Home / Romansa / Calon Istri Tuan Muda / 3. Pemilik Kalung

Share

3. Pemilik Kalung

last update Last Updated: 2023-01-26 22:01:39

“Ada insiden di sini,” kata wanita itu sambil menolehkan wajahnya ke samping.

Vana memperhatikan, ada kabel di belakang telinganya, dan hal itu membuatnya semakin bertanya-tanya siapa gerangan.

Gadis itu membantu sang ibu untuk bangun agar pindah tempat duduk di kursi. Dia membiarkan wanita itu membuat laporan karena perhatiannya kini tertuju pada wanita yang amat dia sayangi.

“Maafkan aku terlambat, Ma,” ucap Vana dengan nada yang menyesal. Suaranya terdengar parau, kedua tangannya menggenggam sang ibu yang mencoba untuk tersenyum.

“Tidak apa-apa, Vana. Seandainya bisa, kamu tidak perlu datang,” kata ibunya.

“Bagaimana mungkin?” Nada suara Vana naik, tidak setuju dengan sang ibu.

Dia tidak lagi bisa mengatakan apa-apa selain mengasihi wanita cantik yang kini wajahnya di penuhi lebam. Tangan sang ibu mengusap kepalanya lembut.

Beberapa orang datang sedikit terburu membuat perhatian Vana dan ibunya teralihkan ke pintu masuk. Sekitar tiga orang pria dengan setelan jas hitam serupa dengan wanita tadi itu segera meringkus para anak buah rentenir tersebut yang masih tergeletak di lantai.

Masih dalam kebingungannya, datang lagi dua orang wanita dengan tergopoh, ekspresi wajahnya menggambarkan kekhawatiran. Vana bangun dari jongkoknya tapi tak mengizinkan sang ibu untuk ikut bangun.

“Kalian siapa?” tanya Vana.

Nenek mendekat dengan di tuntun menantunys. Tersenyum hangat pada Vana yang menatapnya heran. Wajah asing baginya, tidak mungkin dia mengenali wanita ini sekalipun wajahnya terpampang dimana-mana atau sekelas public pigure, dia sama sekali tidak peduli dengan itu.

“Maaf, Anda siapa?” tanya Vana was-was. Dia berpikir, mungkinkan Tuan Tanah atau nyonya kaya yang akan mengambil alih rumah itu segera? Dibanding dengan para rentenir, dia lebih takut dengan orang kaya yang bisa melakukan apapun dalam sekali perintah, terlebih lagi datang bersama para pengawalnya.

“Halo, perkenalkan saya Xu Mei, dan ini menantu saya, Diana,” ujar wanita tua itu tanpa basa-basi memperkenalkan dirinya.

Pandangan Vana mengedar mencari sesuatu, dan dia bergegas membawa kursi yang terlempar sedikit jauh karena ulah para rentenir tadi. Hal itu membuat mertua dan menantu saling tatap. Para pengawal yang melihat gerakan Vana siap siaga untuk melindungi tuannya.

Vana kembali dengan kursi, “Silakan duduk,” katanya menaruh benda itu di belakang nenek.

Wanita tua itu tersenyum, “Terima kasih.”

Salah satu pengawal memberikan satu kursi untuk wanita satunya. Kedua wanita itu duduk berhadapan dengan Vana yang masih berdiri. Perhatiannya tertuju pada si ketua rentenir yang menatapnya dingin. Dia tahu, tanpa kata, tatapan itu adalah sebuah ancaman. Tapi Vana hanya diam saja, balas menatap pria itu yang sesungguhnya masuk dalam kategori tampan dari segi wajah.

Salah satu pengawal bertanya mengenai para rentenir itu. Seorang pria yang berdiri tepat di belakang nenek membalik setengah badan. Nenek memerintahkan untuk melaporkan saja ke pihak berwajib. Setelah itu laporkan  padanya.

Bawahannya itu menatap, dan ketua pengawal mengangguk mengiyakan apa yang diperintahkan sang nyonya.

Tidak terima, si ketua menggeram marah, dia kembali menatap Vana yang masih diri di tempatnya. “Lihat saja. Aku tidak akan tinggal diam, brengsek!” katanya sebelum diseret keluar oleh para pengawal itu.

Masih dengan tatapan yang sama, Vana mengantar kepergian si ketua. Ada rasa sakit dalam hatinya atas apa yang terjadi sampai dia ragu untuk menatap sang ibu lagi, membuat rasa bersalah mendominasi hatinya karena terlambat untuk melindungi sang ibu, seperti janjinya pada mendiang ayahnya.

Sementara Vana masih menatap kepergian para rentenir, perhatian sang menantu tertuju pada gadis itu. Dahinya mengerut ketika mendapati sebuah benda yang tak asing menyembul keluar kemeja putih yang dikenakan Vana. Ibu Fandra menyipitkan matanya untuk memperjelas kalau dia mengenali benda itu.

“Terima kasih sudah membantu kami,” ucap wanita pemilik rumah makan itu sambil membungkukan kepalanya di hadapan nenek

“Ah, itu bukan apa-apa. Kami kebetulan saja berada di dekat sini dan mendengar kegaduhan, jadi kami memutuskan untuk membantu bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dan benar saja,” jelas nenek.

Wanita sederhana yang wajahnya dipenuhi lebam itu berusaha tersenyum meskipun ujung bibirnya terasa pedih. 

“Vana, ambilkan air,” ujar sang ibu menarik perhatian gadis itu.

“Ah, ya.”

“Tidak usah,” sela nenek itu. Tapi Vana hanya tersenyum dan tetap pergi ke dapur meninggalkan para tamu itu.

Dada ibu dari Fandra berdesir kala mengenali benda itu. Mendadak matanya berair, dan sekuat tenaga dia menahannya. Hatinya bergejolak, penuh oleh tanya soal bagaimana dia akan menerima. Gadis itu biasa, dan terlibat dengan kerusuhan seperti ini, pastilah sebagai seorang ibu, dia mesti memikirkan kemungkinan lainnya. Bisakah dia menerima gadis biasa?

Namun, dia ingat apa yang ibu mertuanya katakan sebelum mereka berangkat, “Dari manapun asal gadis itu, jika memang dia memiliki kalungnya, Ibu akan tetap membawanya sesuai permintaan mendiang Ayahmu. Bukankah sesuatu yang buruk bisa berubah menjadi lebih baik dengan sebuah upaya.”

Tapi sebelum memberitahukannya pada nenek Fandra, sang ibu ingin memastikannya lebih dulu bahwa apa yang dia lihat itu benar-benar nyata.

Vana kembali dengan nampan berisi minuman. Dia menaruhnya satu per satu di atas meja, dan dengan ramah mempersilakan para tamu untuk minum. Dia juga melakukan hal yang sama kepada para pengawal setelah meminta mereka untuk duduk.

Ibu Fandra memperhatikannya, entah mengapa ada sesuatu yang meleleh dalam hatinya begitu melihat sikap Vana. Meskipun tanpa senyuman, dia tahu gadis itu tulus. Meskipun terlihat cuek, ibu Fandra tahu Vana perhatian. “Dia cocok untuk Fandra yang cuek abis,” batinnya berkata lalu menarik kedua sudut bibirnya.

Kembali duduk bersama sang ibu, ibu Fandra tak luput memandangi leher Vana yang tampak rantai kalung yang keemasan. Dia mengenali rantai kalung itu.

“Ini putri sulungku,” kata ibunya memperkenalkan Vana begitu gadis itu duduk di tempatnya.

“Begitu. Cantik,” puji sang nenek.

Vana tersenyum malu. Dia tidak pandai melakukan apapun tapi sang ibu selalu membanggakannya, dan hal itu bisa dilihat dengan jelas oleh menantu dan mertua yang secara otomatis memegang tangan.

“Apakah kamu kuliah atau kerja?” tanya ibu Fandra tiba-tiba membuat ibu dan anak itu saling tatapan, pun nenek menatapnya. Tapi menantunya itu diam, tetap fokus pada Vana, berharap melihat lagi bandul kalung itu untuk memastikannya.

“Itu ….”

“Dia tidak ingin bekerja jauh, jadi hanya menghabiskan harinya membantuku di sini,” jawab sang ibu menyela Vana.

“Oh begitu. Apakah ini tempat makan?” tanya sang nenek, pandangannya mengedar mengabsen setiap jengkal ruangan itu. Tampak sudah lama sekali tapi bersih dan terawat meskipun hari ini tampak berantakan.

“Vana, namamu kan?” Ibu Fandra kembali bertanya membuat  sang nenek menatapnya lagi, heran dengan menantunya yang bertanya tidak seperti biasanya, terkesan menginterogasi atau seseorang yang akan menyeleksi.

“Ya.” Vana menjawab singkat walaupun dia tetap bingung.

“Vana, bisa kamu memperlihatkan bandul kalung itu?” tanya wanita itu yang tidak lagi bisa menunggu dan menahan rasa penasarannya.

Nenek menatap menantunya, tapi wanita itu hanya tersenyum kecil. Vana juga kebingungan menatap sang ibu sekilas lalu beralih pada wanita yang sejak tadi memperhatikannya, yang menunggu bandul kalung itu.

Meskipun bingung pada akhirnya Vana tetap memperlihatkan bandul kalung yang dia pakai. Dan betapa terkejutnya Ibu Fandra serta neneknya melihat benda itu, sesuatu yang mereka cari ada di tangan gadis itu. Bagimana mungkin.

Kedua pasang mata itu tampak berair, terharu begitu memastikan kalung itu adalah yang mereka cari. Mertua dan menantu itu saling tatap penuh rasa syukur.

“Cucuku ….”

Dahi Vana mengerut, tidak paham dengan apa yang Xu Mei gumamkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Calon Istri Tuan Muda   108. (Akhir) Kau Milikku

    Sudah hampir satu bulan sejak Fandra pergi ke Jepang untuk urusan bisnisnya ternyata masalahnya rumit sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mengurusnya. Ayah Fandra juga turut pergi satu minggu lalu untuk membantu karena masalahnya semakin besar membuat semua jadi khawatir.Cuaca belakangan ini tidak tentu, hujan deras turun dengan guntur dan kilat padahal siang masih berlangsung tapi hujan sudah turun. Keluarga Alatas menjadi resah tapi mereka saling menguatkan satu sama lain, mendoakan yang sedang berada di luar rumah.Hari ini pagi cerah, tapi saat siang hari mendung berat, langit gelap dengan gemuruh yang terdengar keras. Angin kencang pun tak mau tertinggal menyemarakkan badai yang hendak turun.Dengan semua kabar cuaca yang buruk itu membuat Vana menjadi tak tenang. Fandra tidak bisa dihubungi dua hari ini karena sibuk sekali. Ayah sempat mengabari kalau mereka akan lembur beberapa hari agar masalah segera beres.Vana tidak tahu apapun jadi hanya bisa mendukung saja dan mend

  • Calon Istri Tuan Muda   107. Arzal Pamit

    Tiga hari sejak kejadian itu, Vana jarang sekali keluar dan lebih menghabiskan waktunya di rumah Fandra. Dia punya hobi baru sekarang, melakukan banyak hal seperti merangkai bunga, membuat kerajinan dan lain sebagainya. Fandra sibuk dengan pekerjaannya hingga jarang sekali dihubungi, karena Vana tidak ingin menganggu maka pria itulah yang menghubunginya.Vana sudah menjadi bagian dari keluarga besar itu, dan calon istri Fandra jadi dia bisa bebas ke manapun dia mau di gedung selatan itu. Namun, Fandra tidak mengizinkan Vana untuk ke rumah pondok itu.“Vana, kau sibuk?” Heda datang menghampiri.Apa yang terjadi di hotel itu hanya diketahui beberapa orang saja. Fandra membungkam wartawan yang Asheila bawa itu, dan Asheila sendiri sudah pergi lagi. Dua bodyguard yang ditugaskan Fandra pun tidak akan membicarakan masalah itu, hanya Heda dan Gavian yang mengetahuinya lagi, serta Arzal. Yang lain, terutama keluarga Alatas tidak ada yang tahu.“Tidak. Kenapa?” tanya Vana sambil berbalik meng

  • Calon Istri Tuan Muda   106. Tidak Ada Lagi Kesempatan

    Vana tampak kelehan, dan berbaring di ranjang yang berantakan.Entah berapa tempat yang mereka jamah, dan memberantakannya bahkan kamar mandi pun tak luput dari mereka.“Kau akan kesakitan saat bangunan nanti.”Vana merespon pelan.“Aku tahu. Tapi, aku tidak bisa … kenapa kau di sini?” tanya Vana lemah.“Aku tidak mungkin meninggalkanmu dengan masalah besar, bukan?”“Ya. Namun, bagaimana kau?” Vana tampak tak berdaya, dia lemah sekarang setelah energinya terkuras habis untuk bergelut dengan pria itu.“Kau akan tahu saat sadar sepenuhnya. Jadi sekarang, tidurlah. Kau pasti lelah,” katanya sambil mengusap kepala Vana dan mendaratkan kecupan di dahi gadis itu.“Kau akan pergi bukan?”“Ya, setelah ini,” jawabnya.“Cepatlah kembali. Aku akan menunggu.”“Tentu. Istirahatlah di sini. Sahabatmu akan menjemput besok. Ibu akan menjagamu sampai aku kembali. Jangan pernah keluar lagi dengan pria lain.”Vana mengangguk. Kedua matanya tampak berat untuk terbuka tapi dia masih mengenali suara itu.“

  • Calon Istri Tuan Muda   105. Yang Direncanakan

    “Fandra?” Vana memanggil sambil mencari pria itu.Fandra muncul tak lama kemudian.“Ya?” Fandra menyahut. “Ada apa?”“Tidak. Aku pikir kau ke mana. Bukannya kau ingin mengatakan sesuatu padaku, apa itu?” tanya Vana kemudian sambil menatap pria itu yang justru menghindar.“Kau mau melihat sekitar?” tanya Fandra, mengalihkan.“Nanti,” jawab Vana sadar kalau Fandra menghindarinya. “Katakanlah, selagi aku bisa mendengarkannya dengan baik,” kata gadis itu mendesak Fandra.Meskipun ragu, pria itu akhirnya menatap Vana.“Aku akan pergi dinas,” ungkap Fandra akhirnya.Vana tak merespon, membiarkan Fandra kembali menyampaikan sisanya.“Ke Jepang, selama dua minggu,” lanjutnya dan masih menatap Vana, mengawasi ekspresi gadis itu.“Itu saja?” tanya Vana tampak tenang.Kedua alis Fandra terangkat, sedikit heran dengan tanggapan yang gadis itu berikan. Fandra berpikir Vana mungkin akan marah, sedih, atau hal lainnya lagi. Namun ternyata, gadis itu cukup tenang untuk merespon.“Ya,” jawab Fandra si

  • Calon Istri Tuan Muda   104. Rumah Pondok Itu

    Setelah hari pertunangan itu Asheila menemui Arzal di tempat pria itu sering berada. Asheila mencari tahu lebih dulu tentang pria itu sebelumnya, dan kini duduk anggun di salah satu kursi café milik Arzal.Dengan senyum puas menghiasi bibir, dan rencana yang telah disusun. Asheila yakin semua akan berhasil sesuai dengan prediksinya bila bekerjasama dengan Arzal. Ashelia pikir bisa mengendalikan pria itu, dan membawa ke sisinya lalu menggunakannya untuk merebut Vana dari Fandra, maka dengan begitu Fandra akan kembali padanya.“Maaf membuatmu menunggu,” suara Arzal membuat Asheila menolehkan kepala.“Tidak apa-apa. Aku sudah menunggumu, duduklah,” ujar Asheila.Sesaat Arzal diam, firasatnya tak enak, menatap wanita di depannya beberapa saat. Tentu saja, Arzal sedikit mengenali Asheila yang ditemuinya di acara Vana dan Fandra tapi Arzal tidak tahu hubungan antara wanita itu dan Fandra.Masih tetap membentuk senyuman di bibir, Asleila menunggu respon dari Arzal dengan perasaan tak sabar.

  • Calon Istri Tuan Muda   103. Resmi Menjadi Sepasang Kekasih

    Setelah serangkaian sambutan, mereka akhirnya bertukar cincin. Fandra memasangkannya di jari manis Vana, memperhatikannya beberapa saat. Gema tepuk tangan memenuhi ruangan. Giliran Vana memasangkan cincinnya di jari manis tangan kiri Fandra. Para hadirin bersorak, menyampaikan bahagianya dan mengucapkan selamat atas pertunangan itu, mereka kini resmi menjadi sepasang kekasih yang membuat iri banyak pihak.Vana memeluk ibunya begitu sesi tukar cincin berakhir dan para tamu undangan bergantian memberinya selamat. Fandra ditarik menjauh oleh Arvan dan bergabung dengan Gavian sedangkan Vana bersama keluarganya, ibu serta nenek mengelilinginya. Ada nenek dan kakek Gavian juga di sana menyampaikan bahagia dan harunya pada Vana serta mendoakannya yang terbaik.“Aku senang akhirnya kamu menjadi bagian dari keluarga ini dan membuat Xu Mei tenang,” kata nenek Gavian sembari mengusap lengan Vana.“Terima kasih atas hadirnya, Nenek, dan mendoakan yang terbaik untukku. Semoga doa baik kembali pada

  • Calon Istri Tuan Muda   102. Sang Putri

    Ruang ballroom yang tadinya luas, hanya ada dekorasi di sisi ruangan kini tampak megah dengan kursi dan meja, altar, dan panggung, serta pernah pernik yang menghiasi ruangan luas di mansion Alatas itu. Kali ini ruangan tersebut hampir penuh sesak oleh tamu undangan yang hadir, meskipun hanya mengundang kalangan atas, tetap saja banyak.Fandra menunggu bersama keluarganya sembari mendengarkan MC yang membuat sambutan sesuai dengan urutannya. Xu Mei, wanita tua berdarah China itu tampak anggun, diapit oleh menantu dan putra tersayangnya, mereka bak raja dan ratu serta ibu suri yang duduk satu meja bersama pangerannya. Alifika juga ada di sana, di meja yang sama dengan orang tua serta ibunya Vana. Wanita itu sama anggunnya seperti Diana yang duduk di sampingnya.Para tamu undangan itu tampak berseri- seri, ikut gugup menunggu sang putri yang wajahnya masih rahasia, hanya namanya yang tertera di kartu undangan. Semua orang dibuat penasaran, secantik apa dia? Sehebat apa latarnya sehingga

  • Calon Istri Tuan Muda   101. Acara Besar

    Hari besar itu akhirnya tiba juga. Acara akan dilaksanakan pada malam hari, tapi ketika senja menjadi latar di barat sana Vana sudah di dalam kamarnya, tidak boleh kelaur dan Fandra dilarang menemuinya sejak pagi, bahkan mungkin kemarin malam. Meski begitu, Fandra beberapa kali ingin menemuinya, tak melihat gadis itu rasanya aneh baginya.Alifika dan keluarga lainnya memaksa Fandra untuk pindah ke bagunan lain, dan mereka menahannya di kamar sang nenek. Di sanalah dia berganti baju, sedangkan Vana tetap di kamarnya, sibuk dengan para perias, bahkan ponselnya tak bisa dia mainkan. Hanya para wanita yang boleh datang untuk melihatnya, Fandra tidak boleh. Tampilan Vana akan menjadi kejutan juga untuknya.“Kau yang bertunangan kenapa aku yang gugup,” ujar Sabina yang datang lebih awal bersama Angela untuk menemani Vana.“Iya nih. Bener-benar gila rasanya,” timpal Angela yang duduk di samping Sabina sementara Vana di sofa usai merias wajah dan mengenakan gaun untuk pertunangannya hari ini

  • Calon Istri Tuan Muda   100. Tak Ingin Menjauh

    Matahari sudah di ufuk barat ketika Fandra akhirnya tiba di rumah. Dia pergi menenangkan dirinya lebih dulu sebelum kembali karena kalau sampai neneknya tahu, dia pasti akan dalam bahaya.Memarkirkan mobilnya sebaik mungkin. Saat senja seperti ini biasanya sang nenek bersantai di teras kediamannya menikmati matahari tenggelam yang terasa hangat. Para pekerja sedang sibuk beralu lalang, semua dipercayakan pada orang lain yang mengurus dekorasi dalam pengawasan sang ibu dan kakaknya.“Kau kembali,” sapa Alifika yang kebetulan berada di ballroom untuk mengecek dekorasi.Sempat Fandra terkejut, tapi dia kemudian bersikap biasa saja melihat sang kakak tengah sibuk dengan kertas di tangannya, mencatat apa yang sudah dan belum selesai di kerjakan.“Ya,” jawabnya singkat.Alifika mengangkat wajahnya dan menatap sang adik beberapa saat lalu menepuk bahunya sebelum

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status