Tidak mendapat kasih sayang orang tua, Callista memilih bekerja jadi sugar baby. Berharap bisa menemukan pria tua yang bisa mencintainya seperti seorang ayah. Karena itu juga dia bertemu Harvie Carlton, pria berusia tiga puluh tiga tahun yang dipaksa jadi ayah untuk keponakannya yang baru kehilangan kedua orang tuanya. Juga dipaksa untuk menikah secepatnya dan memberikan sang keponakan sosok seorang ibu. Bagaimana hubungan mutualisme antara dua individu yang sama-sama keras ini bisa dipertahankan?
view more"Kenapa lama sekali baru sampai?" Harvie langsung protes begitu melihat Star yang duduk santai di ruang tamu di luar ruang kerjanya. "Oh, meetingnya sudah selesai?" Star segera menyimpan ponselnya dan bangkit dari sofa. Harvie memperhatikan Star dengan kening berkerut. Baru kali ini dia melihat gadis itu memakai celana jeans dan kaos. Ditambah dengan tas ransel mungil, membuat Star terlihat lebih muda dari usianya. Itu membuat Harvie sakit kepala. Dia benar-benar akan dicap sebagai om-om yang memelihara anak dibawah umur. "Kenapa duduk di sini?" tanya Harvie pada Star. "Sekretarisnya, ehm... Kak Harvie suruh duduk di sini." Star sedikit ragu-ragu harus memanggil Harvie daddy atau kak. "Bukankah kita sudah setuju soal panggilan?" Harvie terdengar tidak senang. Bagaimana ibunya mau percaya kalau dia dan Star serius pacaran kalau cara memanggil Star saja labil begitu? Mana di kantor ini banyak mata-mata ibunya, jadi Harvie harus terlihat mesra dengan Star jika berada di luar ruang
“HARVIE!” Harvie yang masih tertidur lelap, sama sekali tidak mendengar ketukan di pintu itu. Bahkan ketika gagang pintu bergerak berulang kali, tanda seseorang berusaha masuk ke kamarnya yang terkunci, dia masih bergeming. Ketika pintu itu berhasil terbuka dua menit kemudian, Harvie masih tidak bergerak. Lelaki itu benar-benar tertidur lelap, membuat wanita yang masuk ke kamarnya kesal setengah mati. Dengan kekuatan penuh wanita itu memukul lengan Harvie berkali-kali. “Auw.” Harvie tersentak begitu mendapat pukulan pertama. Dia pun terus menjerit tiap mendapatakan pukulan berikutnya. “Auw, Ma. Sakit.” Harvie berusaha menghentikan tangan sang mama agar berhenti memukulinya. “Siapa suruh dibangunin baik-baik gak juga bangun?” “Iya. Ini Harvie bangun.” Harvie memekik dan berusaha beranjak bangun, masih sambil menangkis pukulan ibunya. “Ngapain kamu bisa ada di sini?” tanya Helena ketus begitu anaknya sudah duduk dengan benar. “Mama ini gimana sih? Gak pulang dimarahin, pulang
“Kenyang banget.” Harvie mendesah puas sambil memegangi perutnya. “Katanya tadi makan di sini bisa bikin sakit perut,” ucap Star dengan nada menggoda. Tentu saja Star akan mengejek Harvie. Secara pria itu makan dua porsi, sementara dirinya hanya makan setengah saja. Itupun sisanya juga dihabiskan oleh Harvie. Star jadi heran bagaimana mungkin badan Harvie bisa sebagus itu? Padahal porsi makannya saja luar biasa. Belum lagi dia suka makan junk food. “Aku hanya khawatir dengan perutmu. Biasanya perempuan tidak pernah makan di tempat seperti itu.” Harvie mengelak dengan lincahnya. “Terima kasih perhatiannya.” Star mengangguk setuju, tapi senyum tipis di wajah Star membuat Harvie merasa diejek. “Aku serius,” sergah Harvie sedikit kesal. “Saya tidak bilang anda main-main, Daddy.” Harvie memutar bola matanya, gemas dengan jawaban Star. Tapi kali ini, dia akan membiarkan gadis itu. Anggap saja ini balasan karena sudah diajak ke tempat makan enak. “Jadi habis ini mau ke mana?” tanya
"Ehm, mau makan malam dulu?" tanya Harvie ragu-ragu, melirik Star yang bersandar di jendela mobil. Sudah semenjak duduk di dalam mobil sport Harvie, Star diam sambil memandang keluar jendela. Tentu bukan hal yang mudah mendengar orang tuamu, berniat menjual tubuhmu pada seorang lelaki tua. Siapapun pasti akan sedih dan Harvie tidak pandai menghibur orang yang sedang bersedih. "Sudah terlalu malam untuk makan." Star menjawab tanpa mengalihkan pandangannya. "Yakin tidak lapar?" tanya Harvie lagi. "Tidak baik makan semalam ini, Om." "Ini baru jam delapan lewat, Star." Star menoleh menatap Harvie yang kali ini tidak marah dipanggil om. Itu tentu saja membuatnya sedikit bingung, karena bukan hanya tidak marah. Lelaki itu bahkan terlihat biasa saja. “Apa Anda sakit?” tanya Star dengan ekspresi heran. “Apa maksud pertanyaanmu itu? Kau sedang menyumpahiku?” Kali ini Harvie terlihat kesal. “Tidak. Maksudku, tumben anda tidak marah ketika saya memanggil Anda Om.” Harvie menghel
Harvie menghela napas lelah. Dia menatap ibunya yang baru saja naik ke mobil sambil pamitan dengan teman-temannya di lobi hotel. Enggan berpapasan dengan mobil sang ibu, Harvie memilih menunggu. Harvie bukannya tak mau, tapi hanya malas menjelaskan kehadirannya di sini. Apalagi sepertinya Harvie sudah sedikit terlambat. Walau Harvie malas mengikuti acara ini. Tapi karena Harvie terlanjur janji, dia akan datang. "Kak Harvie?" Harvie langsung memutar matanya dengan kesal. Itu adalah suara Derina, tapi bagaimana bisa perempuan itu ada di sini? Harvie malas berurusan dengan Derina yang menurutnya terlalu clingy. Harvie terus berjalan menuju ke area lift, tanpa mempedulikan Derina yang mengejarnya. "Kak Harvie? Ngapain di sini?" tanya Derina setelah berhasil mengejar Harvie. Pria itu sedang menunggu lift. "Apa itu urusanmu?" "Aku kan hanya ingin tahu. Tidak boleh ya?" tanya Derina lembut. "Aku akan makan malam dengan pacarku," jawab Harvie santai. "Dan sayangnya tidak ada temp
"Star gak ikut balik ya, Tante. Masih ada janji lain." Yang empunya nama memberitahu Helena, saat grup arisan itu mulai bubar. "Oh, ada janji sama siapa? Harvie ya?" tanya Helena dengan senyum menggoda. "Dengan orang tua saya Tan, tapi katanya Kak Harvie mau datang kalau sempat," jawab Star dengan jujur. "Maaf, ya Tante. Saya belum ngajak Tante dulu." Star segera melanjutkan, takut Helena tersinggung. "Oh, gak apa-apa kok Sayang. Tante bisa ngerti. Perkenalan orang tua akan ada ditahap berikutnya kok." Helena tersenyum riang. Helena bukan hanya sekedar tersenyum karena senang mendengar Harvie akan bertemu orang tua Star, tapi juga tersenyum mengejek dan penuh kemenangan. Dia dari ibu-ibu yang selalu mengatakan Harvie tidak akan serius dengan perempuan manapun, dan senyum yang mengejek Derina. Helena tahu Derina anak baik. Tapi sekali lagi, Helena tidak ingin Derina jadi mantunya. Alasannya sederhana, Derina itu masih keluarga dan Helena tidak suka pernikahan antar keluarga.
"Oh, iya Tante. Saya sudah di lobi bawah." Star memberitahu lokasinya lewat sambungan telepon pada Helena. "Oh, baguslah. Tante juga kebetulan masih nunggu lift, naiknya bareng aja ya. Tante tungguin." Mendengar kata-kata Helena, Star jadi berlari kecil. Dia tidak ingin membuat wanita itu menunggu terlalu lama. "Tante nunggu lama?" tanya Star sedikit terengah begitu melihat Helena berdiri di depan lift. "Gak kok, Sayang. Tante baru juga sampai." Helena merentangkan tangannya menyambut Star. Star bergeming melihat Helena yang masih merentangkan kedua tangannya. Dia sedikit bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Harusnya Star masuk ke dalam pelukan Helena, tapi dia ragu-ragu. Star tidak pernah melakukan hal macam pelukan. "Kamu cantik." Sadar kalau mungkin Star tidak terbiasa dengan pelukan, Helena memilih untuk memuji. Dia ingat apa yang diucapkan perempuan muda itu kemarin "Yuk." Helena menggandeng tangan Star seenak hatinya, bertepatan dengan pintu lift yan
"Star," Hillary memanggil sahabatnya. "Apa untuk prom besok kau akan membawa pacarmu itu?" "Memangnya kenapa? Kamu mau aku menanyakan kesediaan lelaki kemarin itu untukmu?" Star balik bertanya. Lelaki yang dimaksud Star adalah Marcus. Hillary memang sempat melihat pria itu berbicara dengannya dan langsung mengaguminya. Sepanjang dua sahabat ini jalan bareng, Hillary bahkan terus memuji ketampanan Marcus. "Gak mungkin juga kali dia mau bergaul dengan perempuan jelek sepertiku. Apa kau tidak lihat jerawat yang baru tumbuh ini." Hillary menunjuk benjolan merah yang cukup besar di wajahnya. "Aku tahu obat yang ampuh. Nanti kubelikan deh." Star tersenyum tipis pada Hillary. "Gak usah deh, Star. Nanti kau gak bisa jajan lagi." Hillary segera menolak. "Kau tahu aku tidak begitu suka jajan dan aku masih lebih mampu," balas Star tanpa ada niat menghina. "Aku tahu, tapi aku tidak mau merepotkan." Hillary juga tidak tampak tersinggung. Baru juga Star ingin membalas lagi, ponselnya
"Bisa berhenti memperhatikan pacarku?" Harvie terlihat sangat gusar setengah mati, ketika mendapati Marcus menatap pacarnya sampai sedemikian rupa. Apalagi tatapan itu makin tajam, setelah Kian pergi dari ruangan barusan dan Star melepas maskernya. Bukan. Tentu saja Harvie tidak merasa gusar karena cemburu atau sejenisnya. Tapi Star adalah miliknya dan Harvie tidak suka miliknya diganggu dengan cara apa pun. bahkan oleh sahabatnya sekalipun. "Sorry, aku cuma merasa dia sedikit familiar kok. Itu saja. Aku gak bermksud kurang ajar." Marcus menjawab dengan cepat, enggan membuat salah paham. "Maaf, saya tidak bermaksud jahat. Tapi, apa kita pernah bertemu disuatu tempat?" Kali ini Marcus bertanya langsung pada Star. "Sudah kubilang berhentilah mengganggunya." Sayangnya, Harvie tidak suka dan menggeram marah. "Oke, fine. Aku gak akan ngomong apa-apa lagi." Marcus mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Good. Kalau begitu kau bisa keluar sekarang Marcus Langton. Kami ada urusan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.