Masuk"Sudah mau pulang? Kamu mau bude bawakan makanan tidak Nis?" Sira menawarkan makanan pada Nisa, namun Nisa menggelengkan kepalanya, jelas tentu menolaknya karena Nisa terlalu sungkan selalu di berikan makanan seperti itu pada bude Sira setiap harinya.
"Enggak usah bude, nanti Nisa makan di rumah. Oiya kalau bude enggak keberatan, Nisa boleh minta satu keripiknya?" Sudah Sira tebak, jika wanita itu pasti akan berbohong lagi, Sira sungguh sampai tidak sanggup menahan gejolak di dalam dadanya. Sakit sekali rasanya, sudah Sira tebak, jika Nisa tidak akan makan di rumah suaminya itu. Nisa akan mengganjal perutnya dengan sebungkus kripik pisang saja. "Nis, sini dulu. Kebetulan tadi ada lebih bakso, yuk kita makan bareng" Sira menarik tangan Nisa membawanya menuju ke meja. "Tapi nanti, bang Doni udah pulang bude" "Enggak apa-apa. Kalau Doni marah, biar bude yang hadapi. Kamu jangan takut. Kita cuman makan bakso bareng" ucap Sira, bukannya tidak sopan mengajarkan yang tidak-tidak pada Nisa, namun Sira rasanya geram sendiri dengan keponakannya itu. Kadang Doni akan bersikap kelewatan saat istrinya hanya membuat kesalahan sedikit saja. "Des, sini makan bareng" teriak Sira kepada anak bungsunya itu. Desi tersenyum lalu menghampiri keduanya duduk di samping Nisa. "Makan yang banyak mbak Nisa. Biar Dede bayinya tumbuh baik di dalam" ucap Desi, tangannya terulur mengelus perut buncit milik Nisa. Nisa tersenyum, sungguh baik sekali Desi ini. "Makasih Desi." Mereka lalu makan dengan lahap. • Nisa berjalan pulang dengan perut kenyang, tangannya membawa dua bungkus keripik pisang dari tempat bude Sira. Tadi dirinya hanya meminta satu, tapi wanita paruh baya itu malah meminta Nisa untuk membawa beberapa, tapi Nisa menolaknya. Sudah di gaji, makan di sana, ini di beri banyak keripik pisang lagi, malu rasanya. Wanita itu sangat baik, tidak mungkin Nisa memanfaatkan kebaikan orang. Cukup dirinya di beri uang upah sewaktu dirinya membantu bude Sira itu sudah cukup. Karena besok dirinya akan pergi memeriksakan kandungannya. "Hebat, hari gini baru pulang. "Cetus Mirna saat melihat Nisa baru saja memasuki rumahnya. "Enak banget ya, pasti habis hangout bareng sama temen-temen sosialitanya, padahal bang Doni udah pulang dari tadi. Enggak mikirin suami nya. Dasar perempuan enggak tau diri. Taunya mikirin perut sendiri aja. Suka hambur-hamburin uang." Timpal Kemuning. Nisa meremas tangannya dengan kuat. Sungguh pedas sekali ucapan adik iparnya itu. Apakah gadis itu tidak tau, jika dirinya tidak memiliki uang . Bagaimana dirinya akan pergi jalan-jalan. Uangnya saja tadi sudah habis untuk membeli bahan makanan untuk mereka. Seenaknya saja berbicara, apakah di pikir Abangnya itu pernah memberikannya uang. Uangnya akan di berikan kepada ibunya semua. Sedangkan Nisa, tidak pernah di beri walaupun sedikit pun. Terkadang Nisa meminta sedikit saja, suaminya akan marah-marah. "Hueh memang begitu kelakuan mbak mu itu Muning. Kamu besok kalau sudah menikah jangan mengikuti sifat buruknya ya. Bisa-bisa kamu di benci nanti sama keluarga mertua kamu" cetus Mirna. Nisa sampai memejamkan kedua bola matanya, saking sakitnya hatinya saat sekarang ini. Bagaimana bisa ibu mertuanya berkata seperti itu. Apakah dirinya pernah bersikap buruk kepada mereka. Nisa bahkan selalu diam saja saat mereka menghina Nisa. "Itulah ajaran dari orang tuanya. Kalau orang tua miskin emang seperti itu. Enggak bisa mendidik anak." Cukup, sudah cukup, jika mereka hanya menghina Nisa, Nisa akan diam saja, tapi ini mereka menghina kedua orang tuanya. Orang tuanya mendidik Nisa sedemikian rupa, mereka tidak pernah lelah mencari uang agar Nisa bisa bersekolah, tapi nyatanya dengan seenak nya ada seseorang menghina kedua orang tuanya. "Buk! Ibuk bisa menghina ku, tapi jangan pernah sekalipun menghina ibuk dan bapak ku. Mereka baik, dan mereka tidak pernah mendidik ku berperilaku buruk!"pekik Nisa. Sudah cukup kesabarannya, kesal dan marah sekali dirinya saat ini. Mirna menggeram marah, "kamu ya sudah berani-beraninya membentakku!" Teriak Mirna tak kalah emosinya. "Kalau ibuk enggak bicara tentang kedua orang tuaku, aku enggak bakalan bicara kayak gini buk." Sahut Nisa. "Kamu!" "Nisa!" Pekik Doni. Doni langsung menghampiri sang Istri lalu menariknya masuk ke dalam kamar. "Ajarkan sama istri kamu itu sopan santun Don. Ibuk enggak suka ya sama istri kamu yang selalu membangkang. Benci sekali ibuk" teriak Mirna yang masih bisa di dengar oleh Doni dan Nisa. Nisa terisak saat Doni mencengkram kuat lengannya. "Bang, sss-sakit" lirih Nisa. "Diam" Plak Satu tamparan langsung mendarat di pipi milik Nisa, sampai wanita itu jatuh tersungkur di tempat tidur. Nisa merasakan sakit yang bertubi-tubi di dalam dirinya. Sakit hatinya, dan sakit akibat tamparan dari suaminya itu. Pipinya sudah memerah, tanda telapak tangan Doni pun tercetak jelas di pipi wanita itu. "Aku sudah katakan bukan! Kalau ibuk marah itu kamu diam saja. Kenapa kamu malah melawan ibuku ha?! Kamu mau membuat ibuku terkena stroke lantas meninggal gitu?! Kamu mau membuat aku kehilangan orang tua ku! Dasar wanita tidak tau di untung. Beruntung aku menikahimu. Mungkin kalau tidak kamu masih menjadi anak tukang pangkas. Kamu tidak akan tinggal di rumah enak seperti ini. Sialan" "Kamu itu perempuan miskin! siapa yang mau menikah denganmu kalau bukan aku yang menikahimu. Pria di luaran sana, mana mungkin mau dengan perempuan hina seperti mu itu." Pedas sekali kata-kata yang keluar dari mulut pria yang berstatus suaminya itu. Kejam, itu kata yang tergambar untuk sosok Doni. Pria itu dengan gamblang mengatakannya di depan Nisa, tanpa mau mengingat bagaimana rasa hancurnya hati Nisa. Nisa memegangi perutnya, lalu menangis meraung di sana. Kalau di suruh pilih, dirinya akan memilih tinggal bersama dengan ibu dan bapaknya. Ibu dan bapaknya tidak pernah memperlakukan Nisa seperti ini. Semua karena Nisa, ini semua karenanya, karena dirinya tidak mau mendengarkan nasihat orang-orang di kampungnya dulu. Mereka selalu menasihati Nisa, agar Nisa tidak menerima lamaran dari Doni. Mereka sangat tau watak pria itu dan keluarganya. Karena rasa cinta Nisa, Nisa sampai tidak mendengar kan semua nasihat itu. Nasihat itu seperti angin lalu, yang tidak di hiraukan olehnya. Saat itu Nisa di buta kan oleh rasa cintanya pada pemuda tampan bernama Doni. Hingga dirinya tidak bisa berpikir lagi, Nisa langsung menerima lamaran dari Doni. Ibu dan bapaknya hanya pasrah saja, walaupun keduanya sebenarnya keberatan dengan keputusan anaknya itu. Tapi mereka ingin Nisa bahagia, dan mereka hanya bisa berdoa semoga apa yang di ucapkan oleh orang-orang tidak benar, dan Nisa bahagia. Namun semuanya hanya angan-angan semata. *Malam itu tidak hanya memeluk hutan — ia meresap sampai ke dasar akar, menyalakan napas tua yang tertidur selama ratusan tahun.Lira duduk bersila di depan makhluk itu, tubuhnya perlahan terbiasa dengan hawa dingin yang terbit setiap kali sang cahaya kecil merespons dunia. Reno berdiri setengah lingkaran di belakangnya, sementara tiga elder — Biru, Keemasan, dan Putih — melayang seperti bintang yang memilih menetap di bumi.Semua menunggu.Semua mendengarkan.Cahaya kecil itu terus berdenyut, seperti sebuah hati yang mencari irama pertamanya. Lira merasakan getaran kecil menyentuh kulitnya — seperti bulu halus air di permukaan sungai.Lalu sebuah bisikan muncul lagi:…Titik itu… memanggilku…Lira menarik napas. “Bisakah kau mendeskripsikannya?”Hening.Kabut menari sebentar, menyelip di antara akar seperti ular putih lembut.Lalu:Seperti… cahaya yang tidak lengkap.Seperti… akar yang belum menyentuh tanah.Seperti… aku.Reno bergerak sedikit. “Ia menemukan resonansi.”“Resonansi?” ta
Cahaya kecil itu tertidur.Jika “tidur” adalah kata yang benar untuk menggambarkan keadaan makhluk yang belum sepenuhnya memiliki wujud. Namun demikianlah ia tampak: melayang tenang di atas akar waringin, berdenyut lembut seperti hembusan napas pertama anak manusia yang baru lahir. Kabut yang tadi terbelah kini berkumpul pelan, mengerut mengelilingi wujud mungil itu seolah menjadi selimut.Lira duduk bersila tak jauh darinya, kedua telapak tangannya hangat oleh sisa getaran makhluk tersebut. Ia merasa lelah — bukan lelah tubuh, melainkan lelah batin yang datang setelah menghadapi sesuatu yang belum sempat ia pahami sepenuhnya.Reno berdiri di sampingnya, cahaya tubuhnya memancar seperti api unggun yang dipenuhi kesabaran.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Lira tanpa membuka mata.“Mengawasinya,” jawab Reno. Suaranya tidak lebih keras dari desau kabut. “Ia belum menemukan bentuk, belum mengenali batas antara dirinya dan dunia.”Lira mengangguk pelan. “Ia menghilangkan energ
Fajar merayap perlahan dari balik lembah, menyebarkan garis-garis cahaya keemasan yang menembus sela-sela pohon tinggi. Embun yang masih menempel di ujung daun memantulkan sinarnya, membuat hutan tampak seperti dipenuhi serpihan kaca kecil yang berkilau. Pada pagi itu, keheningan terasa bukan sebagai kekosongan, melainkan sebagai ruang luas tempat dunia bernapas dengan damai.Di bawah pohon waringin, tempat cahaya selalu kembali berkumpul, Lira duduk bersandar pada akar raksasa yang seolah memeluknya. Ia memejamkan mata, membiarkan suara dari kedalaman hutan memasuki dirinya perlahan, sampai ia bisa membedakan setiap detaknya: denyut sungai, bisik dedaunan, getar halus cahaya yang menari di udara.Namun pagi itu, ada sesuatu yang tidak sepenuhnya sama.Ada desah samar di antara irama hutan — suara yang bukan milik Reno, bukan milik para penjaga lama, dan bukan pula gema nyanyian Lira sendiri.Suara itu… muda.Seperti ranting kecil yang patah, atau seperti helaan napas yang belum diaja
Pagi datang tanpa tergesa.Kabut tipis masih melayang di antara batang-batang pohon, membentuk tirai putih yang bergeser perlahan ketika cahaya pertama menyentuh daun-daun basah. Di udara, aroma tanah dan lumut berpadu lembut, seperti ingatan yang menolak pudar. Suara air menetes dari ujung daun terdengar seperti denting kecil, mengisi kesunyian yang tidak benar-benar sunyi.Reno berjalan tanpa suara.Langkahnya tak meninggalkan jejak di tanah, hanya pantulan samar cahaya yang sesekali menyala di sekitar rumput yang ia lewati. Wujudnya kini nyaris tak bisa dibedakan dari kabut—kadang tampak, kadang lenyap, seperti bagian dari napas hutan itu sendiri.Ia telah belajar hidup dalam keabadian yang tenang.Tidak ada siang, tidak ada malam; hanya irama panjang antara cahaya dan kabut, antara embun yang turun dan sungai yang bangun. Namun meski segalanya mengalir dalam keseimbangan, ia tahu hutan tak pernah benar-benar berhenti berubah. Setiap daun yang gugur, setiap akar yang merambat sedik
Sejak malam purnama itu, hutan menjadi tempat yang berbeda.Tidak ada yang benar-benar berubah — pohon-pohon masih berdiri di tempatnya, akar-akar masih berkelindan di tanah lembab, dan kabut masih turun setiap malam — namun ada sesuatu yang kini berdenyut di bawah semuanya.Sebuah napas baru.Sebuah kesadaran yang lebih dalam dari diam.Kabut yang dulu sekadar tirai lembut kini bergerak seperti benang cahaya yang hidup. Ia melingkupi batang-batang pohon, menelusuri lekuk batu dan daun, membawa bisikan halus yang tak dapat diucapkan dalam bahasa manusia. Di sanalah Artha dan Reno kini tinggal — bukan lagi sebagai sosok yang terpisah dari hutan, melainkan sebagai bagian dari harmoni besar yang berputar tanpa akhir.Reno tumbuh di dalam cahaya.Tidak ada ukuran waktu di tempat itu, namun dalam setiap nyala lembut yang bergetar di udara, jiwanya bertambah matang. Ia belajar mendengarkan akar berbicara, belajar memahami bahasa serangga dan embun, belajar mengenali setiap suara yang tidak
Kabut di hutan itu tak lagi menakutkan. Ia turun setiap malam, perlahan seperti tirai lembut yang menutupi dunia, membawa keheningan yang lebih dalam dari tidur, lebih hangat dari doa.Di bawah pohon waringin yang tua, cahaya putih lembut mengalir dari akar hingga ujung ranting. Tidak menyilaukan — hanya bersinar seperti napas bumi yang tenang. Di sanalah tiga sosok itu tinggal kini. Tidak benar-benar tubuh, tidak pula sekadar bayangan. Sesuatu di antara keduanya — bentuk dari kenangan yang masih ingin bertahan.Artha duduk di akar besar yang menonjol dari tanah lembab, jemarinya menelusuri guratan kayu yang hangat. Reno berlari kecil di sekitar mereka, tertawa dengan suara yang bergema pelan, seperti gema dari masa lalu yang kembali hidup.Dan Ayudia… berdiri di tepi cahaya, matanya menatap kabut yang bergulung di kejauhan.Ia tahu, di luar sana masih ada dunia lain — dunia ladang dan sungai, dunia tempat ayam berkokok di pagi hari, tempat suara genta sapi terdengar menjelang senja.







