali.
“Nasi goreng aja, Din. Yang cepet. Gue udah laper banget.”
Tak seperti biasanya, malam ini Bima pulang lebih cepat. Dia pun tak langsung masuk ke kamarnya untuk mandi, melainkan duduk di meja makan sambil menunggu Dinda menyiapkan makan malam untuknya. Selang beberapa waktu, Dinda meletakkan piring berisi nasi goreng seafood yang masih mengepul di hadapan Bima.
“Lo udah makan belum?” tanya Bima saat Dinda menuangkan air jeruk untuknya. “Kalo belum sekalian aja.”
Bima memang sering memintanya untuk makan bersama, tetapi Dinda seringkali menolak dengan berbagai alasan. Beberapa kali dia menuruti perintah itu. Tetapi rasanya sungguh canggung dan tidak nyaman. Pikirannya selalu kembali ke saat Bima mengecup pipinya malam itu. Tetapi Bima bersikap seolah-olah itu bukan apa-apa dan tak pernah membicarakannya. Meneladani Bima, Dinda pun bersikap biasa dan pura-pura melupakan kejadian itu. Ditambah lagi, Bima selalu makan dalam diam, hanya sekali dua kali berbicara atau bertanya pada Dinda. Selain itu, tidak ada pembicaraan apapun. Selera makan Dinda jadi hilang karena situasi itu. Akibatnya, dialah yang akan kelaparan karena kurang makan.
“Saya makan nanti saja, Mas,” Dinda menolak dengan sopan.
“Lo nggak laper?” Bima mulai menyendok nasi gorengnya. Dalam hati dia memuji rasa makanan itu. Untung jago masak, kalo nggak, udah gue balikin ke rumah Mama, batinnya
“Saya mau minta izin keluar sebentar, Mas. Boleh?”
Pertanyaan Dinda membuat Bima mendongak. “Keluar? Mau belanja?”
Dinda menggeleng. “Bukan, Mas. Saya ada urusan sebentar.”
“Urusan apa? Ngedate?”
Bima merutuki dirinya sendiri karena terlalu banyak bertanya. Seharusnya dia hanya tinggal mengiyakan permintaan Dinda, tak perlu sampai bertanya lebih jauh. Apalagi ini malam Sabtu. Wajar jika gadis muda seperti Dinda ingin berjalan-jalan dengan pacarnya.
“Bukan, Mas. Saya mau ke warnet sebentar buat nyari bahan dan nyetak tugas. Soalnya besok harus dikumpulkan.”
Oh. Ada kelegaan yang tak bisa Bima tafsirkan saat tahu kalau Dinda tidak akan bertemu laki-laki lain. “Pergi aja,” katanya.
Setelah berterima kasih Dinda lalu mengganti celana olahraganya dengan jins bekas Sarah dan mengambil tasnya. Sebenarnya dia bisa saja pergi siang tadi, tapi Dinda belum meminta izin pada Bima selaku bosnya. Bagaimanapun saat itu masih jam kerjanya meski tugas-tugasnya sudah selesai. Dinda ingin menelepon Bima untuk meminta izin, tetapi dia baru sadar jika dia tak punya nomor ponsel Bima.
Apartemen Bima berada di kawasan elit di pusat kota. Jarang sekali ada rental-rental komputer atau warnet. Dinda harus berjalan selama hampir tiga puluh menit sebelum akhirnya menemukan warnet di jalan kecil yang letaknya agak jauh dari jalan raya.
Sebenarnya Dinda hanya perlu mengetik tugasnya dan mencetaknya. Semua itu memakan waktu hampir satu jam. Ketika selesai, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam lebih. Dengan bergegas Dinda berjalan pulang. Jalanan masih cukup ramai, tetapi tidak banyak orang yang berlalu lalang di trotoar. Beberapa kali Dinda melewati jalan yang sepi yang membuatnya merinding. Dia sangat bersyukur saat akhirnya gedung apartemen Bima mulai terlihat.
“Dari mana aja, lo?”
Dinda tersentak kaget karena Bima langsung menegurnya begitu ia masuk ke apartemen. Pria itu tengah berdiri menghadapinya dengan bersandar di punggung sofa dan tangan terlipat di dada.
“Habis nugas, Mas,” jawab Dinda.
“Kata lo cuma mau nyetak tugas. Kenapa jam segini baru pulang?”
“Soalnya warnetnya lumayan jauh, Mas. Hampir setengah jam kalau jalan kaki. Tadi aja pulangnya saya hampir nyasar. Trus saya juga ngetik tugasnya dulu, jadi lama. Memang Mas Bima butuh sesuatu?”
Tanpa Dinda tahu, sejak satu jam setelah kepergiannya Bima bolak-balik mengecek waktu. Dia penasaran apa yang membuat Dinda belum juga pulang padahal gadis itu berkata hanya keluar sebentar. Bima jadi tidak fokus bekerja dan memilih menunggu Dinda pulang di ruang tamu. Dia sepertinya harus meminta nomor ponsel gadis itu agar bisa menghubunginya sewaktu-waktu. Begitu pintu apartemen terbuka dan Dinda masuk, Bima langsung merasa kelegaan yang luar biasa. Jika Dinda sampai tersesat atau terjadi sesuatu yang buruk padanya, Bima yakin Kartika akan membuatnya bertanggung jawab dua kali lipat.
“Mas Bima butuh sesuatu? Atau mau dibikinin camilan?” ulang Dinda karena Bima sejak tadi hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya.
Bima menghela napas. Jika saja Dinda bekerja di perusahaannya, dia akan dengan cepat naik jabatan. Bisa-bisanya dia langsung siap melayani kebutuhan Bima begitu sampai meskipun Dinda baru berjalan begitu jauh.
“Bikinin gue kopi. Sama camilan apa terserah lo, gue laper lagi,” kata Bima seraya berlalu ke ruang kerjanya .
Karena lelah dan ingin segera beristirahat, Dinda cepat-cepat membuat pesanan Bima. Dia hanya membuat crepes yang diisi whipped cream dan strawberry yang tidak banyak memakan waktu. Dua puluh menit kemudian Dinda sudah mengetuk pintu ruang kerja Bima dengan membawa nampan yang berisi kopi dan kudapan.
Bima sedikit bergidik melihat whipped cream yang menggunung di hadapannya. Dia tak terlalu sering makan dessert dan makanan manis lainnya. Permintaannya tadi pun hanya sekedar alasan agar Dinda tak merasa risih karena dia terlalu khawatir.
“Saya permisi ke kamar dulu, Mas. Kalau Mas Bima butuh yang lain, panggil saya aja.”
“Din, sini sebentar.”
Dinda kembali menghadap Bima, yang bangkit memutari meja kerjanya hingga mereka berhadapan.
“Ini.”
Tatapan Dinda beralih ke tangan Bima, yang menyodorkan sebuah laptop kepadanya.
“Kenapa Mas laptopnya? Mau diservis?”
Bima tertawa pelan. “Buat lo. Itu bekas gue, tapi gue jamin masih bagus. Kalo cuma buat ngetik-ngetik sama bikin tugas yang lain masih bisa dipake.”
Dinda terpana. Benda itu berharga jutaan rupiah. Apalagi melihat dari bentuknya yang tipis, laptop yang diberikan Bima adalah produk baru yang harganya belasan juta.
“Buat saya?”
“Biar lo bisa ngerjain tugas di rumah, nggak perlu ke warnet lagi. Kalo mau nyetak dokumen pake printer gue aja.” Bima mengendikkan kepalanya ke sebuah printer di ujung meja.
Mungkin benar kata-kata Sarah. Sebenarnya Bima tidak jahat dan menakutkan seperti saat mereka pertama bertemu. Mungkin Bima hanya... suka bersikap seenaknya. Seperti saat dia mencium pipi Dinda tanpa memikirkan jantung gadis itu yang hampir saja berhenti.
Semalaman tidur Dinda tidak nyenyak. Berkali-kali dia terbangun. Hingga saat pukul tiga dini hari, Dinda memutuskan untuk membuka laptop pemberian Bima dan mengerjakan tugasnya yang lain. Tetapi sepertinya itupun tidak berjalan lancar. Dinda menepuk-nepuk pipinya. Seharusnya dia membuat presentasi untuk kuliahnya besok. Tetapi sejak tadi dia hanya menatap layar sambil melamun mengulang-ulang saat-saat bersama Bima.
“Din,” kepala Bima tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar Dinda. “Lagi ngapain?”
“Lagi bikin presentasi, Mas.”
Tanpa ragu Bima masuk ke kamar Dinda dan duduk di sampingnya di lantai, bersandar pada tempat tidur.
“Ada apa, Mas?” tanya Dinda yang heran melihat Bima bangun pagi-pagi sekali.
Bima menggaruk tengkuknya. Dia terbangun dan merasa haus. Saat mengambil air di dapur, Bima melihat ada cahaya yang keluar dari celah pintu kamar Dinda. Entah apa yang ada di pikirannya karena saat berikutnya dia berjalan ke kamar itu dan mengetuknya sekali sebelum membukanya.
“Gue bangun kepagian.”
Dinda mengangkat kedua alisnya. “Sarapannya mau dimajuin jadi lebih pagi juga?”
“Nggak,” Bima terkekeh. “Tadi gue liat lampu kamar lo nyala, jadi penasaran lo lagi ngapain,” jelasnya.
“Oh.”
Tidak tahu harus melakukan apa, Dinda terpaksa mencurahkan konsentrasinya ke presentasi yang sedang ia kerjakan. Pipinya memanas merasakan tatapan Bima padanya. Tetapi Dinda pura-pura tidak tahu dan meneruskan pekerjaannya.
Di sampingnya, Bima tersenyum puas melihat semburat merah di pipi Dinda. Ingin sekali dia mengangkat Dinda ke tempat tidur dan mencumbunya di sana. Tetapi dia harus bersabar. Dinda akan ketakutan jika dia terlalu agresif. Dia harus membuat gadis itu yang datang sendiri kepadanya.
“Presentasi apa, Din? Kalo mau dibikin ada animasinya bisa pakai ini.” Bima lalu membantu menyelesaikan presentasi Dinda. Bagi seseorang seperti Bima, tugas Dinda adalah persoalan mudah. Hanya dalam waktu tiga puluh menit dia sudah menyelesaikannya, dengan kualitas yang lebih baik daripada jika Dinda yang mengerjakan.
“Makasih, Mas Bima,” Dinda berseru kegirangan. Dia yakin akan mendapat nilai tinggi dan tidak perlu mengerjakan tugas tambahan. “Mas Bima hebat banget,” pujinya.
Bima tersenyum dan menepuk dadanya membanggakan diri. “Gue dapet bayaran apa, nih?”
“Mas Bima mau sarapan apa? Saya bikin yang spesial.”
“Apa aja boleh, Din.”
“Siap, Bos!” Dinda memberi hormat, membuat Bima tertawa dan mengacak rambutnya.
Lagi-lagi jantung Dinda berdebar lebih cepat. Selain ayahnya, Bima-lah laki-laki pertama yang mengacak rambutnya. Sulit sekali bagi Dinda untuk tetap bersikap biasa dan tidak menyimpan perasaan apapun dengan semua perlakuan Bima akhir-akhir ini kepadanya. Bukankah dia tidak boleh merasakan semua ini? Dia tidak berhak menyukai Bima. Bima adalah majikannya. Bima sudah punya calon istri. Kartika mempercayainya untuk mengawasi Bima.
Mungkin cuma rasa kasihan, batin Dinda. Seperti tatapan iba yang seringkali diberikan Kartika kepadanya. Seperti saat Sarah memberinya baju-baju bekas agar dia tidak selalu menggunakan pakaian lusuh. Mungkin kali ini, Bima-lah yang merasa kasihan padanya sehingga pria itu memberinya laptop dan membantunya menyelesaikan tugas kuliah. Hanya itu.
“Tinggal nambahin beberapa referensi aja, Din. Yang lain sudah oke. Kamu harus dapat referensi yang bagus kalo mau cepet lanjut.”Dinda mengangguk-angguk paham saat menghadap Adam yang menjadi dosen pembimbingnya. Dosen itu masih muda, usianya baru di awal tiga puluhan. Karenanya, Adam akrab dan dekat dengan mahasiswanya, termasuk Dinda. Ditambah lagi parasnya cukup tampan. Rasanya jarang sekali melihat Adam seorang diri tanpa dikelilingi mahasiswanya di kampus. Adam pun tak segan-segan meminjamkan buku atau mengajari mereka di luar jam kuliah selama Adam ada waktu luang. Untuk itu, dia menjadi dosen favorit di jurusan Dinda.“Saya sudah nyari di perpus tapi nggak ketemu, Pak. Kalaupun ada, pasti sedang dipinjam dan daftar tunggunya panjang sekali,” keluh Dinda.Adam tersenyum. “Ya jangan di perpus, dong. Perpus kita masih kurang lengkap. Kamu beli saja di toko buku, kemarin waktu ada pameran saya lihat ada beberapa yang bagus.”“Baik, Pak.” Dinda terpaksa mengiyakan. Adam dan teman-t
Dinda dan Bima menghabiskan sisa hari itu di kediaman keluarga Iskandar. Seharian Dinda menemani Rasya dan Tasya bermain. Hingga saat makan malam usai, keduanya menangis karena Dinda berpamitan untuk kembali ke apartemen bersama Bima. Butuh waktu setengah jam lebih untuk menenangkan keduanya, dengan tambahan bermacam-macam janji manis dari Sarah dan Kartika.“Lo bisa nyetir nggak, Din?” tanya Bima saat mereka sampai di carport. “Gue capek.”“Maaf, Mas. Saya nggak pernah belajar nyetir.”Bima menghela napas lelah dan mengisyaratkan Dinda untuk masuk ke mobil.“Kapan-kapan gue ajarin lo nyetir,” kata Bima ketika mereka melaju di jalan raya. “Biar lo bisa nyupirin gue kalo pas capek kaya gini.”“Iya, Mas.”Mereka tiba di apartemen tak lama kemudian. Begitu keluar dari lift yang membawa mereka ke unit milik Bima, keduanya disambut beberapa pria yang entah sejak kapan ada di depan pintu.“Akhirnya lo pulang juga, Bim. Kita udah jamuran nungguin elo dari tadi.”Bima menepuk dahi. “Sori, gue
Dinda bangun dengan kepala pening. Susah payah dia berusaha mematikan alarm di ponselnya yang berdering sejak sepuluh menit yang lalu. Dia duduk sebentar, berharap bisa mengusir rasa sakit yang berdentum di kepalanya. Saat melihat ponselnya untuk memastikan waktu, Dinda heran melihat ada banyak notifikasi pesan di sana. Penasaran, Dinda membuka percakapan grup dengan teman-teman kuliahnya.Pesan pertama adalah foto Dinda kemarin di kampus saat dia masuk ke mobil Bima. Di bawahnya ada tulisan dengan menggunakan huruf kapital.“PACAR BARU DINDA, GUYS!!! KEREN BANGET!!!”Dinda terbahak melihatnya. Apalagi saat membaca komentar-komentar balasan teman-teman yang lain.“Gue mau juga dong....”“Yang begitu nyari di mana???”“Mobilnya lebih mahal dari harga diri gue TT”“Dinda pake pelet apaan lo bisa dapet yang begini?”“Lucuuuu... cocok deh mereka : )”Masih ada sekitar tigapuluh pesan di bawahnya tetapi Dinda tidak membacanya lagi. Isinya hampir sama, antara dukungan dan hujatan untuk hubu
Gosip tentang pacar Dinda yang kaya dan tampan menyebar di teman-teman satu angkatannya. Begitu masuk kelas, beberapa teman perempuannya mencecar Dinda dengan berbagai pertanyaan. Wajar saja, mobil yang dipakai Bima bukanlah mobil yang banyak ada di jalanan. Hanya orang yang benar-benar kaya yang mengendarainya. Makanya mereka begitu penasaran bagaimana bisa Dinda mengenal Bima. Sebagian lagi ingin tahu apakah Dinda punya kenalan orang kaya yang lain yang bisa dijodohkan dengan mereka. Dinda sampai lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Bahkan beberapa mahasiswi yang sebelumnya tidak pernah bertegur sapa dengannya kali ini menyapa Dinda terlebih dahulu.“Dinda! Boleh gabung?”“Kalo mau nanyain pacar saya jawabannya.... Eh, maaf Pak.”Dinda buru-buru minta maaf saat mengetahui orang yang baru saja bergabung dengannya. Dia sedang ada di kantin kampusnya, tengah makan siang sebelum melanjutkan kuliahnya beberapa waktu lagi. Dinda mengira temannya yang datang dan berniat mewawancara
Mata Bima masih belum mau terpejam. Sejak tadi dia hanya berbaring terlentang menatap langit-langit kamarnya. Dia masih belum mempercayai apa yang terjadi sore tadi. Entah apa yang ada di otaknya hingga tiba-tiba saja dia meminta Dinda untuk jadi pacarnya. Sejak kapan dia meminta seseorang menjadi pacarnya? Gadis itu tentu saja langsung menolak dan meminta maaf, lalu cepat-cepat pindah dari pangkuannya. Mereka menghabiskan sisa perjalanan pulang dalam diam, sebelum keduanya mengunci diri di dalam kamar masing-masing. Dinda bahkan tidak memasak makan malam atau menanyakan keperluan Bima seperti biasanya.“Aarghhh...” desah Bima untuk yang ke sekian kali. Bima masih belum memahami bagaimana Dinda bisa membuatnya mengatakan semua itu. Selama hampir dua bulan hidup di bawah atap yang sama, Bima akui sudah berkali-kali ia dibuat kagum dengan lekukan tubuh dan paras cantik gadis itu. Tetapi Bima yakin bukan itulah yang menjadi alasannya. Entah berapa banyak gadis cantik dan seksi yang sudah
Bima tersnyum saat ponselnya bergetar. Dia meraihnya dan membuka pesan yang masuk. Senyumnya bertambah lebar saat membaca pesan itu. Dengan segera dia mengetikkan balasan dan mengirimnya.“Oke, tadi sampai mana, Van?”Laki-laki di depannya, , menghela napas kesal. Mereka berdua sedang berada di ruangan Bima di kantor, mendiskusikan pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Tetapi rapat eksklusif itu beberapa kali terhenti karena Bima tidak fokus dan bolak-balik memeriksa ponselnya.“Lo lagi chatting sama siapa sih?” tanya Ivan akhirnya. Jarang sekali Bima membagi fokusnya dengan hal lain saat bekerja. “Penting banget, ya?”“Bukan urusan lo,” balas Bima. Meski tidak sedekat dengan Daniel dan yang lain, Ivan bisa dikategorikan teman sekaligus rekan kerja Bima. Mereka sama-sama membangun perusahaan dari nol. Bima sedikit lebih unggul karena dia menyandang status sebagai direktur dan pemilik perusahaan. Selain itu, keberadaan mereka berdua di kantor sama-sama penting.“Cewek baru?” tanya
Dinda tersenyum saat merasakan tangan Bima yang melingkar di pinggangnya. Tidurnya begitu nyenyak semalaman. Bahkan jika bukan karena suara alarm dari ponsel Bima yang berdering sejak tadi, Dinda masih akan terus memejamkan mata. Pelan-pelan dia memindahkan lengan berotot Bima dari pinggangnya dan beranjak bangkit. Tetapi saat dia baru duduk Bima menariknya hingga Dinda kembali berbaring di pelukan pria itu.“Morning, Din,” kata Bima, yang kemudian mengecup bibir Dinda.“Pagi, Mas Bim,” balas Dinda dengan dihiasi senyum malu-malunya. “Mau sarapan apa pagi ini?”“Sarapan kamu.”Dengan cepat Dinda meriah selimut dan bersembunyi di baliknya. Dia masih belum bisa mencegah agar pipinya tidak lagi memerah saat berhadapan dengan Bima. Rasanya Dinda ingin terus bersembunyi ketika dia menyadari kalau semalam dia tidak memakai bajunya kembali.Melihat tingkah Dinda yang malu-malu membuat Bima terbahak. Ditariknya selimut dengan paksa agak dia bisa melihat wajah merah Dinda.“Nggak usah malu, Di
“Putar kiri sedikit lagi... oke.”Dengan bangga Dinda mematikan mesin mobil setelah sukses memarkirkannya di carport kediaman keluarga Bima. Setelah menjemputnya di kampus, Bima meminta Dinda untuk menyetir sepanjang perjalanan ke rumah. Meski membutuhkan waktu sedikit lebih lama dari biasanya, Dinda berhasil sampai tanpa membuat mobil Bima lecet.Mereka keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di ruang keluarga, tubuh Dinda dihantam dari kedua sisi. Dalam sekejap si kembar sudah memeluk pinggangnya dan berceloteh mengungkapkan betapa mereka merindukan Dinda.“Kak Dinda, aku sekarang punya hamster,” kata Tasya sambil menunjuk sebuah kandang kecil di sudut ruangan. “Nanti kita...”“Aku sekarang udah bisa berenang, Kak,” potong Rasya penuh semangat. “Yuk kita berenang...”“Tasya... Rasya... biar Kak Dinda duduk dulu,” Sarah berusaha menenangkan anak-anaknya.“Tapi kan aku kangen, Mi...”“Aku mau kasih lihat Kak Dinda...”Celotehan anak-anak itu terdengar semakin jauh ka