Hampir jam sembilan malam pak Akbar dan Puteri sampai dirumah utama, berjalan tetap beriringan, Puteri berusaha melepaskan tautan jemari Akbar dijemari- jemarinya. Namun Akbar tidak memberi kesempatan untuk melepaskannya."Ayo...mas antar !" tawar Akbar." Enggak usah mas, aku bisa sendiri, mas masuk saja kekamarnya sana." jawab Puteri."Kamarmu juga kamarnya mas, Ruhi..." ucap Akbar, yang terus menggandeng tangan istri mudanya, keduanya terus menaiki anak tangga menuju kamar Puteri.Sedikitpun mereka tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang sudah banjir dengan air mata, menyaksikan kemesraan Akbar untuk Puteri.Sungguh jelas dipandangan Bu Nova kalau suaminya kini telah memiliki rasa pada Puteri.Penyesalan terus menggerogoti hatinya yang terasa sesak.Setelah melihat drama pasangan beda usia itu tidak nampak lagi, Nova segera melangkah masuk kedalam kamar utama, kamar yang banyak menyimpan kenangan indah antara dia dan suaminya."Mas pergilah, lihat Bu Nova sana, sudah seharian
Pukul setengah tujuh pagi, pak Akbar menyelesaikan sarapan pagi bersama Bu Nova."Papa berangkat dulu ya ma." ucapnya, setelah menghabiskan minuman ginsengnya."Papa akan pamit dulu dengan Puteri," tanpa menunggu jawaban sang istri, Akbar melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju lantai dua.Seperti biasa Akbar membuka pintu dengan memakai kunci cadangan. "Assalamualaikum " ucapnya lirih." Kok gelap." fikirnya."Gorden masih tertutup rapat, tumben lampu mati." Bathinnya.Akbar lalu menghidupkan saklar lampu yang ada disamping pintu kamar mandi." Masih tidur ?" Gumannya." Ruhi...!" Panggilnya lembut, saat dia melihat sang istri masih tidur dengan cara menungging dibalik selimut memegangi perutnya.Perlahan, Akbar duduk ditepi ranjang memegang dahi sang istri yang berkeringat. " Enggak panas " bathinnya."Huuuuh..." suara lenguhan kecil terdengar keluar dari bibir indah Puteri.Puteri memutar posisi wajahnya membelakangi sang suami. Akbar mengernyit heran, semalam baik-baik sa
"Puteri sakit ma.." jawab Akbar jujur."Tadi papa masakkan sup untuk Puteri." sambungnya lagi."Ngapain juga papa yang masak, papa bisa bilang sama mama kalau hanya untuk masak sup, banyak pelayan dirumah ini. Untuk apa papa capek- capek urus dapur." ucap Nova, dengan suara naik satu oktaf.Kecemburuan kadang membuatnya lupa untuk tetap menghormati suami surganya.Akbar seketika berhenti mendengar ucapan Nova yang sudah seperti petir, baginya."Memangnya boleh pakai pembantu dirumah ini untuk membantu keperluannya ?" jawab Akbar dengan tenang dan masih dengan suara lembut.Namun tidak dengan wajahnya, wajah itu sudah datar dan menakutkan.Nova terbengong, darimana suaminya tahu tentang batasan yang diberikannya pada Puteri. ucapnya dalam hati. Pasti perempuan itu yang sudah mengadu. Bathinnya.Awas kamu nanti. Ancamnya dalam hati.Akbar langsung melangkah keluar, waktunya untuk pergi kekantor sudah sangat lambat, dia segera masuk kedalam mobil, dengan wajah yang masih datar. Hasan sa
Seperti janjinya pada sang istri, sekitar jam dua Akbar menjemput Puteri untuk pindah rumah.Begitu mobil yang ditumpanginya, berhenti didepan kediamannya, Akbar langsung keluar dari mobil dan langsung melangkahkan kakinya menuju lantai dua."Assalamualaikum" ucapnya setelah pintu kamar dia buka."Waalaikumsalam" jawab Puteri lembut, yang sedang duduk diatas sofa."Sudah siap?" tanya Akbar pada Ruhi nya."Mas..sudah makan ?" bukannya menjawab, Puteri malah bertanya balik."Belum" jawab Akbar jujur. Hari ini hati dan fikiran Akbar sangat letih, tidak ada sedikitpun dia merasakan lapar."Aku tadi masak mas. Mas makan terlebih dahulu ya ?" pinta Puteri.Akbar ingin menolak karena tidak berselera, namun langkah kakinya mengikuti Puteri yang pergi kedapur.Dengan cekatan Puteri melayani Akbar. Akbar yang dilayani bak seperti raja, nasi diambilkan, sayur dan lauknya disendokkan, minum dituangkan, semangatnya muncul kembali, dia makan dengan lahap. Padahal Puteri hanya masak goreng ayam kala
Bersamaan dengan azan magrib, Akbar sampai didepan kediaman yang sudah belasan tahun ia tempati bersama istri pertamanya.Tanpa berkata dengan sang sopir, ia langsung masuk menuju kamar utama."Solat berjamaah kita ma...!" ajaknya, saat dia sudah berada didalam kamar."Papa wudhu lah, biar mama tunggu." jawab Nova yang sudah memakai mukenanya.Selesai solat berjamaah, Akbar melanjutkan ibadahnya dengan zikir dan doa...serta membaca Alquran. Sedangkan Bu Nova, segera keluar kamar untuk membantu bik Sumi untuk menyiapkan makan malam.Selesai dengan bacaan alqurannya, Akbar tidak langsung bangkit dari duduknya.Lama ia termenung dalam kesendirian, menarik ulur semua kejadian, yang terlalu berimbas pada kehidupan pribadinya.Ada rasa nyeri didada saat ini, apabila ia mengingat istri mudanya yang sendiri dirumah baru mereka.Mempunyai dua istri ternyata sesakit ini.Sakit jika jauh dari salah satunya, namun tidak mungkin juga menyatukan dua hati mereka untuk tinggal di satu atap.Tidak mu
Empat hari bersama cinta pertamanya tidak sedikitpun Bu Nova tenang dengan keberadaan suami disisinya, apalagi setelah mengetahui jika suami dan madunya telah melakukan malam pertamanya. Sementara akbar yang dicueki sang istri hanya bisa pasrah, mencoba mengalihkan kegalauan dengan membawa pekerjaan kantor untuk dikerjakan dirumah utama.Kamis sore menjelang magrib, Akbar baru sampai dirumah minimalis milik Puteri, istri mudanya."Assalamualaikum" ucapnya lirih. Memeluk istri mungilnya yang baru selesai mandi.Mengendus dengan rakus tubuh atas istrinya, seperti mencari ketenangan Akbar menyusuri seluruh wajah tengkuk dan leher sang istri."Sudah mau magrib, kenapa baru selesai mandi hhhhmm ?" tanya Akbar namun tetap melakukan aktifitasnya."Baru pulang dari apotik akunya maass ?" jawab Puteri dengan nada manja."Maasssss ?" satu desahan telah keluar begitu saja dari bibir sang istri.Puteri telah terbiasa dengan perbuatan suaminya itu, hanya bisa pasrah, menerima dan mengikuti kemauan
Pak Akbar melangkah gontai meninggalkan rumah istri mudanya, setelah mendengar semua ucapan- ucapan Nova."Tuan..." panggil bik Ijah heran. Melihat majikannya melangkah keluar rumah dan pergi begitu saja, tanpa menjawab panggilannya."Nyonya itu tuan kenapa pergi lagi ya ?" tanya bik Ijah pada Puteri yang sedang menyeka air matanya."Hahhh....kenapa bik ?" tanya Puteri terkejut."Tuan tadi datang, belum lagi masuk. Kenapa pergi lagi ya ?" ucap bik Ijah mengulangi pertanyaannya tadi.Puteri segera berdiri. Dan ingin mengejar suaminya."Tuan sudah pergi nyonya." ucap bik Ijah.Bu Nova yang mendengar ucapan bik Ijah jadi takut sendiri. Takut kalau suaminya mendengar semua ucapannya. Buru- buru ia permisi dan pergi dari rumah Puteri."Tadi, mas Akbar datang sendiri ya bik ?" tanya Puteri lagi. Setelah Bu Nova pergi dari rumahnya."Iya nya...! Hanya sendiri. Pak Hasan tidak ada." jawab bik Ijah.Ada perasaan aneh yang mengganjal dihati Puteri, suaminya pulang, namun tidak menemuinya. Puter
Sudah tengah malam namun Puteri masih belum dapat kabar tentang suaminya. Ponselnya juga mati sejak siang tadi. Entah berapa banyak miscall dan chat darinya. Perasaan was- was dan takut menghantuinya."Bik...bibik tau nomor ponsel pak Hasan ?" Tanya Rani pada pembantu yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri."Enggak nyah...bibi enggak tau." jawab bik Ijah.Semalaman Puteri enggak bisa tidur memikirkan Akbar. Ingin mendatangi kediamannya yang bersama Bu Nova, tapi Puteri takut. Walau bagaimana pun Puteri adalah orang ketiga dalam rumah tangga mereka.Keesokannya, sekitar jam tiga sore. Rizal sampai kembali ketanah air yang selama beberapa bulan ini ia tinggalkan. Meninggalkan segudang masalah.Dengan menaiki taksi ia segera pergi kerumah sakit untuk menemui kedua orang tuanya."Assalamualaikum ma" ucapnya lirih pada wanita yang sedang duduk termenung memandangi suaminya yang terbujur dipembaringan dengan selang infus dan beberapa selang lainnya.Bu Nova langsung menoleh keasal su