Pak Akbar dan Bu nova kembali masuk kedalam kamar hotel istri pertamanya.
Setengah agak memaksa pak Akbar kembali menarik tangan istrinya untuk masuk kedalam kamar mereka."Kamu keterlaluan pa," ratap Bu Nova, menangis histeris.Pak Akbar hanya bisa memeluk berusaha untuk menenangkan gejolak hati istrinya, tanpa bicara.Perlahan dia membimbing Bu Nova untuk duduk disofa. Keduanya duduk terdiam, hanya suara nafas berat pak Akbar yang terdengar."Kita cerai saja pa," pinta Bu Nova.Tak ada jawaban, ingin rasanya pak Akbar menjerit menumpahkan kesal dihati. Tapi tak tahu dia kesal dengan siapa."Hari ini, kita pulang kerumah. Mama bersiaplah, Papa ada jadwal operasi nanti jam sembilan."Bu Nova masih terdiam, sesekali terdengar isakan kecil dari mulutnya." Jangan bawa perempuan itu kerumah kita pa," Pinta Bu Nova" Iya ma," Papa tidak mungkin melakukan itu, jangan fikir yang bukan- bukan. Kami tidak melakukan apapun," sambil membelai kepala istrinya, pak Akbar mencoba bicara lembut dan hati- hati." Papa tidur disofa, Puteri sendiri tidak tahu kalau Papa masuk, jangan ikuti amarah, setinggi apapun kemarahan mama tidak bisa merubah yang sudah terjadi.""Jangan suka marah-marah marah nanti mama kena struk atau jantung, Papa gimana,"" Ya pasti Papa hidup enak dengan perempuan itu,""Papa mau kita bertiga hidup enak," rayu pak Akbar."Mama bersiaplah, papa kekamar Puteri sebentar saja, gak mungkin kita pulang, papa tidak pamit padanya. Jangan lakukan sesuatu yang bisa buat nama baik mama tercemar, ini hotel ma."Tanpa menunggu jawaban sang istri, pak Akbar keluar dari kamar, menuju kamar pengantin.Bu Nova yang ditinggal pergi hanya bengong, ingin rasanya dia melihat suaminya marah dan dia akan senang hati meladeninya."Aku percaya padamu pa, tapi hatiku tetap sakit." Kembali air mata menetes dipipi Bu Nova, terpaksa berdamai dengan keadaan untuk beberapa waktu adalah hal terbaik menurutnya.Di kamar pengantin, Puteri sedang sibuk membersihkan tempat tidur, tidak sabar rasanya dia menunggu pelayan, untuk itu dia membersihkan sendiri." Kamar ini sudah dibooking untuk tiga hari, kamu ingin ikut pulang atau tetap menginap disini." ucap pak Akbar begitu kembali masuk kedalam kamar, setelah sebelumnya memberi salam."Pulang kemana pak ?" tanya Puteri dan memandangnya sekilas.Pak Akbar memandang tajam dan segera menarik nafas."Mas belum menyiapkan rumah untukmu, pagi ini mas harus kembali, Karena ada jadwal operasi nanti jam sembilan.""Atau kamu disini saja dulu, besok atau lusa kita akan cari rumah atau apartemen bersama, hari ini mas betul-betul sangat repot."Puteri hanya bisa mengangguk, sebenarnya ini yang dibenci Akbar, dia ingin sekali Puteri protes atau mengemukakan pendapat.Dia merasa tertekan dan tersiksa kalau istri mudanya itu hanya pasrah dan diam, tapi dia belum tau cara untuk menaklukkan hati gadis dihadapannya.Suara ketukan pintu terdengar dari luar, pak Akbar langsung membuka pintu kamar, seorang pelayan muncul mengantarkan sarapan pagi.Setelah pelayan pergi, pak Akbar berucap kembali."Maaf, mas tidak bisa makan bersamamu, mas harus segera berangkat kerumah sakit." Akbar memandang wajah Puteri dengan seksama, mencoba membaca reaksi wajah istrinya.Namun yang ditangkap hanya wajah polos, dan anggukan kepala, tanpa protes atau bertanya."Sungguh terbuat dari apa hati istriku ini ya allah," guman pak Akbar lirih tak terdengar.Puteri duduk disofa mengambil sarapan yang ada diatas troli untuk dipindahkan kemeja.Pak Akbar yang ingin meninggalkan Puteri, mengurungkan niatnya untuk pergi.Ada rasa kasihan, sayang, tidak tega, sesak, semua menjadi satu. Dia melangkah menghampiri istrinya, yang sejak tadi cuek dengan keberadaannya."Satu saja piringnya," ujarnya." Kita makan pakai tangan," ujarnya lagi, setelah mengambil nasi dan lauknya, Puteri langsung duduk dihadapan pak Akbar, seperti posisi kemarin sore sewaktu mereka makan sepiring berdua.Dekat dan sangat dekat, hembusan nafas pak Akbar hingga terasa di dahi Puteri, tak ada reaksinya, Puteri makan dengan santai dengan beberapa kali suapan penuh.Pak Akbar yang melihat itu tersenyum tipis, perempuan cantik yang tidak ada jaim- jaimnya."Makanlah," pak Akbar sengaja ingin menyuapi Puteri dan ingin melihat reaksinya."Aakk.." puteri langsung mangap, tidak grogi atau rasa malu sedikitpun. Sementara jantung sang suami sudah berdegup kencang."Pak," panggil Puteri kepada suaminya, setelah mereka selesai makan.Yang dipanggil pura- pura tidak mendengar, karena kesal dengan panggilan yang kadang berubah kadang tidak."Pak, Puteri mau kerja lagi, tolong jangan dipecat." ujar Puteri, mengungkapkan isi hatinya.Pak Akbar yang mendengar tersenyum senang, sudah dua hari menikah, baru kali ini Puteri bersuara mengeluarkan sebuah kalimat."Tanpa disadari pak Akbar langsung memeluk istri mudanya. "Terima kasih," ucapnya lirih ditelinga Puteri.Puteri yang terkejut hanya mematung." Makasih untuk apa," tanya puteri heran, sambil mencoba melepaskan pelukan suaminya." Untuk suaramu," suara lirih terdengar kembali ditelinga Puteri, yang membuat dia merinding." Kamu boleh bekerja, tapi tidak sekarang."Membelai lembut dahi Puteri, pak Akbar berucap kembali."Tolong mengerti untuk semua situasi ini, mas akan kerumah sakit sekarang. Kamu beristirahatlah disini, nanti mas kembali lagi."Puteri hanya diam, bersuara dalam hati itu lebih baik baginya, apalagi ayah tercintanya, restu dan ridha atas pernikahan ini, lantas dia bisa apa."Mengecup kening istrinya dengan lembut, dan memberikan tangannya kehadapan Puteri.Puteri langsung mengerti atas kode tersebut, dengan takzim, Puteri mencium punggung tangan suaminya.Setelah Puteri mencium tangannya, pak Akbar bukannya melepaskan tangan sang istri, dia membalas mencium telapak tangan sang istri."Pak ?" Masih tak ingin melepaskan."Pak ?" Panggil Puteri sekali lagi." Ganti panggilannya" tegas sang suami.Puteri hanya menunduk malas."Baiklah mas akan pergi sekarang, nanti mas telepon." Pak Akbar gegas keluar, karena waktu sudah jam delapan lewat sepuluh."Kenapa papa terlalu lama ?" Hardik Bu Nova.Memaklumi kekasaran istrinya, Mungkin itu lebih baik. Fikir pak Akbar."Mungkin nanti atau besok, papa sama Puteri akan mencari rumah untuk ditempatinya." ucap pak Akbar begitu mereka berada didalam mobil.Pak Akbar sudah memakai pakaian dinas dokternya. " Maksudnya ? Apa papa akan ikut pindah juga " tanya istri pertamanya."Papa akan membagi waktu untuk kalian" tegas sang suami dengan nada naik setengah oktaf.Wajah Bu Nova sudah merah padam menahan sesuatu yang bergelora didada."Apa papa akan membelikan rumah juga untuknya ?""Itu tanggung jawab papa ma, dia istriku sekarang, dan papa harus adil untuk kalian." tegasnya sekali lagi, sambil mengotak atik tablet ditangannya.Perasaan Bu Nova gamang sendiri, kalau dia membiarkan suaminya punya rumah lain bersama istri barunya, dia pasti tidak akan tahu, apa yang mereka lakukan. Tapi kalau tinggal satu rumah, apa dia sanggup melihat suaminya dekat bahkan satu kamar dengan wanita lain."Bawa saja perempuan itu tinggal dirumah kita pa, dia bisa menempati kamar atas dan kita kamar bawah." Memandang srius wajah suaminya, yang semakin ganteng dan beribawa kalau sudah memakai jas putih."Srius" ujar pak Akbar. " Mama gak usah mengada- Ngada, jangan punya rencana yang tidak- tidak. Papa tidak suka."Sudah satu Minggu Puteri kembali kerumah minimalisnya. Seperti biasa sebelum pergi ke rumah sakit Akbar sendiri yang akan mengurus bayi Emran dan istri mudanya. "Ruhi....sayang...? Sudah hampir subuh." Panggil Akbar ditelinga sang istri dengan lembut."Mandilah...lima menit lagi azan subuh." Sambung Akbar saat dilihatnya sang istri sudah bangun dari tidurnya. Tanpa menjawab Puteri segera bergegas mengikuti apa yang diperintahkan sang suami.Solat subuh berjamaah dan mengulang murajaah adalah rutinitas yang mereka lakukan sebelum lengkingan suara Emran menggema dari dalam box bayinya.Jam setengah tujuh Emran telah wangi dengan wajah yang sudah seperti donat tepung, karena ulah sang papa. "Wah...anak papa sudah ganteng...sudah wangi...wangi surga..." Ucap Akbar pada puteranya yang sudah mulai lasak."Kita nenen dulu...? Nenen sama mama..?" Sambungnya lagi sambil menggendong Emran, meletakkannya diatas pangkuan sang istri yang sudah siap duduk diatas sofa."Kuchi....kuchi...anak aku ga
Puteri terus memangku bayi Emran sampai tertidur pulas, setelah menghabiskan susu botolnya.Akbar hanya diam terpaku melihat keajaiban Allah. Doanya telah di ijabah Allah, tidak ada yang lebih membahagiakan dari itu semua.Perlahan Nova menghampiri Puteri dan berkata."Sini...Emran nya biar saya pindahkan ke boxnya saja." Pinta Nova dengan tulus."Haaaah...i..iya..!" Jawab Puteri gugup. Dengan sedikit gemetar Puteri memberikan bayinya kepada Nova. Rasa lemah dengan tulang yang rasanya kaku membuat Puteri tidak dapat bergerak banyak.Tak lama seorang suster datang membawakan teh panas dan bubur nasi sup ayam kampung.Dengan cekatan Akbar menerima troli makanan tersebut dan membawanya kehadapan sang istri."Makan dulu Ruhi...?" Pinta Akbar lembut.Nova yang merasa canggung dengan situasi mereka bertiga, berfikir untuk keluar dari ruangan tersebut."Pa...mama, mau pulang sebentar, nanti mama datang lagi. Kalau ada sesuatu yang mau dibeli, hubungi mama ya pah?" Ucap Nova lembut.Kemudian
Hari ini rencananya Akbar akan memindahkan perawatan untuk Puteri dirumah minimalis mereka. karena bagaimana pun rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk tumbuh kembang puteranya yaitu Emran. Tanpa diminta oleh suaminya, pagi- pagi sekali Nova sudah sampai dirumah sakit, tepatnya diruangan Puteri dirawat."Ada apa ma?" Tanya Akbar setelah menjawab salam dari istri pertamanya."Ada apa?" Tanya Akbar lagi, dia merasa heran karena masih terlalu pagi bagi tamu untuk menjenguk pasien."Aku hanya ingin bersama kalian pa..?" Jawab Nova jujur.Pak Akbar yang mendengar hanya menautkan alisnya saja, tanpa berkomentar."Oke...sudah selesai..! Anak papa sudah ganteng, sudah wangi...wangi surga...!" Ucap Akbar pada sang putera yang baru selesai ia mandikan.Dengan memakai pakaian anak enam bulan keatas, Emran nampak lebih besar dari usianya.Dengan menggendongnya sebelum diberikan susu, Akbar ingin anaknya memanggil Puteri dengan jeritan tangisan seperti biasanya. "Mas selalu berdoa, kamu pulang
Assalamualaikum" terdengar suara ketukan pintu dan ucapan salam dari luar ruangan. Akbar yang baru selesai mengaji disisi sang istri, segera membuka pintu untuk melihat siapa yang datang." "Waalaikumsalam" jawab Akbar. Saat tahu siapa yang datang ia menghela nafas dengan berat."Kamu bisa pulang ma?" Tanya Akbar heran. Tanpa menerima uluran tangan Nova yang ingin menyalaminya."Jadi papa enggak suka nengok mama pulang ya?" Tanya Bu Nova sedikit tersinggung. "Bukannya gak suka, tapi mama sendiri yang bilang, kemungkinan mama disana sampai menantu mama siap melahirkan." Jawab Akbar, berlalu meninggalkan istri tuanya yang masih berdiri di pintu."Masuklah kalau mau masuk." Ucap Akbar yang telah duduk disisi Puteri. Sedangkan Putera mereka sedang tidur nyenyak didalam box Beby."Sudah berapa lama dia seperti ini pah?" tanya Nova yang sudah berdiri di dekat Akbar."Hampir sebulan." Jawab Akbar datar. Sambil mengecek beberapa berkas kantor dan rumah sakitnya. Merasa dicuekin, Nova berja
Sekitar pukul delapan malam pak Yusuf sampai ke Jakarta dan langsung menuju rumah sakit tempat anak semata wayangnya melahirkan."Assalamualaikum" ucap pak Yusuf ketika ia telah sampai didepan pintu kamar pasien tempat Puteri berada.Akbar yang baru selesai menunaikan shalat isya, menoleh kearah suara."Waalaikumsalam" jawabnya dan segera menghampiri sahabat karib sekaligus bapak mertuanya.Kedua lelaki itu berjabatan tangan, dan kemudian berpelukan."Aku takut Yusuf...aku takut kalau istriku pingsannya lama." Ucap Akbar dengan suara bergetar."Berdoalah untuk yang terbaik" jawab Yusuf dengan menepuk- nepuk pundak sahabatnya dan melepaskan pelukan mereka.Yusuf menghampiri anaknya yang sudah lama tidak ia kunjungi."Sayang...?" Panggil Yusuf dengan suara bergetar. Diraihnya jemari Puteri digenggamnya erat."Kenapa belum mau bangun sayang....?" Panggilnya pada sang anak yang tertidur dengan damai."Kasian cucu ayah kalau tidak minum ASI, bangunlah. Hadapi semua, menghindar untuk tetap
Satu jam berlalu setelah Akbar membuat penyatuannya dengan sang istri. Jalan lahir sudah memasuki pembukaan tiga, kini Puteri tengah berjalan dan terkadang jongkok kalau rasa mulas menggerayangi perutnya, dan pak Akbar dengan setia terus berada didekat istrinya walau kadang Puteri menyuruhnya untuk istirahat.Sambil berjalan Puteri merasakan perutnya mulas kembali, dan ia meringis lagi"Kita operasi saja, ya sayang...? Kalau operasi, satu jam mendatang kamu tidak merasakan sakit seperti ini lagi." Rayu Akbar kembali.Puteri hanya diam, tak menanggapi ucapan suaminya, Puteri bosan mendengarnya."Mas....? Air kencingnya keluar sendiri." Ucapnya tiba-tiba, dengan melihat lantai yang sudah banjir air yang merembes dari kemaluannya.Akbar yang mendengar ucapan sang istri, segera membawa Puteri kekamar mandi."Itu bukan air kencing sayang, itu air ketubannya sudah pecah, tukar dulu bajunya. Dengan dibantu perawat wanita, Puteri membersihkan tubuhnya yang basah oleh rembesan air ketuban.Sem