Share

S2 bab 62

Author: Mariahlia
last update Huling Na-update: 2025-08-04 13:39:45

Langit malam Jakarta berwarna hitam pekat. Lampu-lampu kota di kejauhan hanya terlihat seperti kunang-kunang yang mencoba menipu diri sendiri bahwa dunia di bawahnya masih aman. Tapi di safehouse milik Pak Tyo, suasana terasa seperti penjara.

Arthayasa duduk di kursi reyot dekat jendela kecil, menatap keluar ke lorong yang gelap. Dia tidak bisa tidur. Tidak malam ini. Pikiran tentang Darma, tentang perang yang sebentar lagi akan meledak, membuatnya gelisah.

Ayudia terbaring di kasur, tapi matanya juga terbuka. Sejak kembali dari pertemuan dengan Pak Tyo tadi sore, Arthayasa hampir tidak bicara. Hanya beberapa kata pendek, dingin, seperti pria yang menyiapkan dirinya untuk masuk ke jurang yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun.

“Artha.” Suara Ayudia pelan, tapi cukup untuk membuatnya menoleh.

“Hmm?”

“Kamu yakin mau lakukan ini? Kembali… ke dunia itu? Kamu tahu apa artinya kalau Papa sampai benar-benar menyerang tempat ini.”

Arthayasa menghela napas panjang, lalu mendekat dan duduk di
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 70

    Malam di desa itu jatuh pelan, seperti kain tipis yang menutup segala kegaduhan dunia luar. Lampu-lampu minyak mulai dinyalakan di teras rumah-rumah, sementara suara jangkrik dan gemericik air dari parit kecil di belakang rumah panggung nenek mengisi udara. Ayudia duduk di beranda, lututnya ditekuk, memeluk cangkir teh hangat yang baru saja diseduh. Dari dapur, terdengar suara panci beradu dengan sendok kayu. Nenek sedang menyiapkan makan malam—sayur asem, ikan asin goreng, dan sambal tomat segar. Bau wangi itu membuat perut Ayudia yang sedari siang belum diisi banyak mulai berontak. Arthayasa keluar dari kamar setelah membersihkan diri. Rambutnya masih basah, kaosnya sederhana, tapi ada ketenangan yang belum pernah Ayudia lihat di dirinya selama ini. Lelaki itu duduk di sampingnya, menghela napas panjang. “Udara di sini beda banget ya,” katanya pelan. “Bahkan napas rasanya lebih ringan.” Ayudia tersenyum kecil. “Beda banget sama gudang berdebu itu, jelas lah.” Arthayasa terkek

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 69

    Malam di atas atap gudang itu terasa berbeda dari malam-malam lain. Bukan hanya karena suara kota di kejauhan, atau angin yang membawa aroma logam dan debu dari atap seng tua ini, tapi karena ada sesuatu di antara mereka berdua yang baru saja berubah. Ayudia masih duduk di kursinya, kaki menjuntai, menatap Arthayasa yang baru saja bersorak seperti anak kecil habis menang lomba. Tatapan itu campuran antara geli, haru, dan… takut. Takut karena ia tahu, setiap kebahagiaan di dunia mereka selalu dibuntuti bahaya. Arthayasa kembali duduk di sampingnya, napasnya masih sedikit memburu karena kegirangan. “Kamu beneran mau, kan?” tanyanya sekali lagi, seperti anak kecil yang takut es krimnya direbut. Ayudia mengangguk, senyumnya tipis tapi hangat. “Aku udah bilang iya, Artha. Nggak usah diulang-ulang. Nanti aku tarik lagi jawabannya.” Arthayasa langsung memasang ekspresi panik. “Eh, nggak, nggak. Udah sah. Udah masuk buku catatan semesta.” Mereka berdua tertawa kecil. Tapi tawa itu per

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 68

    Gudang lama di pinggiran Cileungsi kini jadi markas sementara tim kecil mereka. Tidak ada plang nama, tidak ada aktivitas mencolok—hanya cat rusak, pagar karatan, dan seekor anjing tua yang ditinggalkan pemiliknya. Tapi di dalamnya, detak perlawanan kembali hidup. Pagi itu, meja utama dipenuhi dokumen, peta digital, dan tablet dengan koneksi satelit gelap. Pak Tyo, seperti biasa, duduk paling dekat layar besar yang menampilkan jaringan pengiriman senjata bawah tanah di Asia Tenggara. Arthayasa berdiri di depan papan taktik, menunjuk salah satu titik merah yang berkedip. “Ini tempat pertama kita, ini adalah gudang senjata yang katanya baru aktif seminggu terakhir. Lokasinya di Bekasi Barat, dan dari laporan Bram, ada aktivitas keluar masuk malam hari. Kita curiga ini jalur masuk senjata Reza.” Surya bersandar di dinding, tangan masih memegang botol air. “Kalau kita masuk terlalu cepat, mereka bakal bersih-bersih duluan.” Ayudia duduk di pojok, mencatat dengan tekun. Ia tak

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 67

    Suara sirene semakin mendekat. Cahaya biru-merah dari mobil patroli mulai terlihat membelah gelapnya malam di kejauhan. Tapi Arthayasa, Surya, dan Pak Tyo tak mengendurkan langkah. Mereka terus berlari melewati lorong kanal belakang, napas memburu, tubuh berlumur lumpur dan darah, dan dalam pelukan Arthayasa—Ayudia menggigil dalam diam. Tangannya mencengkeram baju pria itu seakan nyawa tergantung padanya. “Gue yang nyetir,” ucap Surya cepat saat mereka mencapai mobil van yang ditinggalkan dalam semak-semak. Pak Tyo segera naik ke kursi depan, memeriksa jalur yang sudah dia rancang seminggu sebelumnya. “Kita bawa dia ke safehouse 3. Jangan ke pos utama. Mereka pasti akan menyisir semua titik kontak.” Arthayasa hanya mengangguk. Ia memeluk Ayudia lebih erat, tubuhnya yang kelelahan tak menghentikan tekadnya untuk tetap siaga. Ia duduk di baris belakang, membaringkan tubuh Ayudia di atas pangkuannya. Hujan deras masih mengguyur, tapi di dalam mobil itu, keheningan terasa lebih mem

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 66

    Suara hujan di luar bercampur dengan dentuman tembakan dari arah depan. Geng Bram benar-benar membuat neraka di halaman gudang itu, dan itu artinya waktu mereka sangat sedikit sebelum bala bantuan Darma datang.Namun di dalam ruangan itu, semuanya terasa sunyi.Arthayasa menatap Darma—lelaki dengan tubuh kekar berbalut kaus hitam, tangan kanan menempelkan pistol di kepala Ayudia, tangan kiri santai di saku celana. Senyum bengisnya membuat udara di ruangan semakin berat.“Darma,” suara Arthayasa bergetar, tetapi matanya tajam seperti mata pisau. “Lepasin dia. Sekarang.”Darma hanya mengangkat alis, seolah menikmati ketakutan mereka. “Kau tahu, Artha? Seharusnya aku bunuh kau waktu itu. Tapi aku pikir… lebih menyenangkan melihatmu datang sendiri ke kandang singa. Membawa nyawamu, menyerahkan kepadaku.”Arthayasa mengepalkan tangan di gagang senjatanya. Ia bisa mendengar napas Ayudia—cepat, terputus-putus—dan itu membuat darahnya mendidih.Surya yang berdiri di belakang Arthayasa mengang

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 65

    Hujan belum reda ketika malam itu datang. Langit Jakarta seperti tak berhenti menangis, seolah mengerti apa yang akan terjadi. Safehouse berubah menjadi markas perang: senjata dibongkar-pasang, rompi antipeluru disiapkan, dan peta rute disorot oleh lampu meja yang remang. Semua orang tahu—besok malam, banyak nyawa bisa jadi tak akan pulang. Arthayasa berdiri di depan jendela kecil kamarnya, menatap gelap di luar. Tetes-tetes hujan membentuk garis-garis tak beraturan di kaca. Tapi pikirannya jauh dari sana—ia melihat Ayudia. Membayangkan wajahnya. Membayangkan ketakutannya. Membayangkan Darma… dan setiap detik, imajinasinya makin kejam. Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk pelan. “Artha,” suara Surya. “Masuk,” sahutnya datar. Surya masuk dengan kaus oblong dan celana kargo, membawa dua gelas kopi. Ia menaruh salah satunya di meja kecil dekat ranjang. “Minum dulu. Gue tahu lo nggak akan tidur malam ini.” Artha menoleh sekilas, menerima kopi itu. “Lo juga nggak tidur?” Surya terseny

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status