Share

Bab 5 Tinggal Bersama

Pak Akbar dan Bu nova kembali masuk kedalam kamar hotel istri pertamanya.

Setengah agak memaksa pak Akbar kembali menarik tangan istrinya untuk masuk kedalam kamar mereka.

"Kamu keterlaluan pa," ratap Bu Nova, menangis histeris.

Pak Akbar hanya bisa memeluk berusaha untuk menenangkan gejolak hati istrinya, tanpa bicara.

Perlahan dia membimbing Bu Nova untuk duduk disofa. Keduanya duduk terdiam, hanya suara nafas berat pak Akbar yang terdengar.

"Kita cerai saja pa," pinta Bu Nova.

Tak ada jawaban, ingin rasanya pak Akbar menjerit menumpahkan kesal dihati. Tapi tak tahu dia kesal dengan siapa.

"Hari ini, kita pulang kerumah. Mama bersiaplah, Papa ada jadwal operasi nanti jam sembilan."

Bu Nova masih terdiam, sesekali terdengar isakan kecil dari mulutnya.

" Jangan bawa perempuan itu kerumah kita pa," Pinta Bu Nova

" Iya ma," Papa tidak mungkin melakukan itu, jangan fikir yang bukan- bukan. Kami tidak melakukan apapun," sambil membelai kepala istrinya, pak Akbar mencoba bicara lembut dan hati- hati.

" Papa tidur disofa, Puteri sendiri tidak tahu kalau Papa masuk, jangan ikuti amarah, setinggi apapun kemarahan mama tidak bisa merubah yang sudah terjadi."

"Jangan suka marah-marah marah nanti mama kena struk atau jantung, Papa gimana,"

" Ya pasti Papa hidup enak dengan perempuan itu,"

"Papa mau kita bertiga hidup enak," rayu pak Akbar.

"Mama bersiaplah, papa kekamar Puteri sebentar saja, gak mungkin kita pulang, papa tidak pamit padanya. Jangan lakukan sesuatu yang bisa buat nama baik mama tercemar, ini hotel ma."

Tanpa menunggu jawaban sang istri, pak Akbar keluar dari kamar, menuju kamar pengantin.

Bu Nova yang ditinggal pergi hanya bengong, ingin rasanya dia melihat suaminya marah dan dia akan senang hati meladeninya.

"Aku percaya padamu pa, tapi hatiku tetap sakit." Kembali air mata menetes dipipi Bu Nova, terpaksa berdamai dengan keadaan untuk beberapa waktu adalah hal terbaik menurutnya.

Di kamar pengantin, Puteri sedang sibuk membersihkan tempat tidur, tidak sabar rasanya dia menunggu pelayan, untuk itu dia membersihkan sendiri.

" Kamar ini sudah dibooking untuk tiga hari, kamu ingin ikut pulang atau tetap menginap disini." ucap pak Akbar begitu kembali masuk kedalam kamar, setelah sebelumnya memberi salam.

"Pulang kemana pak ?" tanya Puteri dan memandangnya sekilas.

Pak Akbar memandang tajam dan segera menarik nafas.

"Mas belum menyiapkan rumah untukmu, pagi ini mas harus kembali, Karena ada jadwal operasi nanti jam sembilan."

"Atau kamu disini saja dulu, besok atau lusa kita akan cari rumah atau apartemen bersama, hari ini mas betul-betul sangat repot."

Puteri hanya bisa mengangguk, sebenarnya ini yang dibenci Akbar, dia ingin sekali Puteri protes atau mengemukakan pendapat.

Dia merasa tertekan dan tersiksa kalau istri mudanya itu hanya pasrah dan diam, tapi dia belum tau cara untuk menaklukkan  hati gadis dihadapannya.

Suara ketukan pintu terdengar dari luar, pak Akbar langsung membuka pintu kamar, seorang pelayan muncul mengantarkan sarapan pagi.

Setelah pelayan pergi, pak Akbar berucap kembali.

"Maaf, mas tidak bisa makan bersamamu, mas harus segera berangkat kerumah sakit." Akbar memandang wajah Puteri dengan seksama, mencoba membaca reaksi wajah istrinya.

Namun yang ditangkap hanya wajah polos, dan anggukan kepala, tanpa protes atau bertanya.

"Sungguh terbuat dari apa hati istriku ini ya allah," guman pak Akbar lirih tak terdengar.

Puteri duduk disofa mengambil sarapan yang ada diatas troli untuk dipindahkan kemeja.

Pak Akbar yang ingin meninggalkan Puteri, mengurungkan niatnya untuk pergi.

Ada rasa kasihan, sayang, tidak tega, sesak, semua menjadi satu. Dia melangkah menghampiri istrinya, yang sejak tadi cuek dengan keberadaannya.

"Satu saja piringnya," ujarnya.

" Kita makan pakai tangan," ujarnya lagi, setelah mengambil nasi dan lauknya, Puteri langsung duduk dihadapan pak Akbar, seperti posisi kemarin sore sewaktu mereka makan sepiring berdua.

Dekat dan sangat dekat, hembusan nafas pak Akbar hingga terasa di dahi Puteri, tak ada reaksinya, Puteri makan dengan santai dengan beberapa kali suapan penuh.

Pak Akbar yang melihat itu tersenyum tipis, perempuan cantik yang tidak ada jaim- jaimnya.

"Makanlah," pak Akbar sengaja ingin menyuapi Puteri dan ingin melihat reaksinya.

"Aakk.." puteri langsung mangap, tidak grogi atau rasa malu sedikitpun. Sementara jantung sang suami sudah berdegup kencang.

"Pak," panggil Puteri kepada suaminya, setelah mereka selesai makan.

Yang dipanggil pura- pura tidak mendengar, karena kesal dengan panggilan yang kadang berubah kadang tidak.

"Pak, Puteri mau kerja lagi, tolong jangan dipecat." ujar Puteri, mengungkapkan isi hatinya.

Pak Akbar yang mendengar tersenyum senang, sudah dua hari menikah, baru kali ini Puteri bersuara mengeluarkan sebuah kalimat.

"Tanpa disadari pak Akbar langsung memeluk istri mudanya. "Terima kasih," ucapnya lirih ditelinga Puteri.

Puteri yang terkejut hanya mematung.

" Makasih untuk apa," tanya puteri heran, sambil mencoba melepaskan pelukan suaminya.

" Untuk suaramu," suara lirih terdengar kembali ditelinga Puteri, yang membuat dia merinding.

" Kamu boleh bekerja, tapi tidak sekarang."

Membelai lembut dahi Puteri, pak Akbar berucap kembali.

"Tolong mengerti untuk semua situasi ini, mas akan  kerumah sakit sekarang. Kamu beristirahatlah disini, nanti mas kembali lagi."

Puteri hanya diam, bersuara dalam hati itu lebih baik baginya, apalagi ayah tercintanya, restu dan ridha atas pernikahan ini, lantas dia bisa apa."

Mengecup kening istrinya dengan lembut, dan memberikan tangannya kehadapan Puteri.

Puteri langsung mengerti atas kode tersebut, dengan takzim, Puteri mencium punggung tangan suaminya.

Setelah Puteri mencium tangannya, pak Akbar bukannya melepaskan tangan sang istri, dia membalas mencium telapak tangan sang istri.

"Pak ?" Masih tak ingin melepaskan.

"Pak ?" Panggil Puteri sekali lagi.

" Ganti panggilannya" tegas sang suami.

Puteri hanya menunduk malas.

"Baiklah mas akan pergi sekarang, nanti mas telepon." Pak Akbar gegas keluar, karena waktu sudah jam delapan lewat sepuluh.

"Kenapa papa terlalu lama ?" Hardik Bu Nova.

Memaklumi kekasaran istrinya, Mungkin itu lebih baik. Fikir pak Akbar.

"Mungkin nanti atau besok, papa sama Puteri akan mencari rumah untuk ditempatinya." ucap pak Akbar begitu mereka berada didalam mobil.

Pak Akbar sudah memakai pakaian dinas dokternya. " Maksudnya ? Apa papa akan ikut pindah juga " tanya istri pertamanya.

"Papa akan membagi waktu untuk kalian" tegas sang suami dengan nada naik setengah oktaf.

Wajah Bu Nova sudah merah padam menahan sesuatu yang bergelora didada.

"Apa papa akan membelikan rumah juga untuknya ?"

"Itu tanggung jawab papa ma, dia istriku sekarang, dan papa harus adil untuk kalian." tegasnya sekali lagi, sambil mengotak atik tablet ditangannya.

Perasaan Bu Nova gamang sendiri, kalau dia membiarkan suaminya punya rumah lain bersama istri barunya, dia pasti tidak akan tahu, apa yang mereka lakukan. Tapi kalau tinggal satu rumah, apa dia sanggup melihat suaminya dekat bahkan satu kamar dengan wanita lain.

"Bawa saja perempuan itu tinggal dirumah kita pa, dia bisa menempati kamar atas dan kita kamar bawah." Memandang srius wajah suaminya, yang semakin ganteng dan beribawa kalau sudah memakai jas putih.

"Srius" ujar pak Akbar. " Mama gak usah mengada- Ngada, jangan punya rencana yang tidak- tidak. Papa tidak suka."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
sampah banget cerita novel yg menyatukan istri tua dan istri muda dibawah 1 atap. ide sampah yg didaur ulang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status