Saat ini Syila sedang duduk di bangku kantin bersama kedua sahabatnya. Ia mengaduk-aduk es teh di hadapannya dengan malas. Wajahnya muram. Ia bahkan tak antusias mendengar kelakar Marsya dan Alyaa. Pikirannya masih terdistrak oleh insiden baru tadi. Ia menyesal dan tak menyangka takdir akan mempertemukan mereka lagi.
"Hei, wajahmu ditekuk terus, ada apa? Lagi kurang bahagia ya?" celetuk Marsya mengganggu ketenangan Syila. "Mau bahagia bagaimana, hari ini laki-laki menyebalkan itu muncul lagi?" Kepala Syila mendongak ke sembarang arah. "Laki-laki? Maksudmu yang kemarin sudah buat kamu terlambat ikut bimbingan?" tanya Marsya. Syila mengangguk tak bersemangat. "Whuahaha, benar kan apa yang aku bilang?! Kamu pasti bertemu dia lagi." Marsya tertawa mengejek. "Jangan-jangan ini awal kalian berjodoh," sambung Alyaa meledek. "Ih, kalian itu tidak asyik banget sih! Bukannya menghibur malah tambah buat kesal." Syila makin memperlihatkan raut masamnya. Syila mencurahkan betapa jengkelnya ia ditatap memuakkan oleh lelaki tadi. Niat menjejakkan biru di wajahnya sudah bercokol di ubun-ubunnya saat lelaki itu memangkas jarak wajah keduanya. Akan tetapi, niat tersebut diurungkannya demi menjaga citra diri dan kampusnya. “Ah, kalian sama saja menyebalkannya dengan dia,” gerutu Syila. "Kita juga lagi hibur kamu loh. Kan kita berpikiran positif siapa tahu saja dia jadi cinta sejati kamu." Marsya melepaskan tawa yang makin menjadikan Syila dongkol. "Memang siapa sih nama laki-laki itu? Siapa tahu kami kenal terus bisa makin mendekatkan kalian ke jenjang yang lebih serius dan meyakinkan." Alyaa membenarkan rambut depannya kemudian bersedekap sembari menatap Syila penuh gelak. “Marsyaaaa! Alyaaaa!” Syila melipat bibirnya sembari membuang pandangannya ke arah lain. Ia mendengus kesal mendengar tawa kelakar sahabat-sahabatnya yang kian pecah. "Aku tidak peduli siapa nama laki-laki itu. Yang jelas aku tidak mau bertemu dia lagi. Amit-amit aku cinta dengan laki-laki seperti dia." Syila balik menatap Alyaa. Bibirnya yang tipis terlihat manyun. "Awas jilat lidah sendiri loh," teror Marsya. Syila diam. Ia sadar, melanjutkan perdebatan ini hanya akan membuatnya semakin terpojok dan tawa sahabat mereka semakin meledak. "Ciee diam….salah tingkah ya?" Marsya masih melanjutkan tawanya. “Dia pasti baper,” timpal Alyaa. Syila membungkam telinganya. Wajahnya sudah tak menampilkan keceriaan. Ia hanya membatin agar hatinya berkenan memaklumi tingkah para sahabatnya. Lagipula mana mungkin ia bisa sakit hati atas niat baik sahabatnya yang sekedar ingin melihat senyumnya. "Alyaa, hari kamu kemarin bagaimana? Ada cerita baru kah?" Akhirnya Marsya mengalihkan pembicaraan ke topik lain. "Ada dong," kata Alyaa. "Apa?" Marsya antusias penasaran. "Kemarin aku dapat tawaran kerja paruh waktu sebagai guru les privat," jawab Alyaa. Marsya dan Syila terkejut. Mereka langsung menghujani Alyaa dengan rentetan pertanyaan. Kali ini Syila lebih banyak bertanya setelah tahu majikannya adalah seorang bujangan. Ini kesempatan baginya membalas ledekan Alyaa. Ia bertanya mulai dari siapa majikannya, apa profesinya, bagaimana orangnya, seperti apa keluarga, dan macam-macam pertanyaan lainnya. Ada beberapa yang bisa Alyaa jawab dan ada yang tidak. Karena ia belum mengenal betul majikannya itu. "Cieee baru kenal sudah panggil-panggil Mas," ledek Marsya. Ia benar-benar pakarnya membuat ledekan. "Ya wajarlah aku panggil dia ‘Mas’. Usia dia lebih tua dari aku dan belum menikah. Lagipula dia kan majikan aku. Rasanya tidak sopan kalau aku langsung panggil namanya," jawab Alyaa sambil menggerutu. "Ngomong-ngomong, dia sudah punya kekasih belum?" tanya Syila menyeringai. "Mana aku tahu lah," jawab Alyaa tegas. "Iiih mengapa jadi aku yang dirundung sekarang sih? Sebal, deh!" Alyaa kabur dari kantin karena ia sadar wajahnya sedang memerah. Bukan karena merah marah, tapi merah karena tersipu. "Hai, kok mengambek? Baper nih? Alyaa! Al!" Marsya mengikuti Alyaa untuk melanjutkan ledekannya. Sementara Syila masih di kantin. Ia tak tertarik lagi menyamber ledekan-ledekan Marsya. Ia saat ini sedang ingin tenang. Lagipula ia harus segera pulang. Maka ia bergegas menghabiskan pesanannya. *** Usai menghabiskan segelas es teh di kantin, Syila segera pulang. Ia pulang melalui gerbang kampus bagian samping. Menurutnya, di sana suasananya lebih tenang. Ia sedang tak berminat membebani harinya dengan keramaian manusia. Ia harus konsentrasi pada persiapan sidang skripsinya pekan depan. Ketika ia berjalan menuju gerbang tersebut, dari kejauhan ia mendapati sosok lelaki yang ia tabrak pagi ini. Ya, Rendi. Ia sedang mengambil beberapa boks dari bagasi mobil yang menurut penerawangan Syila akan didistribusikan ke gudang kampus. Sial bagi Syila. Rendi melihat dirinya sedang memperhatikan Rendi. Rendi sontak tersenyum manis sembari mengacungkan ketiga jari kanannya membentuk angka tiga. Syila memutar malas bola matanya kemudian berlalu pergi. "Loh, Mas Rendi?" Seseorang dari belakang Rendi memanggilnya. Rendi lalu berbalik badan. "Alyaa? Kamu di sini?" Rendi senang bertemu guru les adiknya. "Saya kan kuliah di sini. Mas Rendi sendiri ada apa ke sini?" Alyaa bertanya balik dengan wajah berseri. "Oh iya ya.” Rendi menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Saya sedang kerja. Kebetulan saya diminta antar pesanan alat tulis kantor ke sini. Tapi tidak menyangka ya kita bisa bertemu di sini. By the way, manggilnya masih ‘Mas’ aja?" Rendi terkekeh sambil membopong boks-boks lainnya. "Iya, Mas. Tidak masalah, kan? Bagaimana pun juga Mas Rendi ini bos saya, hehe." “Al.” Tiba-tiba Rendi menyentuh pundak kiri Alyaa. Sontak pandangan Alyaa terhenti di titik menatap Rendi. Dirinya merasa seolah ada semilir angin panas yang menerpa sekujur tubuhnya. “Meskipun saya atasan kamu, saya tidak mau bawahan saya merasa tertekan. Lakukan apa pun yang membuat kamu nyaman,” ujar Rendi lalu menurunkan lengannya. Alyaa mengangguk gagap. “Kamu masih ada jadwal kuliah, kah?” tanya Rendi dan dijawab gelengan kepala oleh Alyaa. Ia sudah tak punya mata kuliah selain skripsi. Ia juga tak punya agenda lain lagi usai menyelesaikan pertemuan dengan Marsya. “Setelah pekerjaan saya selesai, kamu ikut saya ya?” ajak Rendi penuh harap. Alyaa setuju. "Saya boleh bantu tidak?" Alyaa menawarkan bantuan. "Boleh banget lah. Terima kasih, ya," ujar Rendi. Alyaa membantu Rendi menurunkan boks yang masih tersisa di bagasi. Kemudian mereka membawa boks-boks tersebut ke gudang kampus. ***Sore yang sempat diselipi hawa ketegangan—perlahan mereda oleh obrolan-obrolan receh antara Rendi dan Syila. Keduanya masih duduk bersisian di trotoar persis sebelah rumah Rendi. Mereka bersamaan menghirup udara sore yang menenangkan di tengah lalu lalang kendaraan yang memadati jalan. “Jadi? Masih mau diam atau udah bersedia cerita?” anya Syila pelan, suaranya setenang mungkin, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.Rendi menggeleng, ia tak ingin membahas apa pun yang berkaitan dengan foto di jaket tadi. Syila pun mengangguk, mencoba memakluminya.“Udah semakin sore, kamu mau saya antar pulang?” tawar Rendi mengalihkan pembicaraan.Syila menerawang langit—sedang berpikir. Namun, belum selesai menimbang, sebuah mobil hitam membunyikan klakson dan berhenti tepat di hadapannya. Wajahnya seketika tegang lagi. Terpancar raut kegugupan dan ketidaknyamanan di wajahnya.Tak salah lagi, Syila tak keliru mengenali mobil itu. Pengemudi mobil itu menurunkan kaca jendela mobil
Hari ini Syila membantu Lisa mengerjakan PR-PR bahasa Inggrisnya yang lumayan banyak. Ada dua puluh lima soal esai yang harus dikerjakan Lisa. Tapi itu tak jadi masalah baginya selama ada Syila yang menuntunnya mengartikan kata demi kata yang tidak ia mengerti. Syila juga amat santai memberikan tuntunan materi bahasa Inggris kepada gadis kecil yang sudah seperti adiknya sendiri. Sesekali tugas terhenti karena Lisa harus mencari kosakata yang tidak ia ketahui lewat kamus. Selain itu, mereka juga mengisi pembelajaran dengan bercakap-cakap agar suasana tidak jenuh. Tiba-tiba ponsel Syila bergetar di sampingnya. Ia melirik sejenak—nama Arfan tertera di layar. Ia terpaku sesaat, jempolnya nyaris bergerak untuk menerima telepon tersebut. Namun, niatnya diurungkan. Ia hanya mengecilkan volume dering dan membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja.“Maaf, Kak, aku masih perlu sedikit waktu,” batin Syila sebelum melanjutkan pembelajaran. Disela pembelajaran, Syila mengeluarkan buku hasil me
Menjelang sore hari, Syila duduk di kursi ruang tamu rumahnya. Tangannya berkutat dengan ponselnya. Ia sedang mencari berita terbaru terkait tes CPNS yang pendaftarannya dibuka dua minggu lagi. Ia masih menyimpan harapan bisa berangkat ke Solo. Setelah bekerja di rumah Rendi selama satu minggu, ia merasa uang tabungannya sudah bisa mencukupi kebutuhannya di Solo kelak. Terlebih Rendi membayar jasanya setiap pertemuan yang hanya berlangsung dua jam dengan harga seratus ribu rupiah. Angka yang cukup besar. Ia pun sempat menolak digaji setinggi itu. Namun, Rendi paham dengan kebutuhan dirinya sehingga dia memberikannya upah sebesar itu. Dikalikan dengan lima hari, uang itu sudah cukup bagi ia bertahan hidup dua hari di Solo. "Pendaftaran dua minggu lagi dibuka. Kira-kira formasi apa aja yang bakal tersedia ya?" pikir Syila mengamati layar ponselnya. "Semoga aja ada formasi yang nggak jauh dari Cilacap," harap Syila. Saat tengah asyik bermain ponsel, Bu Sukma datang menghampiri Syila.
Malam penuh bintang kembali menyapa. Angin malam menyejukkan badan yang penat. Tubuh yang terasa lemah kini lebih bergairah tersebab menatap keramaian langit. Sekarang, Syila baru saja memasuki kamarnya. Ia menata kasurnya sebelum ia tiduri. Sesekali, ia mengembuskan napas panjang, membiarkan pikirannya berkelana bersama gemintang yang berserakan di langit.Saat berbenah kamar, matanya tak sengaja melihat jaket hijau milik Rendi yang tergantung di balik pintu. Jaket itu sudah lumayan lama ada di sana sejak terakhir ia mencucinya. Setelah beberapa waktu, jaket itu berhasil menarik perhatian dan ingatannya. Ia pun meraih jaket itu, mengelus permukaannya sejenak, lalu bergumam lirih, "Besok aku harus kembalikan jaket Mas Rendi. Sekalian sama sapu tangan yang dulu juga."Tangan Syila refleks merogoh saku kanan dan kiri jaket itu. Ia menemukan sebuah foto ukuran 6x8 cm yang sudah lusuh karena terlipat. Dengan alis mengernyit, ia membuka lipatannya dan menatap foto tersebut. Ada seorang an
Perjalanan menuju terminal sore ini cukup bersahabat. Suasana jalanan belum terlalu ramai oleh orang-orang pulang bekerja. Rendi pun menikmati momen bersama Alyaa dengan lebih santai. Keduanya terlibat obrolan yang menyenangkan dan berusaha menghindari topik yang mengundang kesedihan.Rendi baru saja menceritakan kronologi kakinya yang pincang. Ia menyelamatkan Syila dari kecelakaan yang hampir merenggut keselamatan gadis itu. Karena aksinya itu, kakinya terserempet sehingga pincang.Alyaa tertegun mendengar cerita tersebut. Raut cemas jelas terpampang di wajahnya. Namun, ada perasaan lain yang mendadak timbul di benaknya. Hawa hangat tiba-tiba menjalar ke setiap anggota badannya kala mendengar nama Syila. Cerita Rendi menegaskan bahwa lelaki di sampingnya bertemu Syila Sabtu lalu. Alyaa masih sangat ingat, Syila mendadak pergi dari kedai. Sahabatnya bilang bahwa dirinya diminta pulang. Akan tetapi, hari ini ia mendengar fakta bahwa sahabatnya justru menemui Rendi di kantornya.“Jadi
Beberapa hari berlalu dengan suasana yang lebih baru. Hari ini cuaca cerah, langit membentang biru dengan awan tipis mengambang tenang. Namun, di balik keindahannya, ada nuansa sendu yang menggantung di hati Syila dan Marsya. Hari ini adalah hari keberangkatan Alyaa ke Jakarta, meninggalkan kota kecil tempat mereka bertiga tumbuh bersama.Di selasar rumah Alyaa, Syila dan Marsya duduk berdampingan, bersandar pada tiang kayu sambil menikmati semilir angin sore. Suasana sederhana, jauh dari hingar-bingar pesta perpisahan, namun penuh dengan kehangatan. Mereka berbagi cerita—tentang masa-masa kuliah dan hal-hal random yang pernah mereka lakukan, serta rencana masa depan yang tak mereka tahu apakah bisa dijalani bersama lagi.Sesekali tawa kecil mengiringi percakapan mereka, meskipun di sela-sela itu, ada kesadaran bahwa perpisahan semakin dekat. Syila menyodorkan sebuah bingkisan kecil ke arah Alyaa, matanya berbinar meski bibirnya sedikit gemetar menahan emosi."Kamu baik-baik di sana y