Se connecterHari ini sesuai yang di ucapkan oleh Nisa kemarin, wanita itu pergi ke klinik yang berada di Desa itu. Pastinya, setelah Nisa sudah siap dengan pekerjaan rumah, serta pergi ke pasar. Jarak klinik itu lumayan jauh, Nisa berjalan kaki, karena uangnya hanya cukup untuk memeriksa kandungannya saja.
Nisa menarik nafasnya, saat merasakan perut nya kram, wanita berhijab itu langsung menghentikan langkah kakinya. Beruntung di pinggir jalan ada bangku kayu panjang, Nisa mendudukkan dirinya sejenak di sana, sebelum melanjutkan perjalanannya lagi. Nafas nya terengah-engah, keringat terus mengucur deras di keningnya. Badannya sudah lelah sekali, rasanya sudah tidak kuat berjalan kembali, namun dirinya harus tetap memaksakan diri. Hanya tinggal beberapa meter lagi, dirinya akan sampai di klinik. Nisa mengelus dengan lembut perutnya yang membesar. "Sayang, kamu yang kuat ya, sebentar lagi kamu bakalan di periksa sama ibu bidan," monolog Nisa. Setelah di rasa sudah lebih baik, Nisa lalu bangkit dari duduk nya lagi, wanita itu melanjutkan langkah kakinya menuju ke klinik itu. Ya klinik satu-satunya yang berada di Desa itu. Desa tempat tinggal suami Nisa memang terbilang masih pelosok, jauh sekali dari perkotaan, jika ingin menuju ke kota, mereka harus menempuh jarak hingga sepuluh jam-an. Itu juga terbilang cepat kalau tidak ada kendala, karena biasanya mereka harus menghadapi jalanan yang licin saat hujan turun tiba-tiba. Sesampainya di klinik itu, sudah ramai banyak sekali ibu-ibu hamil yang tengah mengantri untuk memeriksa kan kandungan mereka masing-masing. Karena Nisa datang agak terlambat, Nisa mendapatkan nomor urut antrian ke sepuluh. Nisa mencecap bibirnya yang kering itu, sungguh mengantri membuatnya kehausan. Apa lagi tadi dirinya berjalan cukup lumayan jauh. Perutnya juga terasa perih karena lapar, tadi di rumah dirinya tidak makan apa-apa. Nisa hanya minum air putih dan setelahnya wanita itu pergi. Bukannya Nisa tidak mau makan, tapi lagi dan lagi ibu mertuanya lah yang melarangnya. Ibu mertuanya itu selalu mengancam Nisa jika Nisa akan makan. Setiap harinya memang selalu seperti itu. Beruntung bude Sira selalu menawari dirinya untuk makan, kalau tidak, Nisa akan berpuasa seharian, dan akan makan jika datang ke rumah bude Sira kembali. Tersiksa, jelas Nisa tersiksa, tubuhnya bahkan yang hamil itu sudah kurus kering. Hanya perutnya saja yang menonjol. Mirna melakukan hal itu memang sengaja, dirinya memang ingin membuat Nisa tidak tahan dan berakhir pergi dari kehidupan anaknya. Mirna tidak akan pernah sudih memiliki menantu seperti Nisa. Nisa meneguk ludahnya saat melihat pedagang es buah keliling yang tengah berhenti di depan klinik. Banyak ibu-ibu yang mengantri menunggu panggilan dari ibu bidan menghampiri penjual itu dan membelinya. Rasanya air liur Nisa ingin menetes saja saat membayangkan air es bercampur dengan buah itu memasuki tenggorokannya. Nisa sampai mengelus perutnya. Berulangkali membuang pandangannya agar tidak melihat seplastik minuman itu, namun matanya seakan tidak bisa di ajak kompromi. Matanya terus memandangi seorang ibu-ibu yang tengah menyeruput air es buah itu. "Ya Allah" lirih Nisa. Sesak sekali rasanya seperti ini. Ingin sekali Nisa membelinya, namun lagi dan lagi wanita itu tidak mempunyai uang. Uangnya hanya cukup untuknya memeriksa kandungannya. Menit yang terasa mencengkam itu berlalu, hingga kini giliran Nisa yang di panggil. Nisa mengucapkan syukur di dalam hatinya, akhirnya dirinya terhindar dari rasa inginnya akan es buah itu. Nisa berjalan menuju ke ruangan tempat dirinya akan memeriksa kandungannya. "Silakan berbaring dulu Buk. Saya akan memeriksa bayinya." Ucap ibu bidan. Nisa berbaring di brangkar itu, lalu sang bidan menyibak sedikit baju lusuh milik Nisa yang langsung menampilkan perut buncitnya itu. Beberapa menit setelahnya. "Maaf buk, saya harus menyampaikan berita ini. Maaf sekali, anak ibuk di dalam kandungan saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ibuk juga, ibuk sepertinya sangat kekurangan gizi. Postur tubuh ibuk hamil tidak seperti ini buk. Ibuk kekurangan berat badan. Bahkan janin ibuk bisa keguguran jika ibuk tidak ada kemajuan sama sekali." Deg Hancur sekali hati Nisa saat mendengarnya. Bulan kemarin dirinya masih mendengar kabar baik tentang kandungannya, namun bulan yang menginjak bulan ke lima ini, Nisa harus mendengar kabar buruk. Sungguh terasa sesak dadanya. "Buk bidan,, bagaimana? Apa yang harus saya lakukan agar anak saya tidak kenapa-kenapa?" Tanya Nisa. Air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya. Sungguh dirinya tidak tahan untuk tidak menangis. Ibu bidan itu menghela nafasnya dengan kasar. "Saya sarankan segeralah ibuk ke rumah sakit. Bukannya apa buk. Kami hanya klinik, alat dan obat kami tidak memadai di sini. Di sana nanti ibuk akan di rawat. Mumpung belum terlambat, ibuk bisa segera pergi ke rumah sakit." Bertambahlah hancur hati Nisa saat mendengarnya. Sungguh bagaimana dirinya bisa pergi ke kota jika seperti ini. Uang saja dirinya tidak punya. Tapi dirinya akan membicarakan ini kepada suaminya nanti, berharap Doni mau mendengarkannya, ini juga demi anak mereka berdua. Semoga • Dengan langkah lunglai, Nisa sudah sampai di rumah mertuanya. Beruntung hari ini ibuk mertuanya dan adik iparnya tengah pergi ke pesta sanak saudara mereka di desa seberang. Kemungkinan besar keduanya akan pulang nanti malam. Dan bersyukur sekali Nisa, setidaknya tidak ada suara-suara hinaan yang terdengar di telinga nya. Nisa masuk ke rumah dan langsung di tatap oleh suaminya yang rupanya sudah pulang dari bekerja. Nisa langsung menghampiri Doni, meraih punggung tangan pria berstatus suaminya itu lalu mencium punggung tangannya dengan takzim. "Assalamualaikum bang. Abang udah lama pulangnya?" Tanya Nisa lembut. Walaupun kemarin suami nya itu berbuat kasar dengannya, namun Nisa sudah mencoba melupakannya. Nisa berharap Doni tidak berkelakuan kasar lagi dengan dirinya. "Hm" sahut Doni. Nisa tersenyum kecut mendengarnya. Entah mengapa sikap suaminya terbilang cuek beberapa hari ini. "Abang udah makan? Nisa ambilkan, atau mau Kopi?" "Enggak usah. Abang mau ngomong sama kamu" cetus Doni. Nisa menganggukkan kepalanya. "Kamu darimana?" Tanya Doni. Nisa tersenyum mendengarnya, entah mengapa hal itu membuat hati Nisa menghangat, jika suami nya bertanya seperti itu, berarti Doni masih perhatian kepadanya bukan. Ini adalah kesempatan untuk Nisa membicarakan tentang kehamilannya kepada suaminya itu. "Bang, aku dari klinik, periksa kandungan." Ucap Nisa, lalu Nisa menceritakan semuanya perihal kandungannya. "Bagaimana menurut Abang? Apakah kita bisa ke kota segera?" Tanya Nisa. Doni terkekeh mendengarnya, lalu bangkit dari duduknya dan menatap tajam ke arah istrinya itu. "Jangan ngimpi! Mau dia mati juga aku enggak peduli. Karena sejak awal aku memang tidak mengharapkan kehadirannya." Duarrrr Perkataan suaminya bagaikan petir disiang hari, langsung menyambar sampai ke relung hati Nisa. Air mata Nisa meluruh, "ya Allah, sampai kapan semua ini. Hamba tidak kuat" lirih Nisa. "Kalau tidak kuat ya minta cerai saja!" degh Mata Nisa terbelalak mendengar perkataan seseorang yang baru saja masuk kedalam rumah mertuanya itu.Malam itu tidak hanya memeluk hutan — ia meresap sampai ke dasar akar, menyalakan napas tua yang tertidur selama ratusan tahun.Lira duduk bersila di depan makhluk itu, tubuhnya perlahan terbiasa dengan hawa dingin yang terbit setiap kali sang cahaya kecil merespons dunia. Reno berdiri setengah lingkaran di belakangnya, sementara tiga elder — Biru, Keemasan, dan Putih — melayang seperti bintang yang memilih menetap di bumi.Semua menunggu.Semua mendengarkan.Cahaya kecil itu terus berdenyut, seperti sebuah hati yang mencari irama pertamanya. Lira merasakan getaran kecil menyentuh kulitnya — seperti bulu halus air di permukaan sungai.Lalu sebuah bisikan muncul lagi:…Titik itu… memanggilku…Lira menarik napas. “Bisakah kau mendeskripsikannya?”Hening.Kabut menari sebentar, menyelip di antara akar seperti ular putih lembut.Lalu:Seperti… cahaya yang tidak lengkap.Seperti… akar yang belum menyentuh tanah.Seperti… aku.Reno bergerak sedikit. “Ia menemukan resonansi.”“Resonansi?” ta
Cahaya kecil itu tertidur.Jika “tidur” adalah kata yang benar untuk menggambarkan keadaan makhluk yang belum sepenuhnya memiliki wujud. Namun demikianlah ia tampak: melayang tenang di atas akar waringin, berdenyut lembut seperti hembusan napas pertama anak manusia yang baru lahir. Kabut yang tadi terbelah kini berkumpul pelan, mengerut mengelilingi wujud mungil itu seolah menjadi selimut.Lira duduk bersila tak jauh darinya, kedua telapak tangannya hangat oleh sisa getaran makhluk tersebut. Ia merasa lelah — bukan lelah tubuh, melainkan lelah batin yang datang setelah menghadapi sesuatu yang belum sempat ia pahami sepenuhnya.Reno berdiri di sampingnya, cahaya tubuhnya memancar seperti api unggun yang dipenuhi kesabaran.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Lira tanpa membuka mata.“Mengawasinya,” jawab Reno. Suaranya tidak lebih keras dari desau kabut. “Ia belum menemukan bentuk, belum mengenali batas antara dirinya dan dunia.”Lira mengangguk pelan. “Ia menghilangkan energ
Fajar merayap perlahan dari balik lembah, menyebarkan garis-garis cahaya keemasan yang menembus sela-sela pohon tinggi. Embun yang masih menempel di ujung daun memantulkan sinarnya, membuat hutan tampak seperti dipenuhi serpihan kaca kecil yang berkilau. Pada pagi itu, keheningan terasa bukan sebagai kekosongan, melainkan sebagai ruang luas tempat dunia bernapas dengan damai.Di bawah pohon waringin, tempat cahaya selalu kembali berkumpul, Lira duduk bersandar pada akar raksasa yang seolah memeluknya. Ia memejamkan mata, membiarkan suara dari kedalaman hutan memasuki dirinya perlahan, sampai ia bisa membedakan setiap detaknya: denyut sungai, bisik dedaunan, getar halus cahaya yang menari di udara.Namun pagi itu, ada sesuatu yang tidak sepenuhnya sama.Ada desah samar di antara irama hutan — suara yang bukan milik Reno, bukan milik para penjaga lama, dan bukan pula gema nyanyian Lira sendiri.Suara itu… muda.Seperti ranting kecil yang patah, atau seperti helaan napas yang belum diaja
Pagi datang tanpa tergesa.Kabut tipis masih melayang di antara batang-batang pohon, membentuk tirai putih yang bergeser perlahan ketika cahaya pertama menyentuh daun-daun basah. Di udara, aroma tanah dan lumut berpadu lembut, seperti ingatan yang menolak pudar. Suara air menetes dari ujung daun terdengar seperti denting kecil, mengisi kesunyian yang tidak benar-benar sunyi.Reno berjalan tanpa suara.Langkahnya tak meninggalkan jejak di tanah, hanya pantulan samar cahaya yang sesekali menyala di sekitar rumput yang ia lewati. Wujudnya kini nyaris tak bisa dibedakan dari kabut—kadang tampak, kadang lenyap, seperti bagian dari napas hutan itu sendiri.Ia telah belajar hidup dalam keabadian yang tenang.Tidak ada siang, tidak ada malam; hanya irama panjang antara cahaya dan kabut, antara embun yang turun dan sungai yang bangun. Namun meski segalanya mengalir dalam keseimbangan, ia tahu hutan tak pernah benar-benar berhenti berubah. Setiap daun yang gugur, setiap akar yang merambat sedik
Sejak malam purnama itu, hutan menjadi tempat yang berbeda.Tidak ada yang benar-benar berubah — pohon-pohon masih berdiri di tempatnya, akar-akar masih berkelindan di tanah lembab, dan kabut masih turun setiap malam — namun ada sesuatu yang kini berdenyut di bawah semuanya.Sebuah napas baru.Sebuah kesadaran yang lebih dalam dari diam.Kabut yang dulu sekadar tirai lembut kini bergerak seperti benang cahaya yang hidup. Ia melingkupi batang-batang pohon, menelusuri lekuk batu dan daun, membawa bisikan halus yang tak dapat diucapkan dalam bahasa manusia. Di sanalah Artha dan Reno kini tinggal — bukan lagi sebagai sosok yang terpisah dari hutan, melainkan sebagai bagian dari harmoni besar yang berputar tanpa akhir.Reno tumbuh di dalam cahaya.Tidak ada ukuran waktu di tempat itu, namun dalam setiap nyala lembut yang bergetar di udara, jiwanya bertambah matang. Ia belajar mendengarkan akar berbicara, belajar memahami bahasa serangga dan embun, belajar mengenali setiap suara yang tidak
Kabut di hutan itu tak lagi menakutkan. Ia turun setiap malam, perlahan seperti tirai lembut yang menutupi dunia, membawa keheningan yang lebih dalam dari tidur, lebih hangat dari doa.Di bawah pohon waringin yang tua, cahaya putih lembut mengalir dari akar hingga ujung ranting. Tidak menyilaukan — hanya bersinar seperti napas bumi yang tenang. Di sanalah tiga sosok itu tinggal kini. Tidak benar-benar tubuh, tidak pula sekadar bayangan. Sesuatu di antara keduanya — bentuk dari kenangan yang masih ingin bertahan.Artha duduk di akar besar yang menonjol dari tanah lembab, jemarinya menelusuri guratan kayu yang hangat. Reno berlari kecil di sekitar mereka, tertawa dengan suara yang bergema pelan, seperti gema dari masa lalu yang kembali hidup.Dan Ayudia… berdiri di tepi cahaya, matanya menatap kabut yang bergulung di kejauhan.Ia tahu, di luar sana masih ada dunia lain — dunia ladang dan sungai, dunia tempat ayam berkokok di pagi hari, tempat suara genta sapi terdengar menjelang senja.







