“Paman! Lepaskan kak Reyn, dia tidak jahat,” ujar Rafael yang memelukku erat. Sementara aku tak bisa membalas pelukannya karena kedua tanganku sibuk dipegangi oleh bodyguard-bodyguard itu.
“Tuan muda, ini adalah perintah untuk menangkap siapapun yang menculikmu,” ucap salah satu dari mereka. Bodyguard-bodyguard itu terus saja mencekal tanganku.
“Sudahlah tidak apa-apa, bukankah kau ingin melihat ayahmu. Sana masuk! Jangan hiraukan aku,” ujarku kepada Rafael. Namun, anak itu menggelengkan kepalanya cepat. “Aku tidak mau meninggalkanmu, aku takut mereka menyakitimu,” jawabnya.
“Ck, cepatlah masuk!”
Aku pun akhirnya memberontak dan menghajar para bodyguard-bodyguard itu. Lima melawan satu, tidak masalah bagiku. Aku pikir dengan aku menyerahkan diri kepada mereka, lalu Rafael bisa menemui ayahnya. Namun, Rafael justru ingin menemui
Rafael yang sedang menundukkan kepalanya, seketika mendongak mendengar ada suara yang memanggil namanya. Rafael sangat terkejut melihat mata Coudry Limantara yang terbuka sedikit demi sedikit. Bukan hanya Rafael yang terkejut, para bodyguard-bodyguard ini juga sangat terkejut. Mereka sampai menghentikan langkahnya dan lupa dengan keberadaanku.Tangan Coudry Limantara bergerak dan meraih pucuk kepala Rafael. Rafael memeluk erat tubuh ayahnya dengan tangisan yang semakin pecah.“Ka-kau tidak apa-apa?” tanya Coudry Limantara dengan terbata-bata karena suaranya yang serak. Rafael menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Tangan Coudry Limantara mengusap air mata yang mengalir membasahi pipi Rafael.“Aku selama ini baik-baik saja, Ayah. Ada kakak baik yang selama ini merawatku, memenuhi semua kebutuhanku bahkan sangat menyayangiku sama seperti ayah.”Aku yang mendengar semua penutu
Dania sangat terkejut melihatku, memangnya aku kenapa dan apa ada yang salah pada diriku. Aku baru menyadari bahwa aku baru saja bertarung dengan bodyguard-bodyguard menyebalkan itu hingga wajahku luka-luka. Mungkin itu yang membuat Dania terkejut. “Wajahmu kenapa? Kau habis berkelahi ya?” tanyanya yang begitu panik melihat keadaanku. “Iya tadi aku berkelahi dengan orang di jalan,” jawab bohongku. Mana mungkin aku berterus-terang dengan semua yang terjadi padaku. “Oh iya ada apa malam-malam kau ke sini, Dania?” tanyaku. “Tadinya aku mau mengantar makanan untuk makan malam kalian semua, tetapi aku justru melihat kau terluka seperti ini. Kau tunggu di sini sebentar ya, aku akan segera kembali.” Dania berlari memasuki rumahnya yang tepat berhadapan dengan rumahku. Tak lama Dania kembali menemuiku sembari membawa kotak p3k. “Maaf menunggu lama, apa aku boleh mengobati lukam
Satu tamparan keras mendarat tepat di pipiku. Namun, aku hanya bisa terdiam. Karena aku tahu jika aku telah melakukan kesalahan. Aku tahu tuan Jeff pasti sudah mengetahui mengenai aku yang diam-diam mempertemukan Rafael dengan Coudry Limantara.“BODOH! SANGAT BODOH!”Aku tak bergeming saat mendengar pria tua yang ada di hadapanku ini tengah murka dengan amarah yang membara. Berbeda dengan keempat anak buahku yang sudah menundukkan kepalanya sejak tadi.“Apa yang ada di otakmu, Reyn!”“Dia hanya ingin bertemu ayahnya, itu saja,” jawabku dengan penuh pembelaan pada diriku sendiri.“Apa kau lupa? Kau ingin penculik! Tak pantas melakukan hal sekonyol itu!”Tuan Jeff terus saja memarahiku, tetapi aku tak memperdulikannya karena yang terpenting aku sudah mempertemukan ayah dan anaknya.“Lalu
“Reyn! Ada yang mencarimu!”Aku menghembuskan napas dengan kasar mendengar ada seseorang yang mencariku. Aku tahu siapa yang dimaksudkan oleh temanku. Para mafia-mafia itu memang selalu saja mengganggu istirahat siangku.Aku sama sekali tak beranjak dari tempatku. Aku masih asyik memejamkan mataku seraya merebahkan tubuhku di sebuah sofa usang, tak peduli dengan perkataan teman-temanku.“Tuan Reyner, bisakah berbicara dengan anda sebentar?”Aku membuka mataku dan melihat seseorang yang mengenakan setelan jas hitam sedang berdiri tepat di sebelah kananku. Aku kembali menghela napas kasarku melihat pria yang terus saja menatapku itu.“Reyn! Cukup panggil Reyn, tak perlu nama asliku,” kesalku pada pria tersebut.“Baiklah, Tuan Reyn.”“Mau apa?” tanyaku dengan memalingkan wajah keara
Aku dan Bimo memasuki sebuah gedung bertingkat tinggi. Sekilas aku melihat papan besar yang bertuliskan 'Frent Corporation Indonesia'.Walaupun aku tidak lulus di sekolah dasar, tetapi aku mampu membaca tulisan yang berhuruf kapital itu.“Nina, apa tuan besar ada di ruangannya?” tanya Bimo pada salah satu karyawan kantor yang ia jumpai.“Sepertinya tuan masih ada di ruangannya,” jawab karyawan wanita itu. Lalu Bimo berjalan menuju ruangan yang ada di lantai lima dan aku hanya mengikutinya saja.Ting.Bimo dan aku memasuki sebuah ruangan yang ukurannya cukup besar dan mewah. Pandanganku melihat ke seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kursi kerjanya. Ia sepertinya sedang sibuk dengan laptopnya.“Permisi, Tuan,” ucap Bimo dengan begitu sopannya. Pria tua itu menutup layar laptopnya dan berjalan menghampiri kami berdua.
12 Oktober 2021.Hari ini hari dimana aku dan keempat anak buahku yang tidak bisa diandalkan itu akan melancarkan aksi kami, yaitu menculik anak semata wayang Coudry Limantara.Aku sudah mempersiapkan matang-matang rencana dan strategi yang bagus serta rencana pengganti jikalau ada kendala atau masalah yang tak terduga.Umar sudah berada di depan sekolah dasar tempat anak Coudry Limantara menempuh pendidikannya. Umar menyamar sebagai pedagang sempol ayam lengkap dengan gerobak dan pakaiannya yang sudah sangat mirip seperti para pedagang jajanan sekolah lainnya.Aku memilih Umar karena dia sangat cocok dengan pekerjaan yang ku berikan untuknya. Umar sangat mendalami perannya bahkan banyak anak lain yang membeli barang dagangannya.Sementara Ganan dan Niky yang akan menghadang para bodyguard khusus anak Coudry Limantara. Kemampuan bela diri Niky yang tak diragukan lagi serta kemamp
“Kakaakkk!”Baru saja aku memejamkan mataku dan merebahkan tubuhku di sofa. Anak itu kembali berteriak kencang hingga membuatku terbangun untuk yang kesekian kalinya.Jika bukan karena perjanjianku dengan tuan Jeff, sudah ku kembalikan anak itu ke tempat asalnya.“Ganan! Niky! Umar! Marco!” teriakku memanggil seluruh anak buahku. Mereka pun bergegas menemuiku dengan tergopoh-gopoh.“Ada apa, Reyn?”“Urus anak menyebalkan itu, aku ingin tidur!” titahku.“Siap, Reyn. Serahkan semuanya kepada kami.”Entah dengan cara apa, mereka mampu membuat anak itu bermain dengan tenang tanpa suara gaduh sedikitpun.Aku mengurungkan niatku untuk merebahkan tubuhku kembali, aku meraih ponselku di meja dan mencari kontak Bimo lalu menghubunginya.“Hal
Setelah pusing memikirkan tingkah-tingkah aneh manusia-manusia yang ada di rumah ini, aku memilih merebahkan tubuhku lagi di sofa.“KAKAK BANJIR!”Aku terperanjat dari tidurku mendengar teriakkan Rafael yang mengatakan bahwa ada banjir. Dan ternyata aku ditipu mentah-mentah oleh anak bau kencur ini.“APA KAU SUDAH GILA?”Rafael hanya menggelengkan kepalanya dengan cepat seraya tersenyum padaku.“Kau ini sedang diculik, seharusnya kau takut bukan malah berkeliaran seperti di rumahmu sendiri apalagi sampai berbelanja segala,” celotehku yang tak didengar olehnya.Ia sibuk menghitungi kemasan es krim yang baru saja ia makan. Percuma aku berbicara panjang lebar jika yang sedang ku ajak berbicara justru mengacuhkanku.“Kak, hari ini aku sudah makan es krim empat.”Dengan seena