"Kamu serius masih mau jadi PA di sini? Padahal sebagai Nyonya Ryu, kamu bisa duduk santai di rumah," kata Ryu sembari berdiri. Ia melambai pada petugas kantin untuk memasukkan pesanannya dan Rara ke dalam tagihan pribadi. "Aku kebiasa kerja Mas. Kalau cuma diem di rumah, pikiranku sering kosong, takut kesurupan masa lalu lagi," bahas Rara masuk akal. Ryu tertawa, ia menyulut lagi sebatang rokok baru, diselingi menyesap es kopi favoritnya. "Kenapa Mas? Kualifikasiku nggak pantes ya buat jadi PA CEO di DC?" gumam Rara tersadar. "Aku yang cuma lulusan SMA pun persamaan paket C ini?" tanyanya rendah diri. "Hei, kok mikir gitu, aku sama sekali nggak mempermasalahkan soal kualifikasi pendidikan kamu, Azura." "Tapi aku sadar diri," sambar Rara. "Aku kuliah dulu aja di sini, boleh?" Mata Ryu membulat tak percaya, "Kamu serius?" tanyanya meyakinkan sang istri. "Aku nggak mau orang-orang mandang jelek Mas Ryu. Masa istri CEO cuma lulusan SMA persamaan. Maksa banget jadi PA juga.
"Ayah nggak bisa ceraiin Bu Endah karena adek kamu. Menurutku masuk akal sih," ucap Ryu setelah menerima telepon dari Pak Darwis yang tak mau diterima oleh Rara. "Kasian Hera," sebutnya. "Salah nggak ya Mas kalau aku nggak bisa maafin Bu Endah? Atau aku masih marah sama Ayah?" tanya Rara gusar. "Wajar kok, aku nggak nyalahin perasaan kamu," jawab Ryu sambil menyesap rokoknya dalam-dalam. "Sebenernya aku kasian sama Ayah. Udah tua, tapi musti nyukupin kebutuhan Hera dan Ibuk. Kadang aku pengin ngirim uang, tapi aku takut uangku disalahgunain lagi sama Bu Endah," desis Rara. "Menurutku, kamu nggak perlu lagi ngerasa harus bertanggungjawab. Ya oke, soal Pak Darwis, itu kuambil alih, biar aku yang cukupi kebutuhannya," ucap Ryu baik hati. "Enggak gitu Mas, Mas kan malah yang jadi repot. Aku sayang sama Hera, ada darah Ayah yang ngalir di tubuh kami berdua. Tapi kalau Ibuk, aku nggak bisa maafin dia," ucap Rara parau, serasa air mata hampir lolos jatuh ke pipinya. "Kamu mau B
"Kamu denger sendiri kan Ra? Kalau kamu nggak minta, Ryu nggak akan mau ke sini," ucap Rain. "Seminggu ini, nikmati liburan kalian ya," katanya bijak."Mereka mau ke Swiss setelah dari sini, bulan madu," ujar Mika. "Iya kan Bang?" tanyanya menoleh sulungnya."Masih proses ngobrol sama Opa Kemal, Ma, aku belom tanya Rara juga. Dia mau ke Jerman atau ke Swiss," jawab Ryu."Gue ikut Bang," sergah Reiga iri."Nggak ada! Mana ada gue suruh ngasuh lo, lagian lo sekolah," tolak Ryu mentah-mentah."Ini juga, Abangnya mau bulan madu segala mau ikut," tegur Mika gemas. "Rara capek ya? Istirahat gih, pasti masih nggak enak badannya abis perjalanan jauh," ujarnya mengamati Rara yang hanya diam bahkan setelah ia menuntaskan hidangan makan malamnya."Ke kamar yok," ajak Ryu yang langsung ditanggapi anggukan oleh Rara."Maaf semuanya, aku ke kamar dulu," pamit Rara sopan.Tak lagi malu-malu menunjukkan perhatian, Ryu meng
"Jadi, mau tinggal di Jakarta aja?" tawar Opa Julian sambil melirik cucu menantunya."Ya?" hampir Rara tersedak. "Kami masih aktif bekerja di kebun, Opa," balasnya tertegun. Ia melirik suaminya yang masih asik menikmati hidangan makan malam, santai sekali."Ryu bakalan menggantikan Papanya di DC, paling dua tahun dari sekarang, dia harus sudah bisa pegang DC," ucap Opa Julian. "Ryu cuma tiga bersaudara, kamu tau dia sulung dan DC adalah tanggung jawabnya.""Pa," Rain angkat bicara. "Anak-anak masih muda, Ryu baru aja nikah, biarin aja lah mereka menikmati suasana kebun dulu," katanya."Kecuali," sela Mika, "kalau emang Rara nyaman dan betah di Jakarta, ya udah, biar Rara aja di sini sama Ryu. Kebun biar Mas Rain lagi yang tangani," usulnya."Ini nggak ada yang mau bantuin aku di pabrik?" celetuk Raya. "Aku cewek lho, suruh ngurusin rokok, tolong deh!" protesnya."Mama juga cewek, dan Mama juga sukses ngurus Indrajaya sendirian," sergah Rain."Ada Uncle Kev support system-nya betewe!"
"Mas nggak di rumah nggak di kebun, sama isi kamarnya, minimalis banget," ujar Rara. "Tapi nyaman deh," pujinya. "Udah selesai obrolan lelakinya?""Udah," jawab Ryu. "Ngerokok doang tadi tu," urainya."Opabro galak ya?""Tau aja panggilan Opabro," kekeh Ryu."Raya yang ngasih tau.""Opa seru kok, tenang aja," ujar Ryu."Aku pernah diceritain sama Raya soal Opa J, kisahnya Mama Mika pas hamil Mas.""Emang drama banget kisah cintanya Papa sama Mama. Mereka sama-sama anak orang kaya, jadi emang dramatis banget, nggak klise sama sekali. Asal kamu tau, Azura, aku ini anak di luar nikah. Mama hamil aku sebelom dinikahin sama Papa," cerita Ryu."Jadi, itulah kenapa Mas kasian sama aku?""Mana mungkin alasannya itu. Ya oke, kisahku emang cukup menyentuh. Tapi kenapa aku cuma ngeliat ke kamu, seorang Lembayung Azura Arunika adalah karena peletmu!" gemas Ryu menyentil hidung istrinya iseng."Apaan ih, ak
"Rara!!" sambut Mika bersemangat, ia peluk menantunya itu erat sekali. "Selamat datang di Jakarta ya, Sayang," ucapnya senang."Makasih Ma, seneng banget akhirnya bisa kesampean maen ke Jakarta," balas Rara tak kalah cerianya. Beruntung karena ia menjadi cinta pertama putra mahkota keluarga kaya raya ini."Maaf ya Mama nggak bisa ikut jemput ke bandara, yayasan lagi banyak kerjaan ini," sebut Mika. "Istirahat ya, kamar Ryu di atas, paling pojok," tunjuknya ke deretan kamar di lantai dua."Nanti aja ke kamarnya nunggu Mas Ryu, Ma," kata Rara."Ke mana Ray, si abang?" Mika menoleh anak gadisnya."Ngobrol sama Papabro sama Opabro di samping tuh," jawab Raya. "Mau kuanter ke kamar dulu apa Mbak?" tawarnya. "Mereka bertiga kalau udah ketemu suka lama ngobrolnya," tandasnya."Aku belom pernah ketemu Opa," gumam Rara lirih."Ah," mata Mika membola. "Iya, ya. Nanti kalau makan malem kita kenalin secara resmi. Tenang, Opa nggak galak," kekehnya."Yuk Mbak, kuanter ke kamar dulu," ajak Raya mer
Ryu beranjak ke dapur, mengambilkan permintaan istrinya. Ia kembali sambil membawa kotak obat milik Rara. "Diminum obatnya ya," pinta Ryu. Rara tak menolak, ia teguk air putih yang Ryu bawakan, juga ia telan obat yang Luna resepkan. Rasa sesak masih kuat menghimpit dadanya, marah dan kecewa pada sang ayah masih terus menghantui pikirannya. "Mas, boleh ajak aku ke Jakarta?" celetuk Rara tiba-tiba, menatap suaminya dengan sorot memohon. "Boleh, aku emang ada rencana ajak kamu ke sana." "Dalam waktu dekat, besok atau lusa," tuntut Rara. "Hem?" kedua alis Ryu bertaut. "Kamu kangen sama Mama?" candanya. "Aku pengin melarikan diri dari sini dulu. Liat pohon sawit di sana-sini, dadaku kayak dihimpit excavator, sesak Mas." "Ya oke, nanti kuurus kerjaan di kebun dulu sama yang laen. Kuusahain secepatnya kita ke Jakarta," putus Ryu berjanji.
Ryu menyesap rokoknya dalam-dalam, tatapannya tak beralih dari gelas es kopinya yang tinggal menyisakan jelaga. Di seberangnya, Rara juga memilih untuk diam, tangannya sibuk mengaduk-aduk es teh miliknya dengan sedotan, minuman yang warnanya sudah memutih karena esnya mencair. Sedangkan Pak Darwis diminta Rara pulang lebih dulu, Rara tidak ingin hatinya tambah kalut dan sakit hati. "Hatiku berusaha memahami kalau apa yang Ayah lakuin itu sebenernya karena Ayah nggak mau liat aku menderita karena dihina," sebut Rara setelah berdiam lama. "Tapi aku yakin, Ibuk pasti mempengaruhi Ayah biar berani begitu. Sejauh Ayah menikah sama Bunda, aku tau Ayah nggak pernah gegabah begitu, Mas," ungkapnya. "Kalau kami laporin Bu Endah waktu itu sebagai percobaan pembunuhan, Ayah bakalan keseret juga karena Ayah yang nyediain air itu," desah Ryu menjentik abu rokoknya di asbak. "Dan kalau Ayah kena persoalan hukum, kamu nggak punya pegangan. Keluargaku masih orang asing waktu itu, keluarga Bundamu
"Iyah," ucap Rara mantap. "Kayaknya Ayah udah sampe," bisiknya melihat ada sebuah motor yang terparkir di mana nomor polisinya sangat familiar. Beriringan, Ryu dan Rara masuk ke dalam rumah makan setelah mencari tempat parkir yang teduh lebih dulu. Nampak Pak Darwis berdiri untuk menyambut, ada rindu di mata tuanya yang sendu. Senyum simpul Pak Darwis terkembang, ia datang sendirian. "Rara," ucap Pak Darwis spontan memeluk anak perempuan tercintanya. "Ayah udah pesen minum?" tanya Rara setelah melepas pelukannya. "Udah, kalian udah pesen makanannya juga ya?" tanya Pak Darwis balik. "Sudah Yah, tadi lewat WA," Ryu yang menjawab sembari menyodorkan minuman yang dibawakan seorang pelayan. "Aku udah inget semuanya, Yah," ungkap Rara tanpa basa-basi. "Semuanya, nggak ada yang terlewatkan," sebutnya. Pak Darwis terpana. Ia yang semula siap meneguk teh manisnya, memilih meletakkan kemba