(FLASHBACK Tahun 1573)
"Aku suka bintang-bintang yang menggantung di langit." Pemuda kecil berusia empat tahun itu menunjuk langit yang gelap.
"Mengapa kamu suka bintang, kak? bukankah bulan lebih cantik? cahayanya tidak menyilaukan seperti matahari." Pemuda kecil yang berusia tidak terpaut jauh darinya bertanya heran.
Keduanya memiliki paras yang mirip satu sama lain, orang sering mengira mereka adalah anak kembar, padahal mereka berdua terlahir dari rahim ibu yang berbeda, bahkan ayah mereka juga berbeda. Jarak kelahiran mereka hanya terpaut lima bulan saja, sehingga keduanya benar-benar mirip anak kembar saat tumbuh menjadi bocah muda yang tampan. Perbedaan mereka hanyalah pada garis rahang yang lebih tegas, serta bola mata berwarna coklat kelam pada bocah yang lebih tua, sementara bocah yang lebih muda memiliki garis rahang lebih halus, serta warna bola mata biru cerah seperti samudra yang diterangi sinar matahari.
"Sebab, bintang sering berkelip seperti kunang-kunang, bercahaya dan hidupnya menerangi dalam gelap dengan ceria, tidak seperti bulan yang selalu melotot." Jawab Lorant lugas. Dia sendiri sesungguhnya tidak memahami dengan pasti perbedaan apa yang membuatnya lebih menyukai bintang dibandingkan bulan.
"Dia tidak sedang melotot, kak. Bulan sedang menatap." Bocah yang lebih muda berusaha memberikan argumentasinya. Ditatapnya sang kakak sepupu dengan bingung. Baginya melotot itu menyeramkan, menakutkan, mengerikan dan segala sesuatu yang membuat siapapun ingin menghindar, berlari menjauh karena ketakutan. Sementara bulan saat purnama, meskipun membulat sempurna, tetapi sama sekali tidak menakutkan, justru membuat orang yang menatapnya merasa tentram dan damai.
"Apa bedanya menatap dengan melotot? Bukankah itu sama-sama melihat?" Lorant tahu adik sepupunya ini selalu lebih detil dalam segala hal. jadi dia akan terus bertanya jika belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Atau jika dia merasa argumentasinya valid, adik sepupunya ini akan terus mendebat hingga titik darah penghabisan, sampai benar-benar ada argumentasi yang cukup bisa diterima oleh logikanya.
"Tidak, melihat itu seperti saat ibu Ester atau ibu Kaitlin memberi kita permen atau coklat. Melotot itu seperti saat Erza tahu kita diberi permen atau coklat dari ibu, tapi dia tidak diberi karena giginya yang ompong." Dugaan Lorant terbukti benar. Adik sepupunya masih terus saja mencari analogi yang cukup cerdas dan masuk akal untuk mematahkan argumentasi Lorant.
Keduanya tertawa terbahak-bahak. Lorant tidak bisa menahan tawa atas apa yang di analogikan oleh Arpad. Saat keduanya masih terbahak sambil menahan sakit perut, tiba-tiba ada yang memukul punggung mereka dari belakang, serentak keduanya berhenti tertawa lalu menoleh. Di sana berdiri gadis imut yang melihat ke arah mereka dengan tajam sambil bertolak pinggang. Rambutnya yang pirang bergelombang dibiarkan tergerai menutupi sebagian wajahnya. Di belakang gadis itu tersenyum dua orang pelayan yang mengikutinya.
"Kalian jahat, kalian sembunyi-sembunyi membicarakan gigiku ompong. Awas kalau gigiku sudah tumbuh, aku akan menjadi gadis paling cantik, bahkan lebih cantik dari Ivett."
Kedua bocah tampan itu diam sambil menahan senyum, lalu bocah yang lebih muda berbisik, "kamu sudah mengerti sekarang kan, kak? Itu yang disebut melotot, sedangkan pelayan itu sedang menatap kita." Keduanya lalu cekikikan, membuat si gadis imut itu hampir menangis.
Si gadis mulai terisak, bahunya bergoyang menahan tangis, dia kesal karena kedua kakanya mentertawai dirinya di belakang. Dia merasa sangat tertekan dan ingin memukul mereka sampai babak belur. Tetapi tentu saja dia tidak bisa melakukannya. Kedua kakaknya adalah pria-pria kuat dan lebih besar dari dirinya. Jadi dia harus emmikirkan cara lain untuk membalas dendam.
Pelayan memecah keheningan dan ketegangan diantara kaka-beradik bersaudara tersebut, "tuan muda Lorant, tuan muda Arpad, sudah malam, kalian harus masuk dan beristirahat. Nyonya Ester mencari kalian." Kemudian pelayan tersebut berbicara pada gadis yang hampir menangis itu, "nona Erza, tuan Lorant dan tuan Arpad tidak sedang meledekmu, dan Kamu harus tahu bahwa Kamu memang gadis tercantik di Arva. Mereka hanya menggodamu" pelayan tersebut menatap keduanya, lalu berkedip, "benar kan tuan muda Lorant, dan tuan muda Arpad?" pelayan tersebut mengedipkan sebelah matanya kepada Lorant dan Arpad, mengharapkan dukungan.
Kedua bocah itu mengangguk sambil tersenyum, lalu berebut memeluk si gadis yang sedang cemberut merajuk.
"Erza, kamu memang yang tercantik" Lorant memeluk adik sepupunya penuh kasih. Lorant sangat menyayangi Erza, meskipun Erza adalah adik sepupu, namun bagi Lorant, Erza sudah seperti adik kandungnya sendiri. Meskipun dia sering usil menggoda Erza, tetapi dia tidak pernah sungguh-sungguh meledeknya.
"Kak Lorant benar, Erza. Kamu adalah gadis paling cantik di Arva, aku bangga menjadi kakakmu." Arpad juga tidak mau kalah. Bagaimanapun Erza memang cantik, dan Arpad menyayangi Erza seperti Lorant. Mereka berdua bahkan bersedia mempertaruhkan nyawa untuk Erza. Namun mereka memang sering usil menggoda Erza hingga membuat bocah itu menangis.
Erza yang mendapatkan pelukan dari kedua kakaknya langsung tersenyum. Dia menyambut pelukan kedua kakaknya, lalu dengan gemas mencubit pinggang keduanya, membuat Lorant dan Arpad kesakitan.
Erza tertawa senang, "rasakan pembalasanku, kalau kalian berani meledek aku lagi, aku akan mencubit kalian lebih keras." setelah menjulurkan lidahnya, Erza berlari dan bersembunyi di balik punggung pelayan sambil terus menjulurkan lidahnya ke arah Lorant dan Arpad.
Ketiganya segera berputar-putar saling mengejar mengelilingi pelayan yang kewalahan menghadapi kelincahan tiga bocah tersebut. Ketiganya sangat cekatan membuat para pelayan kewalahan menghentikan mereka.
"Sudah-sudah, ayo masuk, sudah malam, nanti kalian sakit, dan aku akan diberi hukuman oleh nyonya Ester jika kalian sakit." Sang pelayan terduduk, berakting seolah-olah sedang sedih. Ketiga bocah tersebut mendadak berhenti, lalu memeluk sang pelayan dengan penuh rasa bersalah.
"Kamu tidak akan dihukum, aku akan menjelaskan pada ibu." Erza menenangkan sang pelayan sambil mengelus rambut pelayan tersebut dengan tangannya yang mungil. Erza memang sangat penyayang, dia tidak akan tahan jika ada yang sedang sedih, apalagi bermasalah karena dirinya.
"Kalau begitu, maukah kalian berhenti saling meledek, dan ikut aku ke dalam kastil? Aku takut nyonya Ester akan memarahiku jika kalian masih di luar saat malam seperti ini." Dengan nada dibuat sesendu mungkin si pelayan memohon kepada ketiga bocah tersebut.
"Tentu saja, kami akan mengikutimu. Dan Kami akan membelamu di hadapan ibu Ester. Kamu jangan takut ya. Jangan bersedih. Kak Lorant dan akak Arpad juga akan melindungiomu." Erza menatap kedua kakaknya, lalu mengedip-ngedipkan matanya dengan jenaka, "Iya kan, kak?" Erza melotot ke arah kedua kakaknya, menuntut jawaban.
Kedua bocah laki-laki itu menahan senyum, namun tidak mau terus berdebat. Lorant segera nerinisiatif untuk menenangkan Erza, "Tentu adikku sayang. Adikku yang paling cantik di Arva. Apapun perintahmu, pasti akan kami laksanakan." Dengan lembut Lorant merangkul Erza dan Arpad.
Mereka semua menurut, lalu berjalan beriringan memasuki kediaman keluarga de Sarvar Felsovidek yang megah, meninggalkan langit kelam yang masih dihiasi kelip bintang, serta cahaya rembulan yang redup menenangkan, yang menjadi bahan perdebatan dua pria muda barusan.
Suasana pemakaman cukup sepi. Hanya dihadiri oleh kerabat dekat saja. Waktu pemakaman juga dibuat sesingkat mungkin. Benca menatap nanar saat peti mati diturunkan ke dalam liang lahat. "Bibi Ellie, semoga arwahmu tenang di sisi-Nya. Aku sudah memafkanmu, meskipun kamu tidak pernah memintanya." Benca memejamkan matanya, mencoba melupakan kejadian empat tahun lalu saat dirinya disekap bersama Lovisa di ruang bawah tanah. Bagaimanapun, Benca merasakan bahwa Ellie tidak sungguh-sungguh ingin menyakitinya. Ellie hanya sedang terjebak dalam situasi yang serba salah. Setelah prosesi pemakaman dilakukan, satu persatu pergi meninggalkan makam dan kembali ke rumah masing-masing. Orang memastikan bahwa di sanalah jasad Blood Countess de Ecsed atau Mother of Vampire disemayamkan. Sebuah episode kehidupan dari seorang Blood Countess de Ecsed atau Mother of Vampire telah berakhir. *** Epilog : Yang orang-orang dan dunia luar tidak ketahui adalah, jasad Ellie dimakamkan di dalam hutan, dekat sebu
Seluruh keluarga masih berduka saat selesai menghadiri pemakaman Gustav. Tidak berapa lama, seorang pengawal masuk, mengabarkan bahwa Ellie telah meninggal di dalam ruangan tahanannya. Hal tersebut diketahui karena Ellie tidak menyentuh makanannya sama sekali, setelah pintu dibuka untuk memeriksa, Ellie ditemukan terkapar di lantai sudah tidak bernyawa. Arpad berdiri terpaku, membeku seperti patung yang bernyawa."Apakah aku yang telah menyebabkan bibi Ellie meninggal? Selama ini, Ayah Gustav tidak pernah mengetahui bahwa Bibi Ellie masih hidup dan ditahan di dalam kastilnya sendiri. Ayah Gustav selalu berpikir, bahwa Bibi Ellie telah menerima hukuman mati bersama yang lainnya. Sejak itu, kondisi kesehatan Ayah Gustav terus menurun dan akhirnya pergi. Ayah Gustav memang tidak pernah membicarakan atau mengeluhkan apa yang dirasakannya. tetapi aku tahu, apa yang membuatnya berubah seratus delapanpuluh derajat sejak kepergian Bibi Ellie. Dia pasti sangat
Di dalam sebuah ruang sempit dengan ventilasi kecil untuk sekedar bernafas, serta lubang pintu yang hanya cukup untuk meletakkan sepiring makanan setiap harinya. Ellie terduduk di sudut sambil memeluk lutut dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang hanya tinggal tulang berbalut kulit saja. Entah sudah berapa lama dia terkurung di ruangan ini. Ingatannya sudah mulai memudar, dan dia juga telah menjadi tua, keriput, jelek, kurus dan lemah. Namun semua itu tidak lagi mengganggu Ellie. Hanya ada sesuatu yang masih lekat dalam memorinya, dia adalah Gustav, kekasih hatinya, orang yang paling dia cintai seumur hidupnya. Saat ini dirinya tidak lagi meratapi serta menyesali perbuatannya yang telah merugikan banyak pihak, dia sudah menerima hukumannya dengan ikhlas. Tetapi, hatinya lebih sering didera kerinduan, serta kesepian yang teramat sangat terhadap Gustav kekasihnya. Terakhir kali dia menatap wajah kekasihnya adalah ketika dirinya digiring seperti
Setelah terungkapnya tragedi pembunuhan berantai di Kastil Cachtice, beredar desas-desus mengenai sisi lain dari sang putri yang diberi julukan Blood Countess De Ecsed. Cerita bergulir bagaikan bola liar yang panas, menghubungkan praktek pembunuhan tersebut dengan ritual satanisme yang di anut oleh sang putri berdarah. Rakyat dicekam rasa takut akan adanya semacam sekte atau aliran satanisme yang membutuhkan tumbal atau persembahan berupa darah gadis perawan yang mungkin masih berjalan di suatu tempat di sekitar mereka. Gosip dan desas-desus terus berseliweran diantara para rakyat untuk waktu yang cukup lama. Kondisi tidak serta merta menjadi normal lagi seperti sediakala setelah keputusan dan hukuman dijatuhkan terhadap putri berdarah dan pengikutnya. "Sebaiknya, selepas senja, tidak boleh ada seorang gadispun yang boleh berkeliaran di luar rumah. Mungkin saja arwah Blood Countess de Ecsed masih bergentayangan mencari korban." Sekelompo
Para tersangka duduk diam menunduk di hadapan Raja Matyas. Sebelumnya, Raja Matyas telah mendengarkan keterangan dari para saksi dalam pertemuan terpisah, juga mempelajari semua laporan yang disusun oleh Gyorgy, Lorant dan Arpad. Tidak ada keramaian dalam persidangan ini, hanya para tersangka, Gyorgy, Arpad, Lorant, beberapa mentri, serta hakim yang akan memberikan pertimbangan hukuman bagi para tersangka yang sesungguhnya telah diputuskan pada pertemuan tertutup sebelumnya. Elizabeth Bathory dan Klara sebagai tersangka utama tidak dihadirkan dalam persidangan dengan berbagai pertimbangan. Bagaimanapun, persidangan secara terbuka bagi keluarga kerajaan akan sangat memalukan, mengingat garis keturunan serta hubungan kekerabatan dengan kerajaan-kerajaan lain, juga mengingat jasa-jasa kepahlawanan suami tersangka utama pada kerajaan menjadi faktor penting dalam menjaga hubungan baik, maka mereka tidak akan pernah melakukan persidangan terbuka untuknya. Memperkara
Sambil menarik nafas sejenak, Pendeta Luthern Istvan Magyari melanjutkan laporannya kepada Raja Matyas, “….karena jumlahnya semakin banyak, aku mencurigai bahwa meninggalnya mereka bukanlah sesuatu yang wajar, Tuanku. Sehingga aku menolak untuk memberikan penghormatan terakhir bagi mereka yang meninggal tersebut. Tetapi kalau pada akhirnya mereka membuang mayat-mayat tersebut di sembarang tempat begitu saja, aku sungguh tidak mengetahuinya.” Pendeta Luthern Istvan Magyari mengakhiri laporannya, di hadapannya Raja Matyas terpaku bisu setelah mendengar penjelasan tersebut. Bayangan mayat-mayat bergelimpangan di semak-semak, di dalam hutan, maupun di tempat-tempat pembuangan, membuatnya merasa sangat terpukul. Dia sering berada di medan tempur untuk berjuang membela negara, melibas musuh-musuhnya tanpa ampun, namun di dalam area pemerintahannya sendiri, telah terjadi praktek pembunuhan yang kejam dan berjalan sudah cukup lama tanpa diketahui. Hal ini seperti sebu
Gustav sedang berada di taman yang dipenuhi bunga-bunga, dia duduk tersenyum menatap istri dan putri ciliknya yang memiliki wajah bercahaya, sedang bermain mengejar kupu-kupu yang menarik perhatian dengan warnanya yang rupawan. Ellie begitu cantik, muda dan mempesona. Putri mereka tidak berhenti tertawa mengejar kupu-kupu, tiba-tiba saja seekor burung gagak menyerang putri mereka hingga tersungkur jatuh. Wajah putri mereka yang bercahaya beradu dengan tanah, membuat dia menangis. Gustav yang kaget segera hendak menolong, namun istrinya yang cantik mendadak berubah menjadi monster yang mengerikan. Wajahnya menjadi sangat pucat dengan taring yang semakin memanjang. Tatapan matanya nanar tertuju pada burung gagak tersebut, lalu secepat kilat menyambar burung gagak dan melumatnya dengan buas, membuat wajahnya berlumuran dengan darah segar. Putri mereka yang sudah bangkit dan melihat ibunya melakukan sesuatu yang sangat mengerikan dengan waja
Lorant memperhatikan kening Benca yang berkedut serta sudut mata yang sedikit mengerut, seperti sedang gelisah. Lorant masih menggenggam jemari Lovisa untuk memberinya kekuatan, sementara kondisi Benca membuatnya hawatir, jadi dia mengulurkan sebelah tangannya untuk mengelus kening Benca agar bisa lebih tenang. Saat itu, Arpad datang sambil membawa roti dan air untuk diberikan kepada Lorant. Dia juga melihat wajah Benca yang gelisah. Sepertinya Benca sedang memimpikan sesuatu di dalam bawah sadarnya. Arpad dan Lorant saling memandang. Lorant meminta Arpad untuk duduk di dekatnya dan menggenggam jemari Benca, sementara dirinya tetap berada di dekat Lovisa. Dengan sebelah tangannya yang tadi mengelus Benca, Lorant mengambil roti dan mulai mengisi perutnya yang kosong sejak lama. Rasanya, makanan terakhir yang masuk ke tubuhnya adalah kemarin saat mereka baru saja selesai dari penyelidikkan di rumah pohon milik Gustav. Setelah itu, mereka langsung marathon melaku
Gustav memasuki rumahnya dengan gontai. Rasanya, seluruh jiwa raganya berada terpisah di dunia masing-masing, tidak saling terhubung satu sama lain. Gustav memasuki ruang kerja, mengambil sebuah lukisan dalam bingkai kecil yang berada dalam laci mejanya, lalu memandang lekat-lekat lukisan versi mini antara dirinya dengan Ellie, satu-satunya wanita yang telah membuat hatinya terjerat dan tidak mampu berpaling. Lintasan-lintasan peristiwa berseliweran di kepalanya bagaikan sebuah film yang diputar secara otomatis. Segalanya tampak baru terjadi kemarin, padahal waktu telah membawa mereka pada usia senja. "Ellie, sayangku. Sampai kapanpun, aku akan tetap mencintaimu. Bila dunia memutuskan bahwa dirimu bersalah, maka aku harus bisa menerima dengan ikhlas segala keputusan yang akan diberikan. Kalau saja boleh, aku ingin menggantikan posisimu saat dipersidangan. Karena aku pasti tidak akan kuat melihatmu diadili."