Share

S2 bab 110

Penulis: Mariahlia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-14 21:03:39

Pagi itu terasa seperti bukan pagi. Walau matahari sudah lama terbit, sinarnya tidak mampu menembus kabut yang pekat menutupi desa Larung. Seolah-olah langit pun enggan memberi terang. Obor-obor yang semalam dibiarkan menyala di halaman surau masih berkedip lemah, seperti menolak padam, meski bahan bakarnya hampir habis. Udara yang biasanya membawa aroma padi basah kini diganti bau anyir samar—bau yang hanya tercium ketika ada darah.

Arthayasa berdiri mematung di depan rumahnya. Di tangannya masih tergenggam janur kuning berbentuk cincin kecil—cincin pengantin yang entah bagaimana bisa menggantung di depan pintu rumahnya tadi pagi. Janur itu bukan sekadar hiasan. Ia tahu, itu tanda. Tanda bahwa sesuatu sedang menuntut balasan.

Ayudia berdiri di sampingnya, wajahnya pucat pasi. Bayi dalam gendongannya terus merengek, tidak seperti biasanya. Suara rengekan itu berirama dengan dentum gamelan samar yang datang dari arah hutan, semakin lama semakin jelas.

“Mas…” suara Ayudia bergetar. “Kit
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 118

    Malam itu, desa seolah ditelan kegelapan yang lebih pekat dari biasanya. Lampu-lampu minyak di rumah-rumah penduduk padam satu per satu, seperti ada tangan tak kasatmata yang meniupkan api mereka. Angin bertiup kencang dari arah hutan, membawa bau anyir, amis seperti darah yang lama mengering.Artha duduk di ruang depan rumahnya, keris pusaka ia letakkan di pangkuan. Tangannya terus bergerak, mengelus gagang kayu yang halus dan dingin, seolah sedang bicara pada benda itu. Sesekali matanya melirik ke pintu kamar, di mana Ayudia duduk bersandar di samping buaian bayi mereka. Wajah istrinya pucat, air mata belum juga berhenti sejak kebenaran itu terungkap di makam leluhur.Pak Ranu duduk bersila, menutup mata, bibirnya komat-kamit membaca doa-doa lama. Raden dan Saka berjaga di luar, membawa obor dan tombak seadanya, meski mereka tahu senjata biasa mungkin tak berarti melawan makhluk dari perjanjian kuno.Ketegangan itu memuncak ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar rumah. T

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 117

    Senja telah runtuh, dan malam kembali menurunkan tirainya di desa kecil itu. Di langit, bulan sabit perlahan merayap naik, redup, bersembunyi di balik awan. Namun, bagi Artha, Raden, Saka, dan Pak Ranu yang baru saja keluar dari hutan larangan, malam itu seperti tak memberi ruang istirahat.Keringat dingin masih menempel di dahi mereka, meski udara sekitar menusuk dengan hawa lembap. Artha menggenggam kerisnya begitu erat, seolah pusaka itu adalah satu-satunya yang mengikatnya pada kewarasan. Ia menatap ujung senjata itu, yang masih berkilau samar, bergetar halus seakan menyimpan napas hidup.“Pak Ranu,” suara Artha akhirnya pecah, lirih namun dipenuhi kegelisahan. “Apa maksudnya… aku keturunan yang membawa kunci? Apa pusaka ini memang… ditakdirkan untuk menahan roh itu?”Pak Ranu berhenti melangkah, menatap Artha lama. Wajahnya yang tua semakin suram diterpa cahaya obor. “Artha, leluhurmu—leluhur kita semua—dulu adalah orang yang membuat perjanjian pertama. Tapi ada satu yang berkhia

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 116

    Malam itu, udara desa terasa lebih berat dari biasanya. Seakan-akan setiap hela nafas membawa serta aroma tanah basah yang bercampur darah. Angin tidak hanya sekadar berhembus—ia berisik, mengguncang genteng-genteng rumah, membuat dedaunan saling bergesekan dengan bunyi yang menyerupai bisikan samar. Bulan sabit yang tadi tergantung redup kini hampir sepenuhnya tertutup awan kelabu, seolah ikut bersekongkol menyembunyikan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kegelapan malam.Artha duduk di lantai dengan tubuh masih gemetar. Keringat dingin menetes di pelipisnya. Tatapannya kosong, menembus ke luar jendela tempat sosok menyerupai Ayudia tadi berdiri. Suara itu masih terngiang jelas di telinganya: “Berikan bayi itu padaku. Ia lahir dari darahku. Ia anakku…”Ia menggenggam keris lebih erat, seolah benda pusaka itu adalah satu-satunya yang menahannya agar tidak pecah oleh tekanan. Sementara itu, Ayudia terus memeluk bayi mereka, mengayun-ayun pelan meski tangis si kecil tak juga mere

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 115

    Malam itu, bulan sabit tergantung redup di langit. Awan tipis bergerak perlahan, seolah menyembunyikan cahaya, memberi ruang bagi kegelapan untuk semakin menguasai desa. Di rumah Artha, suasana tegang tidak kunjung reda. Bayi mereka kembali rewel, menangis panjang tanpa sebab, seakan-akan merasakan sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia biasa.Artha duduk di lantai dekat ranjang, matanya merah karena kurang tidur. Ia memegang keris di pangkuan, jari-jarinya gemetar. Sejak malam sosok berselendang putih itu muncul, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Setiap kali menutup mata, ia melihat wajah samar perempuan itu. Kadang wajahnya menyerupai Ayudia, kadang seperti sosok asing yang penuh dendam.Ayudia, meski berusaha tegar, mulai menunjukkan tanda kelelahan. “Artha… aku tidak sanggup kalau begini terus. Bayi ini seolah tidak mau diam setiap malam. Tangisnya… selalu sama. Panjang, berat… bukan seperti bayi biasa,” ucapnya lirih sambil mengelus kepala si kecil.Artha menol

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 114

    Malam itu benar-benar terasa panjang. Angin berhembus dengan suara yang aneh, seolah membawa bisikan dari dunia lain. Artha masih duduk di ruang tengah, napasnya belum teratur meski ia berusaha menenangkan diri setelah kejadian di teras. Ayudia, yang kelelahan setelah menimang bayi mereka, akhirnya tertidur kembali, sementara si kecil masih sesekali terisak dalam pelukan ibunya. Namun, mata Artha tak kunjung terpejam. Ia merasa dadanya dihantam beban yang tak terlihat. Kain putih pemberian Ayudia yang selalu ia bawa saat masuk ke hutan kini diletakkannya di pangkuan. Entah mengapa, kain itu kini terasa dingin, padahal seharusnya hangat setelah digenggam sekian lama. Di luar, suara-suara malam masih terdengar. Jangkrik, kodok, dedaunan yang bergesekan. Semuanya normal, seharusnya. Tapi telinga Artha menangkap sesuatu yang lain—lirih, samar, tapi jelas menyusup. Suara langkah kaki. Krekk… krekk… Seperti seseorang berjalan di pematang sawah, pelan tapi mantap. Artha menahan napas.

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 113

    Sorak-sorai warga desa membanjiri udara malam. Mereka berlari menyambut rombongan yang baru saja keluar dari hutan larangan, membawa kabar yang tak pernah berani mereka harapkan. Beberapa menyalakan obor tambahan, menyoroti wajah lelah Artha, Raden, Saka, dan Pak Ranu. Ada yang menangis sambil menciumi tangan sesepuh tua itu, ada pula yang langsung bersujud syukur di tanah berdebu.Namun, di tengah kegembiraan itu, ada satu jiwa yang tetap terdiam. Artha.Ia berdiri tegak, tubuhnya masih kaku, tangan yang menggenggam keris bergetar tipis. Kerumunan tak lagi terdengar, sorak dan tangis seolah berganti menjadi bisikan jauh di telinganya. Matanya hanya tertuju pada satu titik—rumah kecil di ujung jalan, samar terlihat di bawah cahaya bulan separuh. Di sana, Ayudia dan bayi mereka menunggu.Atau… benarkah menunggu?Kain putih yang menempel di dadanya semakin dingin. Artha merasa seolah ada cairan merembes darinya, padahal tak ada noda baru yang tampak. Nafasnya terengah, seperti ada tanga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status