Share

Bertemu Dengan Mantan Bijak (4)

Cinta Terlarang Anak dan Suamiku (Part 4)

#Anakku_Maduku #Ajt

#Seputih_Cinta_Amelia

~Bertemu Dengan Mantan Bijak (4)

[Sudah biarkan saja, Rany. Sekarang sudah bukan urusanku. Sudah ada keluarganya yang akan mengurusnya,] jawabku.

[Tapi keadaannya sangat parah, Bu. KRITIS,] jawab Rany.

Reo Kritis?

Sakit apa sebenarnya Reo? Apakah aku harus mengontaknya? Tapi aku tak mau membuatnya memiliki harapan lagi padaku.

[Sakit apa dia, Ran?]

[Menurut ibunya Pak Reo, awalnya demam tinggi berhari-hari tak makan tak minum membuatnya komplikasi, Bu. Pak Reo sudah tak sadarkan diri beberapa jam.] jawab Rany.

Tak lama ia mengirimkan juga gambar Reo yang sedang terbaring lemah, kurus, tak berdaya.

Ya, Rabb. Reo koma, melihat fotonya aku sungguh tak tega. Jujur ini membuatku shock untuk kedua kalinya hari ini. Apakah aku harus mengabaikan Reo yang koma? Apakah benar Reo sudah bukan urusanku, bukankah statusnya masih suamiku bahkan satu bulan lalu hubungan kami masih baik-baik saja. Ah perasaanku mulai goyah.

Jelas saja, siapa yang tak khawatir mendengar kata koma, bisa saja sesuatu yang berbahaya sedang terjadi lalu kemudian Reo tak terselamatkan. Ah tapi bukankah aku sedang menghindarinya? Aku harus tetap menghindarinya. Akan ada banyak yang mengurusnya. Nanti aku akan kerahkan beberapa anak buah untuk membantu merawatnya 24 jam. Tiga orang sudah sangat cukup.

Sayangnya beberapa kolega yang tak mengetahui hubunganku dengan Reo sedang di ambang perceraian menghubungiku satu-satu. Menanyakan keberadaanku dimana, lalu terus bertanya bagaimana kondisi Reo. Mungkin mereka sudah mengetahui beritanya bahwa Reo sakit dan koma.

Tapi jawaban apa yang harus aku beri sementara aku sendiri belum tahu sedetail apa kondisinya. Mereka semua menguatkan hatiku agar tetap sabar dan tenang. Diperlakukan oleh mereka seperti ini, dalam hati aku jadi merasa bersalah.

Apakah aku pulang saja ke Indonesia saat ini. Ah, sisi hatiku yang lain menolak, namun sisi lainnya lagi jatuh iba. Terus begini membuatku gamang. Kenapa aku jadi tak menikmati liburanku.

Sore itu aku menjadi pusing. Candaan teman-temanku sudah terasa tak lucu lagi ditelingaku. Hatiku seperti terbelah. Oh, kenapa aku masih sebegitu perdulinya kepada Reo. Bagaimana mau memenjarakannya atas tindakannya mengggelapkan uang, mendengarnya sakit saja pikiranku langsung kacau.

Di depan Rany seolah-olah aku tegas, di depan Papa Mama seolah aku baik-baik saja. Padahal hatiku sangat sakit, dilema dan banyak perasaan tak terdefinisi yang membuatku kacau. Reo, tahukah kamu, sulit untuk melupakanmu. Bahkan di depan menara Eiffel ini, wajah Reo masih terus membayangi.

Belum lagi kekhawatiranku terhadap Raya mulai muncul. Mungkin kemarin aku tegas, tapi sisi kewanitaanku sebagai Ibu tetap saja muncul. Terbersit bayangan-bayangan raya. Sebenarnya aku tak tega. Apakah ia nyaman di sana. Ia harus makan pizza setidaknya dua hari sekali. Ikan salmon panggang bumbu bawang kesukaannya. Kuliahnya yang harus tiba-tiba terhenti. Jahatkah aku?

Ah, mengingat ini semua membuatku sedih. Harus dengan apa aku melupakan semua ini. Ya, tekadku bukankah sudah kuat, harus melupakan semua dan memulai hal baru dalam hidupku. Di sini, dalam perenungan, justru membuatku galau luar biasa.

Mungkin ini bagian terberat dalam melupakan. Seperti pohon ubi jalar yang sedang dicerabut akarnya dari bumi, dari sumber kehidupan dan kekuatannya. Sakit, tapi pohon itu tetap harus di panen, di ambil buahnya agar memberi manfaat kepada yang lain.

Mungkin benar aku harus pergi bersama Brian, menghabiskan waktu di London dengannya. Membuang candu dari calon mantan anak dan suami dengan melakukan hal-hal baru di sana. Akan sangat menyenangkan bersama Brian yang seru dan humoris itu. Ya, semoga aku bisa cepat melupakan memikirkan dua orang itu di hati ini.

Aku segera membalik badan, berkumpul di meja bersama mereka kembali.

“Jadi naik apa kita lusa?” tanyaku pada Brian.

Brian menatapku, mata sendu itu ....

“Tenang ... nanti aku akan carikan tiket bis dan kereta yang bagus untuk perjalanan kita,” jawabnya.

Baiklah, sepertinya dia ingin mengurus semuanya. Aku tak menolaknya, budaya Barat, tak sopan menolak pemberian yang ditawarkan orang lain.

*** #Ajt

Pada awalnya perjalanan, dalam kereta, aku memilih banyak diam. Aku hanya masih terus galau soal Reo. diam lebih baik. Hanya saja Brian orang yang pandai membuat suasana menjadi baik. Ia terus mengajakku ngobrol, dimulai dari hal-hal kecil. Menawariku berbagai makanan yang bisa di pesan di kereta ini.

“Ngomong-ngomong gimana kabar Papa Mama sehat?” tanyanya dengan senyum.

“Alhamdulillah, selama ini selalu sehat, meski sudah setua itu, mereka tak pernah sakit, Bri.”

“Wah, salut. Mereka rajin olahraga, sih, ya.”

Obrolan berlanjut membicarakan teman-teman nongkrong kami dulu waktu di Indonesia. Juga tempat-tempat makan yang sering kami singgahi. Meski pernah ada cinta di antara kita, namun Brian cukup luwes tak membuat suasana menjadi canggung. Seolah saling menghargai bahwa kedua belah pihak telah memiliki pasangan.

“Gimana kabar si cantik Raya sekarang?” tanyanya.

Aku terdiam untuk beberapa lama. Entah kenapa aku tak bisa menjawab santai untuk pertanyaan ini. Ada dorongan kuat untuk berkata apa adanya saja. Ada emosi dalam jiwa yang seolah muncul dan ingin mengadukan segalanya pada Brian. Seperti seseorang yang kosong, sendiri, tapi hatinya hancur, lalu ia mencari teman curhat yang sepadan yang bisa menghilangkan sedikit bebannya, dan aku merasa telah menemukan tempatnya.

“Dia sudah kembali pada orang tuanya, Bri,” jawabku. Ah, aku lega sudah mengatakannya.

“Kembali?” Brian menatapku tak mengerti.

“Ya, aku yang mengembalikannya,” jawabku.

Mungkin Brian merasa ini sensitif, ia diam tak melanjutkan pertanyaan. Kecuali jika aku yang kemudian bersedia menceritakan, sikap orang barat sudah tertanam dalam jiwanya. Dan memang aku ceritakan semuanya, termasuk pengajuan gugatan ceraiku kepada Pengadilan Agama yang sampai saat ini belum ditanda tangani Reo.

Berkali-kali aku harus menarik napas agar tak ada tangisan saat menceritakannya. Sayangnya Brian sudah menyodorkan tisu kepadaku ketika ada titik-titik embun yang mulai menyatu menciptakan aliran sungai di pipiku.

“Terima kasih, Bri.”

“Maaf, ya, pertanyaanku harus membuatmu bersedih, jadi menjelaskan panjang padaku.”

“Nggak papa, Bri. Aku justru lega sudah menceritakannya ke kamu. Kamu teman yang pertama kali tahu soal ini. Aku memang sedang butuh teman cerita.”

“Wah suatu kehormatan bisa menjadi teman curhat pengusaha obat generik tersukses se-Indonesia ini,” jawabnya mencandaiku sembari tertawa. Mungkin ia ingin aku terhibur dan tidak terlalu larut dalam sedih.

“Aku yang sedikit lega sekarang, punya teman cerita yang kadang gokil, kadang pinter jg nasehatin.” Kami tertawa bersama.

“Tapi kamu hebat, Mel. Kamu kuat dan mandiri. Sakit pasti dikhianati orang yang paling kita sayangi. Sedangkan kita punya teman, temannya diselingkuhi saja, kita ikut sakit hati. Apalagi kamu yang mengalaminya sendiri, dan diperlakukan oleh suami sendiri, yang idealnya dia melindungimu, garda terdepan yang paling bertanggung jawab atas kebahagiaanmu.” Brian berbicara penuh kehati-hatian kembali.

“Apakah aku salah jika menceraikan Reo dan memulangkan Raya?” Aku butuh saran Brian untuk ini. Meski sudah kuputuskan.

Brian menarik napas dalam bepikir.

“Kamu tidak salah, orang yang tersakiti berhak untuk bersikap tegas untuk melindungi hatinya. Mungkin itu yang terbaik menurut kamu, ya lakukan. Hanya saja tetap harus dipikirkan masak-masak dan berhati-hati dalam bertindak, segala kemungkinan bisa terjadi."

Ia meneguk Capuccino di tangannya.

"Tapi jika kamu merasa masih membutuhkan mereka, atau salah satu dari mereka. Ya, maafkan, hubungan bisa diperbaiki dengan memastikan mereka tidak mengulanginya lagi. Karena belum tentu kita kedepan kan menemukan tambatan hati yang bisa cocok diajak bersama selama belasan atau puluhan tahun kedepan, ‘kan?”

Jujur, sebenarnya aku masih butuh Reo. Dia yang selama ini berhasil menenangkan hatiku. Delapan belas tahun bersamanya, lebih banyak bahagia, ya karena aku mencintainya, apapun yang aku lakukan dengan Reo terasa menyenangkan. Hanya saja aku terlalu sakit dan tak terima melihat kenyataan terakhir, aku merasa perlu membalas mereka.

“Tapi, semua kembali ke kamu, Mel. Mungkin pada saat kamu sudah bisa berpikir jernih, bisa direnungkan lagi apa yang sebaiknya harus dan tidak harus dilakukan.”

“Ya, aku memilih melepas sejenak tentang mereka dengan pergi ke sini. Tapi aku sudah mengajukan gugatan cerai, Bri. Meski kadang tak yakin, benarkah aku akan berpisah dengan Reo. Saat ini Reo sakit parah, ia sedang koma, tapi aku memutuskan untuk tak perduli.” Tesss, ah, bulir-bulir itu berlarian keluar dari netraku tanpa bisa kubendung.

Brian menggenggam tanganku. Mencoba menenangkanku yang mulai terguncang mengingat semuanya.

“Nggak apa-apa, menangislah amel. Kamu sedang terluka. Ada aku yang siap membantu kamu kapanpun.”

Ia merangkulku dari samping. Menguatkanku. Seketika hangat menjalari tubuh. Aroma parfumnya membuatku nyaman dalam peluknya. Perjalanan kereta menuju London masih akan panjang. Ia membiarkanku beberapa lama terdiam dalam dekapnya. Aku diam.

Pandanganku menerawang ke luar jendela kereta eksclusive ini. Salju-salju turun makin banyak, masih sangat indah di mataku, seperti kapas putih yang beterbangan turun ke bumi. Pepohonan yang satu satu terlewati seolah tersenyum menyapaku, bangga tubuhnya diliputi oleh salju-salju yang mulai banyak memenuhi daun dan ranting-rantingnya. Ya, aku berpikirnya begitu sebagai wanita asia yang jarang melihat fenomena alam ini. Kecuali sesekali, ketika ke sini bersama Reo.

Aah, Reo lagi ...

“Seandainya anak sama istri kamu bawa, Bri. Pasti lebih seru dan rame?” ungkapku.

Entah kenapa aku tak ingin mengatakan kalau aku sudah tahu. Aku perlu berpura-pura belum tahu kabar agar ia tak tersinggung. Mendengar pertanyaanku, Brian lekas meminum kopi cokelat yang tadi baru dihidangkan pramugari sambil tangan kirinya tetap merengkuhku.

“Mereka sudah pergi, Mel. Sudah tiga bulan ini ...” Ia membuang pandang ke luar jendela.

Kali ini pemandangan yang kami lihat adalah sebuah keramaian di kota Arras. Orang-orang berlalu lalang memakai mantel tebal dan payung-payung besar menutupi hampir seluruh tubuh. Lampu-lampu sore yang mulai menyala menambah semakin romantis pemandangan kota bersih di depanku. Terkadang kereta masuk ke dalam terowongan bawah tanah kemudian tak berapa lama muncul lagi ke permukaan membuat penumpang sedikit silau menghalau cahaya. Kami belum melewati laut yang panjang, perjalanan masih jauh menuju kota Ashford sebelum akhirnya berhenti di London.

Aku mencoba diam, tak melanjutkan tanya. Menunggu apakah ia tak keberatan untuk bercerita padaku.

“Apakah kamu belum tahu, Mel? Mereka sudah pergi. Pergi jauh sekali, dan tak akan mungkin kembali,” ucapnya datar. Namun aku merasakan ada nada kesedihan dari getar suaranya.

TO BE CONTINUED PART 5,

Terima kasih sudah menyimak, semoga ada hikmah/ibroh dari cerita ini nantinya.

Bantu klik love-nya and komen, dan masukkan ke dlm daftar bacaan tmn2, yah. Makasih udah bantu akun ini bertumbuh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status