Share

2. Insiden

Brak! Prang! Duk! Bruk!

Suara benda-benda yang berjatuhan terdengar begitu nyaring. Rumah yang tadinya rapi kini telah berserakan barang-barangnya bagai kapal pecah, tak lagi seindah di awal.

 Seorang wanita hanya bisa terduduk lemas di tempatnya dengan napas yang tak berarturan, air matanya jatuh dari pelupuk, menatap tajam pria yang memporak-porandakan seisi rumah makannya. Dia tak punya tenaga lagi untuk sekadar menyuarakan satu kata. Wajahnya bahkan merah di ujung sudut mata dan bibirnya terkena hantaman.

“Apa kau lihat-lihat, hah? Kau seharusnya bayar tepat waktu maka aku tidak akan melakukan hal ini, sialan!” kata si ketua dari kelompok rentenir.

“Bukankah aku sudah bilang itu bukan lagi urusanku, tapi urusannya!” balas  wanita yang tak berdaya itu sebisa mungkin membalas.

Ini bukan memang bukan salahnya, tapi kenapa dia yang harus menderita?

Si ketua tertawa remeh, tak percaya mendengar apa yang di katakan wanita itu. Dia kembali berbalik, berjongkok di hadapan sang wanita dan menjambak rambutnya yang digelung membuat wajah cantik dengan jejak kemerahan itu mendongak.

“Kau bilang apa, hah? Bukan urusanmu? Lantas, siapa yang akan membayarku, hah? Adikmu yang gila itu telah menjadikan rumah ini sebagai jaminannya bodoh!” Pria itu mendorong kepala si wanita membuatnya menunduk, beruntung dahinya tidak sampai mencium lantai saking kuatnya dorongan si ketua itu.

Dia membuang napas kesal, mengedarkan pandangan untuk mencari sesuatu yang bisa membayar hutangnya hari ini.

“Cari apa pun sampai dapat!” titahnya kepada anak buah yang membuat kekacauan. Para pria dengan tubuh kekar dan tambun itu bergerak mengikuti perintah sang ketua.

Wanita pemilik rumah makan sederhana itu hanya diam saja, menangisi nasibnya yang malang. Memiliki adik adalah sesuatu yang di bencinya. Sejak sang ayah meninggal dan mewariskan rumah itu yang merangkap dengan rumah makan, sebisa mungkin dia bertahan bersama kedua putrinya. Namun, rupanya takdir justru ingin dia menderita. Adik satu-satunya yang dimiliki dia justru membuat ulah.

“Astaga. Sayang sekali putrimu tidak ada di sini. Padahal dia bisa menjadi jaminan untuk uang muka,” kata si ketua sinis menatap potret dalam pigura yang tergantung di dekat tangga.

Ada tiga wanita di sana tersenyum bahagia satu sama lainnya, dan itu adalah dia bersama dua putrinya, Vivana Rosiana, sang sulung. Mereka adalah harta tak ternilai yang menjadi alasan dia bertahan.

Mengangkat wajahnya dengan mata yang memerah, wanita itu menatap si ketua yang menarik sudut bibirnya membentuk senyuman yang hina. “Hentikan! Aku tidak akan pernah sudi menyerahkan putriku pada kalian, brengsek!”

Tawa pria itu memantul-mantul di ruangan kecil yang merupakan rumah makan itu. Seolah apa yang dia katakan itu adalah sesuatu yang lucu.

“Sialan!” serunya tak asyik.

Sementara itu, para tetangga berkumpul di luar dengan jarak yang cukup lumayan jauh. Mereka tidak ada yang mendekat karena mengenal para rentenir itu yang konon katanya amat bengis. Tidak ada para pria yang bisa membantu mereka, itu sebabnya hanya berkumpul di satu teras dengan perasaan cemas dan takut.

“Bagaimana ini? Kasihan sekali Bu Rana. Dia pasti akan berdarah lagi,” ujar seorang ibu dengan rambut pendek dan tubuh berisinya.

 Ibu lain menimpali. Saling bersahutan menyuarakan kecemasan. Salah satu dari mereka menyarankan agar mencoba telepon putrinya, dia pasti akan segera datang. Gadis itu sedang berbelanja, lapor salah satu ibu di sana dengan kecemasan yang kentara sekali.

Seorang ibu bergegas masuk ke rumah untuk menghubungi putri dari pemilik rumah makan itu. Mereka adalah ibu-ibu yang tidak berdaya bila berhadapan dengan si ketua rentenir, terlebih lagi dengan anak buahnya adalah sesuatu yang menyeramkan sekali, itu sebabnya para ibu tidak berani mendekat.

“Vana, Vana, ibumu … cepat kembali. Ibumu terluka!” seru sang ibu panik tanpa ba-bi-bu langsung memberitahu begitu sambungan terhubung dan kemudian terputus begitu saja.

Semoga dia segera datang. Tuhan, tolonglah kirim malaikatmu untuk menyelamatkan wanita malang itu dari kekejaman para rentenir, ucap si ibu berdoa dalam hatinya kemudian berbalik untuk ikut berkumpul dengan yang lainnya.

***

Di lain tempat, tidak jauh dari sana, sebuah mobil Bentley Fluing Spur hitam berhenti di ujung jalan itu diikuti satu mobil serupa.

“Ini tempatnya?” tanya nenek pada sang pengawal yang duduk di kursi kemudi.

“Benar, Nyonya. Kami hanya bisa sampai di sini membawa mobil,” jawab pria dengan setelan jas hitam itu menjawab pertanyaan tuannya.

Wanita tua itu  mengangguk, mengedarkan pandangannya ke luar mobil.

“Ibu yakin padahal seharusnya Ibu beristirahat saja biar aku yang melakukannya,” ujar sang menantu khawatir.

Sejak mendengar keputusan sang mertua yang ingin segera menemukan pemilik kalung pasangannya itu, ibu Fandra sudah menentangnya tapi sang ibu tetap kukuh ingin pergi dan menemukannya sendiri.

“Ibu baik-baik saja, sayang. Ayo turun, di sana sepertinya tengah terjadi sesuatu,” kata nenek melihat perkumpulan ibu-ibu dari jarak yang cukup lumayan.

Perhatian wanita anggun itu teralihkan. Pintu terbuka kemudian dan sang nenek keluar diikuti menantunya yang keluar dari pintu satunya.

Penasaran dengan apa yang terjadi karena samar mereka mendengar suara dari arah depannya. Nenek mencoba menyipitkan matanya untuk memperjelas penglihatannya yang mulai buram.

“Coba kalian lihat apa yang terjadi di sana,” perintahnya.

“Baik Bu.” Satu pengawal wanita menyahut, mengangguk kecil lalu bergegas.

Tapi sebelum dia jauh, seorang gadis telah lebih dulu berlari melewatinya, sempat menghentikan langkah sang bodyguard wanita itu.

Rambut panjang yang di kuncir ekor kuda itu tampak bergerak-gerak, gadis itu berlari secepat mungkin tidak peduli dengan kanan dan kirinya, yang ada dalam pikirannya hanyalah segera menyelamatkan sang ibu.

melihat kedatangan si gadis para ibu itu menyambut dengan panik, dan membuat Vana segera masuk ke rumahnya.

“Ma!” Vana memanggil begitu sampai di ambang pintu. Napasnya memburu karena berlari cukup jauh untuk sampai dengan cepat.

“Vana,” wanita itu menyebut nama sang putri sulung dengan lirih.

Namun, kedatangannya itu mengalihkan perhatian si ketua yang bersorak atas kedatangan putrinya. Tentu saja dia senang karena dengan begitu bisa membawa Vana sesuai perkataannya sebagai ganti uang muka yang harus di bayar saat itu juga.

“Woah. Lihat siapa yang datang?” sambutnya sambil tertawa renyah tapi terdengar menjijikan di telinga Vana.

Gadis itu mendekat pada sang ibu, membantunya duduk dengan tegak. Air matanya menggenang di pelupuk ketika menatap wajah cantik yang kini tampak mengerikan karena ada jejak pukulan.

“Maafkan aku, Ma. Maaf aku terlambat,” ucap Vana merasa bersalah.

Sang ibu menggeleng, dia tidak apa-apa, tapi yang dia cemaskan adalah Vana sekarang, maka dari itu dia memeluk sang putri sulungnya erat, takut bila si ketua menyeretnya keluar.

“Hei kau! Kau harus ikut denganku gadis manis sebagai jaminan baayarannya,” ujar pria itu sambil mendekatinya.

“Jangan mendekat. Jangan pernah ambil Vana dariku!” seru sang ibu tidak terima.

Tapi si ketua tetap saja mendekat, tidak peduli dengan rengekan wanita itu.

Sang ibu panik ketika Vana melepas pelukan eratnya.

“Tidak apa-apa, Ma. Aku akan memberinya pelajaran,” kata Vana. “Tunggu di sini sebentar,” lanjutnya mengamankan sang ibu terlebih dulu dia kemudian bangun dari duduknya berhadapan dengan para rentenir itu.

“Woah. Gadis ini tidak kenal takut rupanya. Lihat, tatapan tajamnya sungguh menggemaskan, hahah!” Si ketua tertawa meremehkan yang disambut anak buahnya.

Vana tetap maju tidak peduli dengan tawa itu.

Buk!

Satu pukulan berhasil mengenai lengan si ketua membuat pria itu terhuyung ke belakang, tentu saja itu menjadi kejutan baginya.

“Sialann!” serunya marah lalu maju untuk membalas.

Vana dengan gesit menghindar.

Tapi sayangnya, satu lawan lima, meskipun Vana belajar bela diri, tetap saja lawannya tidak seimbang sehingga beberapa kali dia terkena pukulan di badan dan juga wajahnya.

Bruk! Bruk! Bruk!

Seseorang membanting beberapa anak buah si ketua dari belakang membuat mereka yang menyerang Vana terkejut dan serempak saja melihat ke arah wanita dengan setelan jas hitam itu. Tiga pria tumbang di lantai.

Kesempatan. Vana dengan cepat menarik si ketua dan membantingnya ke lantai membuat pria itu mengaduh tertahan. Satu orang lagi berhasil Vana taklukan pada akhirnya lima pria itu bergelimang di lantai mengaduh kesakitan.

Vana menatap wanita itu, bertanya-tanya siapakah gerangan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
E.T Handayani
ceritanya lumatkan menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status