Malam di desa itu jatuh pelan, seperti kain tipis yang menutup segala kegaduhan dunia luar. Lampu-lampu minyak mulai dinyalakan di teras rumah-rumah, sementara suara jangkrik dan gemericik air dari parit kecil di belakang rumah panggung nenek mengisi udara. Ayudia duduk di beranda, lututnya ditekuk, memeluk cangkir teh hangat yang baru saja diseduh. Dari dapur, terdengar suara panci beradu dengan sendok kayu. Nenek sedang menyiapkan makan malam—sayur asem, ikan asin goreng, dan sambal tomat segar. Bau wangi itu membuat perut Ayudia yang sedari siang belum diisi banyak mulai berontak. Arthayasa keluar dari kamar setelah membersihkan diri. Rambutnya masih basah, kaosnya sederhana, tapi ada ketenangan yang belum pernah Ayudia lihat di dirinya selama ini. Lelaki itu duduk di sampingnya, menghela napas panjang. “Udara di sini beda banget ya,” katanya pelan. “Bahkan napas rasanya lebih ringan.” Ayudia tersenyum kecil. “Beda banget sama gudang berdebu itu, jelas lah.” Arthayasa terkek
Malam di atas atap gudang itu terasa berbeda dari malam-malam lain. Bukan hanya karena suara kota di kejauhan, atau angin yang membawa aroma logam dan debu dari atap seng tua ini, tapi karena ada sesuatu di antara mereka berdua yang baru saja berubah. Ayudia masih duduk di kursinya, kaki menjuntai, menatap Arthayasa yang baru saja bersorak seperti anak kecil habis menang lomba. Tatapan itu campuran antara geli, haru, dan… takut. Takut karena ia tahu, setiap kebahagiaan di dunia mereka selalu dibuntuti bahaya. Arthayasa kembali duduk di sampingnya, napasnya masih sedikit memburu karena kegirangan. “Kamu beneran mau, kan?” tanyanya sekali lagi, seperti anak kecil yang takut es krimnya direbut. Ayudia mengangguk, senyumnya tipis tapi hangat. “Aku udah bilang iya, Artha. Nggak usah diulang-ulang. Nanti aku tarik lagi jawabannya.” Arthayasa langsung memasang ekspresi panik. “Eh, nggak, nggak. Udah sah. Udah masuk buku catatan semesta.” Mereka berdua tertawa kecil. Tapi tawa itu per
Gudang lama di pinggiran Cileungsi kini jadi markas sementara tim kecil mereka. Tidak ada plang nama, tidak ada aktivitas mencolok—hanya cat rusak, pagar karatan, dan seekor anjing tua yang ditinggalkan pemiliknya. Tapi di dalamnya, detak perlawanan kembali hidup. Pagi itu, meja utama dipenuhi dokumen, peta digital, dan tablet dengan koneksi satelit gelap. Pak Tyo, seperti biasa, duduk paling dekat layar besar yang menampilkan jaringan pengiriman senjata bawah tanah di Asia Tenggara. Arthayasa berdiri di depan papan taktik, menunjuk salah satu titik merah yang berkedip. “Ini tempat pertama kita, ini adalah gudang senjata yang katanya baru aktif seminggu terakhir. Lokasinya di Bekasi Barat, dan dari laporan Bram, ada aktivitas keluar masuk malam hari. Kita curiga ini jalur masuk senjata Reza.” Surya bersandar di dinding, tangan masih memegang botol air. “Kalau kita masuk terlalu cepat, mereka bakal bersih-bersih duluan.” Ayudia duduk di pojok, mencatat dengan tekun. Ia tak
Suara sirene semakin mendekat. Cahaya biru-merah dari mobil patroli mulai terlihat membelah gelapnya malam di kejauhan. Tapi Arthayasa, Surya, dan Pak Tyo tak mengendurkan langkah. Mereka terus berlari melewati lorong kanal belakang, napas memburu, tubuh berlumur lumpur dan darah, dan dalam pelukan Arthayasa—Ayudia menggigil dalam diam. Tangannya mencengkeram baju pria itu seakan nyawa tergantung padanya. “Gue yang nyetir,” ucap Surya cepat saat mereka mencapai mobil van yang ditinggalkan dalam semak-semak. Pak Tyo segera naik ke kursi depan, memeriksa jalur yang sudah dia rancang seminggu sebelumnya. “Kita bawa dia ke safehouse 3. Jangan ke pos utama. Mereka pasti akan menyisir semua titik kontak.” Arthayasa hanya mengangguk. Ia memeluk Ayudia lebih erat, tubuhnya yang kelelahan tak menghentikan tekadnya untuk tetap siaga. Ia duduk di baris belakang, membaringkan tubuh Ayudia di atas pangkuannya. Hujan deras masih mengguyur, tapi di dalam mobil itu, keheningan terasa lebih mem
Suara hujan di luar bercampur dengan dentuman tembakan dari arah depan. Geng Bram benar-benar membuat neraka di halaman gudang itu, dan itu artinya waktu mereka sangat sedikit sebelum bala bantuan Darma datang.Namun di dalam ruangan itu, semuanya terasa sunyi.Arthayasa menatap Darma—lelaki dengan tubuh kekar berbalut kaus hitam, tangan kanan menempelkan pistol di kepala Ayudia, tangan kiri santai di saku celana. Senyum bengisnya membuat udara di ruangan semakin berat.“Darma,” suara Arthayasa bergetar, tetapi matanya tajam seperti mata pisau. “Lepasin dia. Sekarang.”Darma hanya mengangkat alis, seolah menikmati ketakutan mereka. “Kau tahu, Artha? Seharusnya aku bunuh kau waktu itu. Tapi aku pikir… lebih menyenangkan melihatmu datang sendiri ke kandang singa. Membawa nyawamu, menyerahkan kepadaku.”Arthayasa mengepalkan tangan di gagang senjatanya. Ia bisa mendengar napas Ayudia—cepat, terputus-putus—dan itu membuat darahnya mendidih.Surya yang berdiri di belakang Arthayasa mengang
Hujan belum reda ketika malam itu datang. Langit Jakarta seperti tak berhenti menangis, seolah mengerti apa yang akan terjadi. Safehouse berubah menjadi markas perang: senjata dibongkar-pasang, rompi antipeluru disiapkan, dan peta rute disorot oleh lampu meja yang remang. Semua orang tahu—besok malam, banyak nyawa bisa jadi tak akan pulang. Arthayasa berdiri di depan jendela kecil kamarnya, menatap gelap di luar. Tetes-tetes hujan membentuk garis-garis tak beraturan di kaca. Tapi pikirannya jauh dari sana—ia melihat Ayudia. Membayangkan wajahnya. Membayangkan ketakutannya. Membayangkan Darma… dan setiap detik, imajinasinya makin kejam. Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk pelan. “Artha,” suara Surya. “Masuk,” sahutnya datar. Surya masuk dengan kaus oblong dan celana kargo, membawa dua gelas kopi. Ia menaruh salah satunya di meja kecil dekat ranjang. “Minum dulu. Gue tahu lo nggak akan tidur malam ini.” Artha menoleh sekilas, menerima kopi itu. “Lo juga nggak tidur?” Surya terseny