Dengan gerak cepat, aku meraih tisu dan mengelap sudut mulutku. Tak ingin sekecil apapun kuman bertengger di dalam sana. Ekspresi geram tampak jelas di wajahku .
"Lo, kalau mau minum, beli sendiri, jangan nyicip punya gue dong!" bentakku kasar sambil menunjuk minumannya yang telah tersentuh bibirku. "Udah gue bilang kalau tempat ini milik gue. Kalau nggak suka, sana keluar!" Keluhan itu meluncur tajam dari mulut Biru yang menunjuk pintu kantin yang terbuka lebar sebagai bukti ia tak main-main. Gery yang berdiri tepat disampingku menggertakkan giginya, menahan amarah. "Harusnya lo yang pergi!" dia membentak balik, suara garang memenuhi udara. Biru bangkit dengan tiba-tiba, mendorong Gery yang langsung terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan. Sinar matanya tajam, penuh kebencian melawan tatapan yang sama dari Gery. Aku yang melihat Biru dan Gery yang sudah sama-sama emosi dan sama-sama mengepalkan tangannya pun membuang napas dengan kasar. "Udah, nggak usah ribut," ucapku mencoba meredakan suasana. "Oke, gue akan pergi." Pilihan kata-kata mengalah, demi menghindari pertarungan yang mungkin sebentar lagi akan meledak. Dengan langkah cepat, aku menarik tangan Lala yang terlihat pucat pasi karena ketakutan. Kami meninggalkan kantin yang kini terasa sumpek, selera makanku benar-benar lenyap. Lala menggenggam tanganku semakin erat, tubuhnya bergetar hebat seperti dilanda gempa. Dalam keadaan seperti itu, kata-kata hanya bisa sedikit menghibur. "Udah, nggak usah takut La. Lo aman sama gue," bisikku sambil memandang matanya yang berkaca-kaca. Dia menggigit bibirnya, ketakutan masih tergambar jelas. "Tapi Aya, gue takut kalau lo diapa-apain sama Biru. Dia kayak monster yang siap menerkam," katanya dengan suara gemetar. Aku hanya tersenyum mencoba meyakinkannya, "Tenang aja, Biru nggak akan berani sentuh gue. Percaya sama gue, ya." Sementara itu, Gery yang tiba-tiba muncul memberikan semangat tambahan, "Tenang, La. Gue juga di sini kok, nggak akan biarin apa-apa terjadi sama Cahaya." Gery menatapku dengan senyuman penuh keyakinan. Aku merasa jantungku berdegup kencang, merasakan kehangatan dari kata-kata Gery, sementara Lala memberikan senyum tipis lalu mengangguk pelan. Kami bertiga kemudian melangkah meninggalkan area itu, menuju ke kelas masing-masing dengan pikiran dan rasa yang masih belum sepenuhnya tenang. Ketika kami melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas, Lala berbisik padaku, ada semburat kekhawatiran di suaranya. "Aya, liat tuh si Biru liatan lo mulu," ucapnya sambil memiringkan kepalanya ke arah Biru. Aku segera menoleh, menangkap tatapan Biru yang segera dialihkannya begitu bertemu dengan pandanganku. Merasa sedikit tidak nyaman, aku membalas bisikan Lala dengan nada berusaha santai. "Udah biarin aja, nggak usah lo liatin mulu. Katanya lo takut tapi kok lo ngadep sana mulu. Jangan-jangan lo naksir ya sama dia," candaanku sembari menahan tawa. Tak disangka, Lala terlihat kesal dan seketika mencubit pinggangku dengan cukup kuat. "Apaan sih Aya!" sergahnya, membuat beberapa teman sekelas menoleh ke arah kami. Aku hanya bisa tertawa terbahak, menikmati momen kecil kebersamaan kami di tengah rutinitas sekolah yang kadang bisa terasa monoton. Aku dan Lala berjalan menembus keramaian koridor sekolah, sambil suara bel pulang bergema. Di belakang, kelompok Biru bersama Jeno dan Radit terlihat berjalan cepat menuju parkiran. Lala sesekali menoleh ke belakang dengan raut wajah tegang. "Hei, La, santai saja," bisikku sambil menepuk-nepuk bahu Lala yang kaku. "Ada apa sih?" "Ada gengnya Biru," jawab Lala seraya matahari sore menyilaukan pandangannya. Aku mengerutkan dahi, lalu coba menerka dengan nada bersahabat. "Tapi kenapa pipi lo merah gitu, La?" Sontak, ekspresi Lala berubah menjadi lebih gusar, seakan aku telah memencet tombol paniknya. "Lo suka Jeno, ya? Atau Radit?" tanyaku lagi dengan nada yang menggoda. Dengan refleks, Lala mencubit lenganku keras. "Aduh, kenapa sih?" keluhku sambil mengusap lenganku yang terasa perih. Seraya merajut senyum, aku tak menyerah untuk mengorek lebih dalam. "Udah ngaku aja, La. Rahasia kita kok." "Mana ada. Nggak kok," elaknya lagi sembari menepis tangan saya dengan isyarat tidak mau tahu. Tapi tersenyum canggung. Tingkah Lala yang salah tingkah ini selalu berhasil mengundang tawaku. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil menertawakan kejenakaan sahabatku. "Aya, gue udah di jemput tuh. Lo hati-hati ya," Lala menunjuk ke arah mobil yang terparkir dekat gerbang. Aku hanya mengangguk tanda setuju. “Oke, hati-hati juga ya, Lala. Sampai ketemu besok,” kataku, melambaikan tangan menanggapi lambaian Lala. Setelah berpisah, langkahku menuju parkiran disertai tawa yang ku tahan. Di parkiran, raut wajah Biru tampak merah padam, mulutnya mondar-mandir menggerutu. “Rasain lo! Itu akibatnya kalau lo berani sama Cahaya Abadi!” batinku sambil melirik ban motor Biru yang kempes. “Kenapa? Kempes ya? Tinggal dorong ke depan aja. Tuh, tukang tambal ban ada di sana,” ucapku seraya menunjuk bengkel tak jauh dari sekolahan, suaraku santai namun penuh dengan ejekan terselubung. “Pasti lo yang ngempesin ban gue!” teriak Biru, menuding dengan emosi yang memuncak. Aku hanya tersenyum sinis. “Jangan asal tuduh, bro. Fitnah itu lebih kejam dari pada nikah,” balasku, nada suaraku penuh tantangan. “Sialan lo! Awas aja, Cahaya redup!” ancam Biru sambil menggertakkan gigi. Aku hanya mengangkat visor helmku dan menjulurkan lidah, kemudian memacu motorku meninggalkan Biru yang semakin berang, namun tak ada sedikitpun penyesalan dalam hatiku. Saat aku melangkah masuk ke dalam rumah, suasana yang tidak biasa langsung menyambutku. Ruang tamu tampak seperti medan perang, dengan orang-orang yang berlalu-lalang membawa bermacam-macam barang. Di tengah keramaian itu, papaku berdiri, mengarahkan mereka dengan suara yang terdengar tegas dan teratur. "Pa, tumben di rumah?" sapaanku menerobos kebisingan itu. Papaku menoleh, matanya berbinar ketika melihatku. "Iya, sayang. Besok ada acara penting. Kamu harus di rumah ya," katanya, suaranya lembut, menyelimuti rasa penasaran yang mulai memuncak dalam dadaku. Dia mendekat, memeluk pundakku dengan hangat. "Acara apa, Pa?" desakku, rasa ingin tahu itu kian menggebu. Papa hanya tertawa, suara tawanya menggema di antara suara ribut di ruang tamu. "Pokoknya ada acara spesial. Kamu harus di rumah," ujarnya, senyumannya misterius. "Oke, Pa," jawabku, meski dalam hati bertumpuk pertanyaan yang belum terjawab. Aku melirik sekeliling, mencoba menerka apa yang sedang dipersiapkan, namun semua masih terlihat samar, meninggalkan aku dalam tanya yang makin dalam. *** Di sisi lain, Biru tengah menahan kekesalan karena ban motornya kempes. Ia bersama Jeno dan Radit membawa motor sport hitam itu ke bengkel yang tak jauh dari sekolah. "Sialan, pasti si Cahaya itu yang kempesin motor gue!" seru Biru kesal. "Ngomong-ngomong, Cahaya itu cantik juga ya," celetuk Radit. Biru yang kesal pun menoyor kepala Radit yang memakai helm sambil menatap tajam sahabatnya itu. "Sorry bro, namanya juga gue cowok normal, liat yang bening gitu gue juga ngiler kali," ucap Radit sambil tertawa. "Udah-udah, ayo pulang. Nanti malam kita ngumpul di base camp," ucap Jeno menengahi. Mereka bertiga pun berpisah. Sesampainya di rumah Biru di sambut hangat oleh Bu Siska dan Pak Indra tampak datar-datar saja. "Bi, sayang. Sini kamu duduk dulu," ucap Bu Siska menepuk sofa di sampingnya. Meminta anak semata wayangnya untuk duduk di sampingnya. "Ada apa sih Ma?" Biru dengan malas duduk di sofa di samping mamanya. Bu Siska tersenyum lembut. "Nanti malam, kamu ikut mama sama papa ya. Ada acara penting di rumah teman papa," ucap Bu Siska dengan menarik tangan putranya dan di bawanya ke dalam pangkuannya. "Nggak ah, Ma. Nanti malam Biru ada acara sendiri," jawab Biru menolak ajakan mamanya. "Mau tidak mau, kamu harus ikut. Semua demi kebaikan kamu!" seru Pak Indra dengan menatap tajam Biru. "Tapi Pa," Bu Siska menggenggam erat tangan Biru, matanya berkaca-kaca sambil menggelengkan kepalanya menatap putranya. Memintanya untuk tidak membantah apa yang di ucapkan oleh papanya.Biru mendekatiku yang tengah terkulai tak berdaya di atas kasur. Cahaya sore yang malas-malasan menerobos masuk melalui celah jendela, menambah kelesuan di ruang itu. Dengan lembut, ia menggoyang-goyangkan bahu ku, penuh perhatian. "Aya, kamu masih ingat tawaran mama nggak?" tanyanya dengan suara yang menggema kehangatan. Aku mengerjap, berusaha mengumpulkan ingatan yang terasa berantakan. "Yang mana?" Aku memiringkan kepala, mencoba memori yang berkelebat tak pasti. "Aku nggak ingat," jawabku akhirnya, sambil menghela napas panjang.Suasana kamar yang hanya diterangi cahaya lampu tidur, aku terbaring lemas di atas kasur dengan pikiran yang melayang-layang. Biru, dengan raut wajah yang kecewa, ikut berbaring di kasur sambil memegang ponselnya. "Yang liburan itu loh, kamu mau nggak?" tanya Biru dengan nada yang sedikit memaksa, mencoba menggoda ku dengan gambar-gambar destinasi yang indah di layar ponselnya.Aku hanya menghela napas, mataku yang sayu menatap ke arah Biru, "Nggak,
Waktu seakan berlari, mengejar detik yang tak tergenggam. Papa Erwin baru saja tiba dari rumah sakit, dan hari ini adalah hari ujian yang menentukan untuk aku dan Biru. Saat sarapan, suara papa memecah keheningan. "Kalian sudah persiapkan diri dengan matang, aku yakin kalian berdua bisa meraih nilai sempurna," katanya dengan tatapan yang menunjukkan kepercayaan mendalam. Biru, dengan senyuman simpulnya, menanggapi, "Semoga Pa, doakan Biru ya," katanya sambil sesekali melirik ke arahku. Papa mengangguk, tangannya terasa hangat di pundak Biru. "Tentu, aku doakan kalian berdua," sahutnya seraya tersenyum. Biru mendekat, berbisik dengan nada gurau namun serius, "Jangan lupa janji kamu. Kalau aku dapat nilai tinggi, aku akan mendapat hak ku sebagai suamimu. Otomatis aku resmi menjadi suami kamu ya." Sejenak, aku terdiam, merasakan detak jantungku yang memburu. "Benarkah sudah saatnya?" gumamku dalam hati sambil mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran itu terus bergulat di kepala, mem
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s