Brak! Prang! Duk! Bruk!
Suara benda-benda yang berjatuhan terdengar begitu nyaring. Rumah yang tadinya rapi kini telah berserakan barang-barangnya bagai kapal pecah, tak lagi seindah di awal.
Seorang wanita hanya bisa terduduk lemas di tempatnya dengan napas yang tak berarturan, air matanya jatuh dari pelupuk, menatap tajam pria yang memporak-porandakan seisi rumah makannya. Dia tak punya tenaga lagi untuk sekadar menyuarakan satu kata. Wajahnya bahkan merah di ujung sudut mata dan bibirnya terkena hantaman.
“Apa kau lihat-lihat, hah? Kau seharusnya bayar tepat waktu maka aku tidak akan melakukan hal ini, sialan!” kata si ketua dari kelompok rentenir.
“Bukankah aku sudah bilang itu bukan lagi urusanku, tapi urusannya!” balas wanita yang tak berdaya itu sebisa mungkin membalas.
Ini bukan memang bukan salahnya, tapi kenapa dia yang harus menderita?
Si ketua tertawa remeh, tak percaya mendengar apa yang di katakan wanita itu. Dia kembali berbalik, berjongkok di hadapan sang wanita dan menjambak rambutnya yang digelung membuat wajah cantik dengan jejak kemerahan itu mendongak.
“Kau bilang apa, hah? Bukan urusanmu? Lantas, siapa yang akan membayarku, hah? Adikmu yang gila itu telah menjadikan rumah ini sebagai jaminannya bodoh!” Pria itu mendorong kepala si wanita membuatnya menunduk, beruntung dahinya tidak sampai mencium lantai saking kuatnya dorongan si ketua itu.
Dia membuang napas kesal, mengedarkan pandangan untuk mencari sesuatu yang bisa membayar hutangnya hari ini.
“Cari apa pun sampai dapat!” titahnya kepada anak buah yang membuat kekacauan. Para pria dengan tubuh kekar dan tambun itu bergerak mengikuti perintah sang ketua.
Wanita pemilik rumah makan sederhana itu hanya diam saja, menangisi nasibnya yang malang. Memiliki adik adalah sesuatu yang di bencinya. Sejak sang ayah meninggal dan mewariskan rumah itu yang merangkap dengan rumah makan, sebisa mungkin dia bertahan bersama kedua putrinya. Namun, rupanya takdir justru ingin dia menderita. Adik satu-satunya yang dimiliki dia justru membuat ulah.
“Astaga. Sayang sekali putrimu tidak ada di sini. Padahal dia bisa menjadi jaminan untuk uang muka,” kata si ketua sinis menatap potret dalam pigura yang tergantung di dekat tangga.
Ada tiga wanita di sana tersenyum bahagia satu sama lainnya, dan itu adalah dia bersama dua putrinya, Vivana Rosiana, sang sulung. Mereka adalah harta tak ternilai yang menjadi alasan dia bertahan.
Mengangkat wajahnya dengan mata yang memerah, wanita itu menatap si ketua yang menarik sudut bibirnya membentuk senyuman yang hina. “Hentikan! Aku tidak akan pernah sudi menyerahkan putriku pada kalian, brengsek!”
Tawa pria itu memantul-mantul di ruangan kecil yang merupakan rumah makan itu. Seolah apa yang dia katakan itu adalah sesuatu yang lucu.
“Sialan!” serunya tak asyik.
Sementara itu, para tetangga berkumpul di luar dengan jarak yang cukup lumayan jauh. Mereka tidak ada yang mendekat karena mengenal para rentenir itu yang konon katanya amat bengis. Tidak ada para pria yang bisa membantu mereka, itu sebabnya hanya berkumpul di satu teras dengan perasaan cemas dan takut.
“Bagaimana ini? Kasihan sekali Bu Rana. Dia pasti akan berdarah lagi,” ujar seorang ibu dengan rambut pendek dan tubuh berisinya.
Ibu lain menimpali. Saling bersahutan menyuarakan kecemasan. Salah satu dari mereka menyarankan agar mencoba telepon putrinya, dia pasti akan segera datang. Gadis itu sedang berbelanja, lapor salah satu ibu di sana dengan kecemasan yang kentara sekali.
Seorang ibu bergegas masuk ke rumah untuk menghubungi putri dari pemilik rumah makan itu. Mereka adalah ibu-ibu yang tidak berdaya bila berhadapan dengan si ketua rentenir, terlebih lagi dengan anak buahnya adalah sesuatu yang menyeramkan sekali, itu sebabnya para ibu tidak berani mendekat.
“Vana, Vana, ibumu … cepat kembali. Ibumu terluka!” seru sang ibu panik tanpa ba-bi-bu langsung memberitahu begitu sambungan terhubung dan kemudian terputus begitu saja.
Semoga dia segera datang. Tuhan, tolonglah kirim malaikatmu untuk menyelamatkan wanita malang itu dari kekejaman para rentenir, ucap si ibu berdoa dalam hatinya kemudian berbalik untuk ikut berkumpul dengan yang lainnya.
***
Di lain tempat, tidak jauh dari sana, sebuah mobil Bentley Fluing Spur hitam berhenti di ujung jalan itu diikuti satu mobil serupa.
“Ini tempatnya?” tanya nenek pada sang pengawal yang duduk di kursi kemudi.
“Benar, Nyonya. Kami hanya bisa sampai di sini membawa mobil,” jawab pria dengan setelan jas hitam itu menjawab pertanyaan tuannya.
Wanita tua itu mengangguk, mengedarkan pandangannya ke luar mobil.
“Ibu yakin padahal seharusnya Ibu beristirahat saja biar aku yang melakukannya,” ujar sang menantu khawatir.
Sejak mendengar keputusan sang mertua yang ingin segera menemukan pemilik kalung pasangannya itu, ibu Fandra sudah menentangnya tapi sang ibu tetap kukuh ingin pergi dan menemukannya sendiri.
“Ibu baik-baik saja, sayang. Ayo turun, di sana sepertinya tengah terjadi sesuatu,” kata nenek melihat perkumpulan ibu-ibu dari jarak yang cukup lumayan.
Perhatian wanita anggun itu teralihkan. Pintu terbuka kemudian dan sang nenek keluar diikuti menantunya yang keluar dari pintu satunya.
Penasaran dengan apa yang terjadi karena samar mereka mendengar suara dari arah depannya. Nenek mencoba menyipitkan matanya untuk memperjelas penglihatannya yang mulai buram.
“Coba kalian lihat apa yang terjadi di sana,” perintahnya.
“Baik Bu.” Satu pengawal wanita menyahut, mengangguk kecil lalu bergegas.
Tapi sebelum dia jauh, seorang gadis telah lebih dulu berlari melewatinya, sempat menghentikan langkah sang bodyguard wanita itu.
Rambut panjang yang di kuncir ekor kuda itu tampak bergerak-gerak, gadis itu berlari secepat mungkin tidak peduli dengan kanan dan kirinya, yang ada dalam pikirannya hanyalah segera menyelamatkan sang ibu.
melihat kedatangan si gadis para ibu itu menyambut dengan panik, dan membuat Vana segera masuk ke rumahnya.
“Ma!” Vana memanggil begitu sampai di ambang pintu. Napasnya memburu karena berlari cukup jauh untuk sampai dengan cepat.
“Vana,” wanita itu menyebut nama sang putri sulung dengan lirih.
Namun, kedatangannya itu mengalihkan perhatian si ketua yang bersorak atas kedatangan putrinya. Tentu saja dia senang karena dengan begitu bisa membawa Vana sesuai perkataannya sebagai ganti uang muka yang harus di bayar saat itu juga.
“Woah. Lihat siapa yang datang?” sambutnya sambil tertawa renyah tapi terdengar menjijikan di telinga Vana.
Gadis itu mendekat pada sang ibu, membantunya duduk dengan tegak. Air matanya menggenang di pelupuk ketika menatap wajah cantik yang kini tampak mengerikan karena ada jejak pukulan.
“Maafkan aku, Ma. Maaf aku terlambat,” ucap Vana merasa bersalah.
Sang ibu menggeleng, dia tidak apa-apa, tapi yang dia cemaskan adalah Vana sekarang, maka dari itu dia memeluk sang putri sulungnya erat, takut bila si ketua menyeretnya keluar.
“Hei kau! Kau harus ikut denganku gadis manis sebagai jaminan baayarannya,” ujar pria itu sambil mendekatinya.
“Jangan mendekat. Jangan pernah ambil Vana dariku!” seru sang ibu tidak terima.
Tapi si ketua tetap saja mendekat, tidak peduli dengan rengekan wanita itu.
Sang ibu panik ketika Vana melepas pelukan eratnya.
“Tidak apa-apa, Ma. Aku akan memberinya pelajaran,” kata Vana. “Tunggu di sini sebentar,” lanjutnya mengamankan sang ibu terlebih dulu dia kemudian bangun dari duduknya berhadapan dengan para rentenir itu.
“Woah. Gadis ini tidak kenal takut rupanya. Lihat, tatapan tajamnya sungguh menggemaskan, hahah!” Si ketua tertawa meremehkan yang disambut anak buahnya.
Vana tetap maju tidak peduli dengan tawa itu.
Buk!
Satu pukulan berhasil mengenai lengan si ketua membuat pria itu terhuyung ke belakang, tentu saja itu menjadi kejutan baginya.
“Sialann!” serunya marah lalu maju untuk membalas.
Vana dengan gesit menghindar.
Tapi sayangnya, satu lawan lima, meskipun Vana belajar bela diri, tetap saja lawannya tidak seimbang sehingga beberapa kali dia terkena pukulan di badan dan juga wajahnya.
Bruk! Bruk! Bruk!
Seseorang membanting beberapa anak buah si ketua dari belakang membuat mereka yang menyerang Vana terkejut dan serempak saja melihat ke arah wanita dengan setelan jas hitam itu. Tiga pria tumbang di lantai.
Kesempatan. Vana dengan cepat menarik si ketua dan membantingnya ke lantai membuat pria itu mengaduh tertahan. Satu orang lagi berhasil Vana taklukan pada akhirnya lima pria itu bergelimang di lantai mengaduh kesakitan.
Vana menatap wanita itu, bertanya-tanya siapakah gerangan.
“Ada insiden di sini,” kata wanita itu sambil menolehkan wajahnya ke samping.Vana memperhatikan, ada kabel di belakang telinganya, dan hal itu membuatnya semakin bertanya-tanya siapa gerangan.Gadis itu membantu sang ibu untuk bangun agar pindah tempat duduk di kursi. Dia membiarkan wanita itu membuat laporan karena perhatiannya kini tertuju pada wanita yang amat dia sayangi.“Maafkan aku terlambat, Ma,” ucap Vana dengan nada yang menyesal. Suaranya terdengar parau, kedua tangannya menggenggam sang ibu yang mencoba untuk tersenyum.“Tidak apa-apa, Vana. Seandainya bisa, kamu tidak perlu datang,” kata ibunya.“Bagaimana mungkin?” Nada suara Vana naik, tidak setuju dengan sang ibu.Dia tidak lagi bisa mengatakan apa-apa selain mengasihi wanita cantik yang kini wajahnya di penuhi lebam. Tangan sang ibu mengusap kepalanya lembut.Beberapa orang datang sedikit terburu membuat perhatian Vana dan ibunya teralihkan ke pintu masuk. Sekitar tiga orang pria dengan setelan jas hitam serupa denga
“Aaaargh!” jeritan terkejut dari arah depannya membuat Fandra berjengit.Bola matanya nyaris menggelinding dari cangkangnya ketika melihat sesosok gadis di hadapannya, si pelaku yang menjerit nyaring.“Siapa kau?”Suara keduanya beradu. Mereka berhadapan meskipun terdapat jarak sekitar lima meter. Tapi tidak ada benda apapun yang menjadi sekat antara mereka.“Ini rumahku. Kau yang siapa?” Suara Fandra terdengar dingin dan berat, memusatkan pandangannya pada sosok gadis itu yang berdiri di depan sebuah pintu. “Tunggu! Kamar itu … kau, apa yang kau lakukan di sini, hah? Kau siapa?” tanya pria itu tak sabar.“Ada apa ribut-ribut?” Terdengar langkah kaki mendekat, yang datang tak hanya seorang, melainkan nyaris seluruh penghuni rumah.Baik Fandra atau gadis itu sama-sama mengalihkan pandangan.“Dia ….” Lagi-lagi keduanya bersamaan angkat bicara membuat yang lain bingung.“Ah. Kami bisa menjelaskannya, Fandra,” ujar sang nenek setelah memahami situasinya.“Menjelaskan apa?” Fandra menatap
Keputusan sang nenek untuk menempatkan Vana di rumah Alatas itu tak terbantahkan. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan wanita yang telah menjadi ratu di rumah itu bahkan Fandra sekalipun. Pria itu kini pergi entah kemana membuat Vana kebingungan di sana.“Jangan khawatir, dia memang seperti itu, menyebalkan,” bisik Fiona, adik Fandra itu yang sejak tadi duduk tepat di samping Vana menonton sang kakak yang marah.Vana hanya meliriknya sekilas, paham dengan apa yang Fiona katakan. Dia kemudian mengedarkan pandangannya ke ruang yang cukup besar itu.“Seperti istana,” gumamnya pelan.Fiona yang mendengarnya dan terkekeh. Dia merasa Vana itu lucu, bukan merendahkannya atau maksud buruk lainnya. Entah mengapa, begitu dia melihat Vana kemarin, gadis remaja itu ikut menyambut hangat seperti sang nenek.“Mau jalan- jalan?” tawar Fiona. Dia menatap Vana.“Jalan?”“Ya. Ayo! Aku akan menjadi guidemu, Kak Vana,” ujar Fiona semangat. Dia bahkan mengulurkan tangannya ala prince.Meskipun kebingung
Waktu seolah berhenti untuk beberapa menit ketika kedua benda kenyal itu saling bersentuhan. Dua pasang mata itu saling membulat terkejut tapi sesaat keduanya terpana oleh sorot mata masing- masing yang begitu dekat. Sementara itu Fiona yang berlari di belakang Vana otomatis menghentikan larinya begitu menyaksikan apa yang terjadi. Dia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, membulatkan matanya. Dia jelas terkejut sekaligus cemas akan keadaan Vana tapi tak berani mendekat ketika sadar siapa yang ditabrak Vana tadi. Tanpa kata Vana segera mendorong tubuh kekar itu. Meskipun shock, dia tak mengeluarkan suara yang mungkin bisa saja memanggil seluruh penghuni mansion itu. Biarlah Fiona yang menjadi saksi atas insiden itu. “Apa yang kau lakukan?” Setelah kesadarannya kembali sepenuhnya, Vana protes keras. “Kau yang salah. Di mana matamu, hah?” balas pria itu tak mau kalah. “Mana aku tahu kau ada di sana. Iiiiiih, sialan!” sungut Vana sambil melap bibirnya yang masih merasakan keh
Di kamarnya Vana berada di kamar mandi. Rusuh sekali dia membasuh wajahnya dengan air, berulang kali berkumur, membersihkan bibirnya seolah telah ternoda. Dia membasuh lagi wajahnya berulang kali.“Sialan!” Dia mengumpat sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya basah dan memerah. “Kenapa harus dia?” tanyanya tak mengerti.Terdiam beberapa saat, Vana kembali teringat akan kecerobohannya tadi. Kedua tangannya bertumpu di sisi wastafel. Pintu kamar mandinya tertutup.Bayangan itu memenuhi pikirannya, memutar kembali kecelakaan yang terjadi dan lagi- lagi mengulang adegan itu bagai film yang di putar lalu di pause, dan kembai di play. Wajah Vana memerah karenanya.“Sialan! Aku pasti sudah gila!” rutuknya kembali membasuh wajah terutama bagian bibirnya.Padahal dia tak perlu melakukannya sampai segitunya. Lagian itu hanya kecelakaan, tidak sengaja tapi kenapa Vana merasa begitu marah?“Kenapa harus dia? Seseorang yang bahkan aku tidak mengenalnya dengan baik,” katanya begitu men
Setelah menjelajahi lorong yang seolah tak bertepi. Vana berpikir Fiona mengerjainya karena ketika gadis remaja itu mengatakan kalau akan segera sampai di ruangan sang nenek, usai berbelok itu masih harus berjalan menyusuri lorong dan Vana tak yakin seberapa panjang itu.Berbelok ke arah kiri, sisi kanan dan kirinya hanya dindin marmer dengan sentuhan putih dan pink pastel. Warna yang tak begitu terang tapi cukup hangat dan terkesan manis.“Maaf, tapi rumah ini selalu banyak lorong dan tangga. Yeah, dan kamar, serta ruang lain,” terang Fiona memberi tahu Vana.Gadis itu hanya mengangguk saja sudah bosan dengan langkah kakinya yang mulai pegal.Ada sebuah pintu dengan bingkai putih gading di depan sana. Seorang penjaga menyambut mereka dan membukakan pintu. Kali ini pelayan pria dengan setelan jas hitam.“Ayo masuk,” ajak Fiona pada Vana yang memperhatikan sekitarnya. Masih elegand dengan tema putih dan pink.Melangkahkan kakinya melewati pintu, Vana terpesona dengan tempat itu. Nuasa
Rungan itu hening meskipun banyak orang di sana, diam sampai sang ratu memberikan instruksi untuk memulai.“Baiklah, kita mulai,” ujar sang ratu memberi perintah pada sekretarisnya.Seorang pria paruh baya menghampirinya. Sejak tadi berdiri tak jauh dari kursi sang ratu. Vena memperhatikannya, pria itu menaruh sebuah berkas di depan nenek.Semua pandangan tertuju pada berkas di atas meja itu yang entah apa isinya.“Ini berisi peraturan untuk keluarga ini, terkhusus untuk Vana,” kata nenek.Mendengar namanya di sebutkan Vana menatap sang ratu bingung tapi wanita tua itu hanya tersenyum lembut padanya lain dengan Fandra yang mendengus.“Pertama, Nenek akan memperkenalkan Vana sebagai anggota baru kita,” lanjutnya dengan tangan kanan mengarah pada Vana. “Untuk semua orang yang ada di sini, berlaku untuk para pelayan dan penjaga perlakukan Vana seperti tuan kalian,” tegasnya mengumumkan.Di ruangan itu tak hanya terdapat keluarga tapi juga kepala pelayan, sekretaris, dan kepala lain yang
Masih dalam suasana tegang karena perdebatan Vana dan Fandra, keduanya sama-sama memalingkan muka setelahnya membuat penonton merasa geli. “Sudah, simpan dulu pertikaian kalian. Nenek sengaja memanggil bukan untuk melihat kalian bertengakar,” ujar nenek. Nada suaranya tidak ada kemarahan, malah terlihat begitu senang. Vana melirik Fandra dari balik bulu matanya tapi hanya sekilas lalu memalingkan muka, kesal sekali karena sang tuan muda. “Baiklah. Nenek akan mulai, kalian dengarkan dengan baik, Vana …” Nenek menatapnya Vana mengangguk. “Bagus. Maka kita akan mulai,” lanjutnya. Semua orang mendengarkan dengan baik, termasuk Vana. Nenek mengumpulkan semua orang untuk memperkenalkannya juga tapi Fandra justru mengacau dengan mendebatnya. Menyebalkan sekali bukan. “Baik. Pertama, kamu akan tinggal di rumah itu untuk waktu yang tak tentu, tapi selama tinggal di sini kamu harus melakukan serangkaian latihan untuk menjadi bagian dari keluarga Alatas,” jelas sang ratu untuk aturan pertama