"Kita ke Simpang, Pak?" tanya Rara kaget saat Ryu membelokkan mobilnya menembus jalan poros menuju portal utama perusahaan.
Lokasi pabrik kelapa sawit di mana perusahaan yang dipimpin Ryu beroperasi memang berada di tengah jantung kebun kelapa sawit. Akses menuju perusahaan harus melewati portal utama perusahaan yang letaknya di pinggir jalan lintas kabupaten di Kalimantan Tengah. Jalan poros adalah satu dari beberapa jalur penghubung perusahaan dengan dunia di luar perkebunan yang dibangun perusahaan untuk mobilitas kendaraan pengangkut CPO. "Hem," Ryu menggumam. "Pasti telat balik kantor kan Pak?" "Kenapa emangnya? Saya yang punya perusahaan, siapa yang berani negur saya?" tantang Ryu. "Bukannya perusahaan masih atas nama Pak Rain ya Pak?" sangkal Rara menggemaskan. Ryu mendengus kasar, "Kamu mau ngajak saya berdebat?" geramnya. "Hah? Mana saya berani Pak," balas Rara nyengir. "Jangan banyak protes makanya!" sungut Ryu galak. "Saya nggak protes Pak, nanya aja kok," ucap Rara. "Terserahmu," sambar Ryu. "Bapak ngambek?" "Saya nggak mau kita terlibat obrolan sebelum sampe ke tempat makan!" "Lama dong Pak? Kan masih jauh Simpang juga," Rara ngeyel. Ryu tak mau bicara lagi. Ia asik menyetir, menganggap di sebelahnya tak ada orang ketimbang ia semakin emosi jiwa. Kepolosan Rara sedikit membuat Ryu susah beradaptasi, sangat berbeda dengan Rara si Ketua OSIS yang ia kenal 10 tahun belakangan. "Nasi Padang?" mata Rara berbinar senang. "Kenapa? Kalau nggak suka menunya, silahkan cari sendiri yang kamu suka," jawab Ryu segera turun dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam rumah makan. "Suka kok Pak, ayam pop favorit saya," kata Rara menyusul ceria. "Bukannya kamu udah makan di kantin?" sindir Ryu, ia ambil nasi dan lauknya tanpa mempersilakan Rara lebih dulu. "Bukannya Pak Ryu ngajak saya ke sini buat makan siang? Di kantin saya cuma jajan gorengan. Lagian saya males digosipin," terang Rara yang ikut mengambil nasinya dan duduk di seberang Ryu setelah memesan es teh dan es kopi untuk bosnya. "Digosipin apa?" Ryu tertarik. "Katanya Bapak terlalu posesif sama saya karena Pak Ryu suka sama saya." "Apaan?" hampir saja Ryu tersedak karena ucapan Rara. "Selama dua bulan belakangan ini, Bapak nggak pernah ngijinin saya jajan di kantin kantor dan malah nyuruh saya bawa bontot. Belom lagi saya nggak pernah diijinin buat ikut acara ngumpul karyawan kantor. Mereka bilang Pak Ryu posesif, pengin menjaga saya buat Bapak sendiri," ungkap Rara apa adanya. "Menurut kamu, saya begitu?" pancing Ryu. "Ah, apa iya Bapak suka sama saya? Emang saya secantik itu di mata Pak Ryu ya Pak?" "Serius kamu berani sekali merusak nafsu makan saya Azura!" desis Ryu memerah wajahnya. "Nah kan, berarti bukan begitu alasannya. Makanya saya bilang gosip karena kenyataannya beda," desis Rara tersenyum tanpa beban. "Saya tau kalau saya harus terus standby di sisi GM. Itu yang dulu Pak Rain tekankan juga pas saya ikut beliau sebagai PA," tandasnya. "Azura," Ryu menarik napas dalam-dalam sebelum bicara serius pada asistennya. "Alasan saya kenapa jarang mengijinkan kamu makan di kantin dan bergabung dengan acara karyawan lain adalah untuk menjaga kamu dari mendengar gosip nggak bener seperti itu. Kamu diminta khusus oleh Mama saya untuk jadi staf PA, bakalan banyak yang nggak suka dengan proses instan itu. Kalau sampe kamu kemakan gosip dan kerjaan kamu jadi nggak fokus, saya yang rugi. Saya suruh kamu bawa bontot karena pekerjaan sebagai PA menuntut kamu bermobilitas tinggi. Nggak bakalan sempet tuh kamu santai-santai makan di kantin. Lagipula, urusan kamu adalah dengan orang-orang di luar, rekan bisnis Agrorai, soal keperluan intern di dalam perusahaan, saya bisa urus sendiri tanpa bantuan kamu!" urainya sengaja menghentikan kunyahan. Biar kamu nggak terluka andai denger mereka ngomongin masa lalu kamu, Azura. "Iya Pak, saya paham. Seandainya Bapak suka sama saya, saya juga pasrah aja," cengir Rara percaya diri. "Kamu bayar sendiri makan siangmu!" sergah Ryu geregetan. *** "Apa ini?" dahi Ryu mengerut, ia amati gelang-gelang cantik dalam sebuah kotak plastik transparan yang ada di mejanya saat keesokan harinya. "Itu gelang dari kayu gaharu, Pak. Saya sendiri yang membuatnya," jawab Rara bangga. "Kamu masih punya waktu luang ya di tengah kesibukan kamu sebagai PA? Kayaknya saya terlalu longgar sama kamu," sindir Ryu menohok. "Bukan gitu Pak, saya bikinnya di rumah, tidak di jam kerja," elak Rara buru-buru. "Saya lihat gelang yang selalu Pak Ryu pakai sepertinya juga dari bahan yang sama," tandasnya mencari topik baru agar Ryu tidak mencecarnya. "Sok tau!" "Tapi bener dari kayu gaharu juga kan Pak?" "Kalau bener emang kenapa? Meski sama bahan dan bentuknya, artinya buat saya jelas beda. Siapapun nggak bakalan ngerti termasuk kamu!" sambar Ryu galak. "Maksud saya, gelang yang Bapak pakai pasti sudah lama sekali dan baunya pasti nggak seharum yang baru, makanya saya buatnya beberapa untuk Bapak. Masa GM pake gelang buluk," ledek Rara hati-hati. "Hei, mulut kamu!" sentak Ryu kesal. 'Buluk gini juga kamu yang bikin! Menurutmu kenapa meski udah jelek masih kupake?' "Maaf Pak. Kalau Pak Ryu nggak berkenan, saya ambil lagi gelangnya," sesal Rara bersiap meraih kotak gelangnya tapi kalah gesit dengan Ryu. "Saya nggak bilang nggak mau, kenapa maen ambil-ambil aja? Bikin lebih banyak lagi, nanti dibagiin ke anak asuh yang ada di panti asuhan milik perusahaan," tandas Ryu. "Baik Bapak," senyum Rara melebar. "Saya minta Mas Jaka untuk siapkan mobil ya Pak. Jadi berangkat ke Sampit sekarang kan Pak?" tanyanya ceria. "Saya bawa sendiri mobilnya, kamu suruh Jaka siapkan di depan kantor aja itu mobil," balas Ryu. "Kamu udah persiapan baju ganti kan?" "Sudah Pak. Kemarin Bapak bilang kita tiga hari di kantor perwakilan, jadi saya langsung bawa baju ganti. Sudah ijin orang rumah juga seperti perintah Pak Ryu." "Oke, siapkan berkas laporan yang saya minta, kalau udah kita berangkat," kata Ryu seraya melepas gelang lamanya dan menyimpannya di laci meja kerjanya. Ia kenakan salah satu gelang baru yang Rara buatkan. "Sudah siap semua Pak," ucap Rara senang, matanya tak lepas dari gelang buatannya yang baru saja dipakai Ryu berdampingan dengan jam tangan mahal. "Kalau gitu ayo jalan," ajak Ryu segera meraih ponsel dan jasnya. Ia berjalan mendahului Rara, melirik sebentar ke meja kerja asistennya itu. "Mana barang bawaan kamu? Baju ganti?" "Ah, sudah saya taruh di parkir mobil Pak," jawab Rara agak lama, ia baru selesai menelepon Jaka agar menyiapkan mobil. "Sudah saya minta juga Mas Jaka untuk naroh di bagasi," tambahnya. "Oke," Ryu mengangguk sekenanya, membalas sapaan para karyawan yang ia lewati dengan lambaian tangan. Dilihatnya Jaka sudah menyiapkan mobil pribadinya, bukan mobil kantor. "Maaf Pak, saya kira kita pakai mobil kantor. Barang saya ada di mobil kantor, iya kan Mas Jaka?" Rara nyengir, takut dimarahi. "Naik aja dulu, nanti diambil di parkiran. Kita muter ke parkiran," kata Ryu solutif, malas menunggu. "Siap Pak!" "Jalan dulu Mas Jaka," pamit Ryu pada sopirnya. "Iya Pak, hati-hati!" balas Jaka melambaikan tangannya, mengiringi Ryu yang masuk ke dalam mobil lalu melajukannya. "Kenapa Pak Rain dan Pak Ryu nggak pernah mau bawa sopir kalau acara ke Sampit?" tanya Rara penasaran. "Nggak pa-pa," balas Ryu sekenanya. "Ngrepotin ya Pak?" tebak Rara. Ryu menoleh gadis di sebelahnya dengan sorot kesal, "Kalau masalah ngrepotin, justru kamu yang lebih ngrepotin! Jaka itu udah berkeluarga, kalau diajak nginep kasian anaknya masih balita!" terangnya. "Saya nggak akan ngrepotin Pak Ryu, serius!" ucap Rara menaikkan jemarinya untuk membuat tanda 'V' ke arah sang bos. "Janji doang!" desis Ryu. Ia hentikan mobilnya di parkiran mobil dinas lantas turun tanpa bicara. Dibukanya pintu mobil miliknya dan diambilnya barang-barang milik Rara untuk akhirnya ia masukkan ke dalam kursi penumpang di belakang. "Belom berangkat juga udah ngrepotin!" sungutnya. "Saya bisa ambil sendiri tadi harusnya Pak," ujar Rara menggaruk tengkuknya malu-malu. Meski galak, Rara tahu bahwa Ryu selalu memperlakukannya dengan baik, termasuk tindakannya barusan. Demi dirinya, Ryu bahkan bersedia turun ke parkiran meski mulutnya mendumal. Ryu memang sejenis lelaki yang memiliki love languages dengan act of service, sedikit bicara banyakan mesranya. "Nggak ada yang ketinggalan lagi?" tanya Ryu setelah terdiam tanpa tanggapan. "Kayaknya enggak Pak," jawab Rara mantap. Memilih untuk melajukan mobilnya, Ryu tak lagi melanjutkan obrolan. Situasi kebun sudah banyak berubah. Pohon sawit sudah banyak yang ditanam ulang, sudah dibentuk pula divisi khusus penanganan kebakaran hutan di perusahaan. Ryu memang tinggal melanjutkan apa yang sudah dirintis oleh Rain, papa kerennya. Namun, metode bekerja Ryu lebih rapi seperti Mika sang mama, juga terstruktur karena latar belakang pendidikannya yang memang sejalan dengan pekerjaannya memimpin perusahaan. "Maaf Pak, nanti boleh mampir ke mini market? Saya pengin cari camilan," ujar Rara setelah terdiam cukup lama dan mobil sudah keluar dari portal utama ke jalan besar. "Kamu laper?" gumam Ryu singkat. "Buat temen nonton drama Korea nanti di hotel aja sih Pak," Rara meringis manis. "Oke," jawab Ryu. "Nanti berhenti di Simpang," tandasnya. Rara mengembangkan senyumnya, lega karena respon Ryu di luar dugaannya. Setidaknya Ryu tidak mengomel karena ia cukup merepotkan. "Sepi Pak, boleh saya putar musik?" tanya Rara ngelunjak karena sikap lunak Ryu barusan. "Kamu mau tidur sambil musikan? Enak banget!" desis Ryu. "Enggak Pak, mana bisa saya tidur sementara Pak Ryu yang nyetir di sebelah saya. Canggung soalnya kalau saya mau ngajak Bapak ngobrol, kan mending musikan." "Selera musik kamu beda sama saya." "Ya kita ikutin selera musik Pak Ryu. Boleh request," bujuk Rara tak menyerah. "Kamu males ngobrol sama saya?" "Bukannya gitu Pak. Ya udah, saya diem aja deh, nggak jadi dengerin musik," ucap Rara serba salah. "Diem aja kayak patung," desis Ryu. Rara mencembikkan bibirnya kesal, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa protes. Sedangkan Ryu juga memilih untuk fokus menyetir, enggan membuka pembicaraan. Hingga akhirnya mereka sampai di area Simpang di mana ada satu minimarket yang cukup lengkap, Ryu memarkir mobilnya. "Bapak juga mau belanja?" tanya Rara penasaran karena Ryu ikut turun dari mobil. "Mau beli rokok," jawab Ryu. "Saya carikan aja Pak," Rara menawarkan diri. "Nggak perlu." Rara mengedikkan bahunya pasrah. Sejak menjadi bosnya, Ryu memang begitu. Lelaki ini terkesan galak dan tidak peduli dari cara berbicaranya. Namun, dalam kenyataannya Ryu justru bersikap sebaliknya. "Pak, ini banyak banar (Banjar: banget), jajanan sebanyak ini nggak bakalan habis di saya," kata Rara saat sang bos mengambilkan banyak camilan dan menaruh di keranjangnya. "Saya yang bayar," balas Ryu cuek. "Tapi kalau saya habisin sendiri kan nggak habis juga Pak." "Itu beberapa punya saya," Ryu melirik sebentar lalu sibuk memilih jajanan lagi. "Heran," desis Rara setengah berbisik. "Orang mau kerja, rapat masalah perusahaan tapi berasa kayak piknik, bawa bekal jajan," keluhnya tak habis pikir. "Kenapa?" tanya Ryu yang mendengar keluhan sang asisten. "Hah?" Rara tergagap panik. "Enggak Pak. Saya kerja sama Bapak di sini berasa kayak diajak pacaran. Jalan ke Sampit, bawa jajan, nginep di hotel bagus," cengirnya. "Kamu mau begitu?" tawar Ryu mengejutkan. "HAH?" mulut Rara makin menganga lebar. ###"Lakukan! Coba laporin aja, saya nggak peduli! Biar mati sekalian aja mertua nggak bergunamu itu!" sentak Bu Endah berusaha keras untuk tak terlihat terdesak oleh ancaman Ryu. "Keadaan berbalik Bu, Ayah masuk rumah sakit begini, bukan disengaja dibikin sakit sama Bu Endah kan?" "Gila kamu!" cerca Bu Endah segera beranjak pergi, tak mau semakin dibuat panik oleh Ryu karena perbuatannya sendiri. Ryu tak lagi mengejar Bu Endah, ancamannya sudah pasti membuat ibu tiri Rara itu cukup terdesak sekarang. Setelahnya, ia memilih untuk membelokkan arah langkahnya ke bagian pelayanan terpadu, mengurus administrasi Pak Darwis. Namun, belum juga Ryu mencapai ruangan yang akan ia tuju, Rara nampak berlari tergesa dari kejauhan, mendekat ke arahnya. "Kenapa? Ayah mau dicariin makan?" sambut Ryu polos sekali. Rara menggeleng keras, ia terlihat berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh. Ingin memeluk suaminya, ia masih sadar bahwa mereka ada di ruang publik. Jadi, alih-alih meraun
"Maaf ya Mas, aku tiba-tiba ngajak balik kebun mendadak gini," kata Rara gelisah. Ia dan Ryu baru saja turun dari tangga pesawat sesampainya mereka di bandara H. Asan, Sampit. "Nggak pa-pa, ini juga penting, aku tau kamu khawatir," jawab Ryu tak keberatan. Pagi tadi, saat Rara baru selesai menunaikan ibadah salat subuh, Bu Endah menghubungi. Membutuhkan sekitar 8 kali panggilan baru Rara bersedia menerima dan berbicara dengan Bu Endah di seberang. Pak Darwis dilarikan ke rumah sakit pada pukul dua dini hari sebelumnya karena muntah dan kejang. Meski sudah tidak ingin peduli, Rara tetap merasa khawatir karena ia tahu sekali bagaimana sikap Bu Endah. Jadi, ia memberanikan diri untuk mengajak Ryu pulang ke Sampit demi melihat kondisi sang ayah. "Kita langsung ke rumah sakit aja, Mas Jaka," pinta Ryu pada sang sopir pribadi yang sudah standby di parkir bandara. "Siap Pak!" sahut Jaka seraya melajukan mobil milik Ryu itu meninggalkan pelataran bandara. Walaupun tidak mengungkap k
"Ya udah, maaf ya. Harusnya aku pura-pura nggak kenal aja ya tadi?" sebut Ryu. "Iya." Ryu tersenyum. Rara ketika cemburu jauh lebih menggemaskan dan imut. Begini saja sudah sangat menghibur Ryu yang jika ditanya, ia tak akan bisa berpindah ke lain hati, hanya ada Rara di hatinya. "Mau ke ruangan Papa lagi?" tawar Ryu, bermaksud merubah mood istrinya yang sedang kesal. Rara menggeleng, "Mau pulang. Aku minder di sini," tukasnya mengamati tubuhnya sendiri. "Kamu cantik, luar biasa, nggak ada yang bisa nandingin cantikmu," puji Ryu tulus. "Serius? Pake sandal selop kampung begini? Mas bandingin coba sama si Helena yang pake highheels tadi. Timpang nggak kalau aku di sebelah dia?" "Timpang karena kamu istriku, calon nyonya CEO perusahaan sedangkan dia cuma karyawan. Kamu yang bakalan punya kuasa." "Mas! Ayolah!" desis Rara geregetan. "Gim
"Kamu kerja di DC?" tanya Ryu tak percaya, ia amati lanyard yang tergantung di dada Helena. "Iya Kak, aku manajer purchasing yang baru," jawab Helena sumringah. "Oh," Ryu manggut-manggut. "Selamat datang di Dhanapati," sebutnya ramah. "Makasih Kak," ucap Helena. "Aku denger kamu di Kalimantan kan? Atau sekarang udah ke sini lagi?" tanyanya. "Iya, aku pegang kerjaan di sana, ini cuma lagi liburan aja. Ah, istriku," tunjuk Ryu pada Rara yang sejak tadi hanya diam, memperhatikan suaminya mengobrol asik dengan perempuan lain di depannya. "Ah, hai, Helena!" sapa Helena mengulur tangan untuk bersalaman. "Azura," sambut Rara tersenyum. Ia jabat tangan Helena sekejap. Sebenarnya, Rara tak perlu merasa cemburu, toh, Ryu sudah menjadi miliknya. Namun, tampilan Helena yang jauh lebih modis, cantik, ceria dan memikat itulah yang membuat Rara terbungkam. Helena juga tampak akrab dengan Ryu, membuat atmosfer di sekitar mereka tampak tak lagi terlihat. "Helena ini, adek kelasku pas SMP, Say
"Kamu serius masih mau jadi PA di sini? Padahal sebagai Nyonya Ryu, kamu bisa duduk santai di rumah," kata Ryu sembari berdiri. Ia melambai pada petugas kantin untuk memasukkan pesanannya dan Rara ke dalam tagihan pribadi. "Aku kebiasa kerja Mas. Kalau cuma diem di rumah, pikiranku sering kosong, takut kesurupan masa lalu lagi," bahas Rara masuk akal. Ryu tertawa, ia menyulut lagi sebatang rokok baru, diselingi menyesap es kopi favoritnya. "Kenapa Mas? Kualifikasiku nggak pantes ya buat jadi PA CEO di DC?" gumam Rara tersadar. "Aku yang cuma lulusan SMA pun persamaan paket C ini?" tanyanya rendah diri. "Hei, kok mikir gitu, aku sama sekali nggak mempermasalahkan soal kualifikasi pendidikan kamu, Azura." "Tapi aku sadar diri," sambar Rara. "Aku kuliah dulu aja di sini, boleh?" Mata Ryu membulat tak percaya, "Kamu serius?" tanyanya meyakinkan sang istri. "Aku nggak mau orang-orang mandang jelek Mas Ryu. Masa istri CEO cuma lulusan SMA persamaan. Maksa banget jadi PA juga.
"Ayah nggak bisa ceraiin Bu Endah karena adek kamu. Menurutku masuk akal sih," ucap Ryu setelah menerima telepon dari Pak Darwis yang tak mau diterima oleh Rara. "Kasian Hera," sebutnya. "Salah nggak ya Mas kalau aku nggak bisa maafin Bu Endah? Atau aku masih marah sama Ayah?" tanya Rara gusar. "Wajar kok, aku nggak nyalahin perasaan kamu," jawab Ryu sambil menyesap rokoknya dalam-dalam. "Sebenernya aku kasian sama Ayah. Udah tua, tapi musti nyukupin kebutuhan Hera dan Ibuk. Kadang aku pengin ngirim uang, tapi aku takut uangku disalahgunain lagi sama Bu Endah," desis Rara. "Menurutku, kamu nggak perlu lagi ngerasa harus bertanggungjawab. Ya oke, soal Pak Darwis, itu kuambil alih, biar aku yang cukupi kebutuhannya," ucap Ryu baik hati. "Enggak gitu Mas, Mas kan malah yang jadi repot. Aku sayang sama Hera, ada darah Ayah yang ngalir di tubuh kami berdua. Tapi kalau Ibuk, aku nggak bisa maafin dia," ucap Rara parau, serasa air mata hampir lolos jatuh ke pipinya. "Kamu mau B