“HARVIE!” Harvie yang masih tertidur lelap, sama sekali tidak mendengar ketukan di pintu itu. Bahkan ketika gagang pintu bergerak berulang kali, tanda seseorang berusaha masuk ke kamarnya yang terkunci, dia masih bergeming. Ketika pintu itu berhasil terbuka dua menit kemudian, Harvie masih tidak bergerak. Lelaki itu benar-benar tertidur lelap, membuat wanita yang masuk ke kamarnya kesal setengah mati. Dengan kekuatan penuh wanita itu memukul lengan Harvie berkali-kali. “Auw.” Harvie tersentak begitu mendapat pukulan pertama. Dia pun terus menjerit tiap mendapatakan pukulan berikutnya. “Auw, Ma. Sakit.” Harvie berusaha menghentikan tangan sang mama agar berhenti memukulinya. “Siapa suruh dibangunin baik-baik gak juga bangun?” “Iya. Ini Harvie bangun.” Harvie memekik dan berusaha beranjak bangun, masih sambil menangkis pukulan ibunya. “Ngapain kamu bisa ada di sini?” tanya Helena ketus begitu anaknya sudah duduk dengan benar. “Mama ini gimana sih? Gak pulang dimarahin, pulang
"Kenapa lama sekali baru sampai?" Harvie langsung protes begitu melihat Star yang duduk santai di ruang tamu di luar ruang kerjanya. "Oh, meetingnya sudah selesai?" Star segera menyimpan ponselnya dan bangkit dari sofa. Harvie memperhatikan Star dengan kening berkerut. Baru kali ini dia melihat gadis itu memakai celana jeans dan kaos. Ditambah dengan tas ransel mungil, membuat Star terlihat lebih muda dari usianya. Itu membuat Harvie sakit kepala. Dia benar-benar akan dicap sebagai om-om yang memelihara anak dibawah umur. "Kenapa duduk di sini?" tanya Harvie pada Star. "Sekretarisnya, ehm... Kak Harvie suruh duduk di sini." Star sedikit ragu-ragu harus memanggil Harvie daddy atau kak. "Bukankah kita sudah setuju soal panggilan?" Harvie terdengar tidak senang. Bagaimana ibunya mau percaya kalau dia dan Star serius pacaran kalau cara memanggil Star saja labil begitu? Mana di kantor ini banyak mata-mata ibunya, jadi Harvie harus terlihat mesra dengan Star jika berada di luar ruang
Star melangkah dengan senang. Dia merasa bersyukur tindakan isengnya menambah pasal pada kontrak terbaru itu kini bisa membantunya. Untungnya Harvie tidak menyadari hal itu sama sekali. Sekarang Star berdiri di dekat tempat drop off, sedang berpikir ingin melakukan apa sebelum pulang ke rumah Dia ingin sekali pergi makan di cafe yang biasa didatanginya, tapi dia harus menghemat uang. Lagipula mobil pribadi Irina juga ditarik, jadi uang yang dikeluarkan untuk transportasi juga harus diperhitungkan. Untung saja Star sudah sering naik kendaraan umum, juga tidak keberatan makan tahu tempe saja. Dirinya bahkan pernah menginap di kamar Hillary yang tidak punya pendingin ruangan dan dia bisa bertahan. “Hm, memang lebih baik naik MRT saja.” Star mengangguk sembari memperhatikan aplikasi ojek onlinenya yang baru akan ditutupnya. “Kenapa dengan MRT?” Star menoleh ke arah suara yang terasa sangat dekat. Dan wajah seorang lelaki yang hanya berjarak kurang dari sepuluh senti, membuatnya ter
"Maaf Pak. Saya pikir Pak Harvie sudah setuju dengan isi kontraknya. Jadi saya langsung proses," Brian memilih langsung berkata jujur, apalagi ketika melihat wajah atasannya. Kata-kata asisten pribadinya itu membuat Harvie memejamkan mata dan menunduk dengan kesal. Ini tidak bisa dibiarkan. Lima puluh juta itu tidak besar, tapi Harvie tidak rela memberikannya pada anak ingusan seperti Star. Apalagi dia sama sekali tidak diberi jatah. "Coba cek ke resepsionis. Kalau Star belum pergi suruh dia naik lagi," Harvie memberii perintah pada Brian. Dengan cepat Brian menyambar telepon yang ada di meja Harvie, setelah meminta izin untuk menggunakannya lewat gestur tangan. Lebih cepat menggunakan telepon di ruangan Harvie, ketimbang harus pergi ke tempatnya. "Ehm, Pak." Brian memanggil Harvie ragu-ragu setelah menutup telepon. "Apa lagi? Kali ini anak itu bikin masalah apa lagi? Atau udah pulang dia?" tanya Harvie kesal. "Iya, Pak. Sepertinya Nona Star memang sudah pulang, tapi ...." H
“Wah, Nona. Tidakah anda keterlaluan? Anda pergi bersenang-senang sementara kami di sini kesusahan.” Irish yang paling pertama buka suara. “Ada apa ini?” tanya Star tidak menggubris ejekan Irish.Hari ini harusnya hari yang menyenangkan bagi Star. Tiga dompet elektroniknya diisi penuh oleh Harvie tanpa dia minta dan membuat Star tidak perlu galau soal biaya hidup. Namun, sayangnya begitu sampai di rumah, kebahagiaan itu menguap seketika. Star menatap Karin, Irina, dan Irish berdiri di teras dengan beberapa koper besar. “Pak Zeus meminta kita semua keluar dari rumah ini. Beliau meminta Nona untuk pindah ke rumah yang sudah dia siapkan.” Karin yang menjelaskan. “Aku tidak mau ikut.” Irish menggeret kopernya dengan santai. “irish.” Irina menegur adiknya itu. “What? Kita ini kan secara tidak langung sudah dipecat sama Pak Zeus. Jadi tidak ada yang mengharuskan aku mengikuti Callista kan?” Sebagai seorang ibu, Karin tentu ingin menegur putri bungunya itu. Tapi Star tidak membiarkan
"Irina, boleh kupinjam ponselmu sebentar?" Tanpa banyak bertanya, Irina menyerahkan ponselnya. Dan Star segera memindahkan nomornya ke ponsel Irina. Lalu Star beranjak ke kamar untuk menelepon Harvie. "Sialan sekali," umpat Star, menyesali kelakuannya membanting ponsel semalam. "Bisa-bisanya aku marah-marah seperti itu, dan membuat ponselku rusak total." "Halo," suara serak habis bangun tidur Harvie terdengar dari seberang telepon yang rupanya sudah tersambung. "Oh, maaf. Apa saya mengganggu tidur Anda?" Star bertanya sesopan mungkin. Star menyempatkan diri untuk melihat waktu di ponsel dan ini sudah jam enam lewat, sudah hampir jam tujuh pagi. Bagaimana mungkin seorang pekerja kantoran belum bangun dijam segitu? "Apa maumu?" tanya Harvie malas-malasan. "Uang yang kukirim kemarin kurang?" "Oh, bukan. Uang kemarin itu sudah lebih dari cukup. Nanti akan saya potong dengan biaya bulanan saya." Star menjawab dengan tegas. Perempuan itu adalah orang jujur yang enggan mengambil
Star menghela napas ketika dirinya diminta menunggu oleh satpam rumah orang tua Harvie yang belum mengenalnya. Waktu yang dibutuhkan untuk satpam itu mengkonfirmasi kedatangannya pun cukup lama. "Astaga Star, maaf ya kamu jadi nunggu lama." Helena sampai hendak menjemput Star ke pagar luar, namun ternyata mereka bertemu di tengah jalan yang panjang itu. Ya. Jalan masuk dari pintu gerbang sampai teras lumayan panjang. "Tidak apa-apa, Tante. Justru saya yang harusnya minta maaf, tadi saya singgah ke tempat lain dulu. Makanya agak lama." "Harusnya kamu gak perlu repot-repot." Helena segera memprotes begitu mellihat Star menenteng kantongan dari toko kue ternama. "Kebetulan tadi lewat. Jadi saya sekalian singgah." Star tidak berbohong ketika mengatakan itu. Memang toko kue ini terletak tidak jauh dari toko ponsel yang didatangi Star tadi. "Ah, kamu ngelesnya bisa saja." Hanya senyuman yang bisa diberikan Star pada Helena. Dia enggan berdebat dengan orang yang lebih tua, terutama
"Siapa?" tanya Harvie sekali lagi lewat ponselnya. "Mommy-nya Yvonne ada di rumah, jadi kamu pulang makan siang." Helena ngegas dari ujung sambungan telepon. "Mommy-nya Yvonne?" tanya Harvie sekali lagi. Entah Harvie yang halu atau mamanya yang sedang halu. Mommynya Yvonne alias Ilona kan sudah meninggal, bagaimana bisa ada di rumah orang tuanya? "Ah, mungkin kamu bingung karena biasanya kamu panggil Star dengan sebutan babe kan?" Begitu mendengar nama Star keluar dari mulut ibunya, Harvie mengembuskan napas lega. Dirinya sudah sempat berpikiri ibunya melihat hantu Ilona di rumah. "Kok bisa Star ada di sana?" Harvie bertanya sesantai mungkin. Jangan sampai ibunya menyadari kalau dia tadi sempat ketakutan. "Mama yang minta tolong Star datang. Bantuin Mama jaga Yvonne. Soalnya kan pengasuhnya Yvonne lagi pulang kampung dan kita belum dapat yang baru." "Tapi bukan berarti Mama bisa memanfaatkan Star, Ma. Nanti Star capek, Yvonne kan kerjanya nangis dan ngamuk terus.