Alunan melodi elegi memenuhi ruangan mewah bernuansa emas itu, menyempurnakan rasa lara pada hati sang wanodya yang tak berkata apa-apa.
Di sana, atas bangku bundar, Pearl terus mengusap air matanya. Bibirnya terus merengek, mengeluarkan suara-suara lirih yang seperti tanpa makna. Netranya tak bisa berhenti untuk memandangi jasad Papa Mamanya yang dibaringkan dalam dua peti nan tertutup sepenuhnya. Ia merasa hancur, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa. Dua sosok yang amat dicintainya itu telah tiada.
Lemari jam antik itu pun telah berdentang ke dua belas kalinyaāmengartikan bila kini telah tengah hari. Namun seolah tak mau peduli, Pearl malah berhamburan ke arah peti; hendak membukanya dan menyaksikan orang tuanya ke sekian kali.
Sebelum itu terjadi, tubuhnya telah ditahan oleh satu tangan. Pergerakan Pearl berhenti seketika, tetapi sedu-sedannya tak kunjung berhenti juga.
āSudah, Pearl! Berhentilah menangis!ā
Gadis itu menggeleng cepat-cepat, enggan mendengar segala ocehan teman-temannya yang terus mengusap pundak mungilnya.
āIni semua ... ini semua salahku! Aku membiarkan mereka pergi ke Kyoto hanya karena keegoisanku,ā racaunya. Kembali menangis leluasa.
āJangan begitu, Pearl!ā
Nancy, salah satu temannya itu meremas pundak Pearl yang kembali bergetar. āAda kami di sini. Jadi jangan khawatir, oke?ā
āYa, kami akan membuatmu menemui Magma setelah semuanya berangsur membaik.ā
Pearl menoleh ke arah Nancy, lalu pada Jane yang tersenyum penuh makna. Sebenarnya ada tiga teman Pearl lainnya, hanya saja mereka memutuskan untuk menyaksikan saja. Mereka muak akan sikap kekanak-kanakan Pearl yang kerap kali melelahkan.
āSungguh?ā Pearl menganjurkan bibirnya, ingin mendengar jawaban dari dua temannya segera.
āEugh ... euhm, tentu saja! Apa pun yang terjadi, kami akan selalu ada!ā celetuk Jane lantas memeluk lengan Pearl erat-erat; beralih tertawa dan memasang senyuman penuh kepalsuan.
āAku tak yakin ....ā lirih Pearl, sedikit mendorong kepala Jane dari lengannya.
āEuhm ... Percayalah! Kami akan menjagamu, setidaknya sampai kau menemukan cinta sejatimu.ā
Pearl menjeling pada Jane yang terkenal akan sikap muka duanya itu, akan tetapi karena lelah ia memutuskan tak meresponsnya dengan apa-apa.
š„
āTentu untuk bersenang-senang!ā jerit Jane guna mengalahkan suara musik yang amat keras dan memekakkan telinga.
āBersenang-senang akan apa? Apa kau bahagia setelah tahu Papa dan Mamaku telah tiada?ā seru Pearl tanpa nada. Beberapa orang yang terus menabrak dan menyenggol tubuhnya jelas membuatnya tidak ceria. Tempat ini sama sekali tak cocok untuknya.
Jane mendelik, menggeleng sekuat tenaga. āKau harus merelakan kepergian mereka, Pearl! Dan alkohol adalah salah satu cara instannya!ā
Jane menyodorkan satu botol whisky di hadapan sang wanodya. Namun Pearl segera menyingkirkannya.
āAku tidak menginginkannya.ā
Mendengar jawaban itu, Jane hanya mengendikan kedua pundaknyaāmenenggak minuman keras itu dengan merawak rambang seakan telah terbiasa.
āHEYY, KALIAN SEMUA MINUMLAH SEPUAS-PUASNYA! AKU AKAN MENTRAKTIR KALIAN SEMUA!ā jerit Jane setelah menghabiskan sebotol whisky dalam genggamannya. Melantarkan ratusan orang berseru senang karenanya.
Seperti apa yang Jane āperintahkanā, orang-orang itu tak segan untuk memesan berbotol-botol alkohol dan menikmati dunia malam mereka. Jelas Pearl terkejut akannya, apalagi melihat Jane yang terlihat baik-baik saja atau bahkan tak mempermasalahkannya.
āJ-jane! Memangnya kau membawa uang?ā desis Pearl penuh tanda tanya.
āAh? Oh iya, aku lupa membawanya.ā Jane tertawa terbahak-bahak, ia sudah kehilangan kesadarannya. āKau saja, yaāaku akan menggantinya nanti. Kau membawa black card-mu, bukan?ā
āT-tapiāā
āAku janji!ā Pearl tersenyum kecut, memutuskan untuk berdiam diri saja. Jane ini selalu saja berhasil āmenjebaknyaā. āTerima kasih Pearl sayaang! Kau yang terbaik!ā seru Jane seraya memeluk lengan Pearl yang masih menutup mulutnya.
Lagi-lagi sinar mencolok itu menyuluhi netra sang wanodya, membuatnya tersadar bahwa sepatutnya ia tak mengiyakan ajakan Jane begitu saja. Peristiwa ini bukan kali pertama, untuk menolak pun tidak bisaādan ia muak akannya.
š„
Ting tong
Pearl terjaga seketika. Namun bukannya langsung berdiri lalu membuka pintu rumahnya, Pearl malah memejamkan kedua netraāmemeluk guling di sebelah tubuhnya.
Ting tong!
āEungh ....ā
Pearl membalikkan posisi badannya, menghadap pada Nancy yang mendengkur tanpa jeda. Hal itu cukup mengganggu sebenarnya, tetapi lantaran mengantukāia mengacuhkannya.
Ting tong! Ting tong! Ting tong! Ting tong!
Mengetahui bila suaranya makin membabi buta, Pearl terpaksa bangun dan melesat ke ruang utama. Menuruni anakan tangga secepat-cepatnya dengan gerutuan yang nyata. Padahal ia tengah bermimpi di saat indah-indahnya.
āSiapa, yāā
āApakah anda Pearl Carmina, anak dari Dhika Birendra?ā
Sosok itu langsung bertanya saat pintu sepenuhnya terbuka. Kontan itu mengejutkannya. Netra dan mulut gadis itu membulat di saat yang sama, lebih lagi saat mendapati beberapa mobil polisi terparkir rapi di pekarangan rumahnya.
āInāā
āBapak Dhika Birendra terlambat membayar utang yang seharusnya lunas pada waktu yang telah ditentukan! Beliau telah meminjamnya sejak lama dan mengingkari perjanjiannya.ā
Jelas Pearl terkejut lantaran papanya tak pernah mengatakan apa-apa mengenai hutangāatau hal semacam padanya. āHAH? T-tapi Papa saya tidak pernah memilikiāā
āJika memang tidak ada yang bisa menjaminnya, kami akan menyita rumah keluarga Rendra!ā
Pearl mendelik, mulutnya makin membulat sempurnaālalat mungkin tertarik untuk masuk ke dalamnya.
āNancy! Bodoh, bangunlah!ā Nancy akhirnya terbangun juga, segera bertanya-tanya pada Jane yang tengah menatapnya. āSegeralah kemasi barangmu! Kita akan pergi sekarang juga!ā
āTapi, Pak, saya sama sekali tidak mengerti akan masalah ini! Bapak juga tahu, bukan, bila Papa saya telah tiadaāā
āMasalah itu di luar kendali saya, utang itu harus terbayarkan segera,ā tegas pria berjas biru tua itu.
Pelupuk mata gadis itu segera membendung air mata, ia bahkan tak tahu harus mengatakan apa. Justru ia makin tersara bara kala mendapati Nancy pun Jane berlari tunggang langgang bersama barang-barang mereka. Keduanya tak peduli dengan seruan Pearl yang sepenuhnya putus asa.
āKauāmaksudku, kita sungguh-sungguh akan pergi? Tapi bagaimana kalau dia sendiri? Bahkan dia tak bisa memasak mie!ā desis Nancy di sela langkah mereka.
āApa peduli kita? Dia sudah tak punya apa-apa, dan kita tak bisa lagi bersamanya! Berpikirlah, bodoh!ā ketus Jane. Menggeret koper yang dicekalnya sekuat tenaga. āHUH! Membuang waktu saja.ā
Nancy menggaruk kepala, menoleh sekejap pada kediaman Pearl lantas melesat pergi mengikuti Jane yang beberapa langkah mendahuluinya. Mereka meninggalkan Pearl beserta janji mereka.
“Uuu, Pearl. Kenapa aku baru sadar bila kau ini sangat cantik?” Kanna memutar tubuh Pearl kedua kalinya, mengembangkan senyuman manis yang menjadi pemicu tawa bahagia sang wanodya. “Selama ini aku terus melihatmu mengenakan seragam Resort Keeper, kemeja dan celana berbahan drill itu.”Pearl kembali tertawa.“Tapi sesungguhnya ... aku kurang nyaman dengan gaun ini. Terlebih mengingat aku tak mengenakannya dua tahun lebih.”Pearl memainkan kain satin berwarna lilac yang melingkari tubuh bagian bawahnya, menyibakkannya ke sana-kemari. Merasa tak percaya diri. Ia terus meminta pendapat Alaric sebelumnya, hanya saja lelaki itu hanya menjawab pertanyaannya dengan satu kata—“Bagus.”“Apa flat shoes ini cocok? Aku—““Cocok, itu sempurna,” potong Alaric meski tatapannya setia pada layar laptopnya. “Percayalah padaku, Kanna pun akan mengatakan ‘i
“Hmh!”Pearl menyodorkan benda mungil pipih ke hadapan Alaric yang tengah memangku laptopnya, menonton salah satu video dari TED dengan tanpa ekspresi atau suara. Melihat kartu keemasan yang Pearl genggam, Alaric lekas menghentikan laju video itu.“Pembayaran utang bulan ini,” terang Pearl seraya menggosok rambut basahnya dengan handuk. Suasana sedingin ini selalu Pearl manfaatkan untuk mencuci rambut serta mandi—satu-satunya hal yang ia suka dari hujan. Karena selebihnya, hujan malah mengembalikan segala kenangan menyakitkan, bukannya membantu melupakan.Alaric menerimanya penuh tanda tanya.“Semua? Bagaimana denganmu? Kau bilang kau ingin membeli sepatu baru?”Pearl tak segera menjawabnya dan terduduk di kursi putar di tengah ruangan.“Aku tak butuh apa-apa. Bisa hidup tenang itu cukup.”Alaric menatap kosong kartu bank di hadapannya, memutuskan mengiyakan saja. “Apa ada se
“Bagaimana?”Alisha menurunkan kerai tepat di sebelahnya, mencalang sosok yang tengah menyapu permukaan. “Dia baik-baik saja—itu hal baiknya. Hal buruknya, aku merasa sesuatu tengah mengganggu pikirannya, dan ia tidak ceria seperti biasa.”Setelah terdiam cukup lama, suara dari benda pipih itu kembali berujar, “Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkannya.”“Apa seputar utang ratusan jutanya?” Alisha kembali melempar pandangan pada Pearl yang mulai membimbing debu-debu halus ke atas pengki dengan rambut-rambut sapu pada genggaman. Gadis itu terlihat menghela napas berulang-ulang, memunculkan rasa khawatir di hati Alisha secara tiba-tiba.“Kurasa tidak.” Menghela napas, suara bariton itu kembali menyapa rungu Alisha, “Bisakah kau tetap menjaganya sebisamu, Alisha? Aku benar-benar mengkhawatirkannya.”Lepas melepaskan cekalannya pada permukaan kerai—hingga benda itu kemb
“Tak kusangka kita akan berpapasan sesering ini kini,” ujar Kanna antusias, yang mencepol rambut cantiknya itu.Melangkah menyusuri koridor, Pearl tersenyum seraya mengangguk. Tangannya ada pada gagang pel yang masih kering. “Baguslah. Karenamu aku tak kesepian lagi kini.”Kanna tersenyum, selagi Pearl memasukkan pel ke dalam ember berisi pewangi. Keduanya terdiam sesaat, fokus pada pekerjaan mereka: Kanna mengelap kaca dengan kanebo ditangannya, sementara Pearl mengepel lantai koridor.Tak betah keheningan, Kanna membuka bibir kemerahannya. “Kau tahu? Kemarin, Bos besar kita sedang berbahagia, jadi dia membuat suatu pesta di akhir bulan ini. Sayangnya, hanya beberapa orang atau karyawan saja yang bisa hadir di sana.”Kanna memeras kanebo di tangannya, setelah mencelupkannya ke dalam ember yang sama. Ucapan itu sukses mencuri perhatian Pearl yang kini menyimaknya dengan saksama.“Ahh, kuharap aku bisa mencu
āTuan, segala ide yang kau sampaikan memang brilian! Lihat saja, bahkan tokomu masuk dan jadi hastag utama dalam ....ā Lava tak mendengar segala ocehan bawahannya, memalingkan kepala pada kaca jendela tebal di sampingnyaākaca butik miliknya, suatu tanda penghormatan untuk sang Ibunda. Langkah Lava melambat, mengamati satu titik dengan lamat. Di sana, dengan jelas ia melihat sesosok gadis yang memegang satu dasi dengan posisi yang membelakangi. Dasi itu diangkatnya tinggi-tinggi, seolah mengamati segala detail yang terilustrasi. Entah mengapa, tetapi Lava yakin gadis itu tengah tertawa. Setelahnya gadis itu merogoh saku overall-nya, lantas beralih menoleh pada tas mungilnya, kemudian melangkah ke kasir tanpa ayal atau juga terbata-bata. Sorot kesedihan terpancar dalam netra Lava, ketika satu ingatan memaksa masuk ke dalam pikirannya. Menolak untuk mengingat, ia menggeleng berulang lantas mempercepat tarikan langkahnya yang tergesaāmemaksa ora
Selalu sama setiap malamnyaālebih tepatnya empat malam iniāPearl terduduk pada kursi kayu dekat pintu. Menunggu, masih menunggu keajaiban yang ia tunggu. Menunggu sesuatu yang ia mau. Tatapannya kosong, sementara satu tangannya mencekal dompet kulit itu erat-erat. Ia tahu ia licik, ia tahu ini cara yang salah. Namun ia tahu, bila selama soal cinta itu bukan masalah. Ia kira, ketika āmeminjamā dompet itu tanpa sepengetahuan si empunya, maka Lava akan kembali tanpa dipintaājadi ia punya alasan untuk mengenalnya lebih lama. Ia kira ini akan semudah yang ia damba, akan tetapi sebaliknyaāberhubung ini bukan dunia asosiasi apalagi halusinasi. Ting tong! Mendengar suara itu, Pearl cepat-cepat berhamburan ke arah pintu. Membukanya kemudian dengan berbagai bentuk kebahagiaan seperti senyuman. Akan tetapi begitu pintu terbuka lebar, segala rasa itu lenyap seketika. Menyisakan sorotan kecewa pada dua netranya. āKenapa?ā Pearl menggeleng, membuka