Share

3. Pemilik Kalung

“Ada insiden di sini,” kata wanita itu sambil menolehkan wajahnya ke samping.

Vana memperhatikan, ada kabel di belakang telinganya, dan hal itu membuatnya semakin bertanya-tanya siapa gerangan.

Gadis itu membantu sang ibu untuk bangun agar pindah tempat duduk di kursi. Dia membiarkan wanita itu membuat laporan karena perhatiannya kini tertuju pada wanita yang amat dia sayangi.

“Maafkan aku terlambat, Ma,” ucap Vana dengan nada yang menyesal. Suaranya terdengar parau, kedua tangannya menggenggam sang ibu yang mencoba untuk tersenyum.

“Tidak apa-apa, Vana. Seandainya bisa, kamu tidak perlu datang,” kata ibunya.

“Bagaimana mungkin?” Nada suara Vana naik, tidak setuju dengan sang ibu.

Dia tidak lagi bisa mengatakan apa-apa selain mengasihi wanita cantik yang kini wajahnya di penuhi lebam. Tangan sang ibu mengusap kepalanya lembut.

Beberapa orang datang sedikit terburu membuat perhatian Vana dan ibunya teralihkan ke pintu masuk. Sekitar tiga orang pria dengan setelan jas hitam serupa dengan wanita tadi itu segera meringkus para anak buah rentenir tersebut yang masih tergeletak di lantai.

Masih dalam kebingungannya, datang lagi dua orang wanita dengan tergopoh, ekspresi wajahnya menggambarkan kekhawatiran. Vana bangun dari jongkoknya tapi tak mengizinkan sang ibu untuk ikut bangun.

“Kalian siapa?” tanya Vana.

Nenek mendekat dengan di tuntun menantunys. Tersenyum hangat pada Vana yang menatapnya heran. Wajah asing baginya, tidak mungkin dia mengenali wanita ini sekalipun wajahnya terpampang dimana-mana atau sekelas public pigure, dia sama sekali tidak peduli dengan itu.

“Maaf, Anda siapa?” tanya Vana was-was. Dia berpikir, mungkinkan Tuan Tanah atau nyonya kaya yang akan mengambil alih rumah itu segera? Dibanding dengan para rentenir, dia lebih takut dengan orang kaya yang bisa melakukan apapun dalam sekali perintah, terlebih lagi datang bersama para pengawalnya.

“Halo, perkenalkan saya Xu Mei, dan ini menantu saya, Diana,” ujar wanita tua itu tanpa basa-basi memperkenalkan dirinya.

Pandangan Vana mengedar mencari sesuatu, dan dia bergegas membawa kursi yang terlempar sedikit jauh karena ulah para rentenir tadi. Hal itu membuat mertua dan menantu saling tatap. Para pengawal yang melihat gerakan Vana siap siaga untuk melindungi tuannya.

Vana kembali dengan kursi, “Silakan duduk,” katanya menaruh benda itu di belakang nenek.

Wanita tua itu tersenyum, “Terima kasih.”

Salah satu pengawal memberikan satu kursi untuk wanita satunya. Kedua wanita itu duduk berhadapan dengan Vana yang masih berdiri. Perhatiannya tertuju pada si ketua rentenir yang menatapnya dingin. Dia tahu, tanpa kata, tatapan itu adalah sebuah ancaman. Tapi Vana hanya diam saja, balas menatap pria itu yang sesungguhnya masuk dalam kategori tampan dari segi wajah.

Salah satu pengawal bertanya mengenai para rentenir itu. Seorang pria yang berdiri tepat di belakang nenek membalik setengah badan. Nenek memerintahkan untuk melaporkan saja ke pihak berwajib. Setelah itu laporkan  padanya.

Bawahannya itu menatap, dan ketua pengawal mengangguk mengiyakan apa yang diperintahkan sang nyonya.

Tidak terima, si ketua menggeram marah, dia kembali menatap Vana yang masih diri di tempatnya. “Lihat saja. Aku tidak akan tinggal diam, brengsek!” katanya sebelum diseret keluar oleh para pengawal itu.

Masih dengan tatapan yang sama, Vana mengantar kepergian si ketua. Ada rasa sakit dalam hatinya atas apa yang terjadi sampai dia ragu untuk menatap sang ibu lagi, membuat rasa bersalah mendominasi hatinya karena terlambat untuk melindungi sang ibu, seperti janjinya pada mendiang ayahnya.

Sementara Vana masih menatap kepergian para rentenir, perhatian sang menantu tertuju pada gadis itu. Dahinya mengerut ketika mendapati sebuah benda yang tak asing menyembul keluar kemeja putih yang dikenakan Vana. Ibu Fandra menyipitkan matanya untuk memperjelas kalau dia mengenali benda itu.

“Terima kasih sudah membantu kami,” ucap wanita pemilik rumah makan itu sambil membungkukan kepalanya di hadapan nenek

“Ah, itu bukan apa-apa. Kami kebetulan saja berada di dekat sini dan mendengar kegaduhan, jadi kami memutuskan untuk membantu bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dan benar saja,” jelas nenek.

Wanita sederhana yang wajahnya dipenuhi lebam itu berusaha tersenyum meskipun ujung bibirnya terasa pedih. 

“Vana, ambilkan air,” ujar sang ibu menarik perhatian gadis itu.

“Ah, ya.”

“Tidak usah,” sela nenek itu. Tapi Vana hanya tersenyum dan tetap pergi ke dapur meninggalkan para tamu itu.

Dada ibu dari Fandra berdesir kala mengenali benda itu. Mendadak matanya berair, dan sekuat tenaga dia menahannya. Hatinya bergejolak, penuh oleh tanya soal bagaimana dia akan menerima. Gadis itu biasa, dan terlibat dengan kerusuhan seperti ini, pastilah sebagai seorang ibu, dia mesti memikirkan kemungkinan lainnya. Bisakah dia menerima gadis biasa?

Namun, dia ingat apa yang ibu mertuanya katakan sebelum mereka berangkat, “Dari manapun asal gadis itu, jika memang dia memiliki kalungnya, Ibu akan tetap membawanya sesuai permintaan mendiang Ayahmu. Bukankah sesuatu yang buruk bisa berubah menjadi lebih baik dengan sebuah upaya.”

Tapi sebelum memberitahukannya pada nenek Fandra, sang ibu ingin memastikannya lebih dulu bahwa apa yang dia lihat itu benar-benar nyata.

Vana kembali dengan nampan berisi minuman. Dia menaruhnya satu per satu di atas meja, dan dengan ramah mempersilakan para tamu untuk minum. Dia juga melakukan hal yang sama kepada para pengawal setelah meminta mereka untuk duduk.

Ibu Fandra memperhatikannya, entah mengapa ada sesuatu yang meleleh dalam hatinya begitu melihat sikap Vana. Meskipun tanpa senyuman, dia tahu gadis itu tulus. Meskipun terlihat cuek, ibu Fandra tahu Vana perhatian. “Dia cocok untuk Fandra yang cuek abis,” batinnya berkata lalu menarik kedua sudut bibirnya.

Kembali duduk bersama sang ibu, ibu Fandra tak luput memandangi leher Vana yang tampak rantai kalung yang keemasan. Dia mengenali rantai kalung itu.

“Ini putri sulungku,” kata ibunya memperkenalkan Vana begitu gadis itu duduk di tempatnya.

“Begitu. Cantik,” puji sang nenek.

Vana tersenyum malu. Dia tidak pandai melakukan apapun tapi sang ibu selalu membanggakannya, dan hal itu bisa dilihat dengan jelas oleh menantu dan mertua yang secara otomatis memegang tangan.

“Apakah kamu kuliah atau kerja?” tanya ibu Fandra tiba-tiba membuat ibu dan anak itu saling tatapan, pun nenek menatapnya. Tapi menantunya itu diam, tetap fokus pada Vana, berharap melihat lagi bandul kalung itu untuk memastikannya.

“Itu ….”

“Dia tidak ingin bekerja jauh, jadi hanya menghabiskan harinya membantuku di sini,” jawab sang ibu menyela Vana.

“Oh begitu. Apakah ini tempat makan?” tanya sang nenek, pandangannya mengedar mengabsen setiap jengkal ruangan itu. Tampak sudah lama sekali tapi bersih dan terawat meskipun hari ini tampak berantakan.

“Vana, namamu kan?” Ibu Fandra kembali bertanya membuat  sang nenek menatapnya lagi, heran dengan menantunya yang bertanya tidak seperti biasanya, terkesan menginterogasi atau seseorang yang akan menyeleksi.

“Ya.” Vana menjawab singkat walaupun dia tetap bingung.

“Vana, bisa kamu memperlihatkan bandul kalung itu?” tanya wanita itu yang tidak lagi bisa menunggu dan menahan rasa penasarannya.

Nenek menatap menantunya, tapi wanita itu hanya tersenyum kecil. Vana juga kebingungan menatap sang ibu sekilas lalu beralih pada wanita yang sejak tadi memperhatikannya, yang menunggu bandul kalung itu.

Meskipun bingung pada akhirnya Vana tetap memperlihatkan bandul kalung yang dia pakai. Dan betapa terkejutnya Ibu Fandra serta neneknya melihat benda itu, sesuatu yang mereka cari ada di tangan gadis itu. Bagimana mungkin.

Kedua pasang mata itu tampak berair, terharu begitu memastikan kalung itu adalah yang mereka cari. Mertua dan menantu itu saling tatap penuh rasa syukur.

“Cucuku ….”

Dahi Vana mengerut, tidak paham dengan apa yang Xu Mei gumamkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status