Syila masuk ke ruang dosen dan menemui pembimbing skripsinya. Ada hal penting yang hendak disampaikan pembimbingnya terkait skripsinya. Kini mereka saling berhadapan. Syila membuka lembar per lembar skripsi miliknya.
"Saya harap saat minggu depan kamu sidang skripsi, presentasikan apa yang sudah kamu susun dengan baik. Usahakan saat presentasi hindari pengucapan yang terbata-bata. Santai saja, tapi tetap fokus. Saya tidak mau skripsi keren seperti ini dipresentasikan dengan situasi yang berantakan. Jelaskan secara runtut!" dosen pembimbing skripsi Syila memberi petuah. “Oh ya, satu lagi, buat materi presentasi yang ringkas, ya.” "Baik, Bu. Saya akan lakukan yang terbaik." Syila menarik kedua ujung bibirya membentuk senyuman hangat. Syila beruntung bisa memperoleh pembimbing seperti dosen di hadapannya. Beliau sangat banyak membantu Syila. Beliau memang terkenal tegas dalam membimbing mahasiswa yang sedang dikejar skripsi. Namun, selama tahap revisi, beliau tidak pernah melontarkan kata-kata yang menyakitkan hatinya. Beliau dengan ramah menjelaskan hal-hal yang masih perlu dibenarkan dalam skripsinya. Terlebih lagi, kerudung panjang yang beliau kenakan semakin membuat Syila jatuh hati padanya. "Oh ya satu lagi, setiap kamu menjelaskan sesuatu, katakan juga dari mana sumbernya. Efisienkan waktu dengan bijak!" pesan dosen tersebut. Syila mengerti. Selepas urusan selesai dan Syila telah mendapat saran serta jadwal sidangnya, ia pamit keluar. Ia menyalami pembimbingnya. "Permisi, Bu." Syila berdiri. "Tunggu!" dosennya menahan. "Ada apa lagi, Bu?" tanya Syila kembali duduk. "Jangan permisi, tapi assalamualaikum. Saya juga seorang muslim," tutur dosen tersebut menyungging senyum. Syila mengangguk lalu berkata, "Assalamualaikum." "Wa'alaikumsalam," dosennya menjawab. Syila pun meninggalkan ruangan tersebut. Hari ini Syila tidak ada jadwal lagi. Ia pun berniat segera pulang. Namun, ketika ia membuka ponselnya, ada pesan dari Marsya yang memintanya ke kantin kampus. Ia pun segera ke sana. Tiba-tiba peristiwa yang ia benci terjadi. Bruk! Syila terlalu fokus memandang ponselnya sehingga tanpa sengaja ia menabrak seseorang dari arah berlawanan. "Duh maaf Mas, saya tidak sengaja," ucap Syila. Syila segera membantu orang yang ia tabrak untuk mengutip paket-paket yang jatuh. "Iya-iya." Orang tersebut menerima paket-paket yang sudah dirapikan Syila tanpa menatap si pemberi. Mereka kemudian berdiri dan saling mendongakkan kepala. "Loh? Kamu?" kata keduanya secara serempak dan saling menunjuk. "Sial sekali ya saya ini. Pagi-pagi sudah bertemu orang menyebalkan seperti kamu." Syila menurunkan telunjuknya. "Sial buat Mba, tapi beruntung untuk saya," kata orang tersebut membetulkan paket-paket di tangan kirinya. Rupanya orang tersebut adalah Rendi. "Beruntung? Beruntung apanya? Ingat ya! Mas itu pernah mengotori baju saya di jalan raya. Semua itu karena Mas mengebut di jalanan." Syila mengungkit tragedi dua hari lalu. Tragedi yang membuatnya sama sekali tak ingin bertemu dengan pelaku tragedi itu. "Saya masih ingat. Akibat insiden itu saya jadi terlambat kerja. Gara-gara kamu juga saya kena surat peringatan dari kepala divisi di HARI PERTAMA SAYA KERJA." Rendi menaikkan volume suaranya. Wajahnya seketika merah masam. "Kok jadi saya yang salah? Saya juga telat masuk kelas gara-gara Mas tidak mau tanggung jawab." Syila tak kalah kuat untuk menentang. "Haloooo! Uang seratus ribu itu tanggung jawab saya, ya. Jangan licik ya, Mba!" Rendi melebarkan pupil matanya. "Kalau tanggung jawab jangan setengah-setengah dong Mas, tuntaskan sekaligus! Uang kemarin tidak bisa menyelamatkan saya dari keterlambatan, you know that?" Syila menoleh ke arah lain. Wajahnya terlihat teramat beringsut. “Untung saja dosen pembimbing saya berkenan memaklumi keterlambatan saya,” cibir Syila lagi. "Dasar perempuan! Semua perempuan sama saja. Banyak maunya tapi tidak pernah mau mengerti. Dikasih hati minta jantung. Tidak ada rasa terima kasihnya sekali." Rendi mendengus kesal dan mulai menurunkan nada suaranya. Syila tersinggung dengan perkataan Rendi barusan. Ia menatap tajam manik mata Rendi. Rendi balas menatap sama tajamnya. Akhirnya terjadilah perang tatapan tajam. Namun, beberapa detik kemudian Rendi tersenyum licik layaknya serigala yang baru menemukan mangsa. "Tapi saya senang bisa bertemu kamu lagi. Saya baru tahu ternyata kampus sebesar ini bersedia menerima perempuan cerewet dan menyebalkan seperti kamu." Rendi mengedarkan pandangannya ke sekeliling kampus, menyaksikan hiruk-pikuk mahasiswa, staf kampus, dan dosen yang berlalu lalang. "What? You are happy? You are crazy!" Syila kembali memalingkan wajahnya. “Anda itu benar-benar tidak sopan, ya! Asal Mas tahu, saya masuk di sini dengan beasiswa penuh.” “Oh, saya tidak butuh informasi itu.” Rendi mendekatkan wajahnya ke hadapan Syila sehingga gadis itu mendadak terdesak ke belakang. "Saya ingin kamu ikut saya ke kantor. Saya mau kamu jelaskan ke kepala divisi saya alasan saya bisa terlambat. Minta dia cabut SP saya." Rendi menyeringai sadis. Buk! "Awh!" ringis Rendi setelah tulang keringnya mendapat tendangan dari Syila. Tak cukup menendang, Syila juga mendorong lelaki itu sampai terhuyung. Beberapa paket di tangan Rendi pun terjatuh lagi. "Saya sibuk. Saya banyak urusan. Saya tidak ada waktu meladeni laki-laki licik seperti Anda. Permisi." Syila melangkah kasar meninggalkan Rendi ke arah yang berlawanan. "Tunggu!" panggil Rendi. Syila berhenti tanpa berbalik badan. "Saya tunggu pertemuan ketiga kita," ucap Rendi. Syila menjelingkan bola matanya. Ia sudah sebal tingkat raja. Ia langsung pergi dengan langkah yang lebih cepat. "Hahaha, dasar perempuan!" Rendi tertawa kecil. Ia pun melanjutkan pekerjaannya untuk mengantar paket pesanan UNICILA ke gudang kampus. ***Sore yang sempat diselipi hawa ketegangan—perlahan mereda oleh obrolan-obrolan receh antara Rendi dan Syila. Keduanya masih duduk bersisian di trotoar persis sebelah rumah Rendi. Mereka bersamaan menghirup udara sore yang menenangkan di tengah lalu lalang kendaraan yang memadati jalan. “Jadi? Masih mau diam atau udah bersedia cerita?” anya Syila pelan, suaranya setenang mungkin, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.Rendi menggeleng, ia tak ingin membahas apa pun yang berkaitan dengan foto di jaket tadi. Syila pun mengangguk, mencoba memakluminya.“Udah semakin sore, kamu mau saya antar pulang?” tawar Rendi mengalihkan pembicaraan.Syila menerawang langit—sedang berpikir. Namun, belum selesai menimbang, sebuah mobil hitam membunyikan klakson dan berhenti tepat di hadapannya. Wajahnya seketika tegang lagi. Terpancar raut kegugupan dan ketidaknyamanan di wajahnya.Tak salah lagi, Syila tak keliru mengenali mobil itu. Pengemudi mobil itu menurunkan kaca jendela mobil
Hari ini Syila membantu Lisa mengerjakan PR-PR bahasa Inggrisnya yang lumayan banyak. Ada dua puluh lima soal esai yang harus dikerjakan Lisa. Tapi itu tak jadi masalah baginya selama ada Syila yang menuntunnya mengartikan kata demi kata yang tidak ia mengerti. Syila juga amat santai memberikan tuntunan materi bahasa Inggris kepada gadis kecil yang sudah seperti adiknya sendiri. Sesekali tugas terhenti karena Lisa harus mencari kosakata yang tidak ia ketahui lewat kamus. Selain itu, mereka juga mengisi pembelajaran dengan bercakap-cakap agar suasana tidak jenuh. Tiba-tiba ponsel Syila bergetar di sampingnya. Ia melirik sejenak—nama Arfan tertera di layar. Ia terpaku sesaat, jempolnya nyaris bergerak untuk menerima telepon tersebut. Namun, niatnya diurungkan. Ia hanya mengecilkan volume dering dan membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja.“Maaf, Kak, aku masih perlu sedikit waktu,” batin Syila sebelum melanjutkan pembelajaran. Disela pembelajaran, Syila mengeluarkan buku hasil me
Menjelang sore hari, Syila duduk di kursi ruang tamu rumahnya. Tangannya berkutat dengan ponselnya. Ia sedang mencari berita terbaru terkait tes CPNS yang pendaftarannya dibuka dua minggu lagi. Ia masih menyimpan harapan bisa berangkat ke Solo. Setelah bekerja di rumah Rendi selama satu minggu, ia merasa uang tabungannya sudah bisa mencukupi kebutuhannya di Solo kelak. Terlebih Rendi membayar jasanya setiap pertemuan yang hanya berlangsung dua jam dengan harga seratus ribu rupiah. Angka yang cukup besar. Ia pun sempat menolak digaji setinggi itu. Namun, Rendi paham dengan kebutuhan dirinya sehingga dia memberikannya upah sebesar itu. Dikalikan dengan lima hari, uang itu sudah cukup bagi ia bertahan hidup dua hari di Solo. "Pendaftaran dua minggu lagi dibuka. Kira-kira formasi apa aja yang bakal tersedia ya?" pikir Syila mengamati layar ponselnya. "Semoga aja ada formasi yang nggak jauh dari Cilacap," harap Syila. Saat tengah asyik bermain ponsel, Bu Sukma datang menghampiri Syila.
Malam penuh bintang kembali menyapa. Angin malam menyejukkan badan yang penat. Tubuh yang terasa lemah kini lebih bergairah tersebab menatap keramaian langit. Sekarang, Syila baru saja memasuki kamarnya. Ia menata kasurnya sebelum ia tiduri. Sesekali, ia mengembuskan napas panjang, membiarkan pikirannya berkelana bersama gemintang yang berserakan di langit.Saat berbenah kamar, matanya tak sengaja melihat jaket hijau milik Rendi yang tergantung di balik pintu. Jaket itu sudah lumayan lama ada di sana sejak terakhir ia mencucinya. Setelah beberapa waktu, jaket itu berhasil menarik perhatian dan ingatannya. Ia pun meraih jaket itu, mengelus permukaannya sejenak, lalu bergumam lirih, "Besok aku harus kembalikan jaket Mas Rendi. Sekalian sama sapu tangan yang dulu juga."Tangan Syila refleks merogoh saku kanan dan kiri jaket itu. Ia menemukan sebuah foto ukuran 6x8 cm yang sudah lusuh karena terlipat. Dengan alis mengernyit, ia membuka lipatannya dan menatap foto tersebut. Ada seorang an
Perjalanan menuju terminal sore ini cukup bersahabat. Suasana jalanan belum terlalu ramai oleh orang-orang pulang bekerja. Rendi pun menikmati momen bersama Alyaa dengan lebih santai. Keduanya terlibat obrolan yang menyenangkan dan berusaha menghindari topik yang mengundang kesedihan.Rendi baru saja menceritakan kronologi kakinya yang pincang. Ia menyelamatkan Syila dari kecelakaan yang hampir merenggut keselamatan gadis itu. Karena aksinya itu, kakinya terserempet sehingga pincang.Alyaa tertegun mendengar cerita tersebut. Raut cemas jelas terpampang di wajahnya. Namun, ada perasaan lain yang mendadak timbul di benaknya. Hawa hangat tiba-tiba menjalar ke setiap anggota badannya kala mendengar nama Syila. Cerita Rendi menegaskan bahwa lelaki di sampingnya bertemu Syila Sabtu lalu. Alyaa masih sangat ingat, Syila mendadak pergi dari kedai. Sahabatnya bilang bahwa dirinya diminta pulang. Akan tetapi, hari ini ia mendengar fakta bahwa sahabatnya justru menemui Rendi di kantornya.“Jadi
Beberapa hari berlalu dengan suasana yang lebih baru. Hari ini cuaca cerah, langit membentang biru dengan awan tipis mengambang tenang. Namun, di balik keindahannya, ada nuansa sendu yang menggantung di hati Syila dan Marsya. Hari ini adalah hari keberangkatan Alyaa ke Jakarta, meninggalkan kota kecil tempat mereka bertiga tumbuh bersama.Di selasar rumah Alyaa, Syila dan Marsya duduk berdampingan, bersandar pada tiang kayu sambil menikmati semilir angin sore. Suasana sederhana, jauh dari hingar-bingar pesta perpisahan, namun penuh dengan kehangatan. Mereka berbagi cerita—tentang masa-masa kuliah dan hal-hal random yang pernah mereka lakukan, serta rencana masa depan yang tak mereka tahu apakah bisa dijalani bersama lagi.Sesekali tawa kecil mengiringi percakapan mereka, meskipun di sela-sela itu, ada kesadaran bahwa perpisahan semakin dekat. Syila menyodorkan sebuah bingkisan kecil ke arah Alyaa, matanya berbinar meski bibirnya sedikit gemetar menahan emosi."Kamu baik-baik di sana y