Share

Dia Sudah Hamil, Aku Bisa Apa (5)

Dia Sudah Hamil, Aku Bisa Apa

‘Aku sedang belajar ....

Bagaimana merelakan sebuah kepergian dengan senyuman

Belajar mengikhlaskan tanpa harus menjadi terluka

Dan belajar bagaimana seharusnya seorang manusia

Menerima ketetapan-ketetapan yang telah Tuhan gariskan untuk hidupnya.’ (Brian)

****~

“Apakah kamu belum tahu, Mel? Mereka sudah pergi. Pergi jauh sekali, dan tak akan mungkin kembali,” ucapnya datar. Namun aku merasakan ada nada kesedihan dari getar suaranya.

“Maksud ... kamu, Bri?” Aku bertanya pelan, tak ingin mengintimidasi jawaban kepadanya.

“Jika kamu terluka karena tersakiti oleh mereka yang masih hidup. Akupun saat ini terluka, tersakiti karena mereka yang aku jaga hidupnya harus pergi secara tiba-tiba ....”

Aku bangkit dari rengkuhan hangatnya. Duduk dan menatapnya.

“Ya, Mel. Anakku, juga istriku, meregang nyawa di hadapanku, tanpa aku bisa menyelamatkannya. Mereka pergi cepat sekali, pergi di saat aku memiliki keyakinan akan hidup bahagia sampai tua bersama mereka. Mereka pergi karena aku, meski bukan mauku. Bahkan sampai saat ini aku dihantui perasaan bersalah, aku seperti seorang pembunuh. Aku yang menjaga mereka, tapi aku yang membuat mereka mati.”

Suara Brian mulai berat. Ia berkata dengan tatapan menerawang.

Aku tak lagi memandang wajahnya. Memilih menatap kursi di hadapanku, juga Pramugari kereta yang berlalu lalang. Menjaga perasaannya.

“Brian, maksudnya ...?” Pertanyaanku kubiarkan menggantung.

Brian terdiam.

“Iya, Malam itu, tiga bulan lalu. Aku sudah dua hari tak tidur, karena pekerjaan yang sedang membutuhkan waktuku lebih banyak. Aku lupa bahwa itu bisa membahayakan diriku juga keluargaku. Setelah menjemput mereka dari rumah temannya. Diperjalanan mobilku terperosok ke jurang tanpa aku sadar, aku tertidur sesaat. Lewat toll dalam kecepetan tinggi. Aku tersadar dari kantuk ketika mobil sudah masuk ke dalam jurang yang dalam. Anak dan istriku yang tertidur di belakang terpental keluar akibat hentakan mobil yang terlalu kuat menghantam bebatuan cadas di dasar jurang. Mereka pergi. Aku selamat dengan kaki tangan penuh luka, tapi tak ada yang serius. Sementara mobil sudah hancut tak berbentuk, beruntung mobil tak terbakar sehingga aku masih bisa keluar menyelamatkan diri.”

Brian menangis tapi tak ada suara atau isakan, hanya mata yang basah.

“Bri ....”

Aku menggenggam tangannya menguatkan.

“Maafkan aku, harus membuatmu mengingat kejadian itu lagi. Jangan lanjutkan jika tak nyaman, Bri. Aku turut prihatin. Semoga anak istrimu tenang di sana.”

“Tak apa, Mel. Aku memang ingin cerita ini sama kamu,” balasnya datar.

“Hanya yang aku sesalkan, kenapa mereka yang pergi, kenapa bukan aku saja. Aku rela menggantikan hidup mereka. Aku belum membahagiakan istriku. Anakku masih kecil, harusnya masih banyak waktunya di dunia ini. Seandainya kematian bisa ditukar. Aku mau menggantikannya. Aku yang bertanggung jawab atas hidup mereka.”

“Sudah kehendaknya. Bukan salahmu, Bri ....”

Aku menepuk-nepuk bahu bidangnya. Paham maksudnya bahwa seorang lelaki yang ksatria, mereka bahkan rela mati demi orang-orang yang mereka cintai. Brian sangat mencintai anak istrinya.

Kami masing-masing terdiam. Aku tak ingin bertanya lagi untuk beberapa saat.

Kasihan Brian. Ia benar-benar kehilangan hidupnya, semangatnya. Jelas hidupnya setelah itu kosong. Ia semangat bekerja setiap hari, tentu demi anak dan istrinya. Lalu seketika hilang, pergi.

Aku pernah berada dalam kondisi seperti Brian. Kehilangan adik yang kecelakaan juga berada dalam satu mobil dengannya. Bedanya almarhum Boy yang menyetir, sementara aku duduk di belakang. Airbags tak menggelembung sempurna, sehingga kepalanya bocor oleh benturan juga pecahan kaca di depan setir. Dan Allah masih memberiku kesempatan hidup hingga kini.

Kemudiab kini, kehidupan rumah tangga Brian, tak berbeda jauh denganku. Akupun kehilangan anak dan sumiku. Mereka tiba-tiba tidak lagi ada dalam rumahku. Beberapa hari sebelum aku pergi ke Prancis, jiwaku kosong. Ada yang tercerabut ketika bangun tidur tak melihat Reo dan Raya di dalam rumah lagi. Namun beberapa detik kemudian bayangan Raya dan Reo di sofa malam itu, saling membuai, membuatku gila dan hancur berkeping-keping.

* #Ajt

Di London, Brian menyelesaikan urusan bisnisnya pada siang hari. Sementara aku memilih pergi ke tempat-tempat yang sudah aku rindui. Ada beberapa teman yang harusnya bisa kukontak dan mengantarku jalan-jalan. Tapi kali ini aku butuh menyendiri.

Berkeliling seputaran ke Camden Town, menikmati jajanan tepi jalan juga membeli beberapa barang sebagai kenang-kenangan, lalu berakhir di Trafalgar Square.

Sorenya Brian sudah menjemputku untuk makan malam di The Dinner Cruise, Sebuah kapal pesiar yang berlayar selama tiga setengah jam di sekitar Sungai Thames. Dari sini kita bisa menikmati pemandangan malam hari kota London yang romantis, makan dengan hidangan khas eropa sembari disajikan music-music classic penuh harmoni menyentuh jiwa.

Suasana yang masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku lupa bahwa harusnya malam ini aku tak memilih ke sini. Suasana yang justru semakin memperjelas ingatanku tentang Reo ... Reo yang saat ini koma!

“Aku harus segera pulang, Bri,” ucapku pada Brian tiba-tiba, yang baru saja menyelesaikan hidangan penutupnya.

Dia tampak berpikir sejenak.

“Ya, aku paham. Semoga sekarang kamu sudah jauh lebih tenang, ya. Semoga ini cukup menghiburmu,” ucapnya.

“Ya, Terima kasih, Bri. Sudah membawaku ke sini,” ucapku.

“Keep kontak, ya, salam untuk Papa Mama,” pintanya.

Mata sendu itu, menatapku dalam. Aku sulit mengartikannya. Hanya saja, aku selalu tak pernah mampu membalas lama tatapannya.

“Kamu baik-baik saja, Bri. Semoga aku bisa ke Paris lagi segera. Ingin ziarah ke makam istri dan anakmu.”

“Aku sangat bahagia mendengarnya, Mel. Aku tunggu. Jika aku yang pulang ke Indonesia lebih dulu, akan aku hubungi kamu, ya,” pesannya.

“Wah, dengan senang hati, Bri.”

*

Aku sudah di dalam kamar nyaman ini lagi, kamar penuh kenangan, lagi-lagi dengan Reo.

Satu jam lagi aku akan dijemput Pak Lody, supir kantor menuju rumah sakit Premier Bintaro. Masih lelah, tapi aku harus secepatnya melihat keberadaan Reo.

Menurut Rany, Raya sama sekali tak datang menjenguk.

Gegas aku menuju Premiere room. Baru beberapa langkah menaiki tangga. Ada suara seseorang memanggilku.

“Bunda ...!”

Aku menengok ke arah suara itu.

Raya! Entah kenapa, seketika lututku lemas.

Ia terlihat sedikit kurus, dan outfitnya tak tertata rapi, senada seperti biasanya. Entah karena ia mulai sadar diri untuk tak hidup glamour atau apa. hatiku terenyuh. Raya ..., putri yang kurawat dan kujaga sepenuh jiwa. Seketika ada rindu, diantara kebencian yang masih tertanam di hati.

Kutahan langkah, aku terdiam dan membuang muka kedepan.

“Bunda, masih bolehkan aku memanggilmu ...?”

Suaranya memelas.

Ya, Rabb. Jangan sampai rasa ibaku mengalahkan kemarahanku padanya. Meski dalam hati aku terguncang menyadari kehadirannya.

“Terserah kamu, saja!”

“Raya ingin berbicara dengan, Bunda .... Boleh minta waktunya ...?”

Please jangan tatap matanya, Mel. Kamu akan luluh dan kalah. Jangan lagi pandang ia sebagai anak yang perlu dilindungi. Dia pelakor, ya dia pelakor. Kamu harus marah padanya. Kalau kamu kalah, aku akan memarahi dirimu sendiri! ucap sisi hatiku yang lain.

“Kamu sudah jenguk Ayah?” tanyaku keras.

Ingin aku berteriak mengatakan, ‘Kamu sudah jenguk pasangan zinamu?’

“Belum ....” jawabnya.

“Kenapa belum?!”

“Aku tak sanggup ....”

“Kenapa!?” tanyaku masih dengan nada tegas, tetap membuang muka.

Kunanti jawabannya, namun ia hanya diam.

Aku melangkah pergi meninggalkannya.

“Aku hamil, Bunda ...!”

Suara itu kecil. Tapi aku mendengarnya!

Apa? Raya HAMIL?????

Segera kutatap wajahnya dari atas tangga.

Aku tak sanggup. Aku terisak, menatap wajahnya yang pucat. Matanya yang celong.

“SIAPA??!” Aku membentaknya dalam isak yang berusaha kutahan. Sesak.

“A-ay-ayahhh ...,” jawabnya lemah.

Ia lunglai, luruh ke lantai. Pingsan.

Oh putriku, aku berlari memeluknya. Ternyata aku tak bisa membenci seutuhnya. Kenapa naluri keibuanku mengalahkan amarahku. Aku benci pada diri sendiri.

“Susterrrrr tolooonnngg!” teriakku sembari memeluknya. Menciumnya, ‘aku rindu kamu Raya,’ bisikku di antara tangisan.

*

Dua orang yang telah memporakporandakan hidupku, kini kutatap dalam kondisi terbaring tak berdaya. Raya masih belum siuman.

Sementara Reo masih koma dan belum bangun.

Ya, Rabb. Dalam keadaan mereka seperti ini, siapa lagi yang paling bertanggung jawab kalau bukan aku. Aku ibunya, aku istrinya, meski kenyataannya aku dihancurkan oleh dua orang lemah tak berdaya itu saat ini.

Dokter bertanya, “Mana istri Bapak Reo, siapa Ibu saudari Raya.”

Lalu semua saran dokter, nasehat, masukan, obat-obat, perawatan selanjutnya dan SOP lainnya, semua disampaikannya padaku.

Dokter teramat yakin menitipkan proses kesembuhan mereka padaku, ibu dan istri mereka. Padahal bisa saja, aku justru berharap mereka berdua mati saja saat ini.

Entah bagaimana rasa hati ini. Seandainya saja mereka tak pernah melakukan pengkhianatan itu. Saat ini pasti aku adalah istri dan ibu paling bersedih sedunia, menyaksikan dua orang yang paling kusayangi berada dalam kondisi paling lemah dalam hidupnya.

Aku sendiri saat ini sudah tidak tahu dengan hatiku, benci atau iba, marah atau kasihan. Semua campur aduk jadi satu, nenyisakan sesak dalam jiwa.

Siapa yang tak benci melihat dua orang yang disayang menusuk dengan belati dari belakang. Namun siapa pula yang tak iba menyaksikan orang yang sesungguhnya paling kita sayangi, terkapar lemah tanpa daya.

Aku puas menangis di ruangan ini. Ruangan yang aku bayar khusus untuk dua pasien istimewa ini. Agar aku bebas melihat mereka, tak ada yang mentertawakan karena rindu pada orang yang berkhianat. Agar aku bebas juga jika sewaktu-waktu ingin membunuhnya.

Tanpa sadar aku menjerit. Berkali-kali.

Apa yang harus aku lakukan kedepan? Siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kehamilan Raya, Reo? Siap-siap aku ditertawakan dunia. Jika aku meminta Raya membunuh janin itu, setan-setan yang akan puas mentertawakanku.

Sementara Reo koma dan tak tahu akan sampai kapan ia terbangun. Bagaimana jika kolegaku tahu bahwa Raya hamil. Sementara lagi yang mereka tahu akulah ibunya. Apakah harus jujur kepada mereka, bahwa yang menghamili Raya adalah Reo? Ya Rabbi .... Kenapa beban dan hukuman ini Engkau beri untukku.

Mereka yang berbuat, aku sakit. Mereka sakit, aku yang harus berbuat untuk mereka saat ini. Mereka berzina, aku yang harus menanggung malu, tidak hanya saat ini, tapi seumur hidup akan malu.

Bagaimana mungkin aku tidak bisa menjaga suamiku, anakku sendiri. Mungkin itu penilaian dunia kepadaku.

Arrrggggh! Kepalaku sakit. Aku berteriak berkali-kali. Tak bisa kukendalikan dan kutahan emosi yang memuncak.

Tak mampu pula menghiraukan Goncangan-goncangan Rany yang berusaha menyadarkanku.

“Istighfar, Bu. Istighfar. As-tagh-fi-rullah- hal-adziiiimmm .....” ejanya menuntunku.

Aku mencoba mengikuti permintaan Rany, “Astaghfirullah hal adzimm,” kuulang berkali-kali, tapi kemudian terus menangis keras.

Rany berlari memanggil Suster.

“Suster, Dokter, toloooongg!” teriaknya.

Ia segera menelepon seseorang. Aku masih bisa mendengar suaranya di antara teriakan dan tangisanku sendiri yang tak bisa aku hentikan.

“Pak Rama, tolong ke rumah sakit Siloam segera. Bu Amel berteriak-teriak tanpa henti!”

Itu nama Papa.

Ia kemudian menjelaskan kejadiannya kepada Papa.

Suster dan Dokter masuk ke dalam ruangan menenangkanku.

“Depresi ...?” ucap Rani sembari mendengar arahan dari balik telepon.

Kutepis pikiran negatif dalam hati, kuhalau frustasi yang merajai, bukankah itu kata Rany dan suara di seberang sana. Bukan kata Dokter.

“Ran, ambilkan mukena, aku ingin segera shalat sunnah dan berzikir,” ucapku.

Sekuat tenaga aku mencoba kembali menetralkan perasaan, menghadap-Nya.

Tapi tak bisa, sedetik kemudian aku menjerit, menangis dan tertawa berbarengan.

Rabb, kenapa aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri? Suster-suster memegangi tanganku yang meronta.

“Kita bawa Bu Amel dalam ruang perawatan khusus dulu, Sus,” ucap Dokter jaga.

TO BE CONTINUED PART 6.

Seperti samudera dan benua-benua yang indah, namun sulit terdefiniskan, seperti itu pula luka dan nyeri dalam jiwa, yang tersamarkan oleh cinta yang sempat ada, namun pergi dan menghilang entah kemana (Amelia)

Terima kasih sudah menyimak, semoga ada hikmah/ibroh dari cerita ini nantinya.

Bantu klik love-nya and komen, dan masukkan ke dlm daftar bacaan tmn2, yah. Makasih udah bantu akun ini bertumbuh.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g gila aja sekalian. terlalu tolol dan lemah itu makanya kamu dikhianati
goodnovel comment avatar
Fahmi
Amelia pergi entah kemana
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status