Share

2. CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA

“Foto siapa, Bang? Selingkuhan ya? Manis banget.” Dimas memandang Rama yang sibuk dengan foto di gawainya lalu menjatuhan tubuhnya di kasur milik sepupunya itu.

“Enak aja nuduh selingkuhan. Gini-gini gue cowok setia.” Rama melempar bantal ke arah Dimas.

“Terus itu siapa? Kok fotonya ada di elo?”

“Adeknya temen gue. Dia mau kuliah di sini. Besok dia datang. Berhubung dia anak cewek satu-satunya, jadi teman gue ini nyuruh gue yang jemput ke stasiun. Cuma gue bingung. Besok gue ada janji ketemu dosen. Gue nggak tahu ketemu jam berapa terus  beresnya jam berapa. Dosen gue cuma bilang besok gue harus standby di kampus.” Rama menyimpan kembali gawainya.

“Ya udah, gue aja yang jemput.” Dimas menyahut singkat.

“Serius? Tumben Lo mau? Lo kesambet apaan?”

“Sekali-sekali berbuat baik lah.”

“Beneran Lo bisa gantiin gue jemput dia?” Rama masih tak percaya kalau Dimas bisa menggantikannya. Biasanya Dimas nyaris nggak peduli dengan sekitarnya.

“Ya ampun, Bang. Lo nggak percaya amat. Iya Bang, gue bisa jemput adeknya temen lo itu. Mana fotonya? Kirim ke gue ya.” Dimas memeluk bantal yang tadi dilempar Rama kepadanya.

“Oke. Ngomong-ngomong lo ngapain ke sini?” Rama memandang penuh curiga.

“Gue lagi males di kamar gue. Sepi. Enak di sini.” Dimas menjawab tak acuh.

“Lo nggak ada kuliah?”

“Ada. Ntar sore. Sekarang gue mau tidur Bang. Lo jangan ganggu ya.”

“Elo yang ganggu gue. Dasar adek gak tahu diri lo.” Sebuah jitakan mendarat mulus di kepala Dimas. Jika bukan Rama yang melakukannya, tentu Dimas sudah marah dan membalas perlakuan tersebut.

Rama adalah kakak sepupu Dimas. Ayahnya Rama adalah kakaknya Yashinta. Perbedaan umur mereka yang hanya dua tahun, menjadikan keduanya bisa akrab. Apalagi Dimas tidak memiliki kakak atau saudara laki-laki. Dimas kuliah di Yogya juga salah satu alasannya karena ada Rama yang bisa menemaninya. Atau lebih tepat jika dibilang Rama adalah sekutunya untuk menghindar dari pengawasan keluarga Dimas.      

Orang tua Dimas sudah membeli apartemen untuk ditempati oleh anaknya itu. Tentu saja Dimas menolaknya. Perdebatan luar biasa alot pun terjadi. Berujung kepada Dimas yang mengalah menerima keputusan orang tuanya.

Yang tidak diketahui kedua orang tua Dimas, anaknya itu menyewa sebuah kamar persis di bawah kamar Rama. Otomatis Dimas lebih banyak menghabiskan waktunya di kost-an daripada di apartemennya. Tugas Rama adalah meyakinkan kedua orang tua Dimas bahwa Dimas selalu ada di apartemen dan Rama yang menemaninya.

Sebagai orang yang mengenal Dimas dan keluarganya sejak kecil, Rama tahu betapa besar nama dan tanggung jawab yang dipikul oleh seorang Dimas Mahendra. Adik sepupunya itu tidak memiliki kebebasan seperti anak-anak lainnya. Dimas selalu bersekolah di sekolah internasional pilihan orang tuanya. Entah apa yang sudah dilakukan Dimas hingga dia diizinkan kuliah di Yogya. Padahal setau Rama, kedua orang tua Dimas sudah menyiapkan anaknya itu untuk kuliah di luar negeri.

Rama tidak keberatan membantu Dimas dengan kebohongannya. Bagi Rama, kebahagiaan Dimas jauh lebih penting. Rama tahu, Dimas tidak akan melangkah ke hal-hal yang tidak baik. Hanya Rama yang bisa memahami kondisi Dimas. Sosok Rama yang baik dan sangat penurut di mata orang tua Dimas, menjadi senjata utama dalam menutupi apa yang terjadi sebenarnya.

***

Malamnya, Dimas terus saja memandangi foto yang dikirim Rama tadi siang. Ada getaran halus di hatinya yang begitu mengganggu Dimas ketika dia melihat wajah itu untuk pertama kalinya tadi.

Perempuan itu bernama Andhira. Memiliki wajah oval dengan senyum yang sangat memikat. Dia tidak cantik. Tapi sangat manis. Itulah yang Dimas suka. Kulit wajahnya tidak putih apalagi glowing seperti kebanyakan perempuan. Andhira memiliki kulit coklat eksotik. Kontras dengan gigi putihnya yang terlihat jelas ketika dia tertawa di foto itu.

Selama ini, Dimas belum pernah menyukai seorang perempuan. Sampai SMA, perempuan di sekitarnya adalah mereka yang memiliki status sosial sama dengan Dimas. berasal dari keluarga kaya atau sangat kaya di Jakarta. Bukan hal aneh bagi Dimas melihat teman-teman perempuannya melakukan perawatan mahal bahkan sampai operasi plastik di luar negeri untuk mendapatkan wajah yang cantik. Dimas merasa semuanya penuh kepalsuan. Mereka berlindung dibalik topeng kepura-puraan.

Dimas yakin, meski memiliki wajah rupawan, perempuan-perempuan itu tidak akan mendekatnya jika Dimas bukan pewaris utama keluarga Mahendra. Nama belakangnyalah yang menjadi nilai jual tak ternilai bagi Dimas. Bukan tampangnya apalagi isi otaknya. Siapa yang akan peduli kalau Dimas menduduki peringkat paling akhir di sekolah? Selagi nama Mahendra melekat padanya, hidup Dimas seolah dijamin akan baik-baik saja.

Dimas tumbuh berbeda. Dia tidak menyukai semua kemewahan yang diberikan kedua orangtuanya. Ketika kecil, Dimas sering kabur dari rumahnya untuk bermain dengan anak-anak di kampung belakang komplek perumahan mewah yang dihuninya. Seketat apapun penjagaan di rumahnya, Dimas selalu sukses kabur tanpa ada keributan.  

Sesekali Dimas juga bolos sekolah dan ikut berangkat ke sekolah dengan teman-teman barunya dari kampung belakang. Penampilan Dimas yang berbeda dengan siswa lain di sekolah itu tak dihiraukannya. Dimas merasa senang bisa bermain dengan mereka. Wajah-wajah polos yang penuh ketulusan.

Esoknya, orang tua Dimas dipanggil ke sekolah karena kemarin Dimas tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Tentu saja Dimas diam seribu bahasa saat dimarahi. Bosan karena tidak ada reaksi dari sang anak, Cipta memilih memperketat penjagaan terhadap Dimas. Sopir yang biasa mengantar anak-anaknya sekolah, kini wajib menunggu di sekolah sampai mereka bubar. Dimas tidak bisa lagi kabur seenaknya.

Sikap pembangkang Dimas terus berlangsung bahkan semakin menjadi-jadi ketika dia di SMU. Sekali waktu, Dimas kabur dari rumah sampai seminggu lamanya. Dia baru pulang setelah ditemukan sopirnya secara tidak sengaja.

Akhirnya Cipta sadar, tidak ada gunanya menggunakan kekerasan terhadap anak sulungnya itu. Semakin dia bersikap keras, Dimas malah semakin melawan. Hal inilah yang membuat Cipta sedikit melunak ketika Dimas memutuskan untuk kuliah di Yogya. Tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. 

Dimas kembali ke foto di depannya. Kini dia tahu, mata gadis itulah yang sudah menariknya ke dalam pusaran bernama cinta. Konyol memang. Dimas bisa mengatakan dia jatuh cinta hanya karena melihat binar di mata Andhira. Bahkan dengan yakin Dimas menyimpulkan kalau dia jatuh cinta pada pandangan pertama. Sesuatu yang terdengar absurd namun mampu memporakpodakan perasaan Dimas.

Malam itu terasa sangat panjang bagi Dimas. Dia nyaris tidak bisa tidur karena membayangkan pertemuan pertamanya dengan Andhira. Dimas sangat gugup. Hal yang belum pernah terjadi sama sekali dalam hidupnya.

Apakah gadis itu masih sendiri? Pikiran itu tiba-tiba saja melintas di benak Dimas. Rasanya tidak mungkin gadis dengan wajah semanis Andhira tidak memiliki pacar. Namun cepat ditepisnya kemungkinan yang membuatnya gusar tersebut. Dimas memilih untuk tidak peduli dan mengenyahkan pikiran itu dari otaknya. Dimas bertekad dia harus bisa memiliki Andhira.  

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status