Hening. Semua orang diam setelah mendengar apa yang Vana katakan dan dia pun ikut diam, berpikir kembali apakah perkataannya salah atau tidak? Entahlah. Yang pasti, suasana hening itu membuat Vana merasa bersalah dan dia menundukan kepalanya.“Ekhem. Vana,” panggil Alifika melirik padanya.Vana mengangkat wajahnya, menatap.“Bolehkah bertanya sesuatu padamu?” lanjut Alifika masih menatap gadis itu.“Ya. Tentu, silakan,” jawab Vana.Senyum Alifika hadir dan mengangguk namun dia diam untuk beberapa saat lamanya tampak menimbang-nimbang sesuatu kemudian menarik napasnya dan menatap Vana sekali lagi, lebih intens dari sebelumnya.“Apakah, kamu sungguh, tidak apa-apa bertunangan dengan Fandra?” tanyanya hati-hati.Mendengar pertanyaan yang dilontarkan itu Vana terdiam. Pertanyaan yang membuat Vana sendiri mempertanyakan keputusannya untuk datang ke mansion itu. Untuk apa dia berada di sana dan apa keputusannya? Vana sama sekali tidak atau mungkin belum menjelaskannya. Masih ada banyak yang
Aturan yang disebutkan kali ini adalah tentang pelatihan menjadi seorang putri. Keluarga Alatas adalah kalangan atas yang sering kali mendapat sorotan media. Bagai keluarga kerajaan. Setiap perempuan yang ada di keluarga itu harus digambarkan sefeminim mungkin bak putri bangsawan.Vana yang menyimak semua penuturan akan aturan yang berlalu menatap dirinya sendiri, menilainya. Apa yang salah dengan tampilannya? Apakah harus berubah menjadi seseorang yang bahkan bukan dirinya? Vana nyaman menjadi dirinya sendiri, sedikit tomboy dan ala kadarnya serta sesungguhnya, dia tidak mau diatur.“Asal kalian bisa menjaga keselamatan Ibu dan adik, aku bersedia.” Mata Vana terpejam ketika dia teringat kembali alasannya berada di sana. Bukan karena desakan keluarga Alatas, atau ibunya, melainkan keputusannya sendiri dengan gantinya yang lebih mudah.Dia sadar, tidak akan bisa melindungi keluarga kecilnya yang tinggalkan dua pria gagah, ayah dan kakeknya yang selalu ada kala mereka masih hidup. Namun
Tanpa ekspresi apa pun. Baik dari Vana atau dari seseorang yang berdiri di pembatas balkon. Tinggi menjulang dengan raut wajah yang datar, khas sekali Tuan Muda Arogan itu. Vana tak berkedip, entah mengapa selalu terpesona pada tatapan sang tuan muda secara tak sadar tentunya.Fandra sendiri diam, pandangannya menatap Vana yang berada di lantai bawah. Sunyi, hanya terdengar suara mesin AC atau alat elektronik lain yang berada di ruangan itu. Sorot mata yang tajam menusuk tapi kosong itu seolah menghipnotis Vana untuk diam di tempatnya.“Bagaimana ini?” bisik Nina khawatir. Tapi Asisten Pelayan Diara hanya diam, mengangkat tangannya untuk memberi isyarat agar mereka diam. Rupanya Fandra tak sendiri, muncul Arvan tak lama kemudian dan mendapati Vana di bawah sana. Senyum jahilnya hadir di wajah.“Halo gadis kecil,” sapanya dengan suara baritonnya yang memantul-mantul di ruangan itu menyadarkan Vana dari diamnya.Arvan melambaikan tangannya antusias bahkan tak menggubris tatapan tajam n
Vana bertanya-tanya reaksi apa yang Fandra tunjukan tadi. Keningnya mengerut dan diam sepanjang jalan. Para pelayan di belakangnya juga tak berusaha menghentikan atau menegurnya. Tapi Pelayan Diara pamit lebih dulu tanpa memberitahu Vana dan menyerahkan pengawasan pada Pelayan Mega. Sadar kalau dirinya kembali melamun, Vana menarik napas panjang dan membuangnya kasar. Mereka berada di lorong balkon yang mengarah ke gedung selatan, istana Fandra. Tapi langkahnya terhenti ketika ekor matanya menangkap pergerakan. Lorong balkon itu menghadap sudut timur, tempat parkir yang luas di depan taman. Meskipun terhalang pepohonan cemara, Vana bisa dengan jelas melihat gerak langkah Fandra yang terburu menuju mobil yang terparkir. Namun, sebelum pria itu masuk ke mobil, sesaat dia terdiam dan kembali pandangan mereka sama-sama bertemu lagi. Tak hanya Vana yang menyadari keanehannya, bahkan Fandra sendiri pun merasa aneh setela
Vana harus menyesuaikan dirinya dengan kehidupan yang sama sekali berbeda dari yang sebelumnya. Bangun pagi sekali adalah kebiasaannya, namun di rumah besar itu baru para pelayan yang telah sibuk dengan pekerjaannya, para tuannya masih terlelap. Gadis itu kesulitan, tentu saja. Lebih-lebih dengan gaya hidup orang kaya yang begitu teratur dan bak putri raja dengan pelayan yang membantu.Jam menunjukan pukul lima lewat empat puluh delapan menit saat Vana membuka tirai yang menutup jendela kamarnya. Ada balkon kecil di sana, dia buka pintu agar udara pagi yang sejuk bertamu ke kamarnya, memberikan ketenangan dalam gelisah yang diraskannya.“Apakah pilihanku salah?” bisiknya mendadak ragu akan keputusannya.Mata dengan iris coklat terang itu menerawang jauh pada awan-awan tipis putih yang membentuk garis tipis di langit. Bersandar di bingkai pintu sambil melipat kedua lengan. Vana melamun, memikirkan ulang alasannya berada di sana.“Aku yang bersedia untuk menepati janji. Kutukar keamanan
“Kau taruh di mana matamu, hah?” Suara berat itu lebih dulu menusuk gendang telinga Vana. Teguran yang terdengar begitu sinis, sarat akan ketidaksukaanya terhadap gadis itu.Mulut gadis itu terkatup rapat, bibirnya bergerak-gerak lalu mencebik kemudian perlahan mengangkat wajahnya untuk menatap wajah datar nan dingin di depannya.“Mataku di tempatnya. Mana tau kau keluar juga,” bela Vana menatapnya sengit.“Oh. Di tempatnya? Kau, nyaris menabrakku, Gadis Kampungan!”Gigi Vana mengatup, rahangnya mengeras setiap kali Fandra menyebutnya Gadis Kampungan. Entah pria itu sengaja atau tidak, tapi itu berhasil membuat Vana marah tak terima dengan panggilan Fandra untuknya.Mengepalkan kedua tangannya, memejamkan mata sesaat, Vana kembali menatap Fandra dingin.“Astaga, Tuan Muda Arogan yang Tak Berhati. Jika matamu melihat, lantas, mengapa berhenti di depanku, hah? Kau, memang sengaja membuatku kesal, bukan?” tuduhnya dengan tatapan tajam menusuk Fandra yang tak kalah menatapnya tajam.Fandr
Kepala pria itu bergerak maju lalu berbisik tepat di sisi telinga Vana yang masih diam di tempatnya. Sepertinya dia shock. “Bernapaslah,” bisiknya pada gadis itu yang membeku kaku di dekapan satu tangan Fandra sementara satu tangannya berpegangan pada besi di sisi tangga. Menelan ludahnya, Vana menurut dan mulai bernapas pelan. Embusan napas dari Fandra yang mengenai tengkuknya membuat gadis itu bergidik geli sekaligus menyadarkan. Seulas senyum miring tiba-tiba hadir di wajah Fandra. Dia melangkah, menggeser Vana di depannya tanpa melepaskan pelukan. Rupanya mereka sudah sampai di dasar tangga dan dengan mudah Fandra menggeser tubuh kecil Vana. “Kelihatannya kau menikmatinya, Nona?” sindirnya tepat di telinga Vana. Mata indah Vana membulat sempurna, beringsut dia melepaskan tangan besar Fandra, tapi entah bagaimana pria itu justru menarik tangan Vana sehingga tubuh gad
Semua mata tertuju pada Vana yang seketika itu ingin sekali menghilang. Dalam hatinya dia merutuki Fandra, tuan muda menyebalkan itu membuat semua orang pasti salah paham. Sampai-sampai Vana tak punya tenaga untuk mengangkat wajahnya. Sungguh memalukan sekali, bukan?“Lihat saja. Aku akan membalasmu nanti. Dasar Tuan Muda Tak Berwajah,” rutuknya kembali menciptakan julukan yang kesekiannya untuk pria itu.Mudah sekali membuat julukan untuk Fandra karena memang cocok dengan semua panggilan yang Vana ciptakan, tak berhati, tak berwajah, dingin, arogan, angkuh dan lain sebagainya. Julukan itu tercipta lagi saat Vana kesal. Namun, mengapa dia tak terima ketika Fandra menyebutkan julukan untuknya.Sebenarnya, Vana bisa saja pergi keluar untuk melakukan aktivitas hariannya seperti sebelum dia memutuskan untuk pindah ke Mansion Alatas dan menukar janjinya untuk janji lain. Sayangnya, salah satu aturan mengatakan, Vana harus tetap di rumah dan menjalani latihan selama satu bulan minimal dan d