Home / Lainnya / Call Me, Reyn / Dania Amanda

Share

Dania Amanda

Author: Silfiya
last update Last Updated: 2021-11-12 14:06:05

Aku mengambil pakaian kotor yang tergeletak begitu saja di kamarku. Senin pagi ini, aku habiskan untuk mencuci pakaianku yang sudah bertumpuk dan hampir menjulang tinggi.

Aku lebih suka mencuci pakaianku sendiri daripada harus pergi ke laundry kiloan yang ada di dekat rumah. Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah seperti ini.

Jika pria seusiaku di luar sana mungkin sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, ada yang bekerja di kantor, ada yang berwirausaha dan ada juga yang bekerja serabutan.

Berbeda denganku, aku ini pengangguran yang kaya raya. Meskipun tak punya pekerjaan tetap, tetapi aku bisa merasakan hidup mewah dari kekayaan tuan Jeff.

Setelah selesai mencuci pakaian yang sebanyak gunung karena hampir seminggu lebih tidak ku cuci, aku melanjutkan memasak untuk orang-orang malas yang ada di rumah ini.

Satupun dari mereka tidak ada yang bisa memasak, hingga akhirnya aku juga yang harus memasak untuk mereka. Terkadang aku juga bingung, sebenarnya siapa yang ketua dan siapa yang anak buah di sini.

Bisa saja aku membeli makanan siap saji yang bisa diantar langsung ke rumah, tetapi aku tidak menyukai yang seperti itu. Aku lebih suka memasak sesuai keinginanku dan cita rasa yang sesuai dengan lidahku.

Aku menggerutu kesal ketika aku membuka pintu kulkas, tetapi aku tidak menemukan bahan makanan apapun di dalamnya.

“Apa Bimo lupa mengirimi stok persediaan dapur,” gerutuku seorang diri.

Terpaksa aku harus pergi ke supermarket terdekat untuk mencari bahan-bahan kebutuhan dapur. Tak lupa aku juga membangunkan lima manusia yang tengah tertidur pulas di ruang keluarga.

Aku menahan tawaku melihat posisi mereka tertidur. Kaki Ganan yang ada di atas punggung Marco, tangan Niky yang dipeluk erat oleh Umar serta perut gendut Umar yang tak tertutup oleh bajunya. Nasibku buruk sekali mempunyai anak buah seperti mereka.

Aku mengambil peluit mainan milik Rafael yang terletak di atas meja. Aku pun membunyikannya dengan amat keras sehingga mereka terperanjat dari tidurnya.

Priitttt!

Aku tertawa terbahak-bahak melihat mereka yang sangat terkejut.

Apa?

Tertawa?

Aku hampir lupa kapan terakhir aku tertawa. Mengapa bisa aku ingin tertawa melihat mereka. Apa ada yang salah denganku? Aku tidak terbiasa tertawa, aku lebih terbiasa memaki-maki orang.

Satu detik kemudian aku menghentikan tawaku sebelum mereka menyadarinya dan mengganti raut wajahku menjadi seperti semula.

“Bangun! Sudah pagi, kalian benar-benar pemalas!” ocehku pada mereka. Sementara mereka hanya terdiam, ada yang menguap dan ada juga yang masih mengantuk.

“Cepat mandi! Setelah itu kita pergi ke supermarket terdekat.”

“Asyik, aku mau pergi es krim yang banyak,” ucap Rafael yang sangat gembira.

**

Aku dan mereka pun pergi ke sebuah supermarket yang jaraknya dekat dengan rumah. Aku sedang sibuk memilih sayur-mayur. Ganan, Marco dan Niky sedang berdebat tentang wortel impor dan lokal. Sementara Umar dan Rafael tengah mencari nugget ayam sesuai kesukaan mereka.

Usai memilih sayur-mayur, kami berenam berjalan menuju tempat makanan ringan untuk persediaan kulkas yang sudah habis.

Saat melewati bagian mainan, pandangan Rafael tertuju pada sebuah mainan robot yang terpajang di rak yang tersusun rapi. Karena terlalu senang, Rafael berlari dan menabrak seorang perempuan hingga Rafael terjatuh.

Aku yang melihatnya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah aneh anak itu. Aku pun menghampiri Rafael dan perempuan tersebut.

“Suruh siapa kau berlari seperti itu, kau jadi jatuh kan!” omelku padanya. Rafael mengelus kakinya yang sepertinya sangat sakit.

“Mbak, maafkan anak ini ya. Dia memang sangat menyebalkan,” ucapku pada perempuan yang ditabrak oleh Rafael. Perempuan tersebut menatapku dengan tatapan penasaran. Sepertinya ia mengenalku, tetapi aku sama sekali tidak mengenalnya.

“Reyner.”

Perempuan berbaju merah itu menyebut namaku bahkan dengan nama asliku. Ia benar-benar mengenalku, tetapi aku tidak mengenalnya. Seingatku, aku tidak pernah berkenalan dengan perempuan akhir-akhir ini.

Semenjak hidupku yang sudah tidak berarti ini, aku menutup diriku untuk yang namanya perempuan bahkan teman hanya seadanya saja dan itu pun untuk formalitas belaka, tidak ada yang namanya teman sejati atau cinta sejati dalam hidupku.

Lalu siapa perempuan ini?

Ia tersenyum padaku. Wajahnya memang cantik dan saat tersenyum pun bertambah lebih cantik.

“Kau siapa?” tanyaku yang benar-benar tidak mengenalnya.

“Reyner, kamu lupa denganku? Astaga, jahat sekali.”

Perempuan itu bilang aku lupa dengannya, apa memang aku pernah mengenalnya. Dan ia mengatakan bahwa aku jahat. Ingin aku rasanya mengatakan bahwa aku memang penjahat.

“Sebenarnya kau siapa? Aku tidak pernah mempunyai teman perempuan, mungkin kau salah menyebut orang,” ujarku.

“Ck, kau benar-benar lupa padaku. Dasar patung es yang menyebalkan,” gerutunya padaku.

Patung es?

Aku seperti tidak asing dengan sebutan itu, tetapi aku masih belum mengingat jelas siapa perempuan cantik ini.

“Aku Dania, dasar bodoh.”

Ia mengatakan bahwa namanya Dania. Apa aku pernah mempunyai teman yang bernama Dania. Setahuku temanku seluruhnya laki-laki.

“Dania Amanda, apa kau masih lupa.”

Aku membulatkan mataku saat aku sudah mengingatnya. Dania Amanda, ia adalah teman kecilku sewaktu aku masih duduk di sekolah dasar. Hanya dia temanku satu-satunya waktu itu. Karena aku memang tidak mudah bergaul dengan teman lainnya.

Aku tak percaya akan bertemu dengannya kembali setelah lima belas tahun tidak berjumpa. Ditambah dengan penampilan Dania yang sudah berubah menjadi semakin cantik.

“Dania? Kau benar-benar Dania, anak perempuan yang dulu selalu mengajakku bermain meski kau tahu aku ini susah berbicara dengan orang asing.”

Dania menganggukkan kepalanya seraya tersenyum manis padaku. “Dasar patung es yang suka menyendiri di kelas, apa kau melupakanku?” tanyanya.

Aku tertawa mendengar Dania masih menyebutku dengan sebutan 'Patung Es'.

Sebutan itu ia gunakan ketika kami masih sama-sama duduk di bangku sekolah dasar. Aku memang seorang pendiam yang tak punya satupun teman. Hanya Dania yang menghampiri tempat dudukku dan menyapaku hingga mengajakku bermain bersama. Maka tak heran jika dirinya menyebutku dengan sebutan 'Patung Es’.

“Tadinya aku memang sudah lupa denganmu karena sudah lama sekali kita tidak berjumpa, terakhir berjumpa saat kita kelas lima,” jelasku yang kini sudah mengingatnya kembali.

“Setelah itu kau kemana? Mengapa tidak melanjutkan sekolahmu? Apa kau pindah sekolah?” tanyanya yang bertubi-tubi.

“Ibuku dan ayahku sudah meninggal karena kecelakaan yang menimpa kami. Semenjak itu aku tinggal seorang diri. Rumah kontrakan yang kami tempati pun sudah habis jatuh temponya. Waktu itu aku masih berusia 10 tahun, anak sepuluh tahun tidak punya uang banyak untuk membayar sewa kontrak rumahku hingga terusir dari rumahku dan hidup di jalanan seorang diri. Bahkan sanak saudara pun aku tidak punya,” jelas panjangku padanya.

Dania terdiam sejenak mencerna setiap perkataanku atau justru ia sedang iba padaku. “Maaf aku tak tahu mengenai berita itu, aku dan pihak sekolah sudah menghubungimu dan keluargamu tapi tidak ada jawaban. Aku kira kau pindah ke luar kota dan melupakanku begitu saja.”

“Bahkan aku tak punya ponsel waktu itu,” sela-ku.

Dania memperhatikan penampilanku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Aku menjadi salah tingkah saat dia menatap sedemikian rupa.

“Kau banyak berubah sekarang, jadi lebih tinggi daripada dahulu,” ledeknya padaku.

“Hey, jangan bilang kalau dulu aku pendek,” protesku tak terima dengan pernyataannya. Namun, aku mengakui bahwa sejak kecil aku memang pendek serta kurus. Tidak seperti saat ini.

“Ya memang begitu kenyataannya.”

Aku mendengus kesal mendengarnya, sedangkan ia malah tertawa.

“Ehem!”

Aku dan Dania sama-sama menoleh kearah Rafael. Aku sampai lupa jika dari tadi ada Rafael di samping kami.

“Apa kalian lupa ada aku di sini?” tanya Rafael sembari menyindir kami berdua.

“Reyner, dia siapa? Anakmu? Apa sekarang kau sudah menikah?” tanya Dania yang melontarkan banyak pertanyaan sekaligus padaku.

“Bu-bukan, dia bukan anakku dan aku belum menikah. Dia Rafael, anak temanku,” ucap bohongku. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa ia adalah anak yang berhasil ku culik.

“Aku bukan anak temannya, aku ini di ... ”

Belum usai Rafael mengucapkan kata-katanya, aku segera membekap mulut kecilnya karena aku tahu apa yang akan ia katakan. Ia pasti akan mengatakan bahwa dirinya bukan anak temanku melainkan anak yang sedang ku culik. Aku sudah bisa menebak isi hatinya.

“Kamu ini apa?” tanya Dania penasaran.

“Dia ini tinggal denganku saat ini, sampai orang tuanya kembali,” jawabku yang kembali berbohong.

Aku menatap tajam kearah Rafael sembari mengisyaratkan kepadanya agar tidak mengatakan yang sebenarnya pada Dania. Rafael hanya meringis menunjukkan gigi-gigi putihnya.

Tak lama kemudian, keempat anak buahku datang menggangguku bersama Dania. “Kau ternyata di sini, Reyn? Kami semua mencarimu dan ternyata kau sedang asyik berpacaran dengan perempuan cantik,” ucap Ganan.

“Oh iya Dania, perkenalkan ini teman-temanku. Ini Ganan, itu Marco, Niky dan Umar.” Aku memperkenalkan anak buahku sebagai teman di hadapan Dania.

“Hai, namaku Dania. Aku ini teman Reyner semasa sekolah dasar.”

“Oh jadi kau begini ya Reyn, kau bilang jangan panggil aku Reyner, cukup panggil aku Reyn. Tapi saat perempuan cantik ini memanggil namamu Reyner, kau tidak mempermasalahkannya. Huh! Dasar tidak adil,” celoteh Umar yang memperagakan ucapanku tempo hari.

“Apa benar begitu, Reyner? Mengapa kau tidak suka jika orang memanggil nama lengkapmu?” Kini aku tak bisa menjawab pertanyaan Dania. Ini semua karena mulut Umar yang seenaknya berbicara macam-macam tentangku.

Aku memang tak pernah suka jika namaku disebut dengan lengkap, alasannya karena nama Reyner sangat buruk untukku. Aku tahu itu nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku, tetapi nama itu juga yang membuatku menjadi layaknya sampah di muka bumi ini.

Semenjak usiaku 17 tahun, aku bertekad mengubah namaku menjadi Reyn saja. Kala itu aku sudah mendapat pekerjaan meski hanya menjadi seorang kuli panggul di pasar.

“Bukan begitu, aku hanya sudah terbiasa dengan sebutan Reyn.”

“Baiklah mulai sekarang aku akan memanggilmu Reyn juga, agar semuanya adil.”

“Terserah kau saja. Setelah ini kau mau kemana?” tanyaku.

“Ya ampun aku sampai lupa aku harus pergi ke rumah tanteku, aku pamit dulu ya,” pamitnya padaku dan keempat anak buahku.

“Tunggu! Jika aku ingin bertemu denganmu, aku harus kemana? Apa tidak bisa kau tinggalkan nomor ponselmu untukku?”

Dania menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Kau percaya takdir, Reyn?” Aku bingung harus menjawab apa karena aku sama sekali tidak mempercayai takdir. Takdir macam apa yang membuatku sengsara seperti ini. Namun, aku hanya mengangguk saja.

“Kalau kau percaya dengan takdir, aku yakin suatu saat takdir pasti akan mempertemukan kita kembali. Aku pergi dulu ya,” pamitnya yang lalu melangkah pergi.

Aku masih menatap punggungnya yang semakin lama semakin menjauh.

“Sudahlah, Reyn. Orangnya sudah jauh, masih saja kau memperhatikannya seperti itu,” pungkas Niky.

“Diam! Ayo pulang!”

Aku kembali memasang wajah datarku kepada mereka. Mereka pun mengikuti langkahku. Aku berharap perkataan Dania benar, bahwa suatu saat kita pasti akan bertemu kembali.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Call Me, Reyn   Breaking News

    Satu tamparan keras mendarat tepat di pipiku. Namun, aku hanya bisa terdiam. Karena aku tahu jika aku telah melakukan kesalahan. Aku tahu tuan Jeff pasti sudah mengetahui mengenai aku yang diam-diam mempertemukan Rafael dengan Coudry Limantara.“BODOH! SANGAT BODOH!”Aku tak bergeming saat mendengar pria tua yang ada di hadapanku ini tengah murka dengan amarah yang membara. Berbeda dengan keempat anak buahku yang sudah menundukkan kepalanya sejak tadi.“Apa yang ada di otakmu, Reyn!”“Dia hanya ingin bertemu ayahnya, itu saja,” jawabku dengan penuh pembelaan pada diriku sendiri.“Apa kau lupa? Kau ingin penculik! Tak pantas melakukan hal sekonyol itu!”Tuan Jeff terus saja memarahiku, tetapi aku tak memperdulikannya karena yang terpenting aku sudah mempertemukan ayah dan anaknya.“Lalu

  • Call Me, Reyn   Deg-degan

    Dania sangat terkejut melihatku, memangnya aku kenapa dan apa ada yang salah pada diriku. Aku baru menyadari bahwa aku baru saja bertarung dengan bodyguard-bodyguard menyebalkan itu hingga wajahku luka-luka. Mungkin itu yang membuat Dania terkejut. “Wajahmu kenapa? Kau habis berkelahi ya?” tanyanya yang begitu panik melihat keadaanku. “Iya tadi aku berkelahi dengan orang di jalan,” jawab bohongku. Mana mungkin aku berterus-terang dengan semua yang terjadi padaku. “Oh iya ada apa malam-malam kau ke sini, Dania?” tanyaku. “Tadinya aku mau mengantar makanan untuk makan malam kalian semua, tetapi aku justru melihat kau terluka seperti ini. Kau tunggu di sini sebentar ya, aku akan segera kembali.” Dania berlari memasuki rumahnya yang tepat berhadapan dengan rumahku. Tak lama Dania kembali menemuiku sembari membawa kotak p3k. “Maaf menunggu lama, apa aku boleh mengobati lukam

  • Call Me, Reyn   Coudry Limantara

    Rafael yang sedang menundukkan kepalanya, seketika mendongak mendengar ada suara yang memanggil namanya. Rafael sangat terkejut melihat mata Coudry Limantara yang terbuka sedikit demi sedikit. Bukan hanya Rafael yang terkejut, para bodyguard-bodyguard ini juga sangat terkejut. Mereka sampai menghentikan langkahnya dan lupa dengan keberadaanku.Tangan Coudry Limantara bergerak dan meraih pucuk kepala Rafael. Rafael memeluk erat tubuh ayahnya dengan tangisan yang semakin pecah.“Ka-kau tidak apa-apa?” tanya Coudry Limantara dengan terbata-bata karena suaranya yang serak. Rafael menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Tangan Coudry Limantara mengusap air mata yang mengalir membasahi pipi Rafael.“Aku selama ini baik-baik saja, Ayah. Ada kakak baik yang selama ini merawatku, memenuhi semua kebutuhanku bahkan sangat menyayangiku sama seperti ayah.”Aku yang mendengar semua penutu

  • Call Me, Reyn   Siapapun, Tolong Reyn

    “Paman! Lepaskan kak Reyn, dia tidak jahat,” ujar Rafael yang memelukku erat. Sementara aku tak bisa membalas pelukannya karena kedua tanganku sibuk dipegangi oleh bodyguard-bodyguard itu.“Tuan muda, ini adalah perintah untuk menangkap siapapun yang menculikmu,” ucap salah satu dari mereka. Bodyguard-bodyguard itu terus saja mencekal tanganku.“Sudahlah tidak apa-apa, bukankah kau ingin melihat ayahmu. Sana masuk! Jangan hiraukan aku,” ujarku kepada Rafael. Namun, anak itu menggelengkan kepalanya cepat. “Aku tidak mau meninggalkanmu, aku takut mereka menyakitimu,” jawabnya.“Ck, cepatlah masuk!”Aku pun akhirnya memberontak dan menghajar para bodyguard-bodyguard itu. Lima melawan satu, tidak masalah bagiku. Aku pikir dengan aku menyerahkan diri kepada mereka, lalu Rafael bisa menemui ayahnya. Namun, Rafael justru ingin menemui

  • Call Me, Reyn   Mengabulkan Permintaan

    Aku dan Ganan sedang menonton pertandingan sepak bola di ruang tengah karena ada tim kesukaan kami. Tak sengaja aku dan Ganan mendengar suara rintihan Rafael yang cukup keras hingga terdengar sampai ruang tengah.Aku buru-buru ke kamar Rafael yang diikuti oleh Ganan di belakangku. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Ternyata Rafael sedang tidur, sepertinya ia sedang bermimpi buruk tentang ayahnya.Aku dan Ganan menghampiri Rafael dan menggoyangkan tubuhnya agar terbangun.“Rafa, bangun.”Rafael terus meronta-ronta dalam tidurnya dan menyebut-nyebut ayahnya. Aku dan Ganan menjadi bingung. Ganan terus menggoyangkan tubuh Rafael.“Jangan tinggalkan aku, Ayahhhhhh ... ”Rafael tersentak dari tidurnya. Napasnya memburu tak beraturan. Aku menyuruhnya duduk agar menetralkan suasana hatinya. Ku lihat keringat yang m

  • Call Me, Reyn   Partner Satu Hari

    Selama di perjalanan pulang, kami sama-sama terdiam. Suasana di dalam mobil sangat sunyi tanpa satu patah kata yang terucap, yang terdengar hanya bisingnya kemacetan di ibukota karena hari yang semakin gelap.Aku mengedarkan pandanganku ke mereka yang sedang berjalan kaki beramai-ramai di bahu jalan. Mereka adalah para pekerja yang ingin segera pulang ke rumah masing-masing untuk berkumpul kembali bersama keluarga tercinta mereka.Aku kembali fokus mengendarai mobilku yang terjebak diantara mobil-mobil lainnya. Aku hanya bisa melajukan mobilku perlahan-lahan dan hanya bergerak beberapa meter dalam lima menit. Kemacetan sore ini semakin parah dan biasanya akan lebih ramai bila menjelang petang.Sementara aku masih bingung harus mengatakan apa pada Dania untuk membuka pembicaraan diantara kita dan sepertinya Dania juga begitu.“Reyn.”Akhirnya Dania-lah yang memulai per

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status