"Kebaikan apaan? Emang ada hubungannya gue sama acara itu?" gumam Biru dalam hati.
"Udah, sana istirahat dulu. Nanti mama akan siapin pakaian buat kamu," ucap Bu Siska sambil mengusap lengan anaknya. Biru mengerutkan dahinya sambil melangkah gontai menuju ke kamarnya. Dalam hati pun bertanya-tanya ada acara apa nanti malam sampai-sampai mamanya akan menyiapkan baju untuknya. Malam harinya, Biru semakin keheranan saat memakai baju batik yang telah di siapkan sang mama untuknya. Biru memandang refleksi dirinya di cermin, memutar-mutar tubuhnya, memastikan tiap jahitan batik itu terlihat sempurna di tubuhnya. Lampu kamar yang remang-remang menambah kesan mistis pada motif batik yang dikenakannya. "Acara apa sih, kok pakai batik segala?" tanyanya lagi, masih belum mengerti kenapa malam itu dia harus berdandan seperti akan pergi ke pesta. Bu Siska tersenyum lebar, matanya berbinar melihat anaknya yang sudah beranjak dewasa. "Ada acara spesial, Nak. Kamu akan tahu nanti," jawabnya, penuh dengan misteri. Biru hanya bisa mengangkat bahu, tapi dalam hatinya, rasa penasaran mulai menggebu. "Wah, ganteng banget anak mama," puji Bu Siska lagi, matanya memeriksa setiap detail dari pakaian Biru. "Anakmu ini sudah ganteng dari sananya Ma," sahut Biru sambil memeluk mamanya dengan hangat. Bu Siska mengelus lengan Biru dengan sayang, rasa haru tercampur bangga terpancar dari wajahnya. Di luar dugaan Biru, malam itu ternyata menjadi malam yang sangat berarti. Keluarga terdekat telah berkumpul di ruang tamu, semua mata tertuju padanya saat dia melangkah masuk. Biru menggaruk kepalanya yang tidak gatal melihat papa dan omnya juga mengenakan batik. "Wah, kamu gagah sekali Bi. Pantas saja papamu pengen cepat nikahkan kamu," celetuk salah satu om Biru yang sangat dekat dengan Biru. "Apaan sih Om," dengus Biru tak suka. Biru terdiam, apa benar ia akan di nikahkan? Sama siapa? Rombongan keluarga Biru pun berangkat menuju ke rumah calon mempelai wanita. *** Ketika keheranan muncul di wajahku, tangan sang penata rias yang terampil terus mengayun dan menorehkan makeup tebal di wajahku, membuatku tampak seperti ondel-ondel. Rasa gerah dan tidak nyaman mulai menyusup di balik lapisan kebaya yang kugunakan. "Sebenarnya ada acara apaan sih? Kenapa harus overdressed begini?" gumamku pelan. Setelah sang MUA selesai berkreasi dengan wajahku dan pergi meninggalkanku sendiri di ruangan, aku berdiri di depan cermin. Ada sedikit tawa yang terlepas ketika melihat hasilnya. "Ternyata gue cantik juga dengan gaya kek gini," aku berbisik kagum pada pantulan diriku. Namun, suasana berubah ketika pintu tiba-tiba terbuka dengan cepat dan Anggia, saudara tiriku, masuk dengan wajah muram. “Masih sempat ketawa? Puas ya, udah berhasil merebut Biru dari gue!" serangannya tajam membuatku terkejut. Kerutan di dahiku menjadi semakin dalam. "Maksud lo apa? Gue beneran nggak ngerti," kataku dengan nada kebingungan yang tulus. Dia melangkah maju, amarahnya terlihat jelas. "Stop acting as if you know nothing!" bentaknya, meninggikan suara. Jujur, aku benar-benar tak mengerti. "Gue serius, Gi. Gue sama sekali nggak tau apa yang lo bicarakan," jawabku, mencoba meredam situasi yang memanas. Setelah mendengar tanggapan bingungku, Anggia semakin geram. Dengan langkah cepat, dia mendekat hingga jarak antara kami hanya beberapa sentimeter. Napasnya terengah, menunjukkan betapa emosinya telah memuncak. "Jangan pura-pura polos! Semua orang tahu lo yang menggoda Biru sampai dia meninggalin gue," teriaknya, matanya berkaca-kaca menahan amarah dan kesedihan. Aku terkejut, tubuhku kaku. "Tapi, itu sama sekali nggak benar," sahutku lemah, berusaha menenangkan situasi. "Gimana caranya gue godain Biru. Gue sama Biru aja musuhan. Hadeeh!" batinku bingung. "Gue sama Biru cuma teman, Anggia. Gue nggak pernah ada maksud lebih dari itu." Anggia menggeleng keras, rambut panjangnya terayun. "Bullshit! Gue lihat cara lo pandang dia, cara lo tersenyum padanya!" ucapnya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Air mata mulai berjatuhan dari matanya, meninggalkan jejak mascara yang luntur. Hatiku terasa berat, saudara tiriku malah menuduhku merebut Biru darinya. "Anggia, coba tenang dan dengarin gue," pintaku, tanganku terulur ingin meraih tangan Anggia tapi dia menghindar. "Tenang? Setelah lo rampas semua dari gue?" Anggia menatapku dengan rasa sakit yang mendalam, kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah gontai, meninggalkanku sendirian dengan kebingungan dan kehancuran hubungan yang tak pernah kusangka. Diam membisu, aku merenung panjang, menelaah tudingan Anggia yang terasa tak masuk akal. "Kenapa harus Biru? Kami saja selama ini berjarak bak kutub." Keluhku dalam gundah, merasa sendiri dalam perangkap kata-kata saudara tiriku. "Heran, Papa juga kenapa pilih pakai outfit ini?" Gerutuku sambil menatap lemas ke cermin, tak paham dengan selera papa yang tiba-tiba itu. Ketika aku tenggelam dalam keluh kesah, pintu kamarku terdorong terbuka. "Cahaya, apa yang telah kamu lakukan pada anakku? Selalu saja membuat Anggia sakit hati!" bentak Tante Ayuni dengan nada tinggi, yang memotong lamunanku. Tante Ayuni, berdiri dengan tubuh tegap di ambang pintu, matanya menyalakan api kemarahan. "Apaan sih Tan, aku nggak ganggu Anggia kok," jawabku dengan nada santai, berusaha menenangkan situasi meski di dalam hati merasa ada ketidakadilan yang terus menerus dituduhkan kepadaku. Tante Ayuni melangkah masuk, raut wajahnya memerah, "Jangan berpura-pura Cahaya, Anggia bilang kalau kamu sudah merebut Biru darinya!" Aku mengerutkan kening, kebingunganku bertambah. "Tapi Tan, aku sama Biru aja nggak pernah akur, kenapa harus aku yang disalahkan terus?" Napas Tante Ayuni terdengar berat, seolah berusaha menahan emosi. "Kamu ini harusnya bisa mengerti, sebagai kakak tiri, kamu harus melindungi perasaan adikmu, bukan malah membuat situasi menjadi tegang!" Mendengar itu, aku hanya bisa menghela napas panjang, merasa kecewa karena sering kali tuduhan yang tidak berdasar selalu mengarah padaku, hanya karena aku bukan anak kandung Tante Ayuni. "Sayang," bisik papa lembut sambil perlahan mengetuk pintu kamarku. Tangan gemetarnya berhenti di gagang pintu, meminta izin masuk. Seiring dengan terbukanya pintu, mata papa memandangku, penuh emosi yang bergolak di balik kedipan air mata yang menggantung. "Aya, kamu cantik sekali. Mirip sekali dengan mamamu," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar saat jemari hangatnya menyentuh pipiku dengan penuh kelembutan. Senyum tipis saja yang mampu ku ukir, meringkaskan segala kata yang tak bisa ku ungkapkan. "Ayo, sebentar lagi para tamu akan segera tiba," ujar papa, suaranya lebih mantap sambil meraih tanganku dan membimbingku turun. Tangga berderit di bawah langkah kita, seolah ikut bersuara dalam ketegangan hati ini. Ruangan di bawah telah berubah drastis, dihiasi seperti pelaminan. "Pa, sebenarnya ini acara apa sih? Kenapa ruang tamu," belum sempat aku selesai bertanya, mataku terpaku pada banner yang mengumumkan 'Aya dan Bi' dengan huruf-huruf yang bergemerlapan. Kata-kata tersangkut di tenggorokan. "P-Papa," suaraku bergetar, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Papa hanya tersenyum lembut, masih menggenggam erat tanganku. "Iya, Aya, malam ini adalah malam pertunanganmu, dan esok, kalian akan menikah. Ini semua demi masa depanmu," papa berusaha menjelaskan, namun setiap kata yang diucapkannya, meskipun lembut, terasa bak petir di siang bolong yang menyambar. Tubuhku membeku, rasanya sangat sulit di percaya. "Tunangan? Menikah?"Biru mendekatiku yang tengah terkulai tak berdaya di atas kasur. Cahaya sore yang malas-malasan menerobos masuk melalui celah jendela, menambah kelesuan di ruang itu. Dengan lembut, ia menggoyang-goyangkan bahu ku, penuh perhatian. "Aya, kamu masih ingat tawaran mama nggak?" tanyanya dengan suara yang menggema kehangatan. Aku mengerjap, berusaha mengumpulkan ingatan yang terasa berantakan. "Yang mana?" Aku memiringkan kepala, mencoba memori yang berkelebat tak pasti. "Aku nggak ingat," jawabku akhirnya, sambil menghela napas panjang.Suasana kamar yang hanya diterangi cahaya lampu tidur, aku terbaring lemas di atas kasur dengan pikiran yang melayang-layang. Biru, dengan raut wajah yang kecewa, ikut berbaring di kasur sambil memegang ponselnya. "Yang liburan itu loh, kamu mau nggak?" tanya Biru dengan nada yang sedikit memaksa, mencoba menggoda ku dengan gambar-gambar destinasi yang indah di layar ponselnya.Aku hanya menghela napas, mataku yang sayu menatap ke arah Biru, "Nggak,
Waktu seakan berlari, mengejar detik yang tak tergenggam. Papa Erwin baru saja tiba dari rumah sakit, dan hari ini adalah hari ujian yang menentukan untuk aku dan Biru. Saat sarapan, suara papa memecah keheningan. "Kalian sudah persiapkan diri dengan matang, aku yakin kalian berdua bisa meraih nilai sempurna," katanya dengan tatapan yang menunjukkan kepercayaan mendalam. Biru, dengan senyuman simpulnya, menanggapi, "Semoga Pa, doakan Biru ya," katanya sambil sesekali melirik ke arahku. Papa mengangguk, tangannya terasa hangat di pundak Biru. "Tentu, aku doakan kalian berdua," sahutnya seraya tersenyum. Biru mendekat, berbisik dengan nada gurau namun serius, "Jangan lupa janji kamu. Kalau aku dapat nilai tinggi, aku akan mendapat hak ku sebagai suamimu. Otomatis aku resmi menjadi suami kamu ya." Sejenak, aku terdiam, merasakan detak jantungku yang memburu. "Benarkah sudah saatnya?" gumamku dalam hati sambil mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran itu terus bergulat di kepala, mem
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s