Share

8. Pertemuan

last update Last Updated: 2022-04-13 11:44:07

Lorant mengerang menahan sakit di kakinya, dia telah mencoba menghentikan pendarahan dengan mengikat kakinya erat-erat, namun darah masih saja mengucur. Sementara tubuhnya semakin lemah karena haus dan lapar.

"Ya tuhan, sungguh aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak tahu siapa mereka, dan mengapa mereka menyerang kami. Apakah pertempuran di Sisak semakin melebar hingga mencapai Moslavina?" Lorant bergumam sendiri, mencoba menganalisa situasi ditengah rasa sakit yang menderanya.

Bagaimanapun dia adalah seorang prajurit terlatih yang sudah terbiasa menahan sakit akibat serangan dari musuh. Namun ini adalah di tengah hutan, dan dia tidak terlalu mengenal wilayah ini, jadi saat dia lari dari gempuran musuh yang tidak dikenalnya, dia hanya mengikuti insting untuk menyelamatkan diri.

"Semoga keluarga Baron Vladislav bisa diselamatkan oleh para pengawalnya..." saat Lorant sibuk bermonolog dalam hati, dia mendengar senandung kecil dari kejauhan yang semakin mendekat, "...seperti suara seorang wanita..."

Lorant mengernyitkan dahi kebingungan, "apakah itu suara peri hutan? di dalam hutan terpencil ada suara perempuan bersenandung...?"

Lorant merasa aneh, tapi segera menggeser tubuhnya ke balik semak-semak untuk bersembunyi.

Seorang gadis muda berambut pirang bergelombang di kepang dua yang cantik, berlenggang sambil bersenandung.

Mata almondnya yang bulat bersinar memiliki tatapan yang teduh dan dalam, bagaikan danau berwarna hazel lembut. Alisnya yang bagaikan bulan sabit, memayungi keindahan matanya dengan sempurna. Sementara kulitnya yang halus bagaikan pualam, segar bersinar di terpa mentari pagi yang cerah, secerah senyumnya yang membuat siapapun merasa tentram dan bahagia.

Dia adalah Benca, yang telah tumbuh dewasa bagaikan bunga mekar dimusim semi. Benca berjalan dengan gembira karena hari ini telah sukses memasak makanan untuk bekal ayahnya dan mendapat pujian dari ibunya. Ini adalah karya pertama Benca secara keseluruhan tanpa campur tangan ibunya. Benca sangat bangga untuk bisa segera mempersembahkan masakan hasil olahannya kepada sang ayah.

Sulit bagi Benca untuk mendapatkan pujian jika hal itu terkait olahan makanan, karena ibunya bisa dikatakan ratunya dapur dan penguasa berbagai makanan lezat, seolah-olah tangan ibunya memiliki kekuatan magis yang bisa menyulap bahan apapun menjadi makanan yang nikmat tiada tara.

Tiba-tiba telinganya mendengar rintihan dari balik semak-semak, perlahan Benca mendekati arah suara itu. Ketika tangannya menyibak dedaunan yang menutupi arah suara, Benca terkejut saat mulutnya dibekap dari belakang oleh tangan yang kokoh. Benca berusaha memberontak dan berteriak, rumahnya tidak terlalu jauh, namun tersembunyi dari pandangan karena terhalang pepohonan yang besar dan rapat. Kalaupun dia mampu berteriak, tentu sulit mengharapkan ibunya untuk bisa mendengar.

Yang bisa dilakukan hanyalah, berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dengan berbagai cara, dari cengkraman laki-laki yang membekapnya. Namun kekuatannya tidak sebanding, akhirnya Benca diam ketika kaki dan tangannya semakin terkunci dalam pelukan lelaki tersebut.

Benca mencium bau darah bercampur keringat yang membuatnya ingin muntah. Kepalanya pusing akibat tarikan dan pelukan yang mengunci tubuhnya begitu erat dari belakang punggungnya. Benca ingin menangis, namun tidak bisa, hatinya luar biasa gelisah dan ketakutan. Seumur hidupnya belum pernah dirinya berinteraksi dengan manusia lain apalagi bersentuhan selain dengan ayah dan ibunya.

Sungguh Benca merasa hidupnya sangat terancam, dan mulai berfikir bahwa mungkin dirinya tidak akan bertemu lagi dengan ayah dan ibunya. Benca berdoa dalam hati, "ya tuhan, kumohon selamatkan aku, aku akan membaktikan diriku pada orang yang kau kirim untuk melepaskan aku dari situasi ini."

Tiba-tiba dekapan dibelakang punggungnya mengendur, lalu terdengar bisikan lirih, "diamlah, aku tidak akan mencelakaimu." Benca masih terbelalak, bola mata hazelnya seperti ingin keluar dari rongganya, "menurutlah, jika kamu diam, aku akan melepaskanmu, apakah kamu mengerti?"

Benca mengangguk tanda mengerti. Pria itu mengendurkan dekapannya dan perlahan dirinya berbalik, dihadapannya berdiri seorang pria dengan garis wajah tegas bermata elang yang dipayungi alis tebal.

Tubuhnya yang lemah tampak cukup atletis, meski sedikit kuyu. Sementara rambutnya yang hitam lurus sebahu kusut berantakan menutupi sebagian wajahnya. Benca masih diliputi ketakutan, tetapi pria itu tersenyum sambil meringis seperti menahan sakit.

"Maaf jika membuatmu ketakutan, aku pikir dirimu adalah bagian dari mereka yang ingin membunuhku." Pria itu berusaha menjelaskan, lalu menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersandar di pohon.

"Mmm... membunuhmu? Memangnya kenapa?" Benca bertanya kebingungan. Sementara pria itu memejamkan matanya sambil memegangi kakinya.

Benca menyentuh bahunya, dan mata pria itu terbuka perlahan "tolong aku... kakiku..." suara lemah pria tersebut mengiringi tatapan redup pada diri Benca yang mencoba menyembunyikan kepanikannya.

"Kamu siapa? apa yang bisa aku bantu? Mengapa ada yang ingin membunuhmu" tanya Benca gugup.

"Ka..ki...ku..." suara pria itu semakin lirih, sambil menatap kakinya dengan lemah.

Benca mengikuti arah pandang pria itu. Ternyata kaki pria itu terluka seperti tersobek benda tajam, darah mengalir cukup deras, sebagian mulai mengering. Benca menutup mulutnya mencoba untuk tidak berteriak. Sepertinya luka tersebut kembali berdarah ketika pria itu melakukan pembekapan terhadap Benca.

"Lukamu cukup parah, aku hawatir akan mengalami infeksi. Aku harus mencari beberapa tanaman obat untuk mengurangi kemungkinan infeksi pada lukamu" pria itu mengangguk lemah, "ini, minumlah dulu, tunggu aku sebentar, aku akan kembali membawa beberapa bahan yang bisa mengobati lukamu."

Benca bergegas pergi, dengan sigap mencari daun berbentuk hati atau yang biasa dia sebut heartleaf.

Seketika melupakan insiden pembekapan yang dilakukan pria tersebut terhadap dirinya. Melihat pria itu tergolek lemah, hanya ada satu hal dalam pikirannya, yaitu menolong pria tersebut.

Ibunya telah mengajari beberapa dasar pengetahuan herbal untuk pengobatan, salah satunya adalah heartleaf, sejenis tanaman menjalar, berbatang lunak, yang berkhasiat untuk menghambat pendarahan pada luka, melancarkan peredaran darah, dan mengembalikan daya tahan tubuh. Benca dan ibunya sering menggunakan daun tersebut untuk mengobati luka. Tidak disangka, bahwa ilmu tersebut sangat bermanfaat dalam situasi ini.

Tidak lama Benca sudah kembali dan mulai menumbuk beberapa jenis tanaman, dia menatap pria itu dengan kasihan, "aku akan mengganti kain yang membebat kakimu dengan selendangku, tetapi sebelumnya aku perlu membersihkan lukamu lalu meletakan ramuan ini di atas lukamu. Akan sedikit sakit, tapi kumohon bertahanlah."

Pria itu mengangguk pasrah, "kamu boleh melakukan apapun padaku, aku percaya padamu, aku sudah menahan sakit sejak beberapa hari, tidak masalah untuk menahannya sedikit lagi."

Benca tersenyum kecil, "kamu boleh menggigit kain ini jika merasakan nyeri." Benca menyerahkan sapu tangan yang biasanya dia gunakan untuk menutupi bekal makanan ketika ayahnya sedang beristirahat, "jangan khawatir ini bersih, ibuku tidak akan mentolelir apapun yang bersentuhan dengan makanan jika tidak higienis" pria itu menurut, meletakan kain di antara giginya.

Dengan cekatan Benca membuka simpul ikatan di kaki pria tersebut, membersihkan lukanya, menorehkan ramuan obat lalu menutupnya dengan kain baru yang disobek dari selendangnya. Proses tersebut bisa dibilang cukup cepat namun ternyata tetap saja menimbulkan efek perih pada luka, karena pria tersebut seperti menggeram menahan sakit, dan keringat berjatuhan dari pelipisnya.

Benca ikut berkeringat karena gugup. Dia menghapus peluh yang menitik dipelipisnya, setelah selesai membebat luka pria itu dengan sisa sobekan selendangnya. Pria itu tersenyum, sendainya saja situasi saat ini berbeda, pasti dialah yang akan menghapus peluh di kening gadis cantik ini.

Pria itu menatap kagum pada Benca, bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena pengetahuan pengobatan, cekatan, dan kelembutannya. Pria itu tidak melepaskan sedikitpun pandangannya pada Benca ketika gadis itu mencuci, lalu menumbuk daun berbentuk hati dengan batu, setelah itu dioleskan pada lukanya, semua bayangan itu melintas kembali di kepalanya seperti sebuah film yang bergerak lambat. Yang tampak hanya keindahan dan kecantikan maha sempurna, membuat dirinya seperti tersedot pada lingkaran cahaya yang menyeretnya ke taman surgawi, di mana semuanya tampak sangat mempesona.

"Aku Lorant. Lorant Garai" pria itu menjulurkan tangannya. Benca terpaku, matanya yang indah mengerjap, bola mata berwarna hazel yang dimiliki Benca semakin tampak bersinar saat mengerjap. Membuat Lorant semakin terpesona "boleh aku tahu namamu?" tanya Lorant lembut.

Tangannya masih menggantung tanpa sambutan "apakah Kamu akan membuat tanganku menggantung seharian seperti ini?" Lorant tersenyum menggoda, membuat Benca tersipu.

Benca menyambut uluran tangan Lorant "aku Benca, Benca Kveta Fialova."

"Nama itu cocok buatmu" Benca tersipu "Benca, bisakah Kamu memberiku lagi sedikit air, aku masih haus sekali" Lorant meminta dengan lirih.

Benca segera membuka perbekalan untuk ayahnya, dan memberikannya pada Lorant "ini, minumlah, aku juga ada makanan, silahkan dimakan" Benca menawarkan dengan tulus, dia bisa kembali ke rumah dan memasak lagi untuk ayahnya "ayah pasti mau memaafkanku, karena aku memberikan bekalnya untuk menolong orang yang sekarat" Benca membatin. Meskipun hasil olahan makanan pertama tidak jadi dinikmati oleh ayahnya, namun Benca rela.

Tetapi Lorant menggeleng "tidak sekarang, bisakah Kamu menolongku untuk membawaku ke suatu tempat yang agak tersembunyi?" Benca menatap tidak mengerti. "aku akan ceritakan padamu, segera setelah aku berada ditempat aman. Aku hanya butuh sedikit minum karena terlalu haus. Setelah itu, aku rasa aku masih bisa berjalan dengan bantuanmu" Benca pun langsung memberikan minuman, lalu segera memapah pria tersebut berjalan perlahan menuju rumahnya. Ya, bagi Benca, tempat aman adalah rumahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cachtice Castle : Blood Countess de Ecsed   119. Episode Kehidupan

    Suasana pemakaman cukup sepi. Hanya dihadiri oleh kerabat dekat saja. Waktu pemakaman juga dibuat sesingkat mungkin. Benca menatap nanar saat peti mati diturunkan ke dalam liang lahat. "Bibi Ellie, semoga arwahmu tenang di sisi-Nya. Aku sudah memafkanmu, meskipun kamu tidak pernah memintanya." Benca memejamkan matanya, mencoba melupakan kejadian empat tahun lalu saat dirinya disekap bersama Lovisa di ruang bawah tanah. Bagaimanapun, Benca merasakan bahwa Ellie tidak sungguh-sungguh ingin menyakitinya. Ellie hanya sedang terjebak dalam situasi yang serba salah. Setelah prosesi pemakaman dilakukan, satu persatu pergi meninggalkan makam dan kembali ke rumah masing-masing. Orang memastikan bahwa di sanalah jasad Blood Countess de Ecsed atau Mother of Vampire disemayamkan. Sebuah episode kehidupan dari seorang Blood Countess de Ecsed atau Mother of Vampire telah berakhir. *** Epilog : Yang orang-orang dan dunia luar tidak ketahui adalah, jasad Ellie dimakamkan di dalam hutan, dekat sebu

  • Cachtice Castle : Blood Countess de Ecsed   118. Datang dan Pergi, 21 Agustus 1614

    Seluruh keluarga masih berduka saat selesai menghadiri pemakaman Gustav. Tidak berapa lama, seorang pengawal masuk, mengabarkan bahwa Ellie telah meninggal di dalam ruangan tahanannya. Hal tersebut diketahui karena Ellie tidak menyentuh makanannya sama sekali, setelah pintu dibuka untuk memeriksa, Ellie ditemukan terkapar di lantai sudah tidak bernyawa. Arpad berdiri terpaku, membeku seperti patung yang bernyawa."Apakah aku yang telah menyebabkan bibi Ellie meninggal? Selama ini, Ayah Gustav tidak pernah mengetahui bahwa Bibi Ellie masih hidup dan ditahan di dalam kastilnya sendiri. Ayah Gustav selalu berpikir, bahwa Bibi Ellie telah menerima hukuman mati bersama yang lainnya. Sejak itu, kondisi kesehatan Ayah Gustav terus menurun dan akhirnya pergi. Ayah Gustav memang tidak pernah membicarakan atau mengeluhkan apa yang dirasakannya. tetapi aku tahu, apa yang membuatnya berubah seratus delapanpuluh derajat sejak kepergian Bibi Ellie. Dia pasti sangat

  • Cachtice Castle : Blood Countess de Ecsed   117. Menjemputmu, 21 Agustus 1614

    Di dalam sebuah ruang sempit dengan ventilasi kecil untuk sekedar bernafas, serta lubang pintu yang hanya cukup untuk meletakkan sepiring makanan setiap harinya. Ellie terduduk di sudut sambil memeluk lutut dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang hanya tinggal tulang berbalut kulit saja. Entah sudah berapa lama dia terkurung di ruangan ini. Ingatannya sudah mulai memudar, dan dia juga telah menjadi tua, keriput, jelek, kurus dan lemah. Namun semua itu tidak lagi mengganggu Ellie. Hanya ada sesuatu yang masih lekat dalam memorinya, dia adalah Gustav, kekasih hatinya, orang yang paling dia cintai seumur hidupnya. Saat ini dirinya tidak lagi meratapi serta menyesali perbuatannya yang telah merugikan banyak pihak, dia sudah menerima hukumannya dengan ikhlas. Tetapi, hatinya lebih sering didera kerinduan, serta kesepian yang teramat sangat terhadap Gustav kekasihnya. Terakhir kali dia menatap wajah kekasihnya adalah ketika dirinya digiring seperti

  • Cachtice Castle : Blood Countess de Ecsed   116. Mother Of Vampire

    Setelah terungkapnya tragedi pembunuhan berantai di Kastil Cachtice, beredar desas-desus mengenai sisi lain dari sang putri yang diberi julukan Blood Countess De Ecsed. Cerita bergulir bagaikan bola liar yang panas, menghubungkan praktek pembunuhan tersebut dengan ritual satanisme yang di anut oleh sang putri berdarah. Rakyat dicekam rasa takut akan adanya semacam sekte atau aliran satanisme yang membutuhkan tumbal atau persembahan berupa darah gadis perawan yang mungkin masih berjalan di suatu tempat di sekitar mereka. Gosip dan desas-desus terus berseliweran diantara para rakyat untuk waktu yang cukup lama. Kondisi tidak serta merta menjadi normal lagi seperti sediakala setelah keputusan dan hukuman dijatuhkan terhadap putri berdarah dan pengikutnya. "Sebaiknya, selepas senja, tidak boleh ada seorang gadispun yang boleh berkeliaran di luar rumah. Mungkin saja arwah Blood Countess de Ecsed masih bergentayangan mencari korban." Sekelompo

  • Cachtice Castle : Blood Countess de Ecsed   115. Persidangan Tertutup, tahun 1611

    Para tersangka duduk diam menunduk di hadapan Raja Matyas. Sebelumnya, Raja Matyas telah mendengarkan keterangan dari para saksi dalam pertemuan terpisah, juga mempelajari semua laporan yang disusun oleh Gyorgy, Lorant dan Arpad. Tidak ada keramaian dalam persidangan ini, hanya para tersangka, Gyorgy, Arpad, Lorant, beberapa mentri, serta hakim yang akan memberikan pertimbangan hukuman bagi para tersangka yang sesungguhnya telah diputuskan pada pertemuan tertutup sebelumnya. Elizabeth Bathory dan Klara sebagai tersangka utama tidak dihadirkan dalam persidangan dengan berbagai pertimbangan. Bagaimanapun, persidangan secara terbuka bagi keluarga kerajaan akan sangat memalukan, mengingat garis keturunan serta hubungan kekerabatan dengan kerajaan-kerajaan lain, juga mengingat jasa-jasa kepahlawanan suami tersangka utama pada kerajaan menjadi faktor penting dalam menjaga hubungan baik, maka mereka tidak akan pernah melakukan persidangan terbuka untuknya. Memperkara

  • Cachtice Castle : Blood Countess de Ecsed   114. Pertemuan Tertutup

    Sambil menarik nafas sejenak, Pendeta Luthern Istvan Magyari melanjutkan laporannya kepada Raja Matyas, “….karena jumlahnya semakin banyak, aku mencurigai bahwa meninggalnya mereka bukanlah sesuatu yang wajar, Tuanku. Sehingga aku menolak untuk memberikan penghormatan terakhir bagi mereka yang meninggal tersebut. Tetapi kalau pada akhirnya mereka membuang mayat-mayat tersebut di sembarang tempat begitu saja, aku sungguh tidak mengetahuinya.” Pendeta Luthern Istvan Magyari mengakhiri laporannya, di hadapannya Raja Matyas terpaku bisu setelah mendengar penjelasan tersebut. Bayangan mayat-mayat bergelimpangan di semak-semak, di dalam hutan, maupun di tempat-tempat pembuangan, membuatnya merasa sangat terpukul. Dia sering berada di medan tempur untuk berjuang membela negara, melibas musuh-musuhnya tanpa ampun, namun di dalam area pemerintahannya sendiri, telah terjadi praktek pembunuhan yang kejam dan berjalan sudah cukup lama tanpa diketahui. Hal ini seperti sebu

  • Cachtice Castle : Blood Countess de Ecsed   113. Sebuah Kesadaran

    Gustav sedang berada di taman yang dipenuhi bunga-bunga, dia duduk tersenyum menatap istri dan putri ciliknya yang memiliki wajah bercahaya, sedang bermain mengejar kupu-kupu yang menarik perhatian dengan warnanya yang rupawan. Ellie begitu cantik, muda dan mempesona. Putri mereka tidak berhenti tertawa mengejar kupu-kupu, tiba-tiba saja seekor burung gagak menyerang putri mereka hingga tersungkur jatuh. Wajah putri mereka yang bercahaya beradu dengan tanah, membuat dia menangis. Gustav yang kaget segera hendak menolong, namun istrinya yang cantik mendadak berubah menjadi monster yang mengerikan. Wajahnya menjadi sangat pucat dengan taring yang semakin memanjang. Tatapan matanya nanar tertuju pada burung gagak tersebut, lalu secepat kilat menyambar burung gagak dan melumatnya dengan buas, membuat wajahnya berlumuran dengan darah segar. Putri mereka yang sudah bangkit dan melihat ibunya melakukan sesuatu yang sangat mengerikan dengan waja

  • Cachtice Castle : Blood Countess de Ecsed   112. Mimpi Benca

    Lorant memperhatikan kening Benca yang berkedut serta sudut mata yang sedikit mengerut, seperti sedang gelisah. Lorant masih menggenggam jemari Lovisa untuk memberinya kekuatan, sementara kondisi Benca membuatnya hawatir, jadi dia mengulurkan sebelah tangannya untuk mengelus kening Benca agar bisa lebih tenang. Saat itu, Arpad datang sambil membawa roti dan air untuk diberikan kepada Lorant. Dia juga melihat wajah Benca yang gelisah. Sepertinya Benca sedang memimpikan sesuatu di dalam bawah sadarnya. Arpad dan Lorant saling memandang. Lorant meminta Arpad untuk duduk di dekatnya dan menggenggam jemari Benca, sementara dirinya tetap berada di dekat Lovisa. Dengan sebelah tangannya yang tadi mengelus Benca, Lorant mengambil roti dan mulai mengisi perutnya yang kosong sejak lama. Rasanya, makanan terakhir yang masuk ke tubuhnya adalah kemarin saat mereka baru saja selesai dari penyelidikkan di rumah pohon milik Gustav. Setelah itu, mereka langsung marathon melaku

  • Cachtice Castle : Blood Countess de Ecsed   111. Aku, Kamu, dan Cinta Kita

    Gustav memasuki rumahnya dengan gontai. Rasanya, seluruh jiwa raganya berada terpisah di dunia masing-masing, tidak saling terhubung satu sama lain. Gustav memasuki ruang kerja, mengambil sebuah lukisan dalam bingkai kecil yang berada dalam laci mejanya, lalu memandang lekat-lekat lukisan versi mini antara dirinya dengan Ellie, satu-satunya wanita yang telah membuat hatinya terjerat dan tidak mampu berpaling. Lintasan-lintasan peristiwa berseliweran di kepalanya bagaikan sebuah film yang diputar secara otomatis. Segalanya tampak baru terjadi kemarin, padahal waktu telah membawa mereka pada usia senja. "Ellie, sayangku. Sampai kapanpun, aku akan tetap mencintaimu. Bila dunia memutuskan bahwa dirimu bersalah, maka aku harus bisa menerima dengan ikhlas segala keputusan yang akan diberikan. Kalau saja boleh, aku ingin menggantikan posisimu saat dipersidangan. Karena aku pasti tidak akan kuat melihatmu diadili."

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status