Share

1. ANDHIRA BHANURESMI

Dhira menjejakkan kakinya di Stasiun Tugu. Ini pertama kali dia datang ke Yogya sendirian. Biasanya Dhira selalu datang bersama keluarga atau teman-temannya yang tentu saja setelah melewati perdebatan panjang bersama kedua kakak lelaki yang sangat berlebihan menjaga adik perempuan satu-satunya itu. Kedua orang tua mereka hanya menjadi penonton yang baik melihat keributan ketiga anaknya. Plus si bungsu yang memilih masuk ke dalam kamarnya dan bermain game.

Langit dan Banyu tidak habis pikir kenapa adiknya sangat ngotot ingin kuliah di Yogya. Padahal kalau mau mengambil jurusan hukum dan menjadi pengacara handal, Dhira bisa kuliah di Bandung. Nilai-nilainya yang nyaris sempurna membuat Dhira bisa lolos dengan mudah. Namun Dhira menjawab kalau kedua kakaknya itu juga memilih kuliah di luar kota, bukan di Bandung. Langit dan Banyu merasa wajar jika mereka kuliah di Jakarta dan Yogya karena mereka anak laki-laki.

Banyu sudah menawarkan opsi agar Dhira kuliah di Jakarta saja. Setidaknya Jakarta – Bandung bisa ditempuh dalam beberapa jam perjalanan. Tidak sejauh Yogya. Tapi Dhira bergeming. Begitulah, walaupun perempuan, Dhira mewarisi dengan baik sifat keras kepala di keluarga itu. Dhira memiliki seribu jawaban untuk membantah ucapan Langit dan Banyu. Apalagi Fauzi dan Anita sama sekali tidak ikut campur. Kedua orang tua paruh baya ini menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Dhira.

Sejak anak-anaknya masih belia, Fauzi dan Anita memang sudah mengajarkan kepada mereka untuk bisa berpikir kritis. Semua kegiatan sekolah maupun di luar sekolah yang dipilih oleh anak-anaknya akan melewati diskusi panjang. Anak-anak terbiasa mengemukakan serta mempertahankan pendapat yang mereka yakini kebenarannya. Mereka juga sudah belajar tentang tanggung jawab dan resiko. Kebebasan berbicara dan menjatuhkan pilihan menjadi satu-satunya kemewahan yang bisa dirasakan oleh keempatnya.

Menjadi anak dosen yang dua-duanya memiliki gelar profesor, tentu menjadi beban tersendiri bagi Langit, Banyu, Dhira, dan si bungsu Kaiva. Beruntungnya, Fauzi dan Anita bukan orang tua yang berpikiran sempit. Mereka tidak pernah menuntut anak-anaknya untuk selalu menjadi juara kelas atau menang dalam berbagai lomba. Keempat anak mereka tumbuh seperti anak-anak lainnya. Tetap punya waktu bermain yang cukup. Jika akhirnya mereka bisa memiliki nilai yang menonjol, itu karena mereka belajar dengan suasana hati bahagia, tidak ada paksaan.

Dhira memang berbeda. Untuk ukuran anak seusianya, tontonan Dhira sangat tidak biasa. Dhira senang melihat dan mempelajari kasus-kasus kejahatan yang melibatkan para pakar hukum. Jika dirunut dalam keluarganya, tidak ada satupun yang berkecimpung dalam dunia hukum. Fauzi merupakan seorang arsitek yang akhirnya memilih berkarir sebagai dosen untuk mengabdikan ilmunya. Anita pun sama, memilih menjadi dosen ekonomi di salah satu kampus swasta di Bandung. Ditelusuri lagi ke atas, orang tua Fauzi adalah seorang pedagang sedangkan bapaknya Anita adalah guru dan ibunya seorang ibu rumah tangga.

Meski begitu, Fauzi dan Anita tidak pernah membatasi ruang gerak Dhira. Apapun yang menjadi minta sang anak, asal positif pasti mereka dukung sepenuhnya. Seiring bertambahnya usia, keingintahuan Dhira terhadap dunia hukum malah semakin menggurita.   

***

Keluar dari kereta, Dhira berdiri sejenak di pinggir peron. Menghirup dalam-dalam semerbak udara Yogya yang terasa begitu romantis. Dhira mengisi penuh rongga paru-parunya dengan aroma mistis yang dipercaya bisa membuat siapapun yang datang ke Yogya pasti akan kembali lagi. Beberapa tahun ke depan, aroma udara inilah yang akan Dhira hirup setiap detik.

Sebelum ini Dhira pernah ke Yogya. Apalagi dulu juga Banyu kuliah di sini. Banyu baru lulus beberapa bulan lalu. Sekarang sedang menunggu beasiswa untuk melanjutkan S2 nya di Jepang. Sedangkan Langit baru saja diterima sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Bandung. Langit yang memiliki otak sangat cemerlang menyelesaikan S1 dan S2 nya kurang dari enam tahun. Prestasi yang lumayan sulit untuk ditandingi oleh adik-adiknya. Langit mampu menancapkan pondasi luar biasa sebagai anak sulung yang harus memberikan teladan kepada ketiga adiknya.

Jika Langit dan Banyu memperlihatkan ketertarikannya dalam bidang akademik, berbeda dengan Dhira. Gadis ini lebih menyukai dunia hukum. Menjadi pengacara adalah impiannya sejak SMP. Dhira ingin menjadi pengacara yang bisa membela rakyat kecil secara gratis. Dia sering geram melihat hukum selalu tumpul jika sudah menghadapi orang-orang yang punya uang dan kekuasaan.

Dhira juga punya cerita tidak enak ketika dia duduk di bangku sekolah dasar. Sahabat dekatnya yang juga teman sebangku Dhira tiba-tiba saja pindah sekolah. Dari berita yang beredar, Dhira mendengar kalau ayah temannya ini melakukan korupsi dan harus di penjara. Ibu temannya Dhira memilih untuk pergi karena malu dan tidak sanggup menghadapi omongan orang-orang di sekitarnya. Dalam beberapa hari, semua televisi ramai menyiarkan berita ini.

Lalu beberapa bulan kemudian, Dhira mendengar kabar dari bapaknya kalau ayah temannya ini terbukti tidak bersalah. Saat itu, dia sedang melaksanakan ibadah haji dan anak buahnya memalsukan tanda tangan dia dalam beberapa dokumen keuangan.

Meski akhirnya bebas, namun tetap tidak bisa begitu saja memulihkan kondisi psikis  keluarganya. Hujatan demi hujatan dari masyarakat sudah terlanjur mereka terima. Bahkan ketika terbukti tidak bersalah pun, sebagian masyarakat menilai bahwa semua itu hanya rekayasa saja.    

Dhira masih ingat bagaimana sahabatnya berpamitan dan menangis tanpa henti. Kejadian itu terekam dengan sangat baik dalam memori Dhira.

“Terima kasih ya Dhir, masih mau berteman sama aku. Padahal aku anak koruptor.” Ucap sahabatnya disela tangis yang tak kunjung mereda. Mereka berpelukan dengan bahu yang sama-sama terguncang menahan tangis.

Tidak ada obrolan panjang yang biasanya menjadi rutinitas mereka. Kedua anak remaja itu hanya diam seribu bahasa. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Jauh di lubuk hatinya, Dhira mengatakan dia akan menjadi seorang pengacara yang bisa membela orang baik seperti ayah temannya itu.

“Bapak yakin, orang tua teman kamu itu tidak bersalah. Dia orang baik. Bapak kenal dia. Hidupnya sangat lurus. Kita doakan semoga mereka baik-baik saja. Tuhan pasti akan menjaga mereka.” Fauzi menghibur Dhira yang masih berdiri kaku melihat kepergian sahabatnya.

Dhira sudah berada di luar stasiun. Matanya berkelana mencari orang yang akan menjemputnya. Begitulah, walaupun Dhira diberikan izin berangkat sendirian ke Yogya, tapi Banyu tetap saja bersikeras menyuruh temannya yang masih ada di Yogya untuk menjemput Dhira. Sebelumnya, Langit dan Banyu sudah mencarikan tempat kost untuk Dhira. Mereka sama sekali tidak peduli dengan Dhira yang marah-marah tidak terima.

“Terima saja, Dhir. Ibu jug setuju kakak-kakakmu yang mencarikan tempat kost. Ibu jauh lebih tenang. Kamu harusnya bersyukur karena masih ada yang menjagamu.” Ucapan Anita membungkan sumpah serapah yang keluar dari mulut Dhira. Jika ibunya sudah berkata seperti itu, mau tidak mau Dhira hanya bisa pasrah menerima.

Dhira tahu, mereka bersikap demikian karena menyayanginya. Hanya saja, Dhira sering merasa jengah karena merasa diperlakukan seperti anak kecil. Kemana-mana selalu ditemani. Kalau kedua kakaknya tidak bisa, maka Kaiva yang menjadi korban menjadi bodyguardnya. Awalnya Kaiva sering menolak. Namun, akhirnya dia malah bekerja sama dengan Dhira. Mereka keluar dari rumah bersama, lantas berpisah di tengah jalan.

Setelah hampir sepuluh menit, akhirnya Dhira melihat seseorang membawa sebuah kertas bertuliskan Andhira. Sebelum menghampiri lelaki itu, Dhira terlebih dahulu membuka gawainya dan mencari pesan dari Banyu. Tadi pagi kakaknya itu mengirimkan foto temannya yang akan menjemput Dhira.

Dhira memperhatikan foto itu dengan seksama. Wajahnya berbeda dengan lelaki yang sedang memegang kertas betuliskan namanya. Karena penasaran, Dhira segera menghubungi Banyu dan menjelaskan kalau orang yang menjemputnya itu berbeda dengan foto yang Banyu kirim.

Teman Aa nggak bisa jemput. Jadi yang jemput kamu namanya Dimas.

Banyu mengirimkan pesan kepada Dhira disusul foto laki-laki yang wajahnya sama dengan orang yang sedang dia pandangi.

“Maaf Mas, kalau boleh tahu namanya siapa ya?” Dhira bertanya kepada lelaki muda yang membawa kertas tadi.

“Mbak Andhira ya?” Lelaki itu malah balik bertanya.

“Iya, saya Andhira. Masnya siapa ya?”

“Gue Dimas Mbak. Kenalkan, Dimas Mahendra.” Dimas mengulurkan tangannya kepada Dhira mengajak bersalaman.

“Andhira Bhanuresmi. Bisa dipanggi Dhira aja.” Dhira menyambut uluran tangan Dimas.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status