"Pacar? Bukan teman tidur kan? Saya tidak ...."
"Pacar saja." Harvie memotong kalimat perempuan di depannya. Star menaikkan sebelah alisnya mendengar permintaan yang menurutnya absurd itu. Kenapa pula harus pura-pura jadi pacar? Pria ini kan bisa menarik siapa saja, kenapa harus dirinya? Tidak mungkin tidak ada perempuan di sekitar Harvie. "Kenapa harus seperti itu?" tanya Star tidak mengerti. Bukan karena Star bodoh, tapi dia tidak bisa mengerti sikap Harvie. "Apa omonganku tadi kurang jelas? Aku tidak mau dijodohkan," balas Harvie sedikit kesal. "Anda kan tinggal menolak saja." Star makin bingung saja mendengar pernyataan pria di depannya itu. Apa susahnya menolak? "Ini tidak segampang yang kau pikirkan bodoh." Harvie menggeram kesal. "Mamaku itu orangnya pantang menyerah sudah berkali-kali kutolak, tapi tetap saja dia ngotot. Lagipula. aku tidak bisa terus-terusan menolaknya. Jadi hal yang harus kulakukan adalah membawa seorang wanita ke hadapannyai." "Maaf, saya masih belum paham." Sayangnya, Star masih menggeleng. "Menurut saya segigih apapun ibu anda berusaha, tapi kalau anda terus menolak dengan alasan masuk akal, beliau pasti mengerti. Atau paling tidak akan jadi bosan sendiri." "Astaga kau ini. Seperti tidak tahu saja betapa keras kepalanya emak-emak zaman now. Emang ibumu gak gitu?" Star terdiam mendengarkan kata-kata Harvie. Dia sama sekali tidak bisa menjawab, karena dia memang tidak tahu seperti apa sifat ibu kandungnya. Bahkan Star sudah nyaris melupakan wajahnya. "Aku tidak tahu. Aku tidak punya sosok ibu di rumah," jawab Star dengan nada suara rendah, setelah diam beberapa saat. Hal itu membuat Harvie mengumpat dalam hati. Terutama karena melihat wajah datar dengan tatapan kosong bocah di depannya itu. Terlihat sangat kasihan. Harvie jadi tidak tahu harus mengatakan apa, untungnya dia terselamatkan dengan pelayan yang membawakan pesanannya. "Dari pada kita duduk tidak jelas di sini, bagaimana kalau kita pergi sekarang?" Harvie mengawali pertanyaannya dengan deheman pelan. "Baiklah, ayo kita pergi." Star segera berdiri dari tempatnya duduk dengan wajah datar dan sorot mata yang normal. Seolah tidak ada kata-kata aneh yang terlontar dari mulut Harvie tadi. Itu jelas membuat Harvie jadi bingung. "Jadi kita akan ke mana, Tuan?" Star bertanya dengan sopan ketika sudah duduk di kursi penumpang belakang bersama Harvie. "Pertama. Berhenti panggil aku Tuan. Jangan bicara terlalu formal, biasa saja." Harvie menjeda untuk mengunyah kentang gorengnya. "Kita akan pergi beli pakaian ke butik. Malam ini kita harus ke acara ulang tahun kakekku." Harvie segera mengigit burgernya setelah mengatakan itu. "Maaf? Apa itu berarti saya harus bertemu keluarga besar Anda?" tanya Star tanpa ada ekspresi terkejut sedikit pun. "Berhenti berbicara seformal itu," tegur Harvie setelah menelan makanannya. "Anda lebih tua dari saya. Tidak sopan untuk berbicara tidak formal," Star menjawab tanpa berkedip. "Saya, kamu. Itu sedikit lebih tidak formal, tapi masih sopan kan? Atau panggil Kak juga bisa. Yang jelas jangan Om." "Boleh tahu usianya?" tanya Star sesopan mungkin, karena ada orang yang tidak senang ditanyai hal seperti itu. "Tiga puluh tiga. Kalau kau benaran delapan belas kan?" Jujur saja, Harvie juga sedikit sangsi dengan usia yang tertera pada aplikasi. Bocah di depannya ini memang masih terlihat seperti anak SMP. Apalagi postur tubuhnya yang mungil. Untung 'aset' milik Star terlihat lumayan besar. "Ya, saya baru ulang tahun bulan lalu. Tapi menurut saya, kamu sudah sangat cocok dipanggil Om," Star mengaplikasikan bahasa yang tidak terlalu formalnya tanpa rasa canggung. "Kurang ajar banget ya sama yang lebih tua?" tanya Harvie dengan mata mendelik marah. "Tapi memang begitulah adanya, Om Harvie." Star memberi penekanan pada panggilannya untuk Harvie, yang jelas membuat lelaki itu mendelik kesal. Rasanya ingin sekali Harvie marah dan memaki Star dengan segala macam umpatan yang sudah berderet rapi di kepalanya. Tapi karena tidak ada banyak waktu, Harvie mengurungkan niatnya itu. Lebih baik menghabiskan waktu untuk mengenal Star, agar nanti malam dia tidak bikin malu. "Warna favoritku itu hitam, makanan atau minuman kesukaan tidak ada yang spesifik. Tapi aku lebih suka yang cepat saji. Walau tidak begitu sehat, itu menghemat waktuku." Star mengerutkan kening bingung. Tidak mengerti kenapa tiba-tiba Harvie mengatakan itu semua. Untuk apa juga Star mengetahui hal seperti itu? "Kita bertemu tidak sengaja di hotel. Di sebuah acara ulang tahun?" Harvie memberi nada bertanya, bingung dengan drama karangannya. Star mengangguk pelan. Sedikit banyak dia sudah mengerti maksud dari lelaki itu memberitahu hal-hal tadi. Itu pasti diperlukan untuk membuat mereka terlihat seperti pasangan pada umumnya. "Skinship diharuskan," lanjut Harvie meremas bungkusan burger mahalnya. "Saya menolak itu." Star menjawab dengan tegas. Dia kurang suka disentuh oleh orang asing. "Kau tidak boleh menolak. Kita akan ketahuan jika tidak seperti itu," Harvie mendelik kesal pada Star. "Saya tidak suka disentuh oleh orang asing." Star memilih untuk jujur agar hal ini bisa cepat selesai. "Kau pikir aku suka menyentuhmu? Tubuhmu masih seperti anak kecil juga," Harvie menatap Star makin kesal. "Ikuti mauku atau kau bayar denda." Star bersusah payah mempertahankan wajah tenangnya. Lelaki di depannya ini benar-benar sulit ditangani. Star berusaha mengatur emosinya dan mengingatkan dirinya, bahwa ada banyak orang yang bergantung padanya. Karena itu, mau tidak mau dia akan berusaha menerima ide gila om-om sinting ini. "Baiklah, tapi tidak berlebihan." Star menjawab dengan hembusan napas lelah. "Pegangan tangan saja." Mereka bersama bahkan belum sampai sejam, tapi Star sudah merasa lelah. Bagaimana bisa ada orang semenyebalkan Harvie di dunia ini? "Lalu, yang paling penting sebenarnya ini sih. Apa kau suka anak-anak?" tanya Harvie hati-hati. Jujur saja, Harvie sedikit tidak yakin Star akan betah dengan anak kecil. Pasalnya, bukan hanya satu atau dua orang wanita single yang sering kesal dengan anak kecil. Rata-rata wanita yang dikencani Harvie, sering sekali kesal dengan anak-anak yang ditemui di tempat umum. Wanita dewasa saja kurang suka anak-anak, apalagi Star yang masih ingusan kan? Mau tidak mau Harvie jadi khawatir. "Saya tidak begitu banyak berinteraksi dengan anak-anak, jadi saya sendiri kurang tahu. Tapi saya tidak membenci mereka," jawab Star dengan jujur bercampur bingung. "Tapi, apa hubungannya dengan kontrak kita?" Star menyuarakan kebingungannya. Dia juga harus tahu dengan jelas apa saja yang jadi job desknya nanti. Star tidak mau terjebak pada situasi sulit. Misalnya seperti dipaksa menikah dengan Harvie dan diharuskan hamil dalam waktu dekat. Hal-hal itu terdengar seperti cerita yang ada dalam novel romansa, tapi tidak ada salahnya berhati-hati kan? "Mama sebenarnya juga ingin mencari ibu untuk Yvonne." Harvie mendesah pelan ketika menyebut nama itu. "Maaf? Om ini duda ya?" tanya Star. Raut wajah datarnya kini berubah serius.***To be continued***"What the ...." Harvie nyaris saja mengumpat, ketika melihat Star keluar dari ruang ganti.Ini sudah baju yang kelima, tapi Harvie masih kesulitan menentukan gaun yang tepat, semua terlihat bagus dipakai Star. Padahal Harvie sudah sengaja memilih butik yang biasa saja, tapi tetap saja Star terlalu sempurna. Niatnya menghemat uang, karena biaya kontrak sudah mahal. Eh, malah rasanya kini Harvie merasa tawaran yang dia berikan terlihat murah. "Pilihlah yang mana saja," Harvie berucap dengan helaan napas frustasi. "Kalau begitu, aku mau dress off shoulder selutut berwarna merah, dengan desain rok berbentuk huruf a itu." Pemilihan yang sangat bagus sebenarnya. Warna merah menyala membuat Star yang putih jadi makin bersinar. Star mengangguk melihat penampilannya dicermin. Dia menyukai pilihannya. Harganya tidak mahal. Hanya sekitar sejutaan, tapi bahan dan jahitannya cukup bagus. Dan terlihat cocok dengannya. Sebaliknya, Harvie malah mengumpat dalam hati begitu melihat pilihan S
"Tidak mungkin," gumam Helena dengan mata melotot melihat penampilan Star yang jelas-jelas terlihat mahal itu. Paling sedikit juga sepuluh juta. "Nih, kalau Mama mau lihat notanya." Harvie yang sudah menduga ini, telah menyiapkan nota pembelian tadi dan menyerahkannya pada sang ibu. Helena menyambar kertas-kertas itu dengan kasar dan melihat jumlah yang tertera di sana. Beberapa detik kemudian dia ternganga, tidak percaya dengan angka-angka yang dilihatnya itu. Benda-benda yang dipakai Star memang tidak semahal kelihatannya. "Pacarku ini memang masih muda, Ma. Tapi dia gak matre. Bahkan tadi kami sempat bertengkar mempermasalahkan siapa yang harus membayar." Helena mendelik ke arah anaknya itu. Jelas terlihat diamerasa marah dan juga malu, tapi yang namanya emak-emak tidak akan pernah mau disalahkan. "Pada akhirnya kan tetap kamu yang bayar. Lagi pula Yvonne belum tentu suka padanya," sergah Helena ketus. "Helena, bisa gak sih kamu lebih sopan pada tamu?" Isaac yang sedari
Star bergeming mendengarkan jawaban dari Hera. Jangankan diakui, wanita itu bahkan tidak mengenali dirinya sama sekali. Seorang ibu yang sangat luar biasa. "Apa yang kamu harapkan Star?" bisiknya pada diri sendiri. Star kembali menghadap ke arah cermin untuk memperbaiki ekspresi wajah nelangsanya. Star menepuk pelan kedua pipinya beberapa kali, sebelum beranjak keluar dari toilet. Baru saja beberapa langkah berjalan menjauhi toilet, Star sudah menabrak seseorang. Star bisa merasakan dress barunya basah. Bisa dipastikan, minuman orang itu tertumpah. "Astaga, maafkan saya! Apakah anda tidak apa-apa Nona?" suara bariton seseorang terdengar. "Ah, iya. Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit basah," jawab Star datar. "Anda boleh membersihkan dress anda dengan ini." Lelaki itu mengulurkan sapu tangan yang terlihat mahal. Star tidak langsung menerima saputangan itu. Dirinya memilih untuk melihat wajah orang yang menabraknya dan menunggu reaksi pria itu selanjutnya. Begitu Star menatap
Star bersandar di pintu dalam bilik toilet. Dia dengan terpaksa ikut dengan Harvie karena kata-kata pria itu tadi. Padahal sudah disembunyikan dengan baik, tapi kenapa pria itu bisa tahu. Bagaimanapun caranya, dirinya harus bisa meminta Harvie tutup mulut. Star tidak ingin mencari masalah dengan keluarga besar Arwen. Walau mereka tidak pernah peduli padanya, setidaknya keluarga itu memberikan penghidupan pada Star. Setidaknya Star tidak ingin menjadi orang yang tidak tahu balas budi. "Lama amat sih," Harvie mengeluh begitu melihat Star keluar dari toilet. Star tidak menjawab Harvie dan berjalan mendahului pria itu, menuju ke arah lift yang bisa dilihatnya dari jarak jauh. Kelakuan Star ini jelas membuat Harvie merasa geram. Baru kali ini ada perempuan yang berani-beraninya mencueki dirinya. "Hei, aku bicara padamu." Harvie mencekal lengan Star dengan kasar, sampai gadis itu sedikit oleng dan menubruk tubuh Harvie. "Tadi sok jual mahal, sekarang cari kesempatan. Mau main tari
"Derina? Apa yang kau lakukan di sini?" Harvie terlihat heran melihat adik dari sahabatnya itu. "Pacar Kak Harvie?" Bukannya menjawab, Derina malah bertanya balik. "Aku duluan yang bertanya padamu Derina." "Maaf." Derina meminta maaf sambil menjepit rambutnya ke telinga. "Tadi aku tanya Tante Helena, katanya Kak Harvie pulang sebelum makan malam. Jadi aku membawakan makan malam," lanjut Derina sambil memberi tote bag kertas. "Thanks perhatiannya, tapi sebenarnya gak perlu. Aku sama pacarku mau keluar cari makan. Yuk Star." Baru juga Harvie mau melangkah, tiba-tiba saja dia teringat sesuatu. Awalnya Harvie ragu, tapi dia memutuskan untuk menanyakan apa yang dikhawatirkannya. "Apa kau mengambil kartu akses dari Mark lagi?" "Aku tidak mengambil, Kak. Aku meminjam," Harvie mengulurkan tangannya dengan santai pada Derina. "Kembalikan padaku." "Ini punya Kak Mark, Kak. Harus aku balikin ke dia lagi." Derina enggan memberikan kartu akses pintu milik Mark yang dipegangnya. "K
Star memandang kartu berwarna hitam yang diberikan oleh Harvie dua hari lalu. Star masih tidak mengerti kegunaan kartu ini untuk dirinya, tapi Star mengambilnya tanpa banyak tanya. "Nona? Sarapannya mau diantarkan sekarang?" Karin bertanya dengan sopan. "Boleh aku memeluk Karin?" tanya Star sopan, dengan senyum lebar yang begitu lembut. Walau Karin hanyalah kepala pelayan di rumahnya, Star selalu sopan pada wanita itu. Bahkan pada pelayan lain pun Star seperti itu. Alih-alih memberi perintah dengan kasar, Star melakukannya dengan lembut. Dia juga selalu bertanya kesediaan si pelayan melakukan tugasnya seperti tadi. "Makasih ya karena Karin selalu ada untuk Star. Makasih sudah mau jadi ibu untuk Star." Tidak lupa juga, Star mengucapkan terima kasih. "Ada yang membuat Nona tidak nyaman?" Karin yang sudah membesarkan Star dari baru lahir, tentu tahu ketika majikan sekaligus anak asuhnya itu sedang gudah. Star yang mandiri dan tenang, tidak akan semanja ini jika tidak punya m
"Bersiap-siaplah sekarang, aku akan menjemputmu sebentar lagi." Harvie berbicara dengan nada memerintah lewat telepon. "Saya tidak bisa." Star menjawab singkat pada Harvie melalui panggilan telepon. "Kenapa? Ini kan sudah lewat jam pulang sekolah?" tanya Harvie denga nada kesal. "Saya ada sidang sore ini." Star yang enggan berkomunikasi lama dengan Harvie memilih untuk menjawab dengan singkat. Sayangnya itu malah membuat Harvie makin penasaran. "Sidang apaan sih. Jangan sok sibuk ya. Aku bisa mencari tahu posisimu sekarang juga." "Terserah. Yang jelas saya sudah mengatakan yang sebenarnya." Star baru akan mematikan teleponnya ketika mendengar teriakan Harvie. "Jangan pernah matikan teleponnya." Star mengernyit bingung. Bagaimana pria itu bisa mengatahui gerakannya? Apa dia mengirim mata-mata? Hari Star sudah sangat melelahkan. Setelah menghadapi pak kepala sekolah, dirinya masih harus menghadapi bisik-bisikan yang terlalu keras untuk disebut bisikan. Bahkan ada beberap
"Siapa sih tadi itu."Harvie tidak suka mendengar suara yang didengarnya dari seberang sambungan telepon. Sepertinya ponsel Star dibajak orang dan Harvie tidak suka suara merendah wanita itu. Apalagi dia dipanggil Om? "Coba cari tahu soal sekolahnya Star. Kalau tidak salah dengar namanya, Blooming Gracia. Siapkan juga mobil untuk ke sana sekarang juga." "Maaf, Pak?" Brian-sang asisten yang tiba-tiba diberi perintah sepanjang itu, tidak bisa menangkap dengan baik. "Aku bilang, cari tahu soal sekolah Star. Blooming Gracia School. Siapkan juga mobil aku mau langsung ke sana," geram Harvie merasa kesal denga kelemotan asistennya itu. "Baik Pak. Segera." "Aku mau sekarang, Brian." Tanpa menjawab lagi, Brian bergegas keluar dari ruangan bosnya untuk menjalankan perintahnya. Harvie pun segera bangkit dari kursinya, hendak turun ke bawah. Brian kelebakan sendiri begitu melihat bosnya keluar ruangan, karena dirinya baru mau menelepon ke lantai bawah untuk menyiapkan mobil. Dengan terg