Share

Anak Aneh

Author: Silfiya
last update Last Updated: 2021-11-11 14:05:01

“Kakaakkk!”

Baru saja aku memejamkan mataku dan merebahkan tubuhku di sofa. Anak itu kembali berteriak kencang hingga membuatku terbangun untuk yang kesekian kalinya.

Jika bukan karena perjanjianku dengan tuan Jeff, sudah ku kembalikan anak itu ke tempat asalnya.

“Ganan! Niky! Umar! Marco!” teriakku memanggil seluruh anak buahku. Mereka pun bergegas menemuiku dengan tergopoh-gopoh.

“Ada apa, Reyn?”

“Urus anak menyebalkan itu, aku ingin tidur!” titahku.

“Siap, Reyn. Serahkan semuanya kepada kami.”

Entah dengan cara apa, mereka mampu membuat anak itu bermain dengan tenang tanpa suara gaduh sedikitpun.

Aku mengurungkan niatku untuk merebahkan tubuhku kembali, aku meraih ponselku di meja dan mencari kontak Bimo lalu menghubunginya.

“Halo Bimo, aku sudah berhasil menculik anak Coudry Limantara.”

“Iya aku sudah mengetahuinya.”

“Lalu tunggu apa lagi? Ambil anak ini dan mana saham yang tuanmu janjikan untukku.”

“Sabar dulu, tuan Jeff memintamu untuk menjaga anak itu sampai waktu yang tepat. Sampai tuan Jeff mempunyai cara untuk menghancurkan aset berharga Coudry Limantara.”

“Gila ya kau! Aku tidak sudi! Perjanjianku dengan tuanmu hanya sebatas menculik saja, tidak tertulis aku yang menjaganya.”

“Ini perintah tuan Jeff dan kau sudah menandatangani perjanjian itu, yang dimana di dalam surat perjanjian itu tertulis jika kau akan menuruti perintah tuan Jeff.”

“Ck, tuanmu benar-benar menyebalkan sekali. Dengan terpaksa aku harus mengikuti perintahnya. Sialan!”

Tut!

Aku memutuskan sambungan teleponnya sepihak. Aku sudah terbawa emosi mendengar tuan Jeff berani-beraninya mempermainkanku dan memanfaatkanku untuk kepentingan pribadinya.

Brak!

Aku memukul meja dengan begitu kencang karena emosiku yang tiba-tiba saja tak bisa terkontrol.

“Seenaknya saja tua bangka itu mau memanfaatkanku,” gerutuku kesal. Sejujurnya aku tidak sudi mengurusi anak kecil tak tahu diri itu. Aku adalah pembunuh bayaran ternama bukan pengurus anak kecil.

Keempat anak buahku dari tadi berdiri tak jauh dari tempatku, mereka menyaksikan langsung amarahku yang meledek seketika. Mereka tetap terdiam tanpa mengatakan apapun.

“Kalian! Untuk apa berdiam diri di situ! Pergi, urus saja anak tak tahu diri itu! Jangan menggangguku!” bentakku pada mereka berempat.

Mereka bergegas pergi mengetahui aku yang sedang marah besar, mereka tak mau membuatku semakin marah.

**

Kring! Kring! Kring!

Aku meraih jam weker yang ku letakkan di atas meja dan mematikan alarm yang terus saja berbunyi hingga membuat telingaku berdenging mendengarnya.

Aku mengucek mataku yang masih sangat mengantuk, sesekali ku lihat kearah jendela yang sudah amat silau. Sinar matahari itu masuk melalui celah-celah jendela kecil yang ada di kamarku.

Aku beranjak dari tempat tidurku dan pergi menuju dapur, kebiasaanku setelah bangun tidur adalah meminum air putih walaupun hanya seteguk saja.

Aku melirik kesegala arah, seperti tidak ada kehidupan di rumah mewah ini. Seluruh anak buahku pun tidak terlihat sama sekali bahkan anak yang berhasil aku culik kemarin pun tidak ada. Kemana mereka semua?

“Ganan!”

“Umar!”

“Marco!”

“Niky!”

“Rafael!”

Tidak ada sahutan dari teriakkanku tadi. Aku selalu berpikir positif, mungkin saja mereka masih tidur karena hari memang masih pagi. Aku kembali meneguk segelas air putih ditanganku.

Tak lama aku melihat lima orang yang baru saja ku cari sedang berjalan melewatiku tanpa menyapaku sama sekali. Aku melihat kearah tangan mereka yang masing-masing membawa plastik putih yang entah isinya apa aku tidak tahu. Mereka rupanya habis berbelanja dipagi hari.

Tunggu!

Berbelanja dipagi hari?

Aku mengingat bahwa Rafael adalah anak yang ku culik, mengapa ia bisa seenaknya berbelanja? Apalagi ditemani para penculiknya.

Apa dunia ini sudah mulai gila? Sehingga ada orang yang diculik mengajak penculiknya belanja. Aku semakin pusing oleh tingkah-tingkah aneh mereka.

“Selamat pagi, kak Reyn.”

Akhirnya ada manusia yang masih mengingatku masih hidup. Ku kira aku ini sudah menjadi arwah gentayangan hingga mereka tidak melihat kearah ku sama sekali.

“Dari mana saja kalian?” tanyaku dengan nada tegasku seperti biasanya.

“Ini Reyn, kita baru saja belanja di minimarket depan. Tadi kau masih tertidur pulas jadi tidak ku bangunkan,” ucap Marco.

“Ini kak, aku baru saja membeli es krim rasa mangga. Apa kakak mau? Ini untuk kak Reyn.” Rafael memberikan sebuah es krim dari kantong plastiknya padaku.

“Kau kira aku ini anak kecil!”

Aku memang tidak menyukai es krim sama sekali jadi pantas jika aku menolaknya, tetapi mengapa raut wajah anak itu seperti bersedih. Apa aku salah menolak es krim pemberiannya. Aku tetap sama sekali tidak memperdulikannya.

“Rafa, es krimnya untukku saja. Reyn tidak akan suka es krim seperti itu. Aku masih kurang jika hanya memakan dua es krim saja,” pinta Umar.

“Ini ambil saja, aku masih punya banyak. Apa kak Marco, kak Ganan dan kak Niky juga mau lagi?” tawarnya pada ketiga anak buahku.

Kepalaku serasa ingin pecah melihat keanehan mereka. Sebenarnya Bimo mendapatkan empat orang aneh seperti ini dari mana. Kenapa bisa mereka yang menjadi anak buahku.

“Ada-ada saja ya, orang yang diculik mengajak penculiknya belanja. Dunia rasanya aneh sekali, apa sebenarnya lagi akan kiamat,” celotehku yang kemudian berlalu pergi meninggalkan mereka yang masih sibuk dengan es krim masing-masing.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Call Me, Reyn   Breaking News

    Satu tamparan keras mendarat tepat di pipiku. Namun, aku hanya bisa terdiam. Karena aku tahu jika aku telah melakukan kesalahan. Aku tahu tuan Jeff pasti sudah mengetahui mengenai aku yang diam-diam mempertemukan Rafael dengan Coudry Limantara.“BODOH! SANGAT BODOH!”Aku tak bergeming saat mendengar pria tua yang ada di hadapanku ini tengah murka dengan amarah yang membara. Berbeda dengan keempat anak buahku yang sudah menundukkan kepalanya sejak tadi.“Apa yang ada di otakmu, Reyn!”“Dia hanya ingin bertemu ayahnya, itu saja,” jawabku dengan penuh pembelaan pada diriku sendiri.“Apa kau lupa? Kau ingin penculik! Tak pantas melakukan hal sekonyol itu!”Tuan Jeff terus saja memarahiku, tetapi aku tak memperdulikannya karena yang terpenting aku sudah mempertemukan ayah dan anaknya.“Lalu

  • Call Me, Reyn   Deg-degan

    Dania sangat terkejut melihatku, memangnya aku kenapa dan apa ada yang salah pada diriku. Aku baru menyadari bahwa aku baru saja bertarung dengan bodyguard-bodyguard menyebalkan itu hingga wajahku luka-luka. Mungkin itu yang membuat Dania terkejut. “Wajahmu kenapa? Kau habis berkelahi ya?” tanyanya yang begitu panik melihat keadaanku. “Iya tadi aku berkelahi dengan orang di jalan,” jawab bohongku. Mana mungkin aku berterus-terang dengan semua yang terjadi padaku. “Oh iya ada apa malam-malam kau ke sini, Dania?” tanyaku. “Tadinya aku mau mengantar makanan untuk makan malam kalian semua, tetapi aku justru melihat kau terluka seperti ini. Kau tunggu di sini sebentar ya, aku akan segera kembali.” Dania berlari memasuki rumahnya yang tepat berhadapan dengan rumahku. Tak lama Dania kembali menemuiku sembari membawa kotak p3k. “Maaf menunggu lama, apa aku boleh mengobati lukam

  • Call Me, Reyn   Coudry Limantara

    Rafael yang sedang menundukkan kepalanya, seketika mendongak mendengar ada suara yang memanggil namanya. Rafael sangat terkejut melihat mata Coudry Limantara yang terbuka sedikit demi sedikit. Bukan hanya Rafael yang terkejut, para bodyguard-bodyguard ini juga sangat terkejut. Mereka sampai menghentikan langkahnya dan lupa dengan keberadaanku.Tangan Coudry Limantara bergerak dan meraih pucuk kepala Rafael. Rafael memeluk erat tubuh ayahnya dengan tangisan yang semakin pecah.“Ka-kau tidak apa-apa?” tanya Coudry Limantara dengan terbata-bata karena suaranya yang serak. Rafael menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Tangan Coudry Limantara mengusap air mata yang mengalir membasahi pipi Rafael.“Aku selama ini baik-baik saja, Ayah. Ada kakak baik yang selama ini merawatku, memenuhi semua kebutuhanku bahkan sangat menyayangiku sama seperti ayah.”Aku yang mendengar semua penutu

  • Call Me, Reyn   Siapapun, Tolong Reyn

    “Paman! Lepaskan kak Reyn, dia tidak jahat,” ujar Rafael yang memelukku erat. Sementara aku tak bisa membalas pelukannya karena kedua tanganku sibuk dipegangi oleh bodyguard-bodyguard itu.“Tuan muda, ini adalah perintah untuk menangkap siapapun yang menculikmu,” ucap salah satu dari mereka. Bodyguard-bodyguard itu terus saja mencekal tanganku.“Sudahlah tidak apa-apa, bukankah kau ingin melihat ayahmu. Sana masuk! Jangan hiraukan aku,” ujarku kepada Rafael. Namun, anak itu menggelengkan kepalanya cepat. “Aku tidak mau meninggalkanmu, aku takut mereka menyakitimu,” jawabnya.“Ck, cepatlah masuk!”Aku pun akhirnya memberontak dan menghajar para bodyguard-bodyguard itu. Lima melawan satu, tidak masalah bagiku. Aku pikir dengan aku menyerahkan diri kepada mereka, lalu Rafael bisa menemui ayahnya. Namun, Rafael justru ingin menemui

  • Call Me, Reyn   Mengabulkan Permintaan

    Aku dan Ganan sedang menonton pertandingan sepak bola di ruang tengah karena ada tim kesukaan kami. Tak sengaja aku dan Ganan mendengar suara rintihan Rafael yang cukup keras hingga terdengar sampai ruang tengah.Aku buru-buru ke kamar Rafael yang diikuti oleh Ganan di belakangku. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Ternyata Rafael sedang tidur, sepertinya ia sedang bermimpi buruk tentang ayahnya.Aku dan Ganan menghampiri Rafael dan menggoyangkan tubuhnya agar terbangun.“Rafa, bangun.”Rafael terus meronta-ronta dalam tidurnya dan menyebut-nyebut ayahnya. Aku dan Ganan menjadi bingung. Ganan terus menggoyangkan tubuh Rafael.“Jangan tinggalkan aku, Ayahhhhhh ... ”Rafael tersentak dari tidurnya. Napasnya memburu tak beraturan. Aku menyuruhnya duduk agar menetralkan suasana hatinya. Ku lihat keringat yang m

  • Call Me, Reyn   Partner Satu Hari

    Selama di perjalanan pulang, kami sama-sama terdiam. Suasana di dalam mobil sangat sunyi tanpa satu patah kata yang terucap, yang terdengar hanya bisingnya kemacetan di ibukota karena hari yang semakin gelap.Aku mengedarkan pandanganku ke mereka yang sedang berjalan kaki beramai-ramai di bahu jalan. Mereka adalah para pekerja yang ingin segera pulang ke rumah masing-masing untuk berkumpul kembali bersama keluarga tercinta mereka.Aku kembali fokus mengendarai mobilku yang terjebak diantara mobil-mobil lainnya. Aku hanya bisa melajukan mobilku perlahan-lahan dan hanya bergerak beberapa meter dalam lima menit. Kemacetan sore ini semakin parah dan biasanya akan lebih ramai bila menjelang petang.Sementara aku masih bingung harus mengatakan apa pada Dania untuk membuka pembicaraan diantara kita dan sepertinya Dania juga begitu.“Reyn.”Akhirnya Dania-lah yang memulai per

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status