Share

4. Saling Melengkapi

“Aaaargh!” jeritan terkejut dari arah depannya membuat Fandra berjengit.

Bola matanya nyaris menggelinding dari cangkangnya ketika melihat sesosok gadis di hadapannya, si pelaku yang menjerit nyaring.

“Siapa kau?”

Suara keduanya beradu. Mereka berhadapan meskipun terdapat jarak sekitar lima meter. Tapi tidak ada benda apapun yang menjadi sekat antara mereka.

“Ini rumahku. Kau yang siapa?” Suara Fandra terdengar dingin dan berat, memusatkan pandangannya pada sosok gadis itu yang berdiri di depan sebuah pintu. “Tunggu! Kamar itu … kau, apa yang kau lakukan di sini, hah? Kau siapa?” tanya pria itu tak sabar.

“Ada apa ribut-ribut?” Terdengar langkah kaki mendekat, yang datang tak hanya seorang, melainkan nyaris seluruh penghuni rumah.

Baik Fandra atau gadis itu sama-sama mengalihkan pandangan.

“Dia ….” Lagi-lagi keduanya bersamaan angkat bicara membuat yang lain bingung.

“Ah. Kami bisa menjelaskannya, Fandra,” ujar sang nenek setelah memahami situasinya.

“Menjelaskan apa?” Fandra menatap sang nenek.

“Ada. Ayo, kita turun. Kamu juga, sayang,” katanya pada gadis itu.

Mata Fandra membulat dengan sempurna. Tapi tidak ada yang memperhatikannya karena semua orang tampak memuja gadis itu. Orang asing bagi Fandra, tapi sepertinya tidak bagi yang lainnya.

Nenek dan ibu Fandra menuntun Vana untuk turun dari lantai dua rumah besar itu. Meskipun bukan pertama kali, tetap saja Vana masih terkagum-kagum dengan segala yang ada di rumah itu. Ini seperti mansion klasik yang ada di cerita, dalamnya penuh dengan barang-barang antic, tapi mewah dengan dekorasi modern. Tidak semuanya klasik juga, banyak furniture modern yang berkelas.

“Ayo, Fan,” ajak sang ayah yang berjalan di belakang setelah empat perempuan itu berjalan lebih dulu. Sang ayah merangkul pundak anaknya, memaksa Fandra untuk mengangkat kaki dari sana, mengikuti yang lain turun.

Perhatian Fandra tidak lepas dari sikap yang menurutnya aneh. Tapi perhatian sang nenek, bahkan ibu dan adiknya tampak begitu lembut, penuh senyuman, dan mereka tampak ceria dari biasanya.

Nenek berceloteh, mengenalkan ruangan yang ada di sana. Baru kali ini Fandra melihat sang nenek banyak bicara sejak kakeknya meninggal. Tidak hanya tiga perempuan yang sering kali Fandra lihat di rumah, tapi juga sang ayah tampak tersenyum ringan membuat tuan muda itu bertanya-tanya siapa sebenarnya gadis asing itu?

“Bagimana tidurmu? Apakah nyenyak?” Sang nenek bertanya sepanjang jalan menuju ruang makan.

Vivana Rosiana yang kerap dipanggil Vana itu hanya mampu tersenyum, dan menjawab, “ya, nyenyak.” Itu bohong, tapi syukurlah tidak ada lingkar hitam di bawah matanya ketika dia bercermin tadi. Bagaimana dia bisa tidur jika kenyataan jauh dari ibu dan adiknya.

“Syukurlah kalau begitu. Ingat, jangan lupa untuk memberitahu kami, atau asistenmu jika membutuhkan sesuatu,” kata nenek. Tangannya mengapit lengan kanan Vana.

“Uh. Aku seperti mimpi,” celetuk gadis muda di antara mereka itu. Bungsunya Alatas itu tidak mau kalah, menggelendot manja di lengan kiri Vana.

Sang ibu di belakangnya hanya menggelengkan kepala melihat anak bungsunya begitu senang dengan kehadiran Vana.

Vana tersenyum canggung menimpali gadis itu.

Mulut Fandra terbuka melihat sikap sang adik, berbeda jauh sekali dari semua sikap yang dia tunjukan padanya. Bibir Fandra seketika berkedut kesal.

Mereka tiba di ruang makan. Di atas meja itu terdapat banyak sekali hidangan sampai membuat Vana melongo. Ini pesta? Pikirnya. Matanya membola, memindai setiap makanan yang tersaji di sana, tapak banyak. Aromanya cukup membuatnya meningkatkan produksi air liur.

Lain dengan Fandra yang mendesah tak percaya mendapati tatapan takjub dari Vana. Gadis itu terlihat cukup kampungan, pikirnya. Dia menarik kursi di tempat biasanya. Namun, dia sama sekali tidak berpikir Vana akan duduk di sampingnya, tidak jauh dari kursi sang nenek yang terdapat di tengah-tengah.

“Duduklah, sayang. Semoga kamu suka makanannya. Selamat sarapan,” ujar sang nenek tetap mempertahankan kelembutannya membuat Fandra menatapnya tak percaya. Kapan neneknya bersikap seperti itu padanya? Sama sekali tidak pernah.

Meskipun merasa tidak nyaman, tapi Vana menahannya. Dia harus bisa melewati ini, karena keberadaannya di sini adalah keputusan yang dia buat sendiri.  Tangannya mencoba mengambil makanan sambil menelan saliva bukan karena lapar dan tergiur, melainkan gugup. Tidak pernah sekalipun dia berpikir akan ada di antara orang-orang ini.

Sepanjang waktu sarapan itu Fandra menahan kekesalannya karena tidak hanya sekali dua kali cara makan dan gaya Vana menganggunya meskipun gadis itu diam, mengunyah makanan dengan khidmat, sama seperti yang lain.

“Aku tidak tahan lagi!” seru Fandra mengagetkan semua orang di meja makan itu. Wajahnya tampak memerah menahan amarah yang memuncak.

“Ada apa, sih, Kak? Masih pagi udah panas,” komentar sang adik santai. Dia tahu apa yang membuat sang kakak begitu.

“Nenek, aku butuh penjelasan! Apa maskudnya ini?” tegas Fandra menatap sang nenek.

Nenek tersenyum, mengangguk kecil. “Baiklah,” balasnya dengan santai. Fandra semakin tak percaya melihat reaksi sang nenek.

Derit kursi yang didorong kasar itu membuat semua perhatian tertuju pada Fandra yang bangun dari duduknya. Vana menatapnya heran. Ada apa dengan pria itu.

“Ini sungguh membuatku kesal! Aku butuh penjelasan sekarang juga!” Fandra menegaskannya. Dia sepertinya marah sekali karena menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu apa-apa.

Tidak ada yang menjawab. Fandra pergi dari sana, dan sama sekali tidak ada yang menghentikannya.

“Teruskan saja. Ibu akan bicara dengannya,” ujar sang ibu.

Vana bingung.

“Tidak apa-apa. Dia memang labil, kakakku,” kata sang adik pada Vana.

“Oh.” Hanya itu reaksi Vana dengan mulut yang membulat. Sang adik mengangguk lalu kembali menyelesaikan sarapannya.

Beruntung hari ini Minggu jadi mereka tidak harus terburu-buru.

“Kalau kamu sudah selesai, kita berkumpul di ruang santai, bisa?” tanya nenek pada Vana.

“Ah, tentu,” balasnya.

Nenek tersenyum lalu meminum air putihnya kemudian bangun dari duduknya. Ayah Fandra yang masih di kursinya sigap membantu sang ibu. Vana memperhatikannya dan ikut bangun. Dia sudah kenyang meskipun hanya sedikit makanan yang masuk ke perutnya. Meskipun tampak mengugah selera, dia sama sekali tidak lapar.

“Vana, duduklah,” ujar sang ratu rumah menyadarkan Vana dari lamunannya.

“Ah, ya.” Gadis itu menyahut dan duduk di salah satu sofa empuk berwarna kream.

Fandra di seberang Vana, terhalang meja berbahan kaca. Dia tampak masih marah meskipun sang ibu sepertinyanya berhasil menenangkan sang putra.

Hening beberapa saat. Nenek memang harus menjelaskannya pada Fandra. Memaklumi kemarahan cucunya itu karena bagaimanapun, Fandra tidak tahu apa-apa, lalu tiba-tiba saja ketenangannya terganggu.

“Baik. Nenek akan mulai. Tolong kamu dengarkan dengan baik apa yang akan Nenek sampaikan ini, Fandra. Apakah kamu bisa?” tanya nenek menatap cucu kesayangannya itu.

Tidak ada jawaban dari Fandra, tapi diamnya itu cukuplah sebagai tanggapan kalau dia akan patuh.

“Bagus. Pertama, Nenek minta maaf karena melakukan ini tanpa diskusi lebih dulu denganmu, sebab kami tahu kamu pasti menolak,” kata sang nenek memulainya. Semua orang diam. “Perkenalkan, ini Vivana, calon istrimu,” lanjut sang nenek dengan senyum lebar di wajahnya.

“Apa?” Fandra dan Vana bersamaan terkejut. Mereka saling tatap dengan kedua mata yang membulat.

“Tidak mungkin!” Fandra menolak untuk percaya.

“Dia? Aku?” Vana kehabisan kata, dia sungguh shock mendengar apa yang sang nenek sampaikan.

“Nenek jangan bercanda! Sudah berapa kali aku bilang tidak akan mau menikah dengan gads lain selain ….”

“Itu sebabnya Nenek tidak memberitahumu. Tapi sekarang Nenek akan mengatakannya, Vana adalah gadis yang dipilih mendiang Kakekmu,” ungkapnya.

Fandra terdiam, mencerna apa yang baru saja neneknya katakan.

“Sebenarnya, sebelum Kakekmu meninggal, sempat mengatakan pada Nenek kalau telah memilih calon untukmu. Tapi Nenek butuh waktu untuk menyampaikannya padamu, bahkan sempat berpikir bahwa Kakekmu hanya asal bicara saja. Tapi bagaimanapun, itu menjadi pikiran sampai kamu mengenalkan pacar, Nenek sempat lupa. Namun, belakangan ini Kakekmu datang ke mimpi, mengungkit kalung,” jelas nenek menceritakannya pada Fandra.

Tentu sulit untuk Fandra percaya kalau mendiang kakeknya terlibat.

“Maaf karena Nenek tidak bisa menjelaskannya lebih awal. Tapi, Nenek percaya pada kalung ini,” katanya mengeluarkan kalung itu dari kotak perhiasan yang selalu disimpannya.

Semua mata tertuju pada kalung itu, yang menjuntai dari kepalan tangan nenek dengan bandul yang serupa seperti dimiliki Vana. Tangan gadis itu merayap ke lehernya, mengeluarkan bandul kalung yang dia kenakan.

Sebuah kalung dengan bandul berbentuk bulan sabit berhiaskan batu safir biru di tengahnya berada di tangan nenek, menjuntai dan  batu safirnya tampak berkilau.

“Kalung ini milik Kakekmu,” tambah nenek. “Dan Vana memiliki pasangannya, itu milik Nenek,” lanjutnya menjelaskan.

Kini semua mata tertuju pada Vana yang masih menatap bandul kalung miliknya. Dia melepaskannya perlahan agar semua orang bisa melihatnya. Kalung yang ada di tangan Vivana itu dengan pola-pola serupa pancaran sinar matahari, yang di sekelilingnya bertahtakan permata. Tepat di bagian tengahnya, tertanam batu safir biru.

Tangan nenek terulur, meminta Vana memberikan kalung miliknya itu. Dia menurut, dan nenek mempertemukan dua bandulnya  kemudian menyatu.

“Tanda cinta abadi, yang tak terpisahkan,” ucap sang nenek fokus pada kedua bandul kalung yang benar-benar menyatu. “Bulan dan matahari yang saling melengkapi.”

Semua orang tampak terpana.

“Aku tetap menolaknya!” Fandra berkata tegas membuat semua orang terkejut dan menatapnya termasuk Vana. “Aku tidak akan menikah dengannya!”

“Fandra!” Ibunya menegur. Tapi tatapan tajam dan sorot mata Fandra tidak tergoyahkan.

“Tolong jangan mendesakku menikah dengan gadis kampungan sepertinya,” katanya.

Kini giliran Vana yang membulatkan mata mendengar apa yang dikatakan pria itu.

“Kau pikir aku mau? Jangan mimpi! Siapa yang mau menikah dengan tuan muda yang angkuh dan dingin? Aku tidak sudi!” balasnya tak mau kalah.

“Lalu kenapa kau ada di sini, hah?”

“Mana aku tahu kalau ternyata akan jadi seperti ini. Gila saja aku menikah denganmu.”

“Kau pikir siapa dirimu? Hati-hati bicara. Aku tidak akan membiarkanmu!” ancam Fandra dengan tatapan tajam tertuju pada Vana yang jelas menantangnya.

“Coba saja! Aku tidak semudah yang kau kira.”

Mereka yang sempat terkejut dengan pernyataan Altafandra yang tetap menolak untuk menikah, kini dikejutkan dengan perlawanan Vivina yang ternyata cukup berani membalas Fandra disaat orang lain tidak ada yang berani. Mereka menonton dengan senyuman penuh arti terpatri di wajah masing-masing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status