Kata-kata legend ketika didalam kelas diantaranya; bosen nih, jam berapa?, gue ngantuk, gue laper, mudah-mudahan guru gak masuk, emang ada ulangan sekarang?, mampus gue belum ngerjain PR, nyontek dong, punya pulpen dua gak?, lo ngerti gak?, gak paham gue, ke toilet yuk. Poin keenam yang saat ini ditanyakan oleh Nadiv ketika lelaki itu baru saja masuk ke kelas. Matanya menatap heran kepada teman-temannya yang sibuk membolak-balik buku. Mereka tampak seperti sedang belajar.
Kemudian ia melihat Rangga dan Didan sedang duduk di bangkunya. Bangku yang sangat strategis. Letaknya di pojok belakang barisan kursi guru. Sangat menguntungkan bagi siswa-siswa yang suka mencontek. Itulah mengapa Nadiv, Didan, dan Rangga memilih bangku itu. Mereka duduk dikursi tiga baris berturut dari belakang.
Nadiv menghampiri Didan dan Rangga. Kemudian ia duduk di bangkunya yang paling belakang.
"Emang ada ulangan sekarang?" tanya Nadiv.
"Makanya jangan kebanyakan ngebucin. Ada ulangan aja lo gak tau. Padahal bu Meta udah ngasih tau kemarin," ucap Didan sedikit sinis.
"Gue cuma butuh jawaban 'iya' atau 'ngga' bukannya ceramah elah," dengus Nadiv.
Didan dan Rangga hanya diam tak menanggapi. Mereka sibuk membaca buku yang ada ditangannya. Bukan membaca, hanya sekedar melihat sekilas. Karena kecil kemungkinan kalau mereka benar-benar belajar.
Tak lama berselang, bel sekolah pun berbunyi. Hal itu membuat seluruh penghuni XI IPS 1 kelabakan. Tidak sampai lima menit, bu Meta sudah masuk ke kelas itu. Tampak ia membawa tumpukan kertas HVS yang di yakini kalau itu kertas ulangan.
"Kumpulkan buku catatan kalian. Ibu mau periksa," pinta bu Meta.
Sontak Nadiv membuka matanya lebar. Ia kaget dengan ucapan bu Meta. Pasalnya baru kali ini guru itu meminta muridnya mengumpulkan buku catatan. Biasanya ketika ulangan, bu Meta akan langsung membagikan kertas. Tidak ada acara mengumpulkan catatan. Tapi kali ini? Nadiv tidak masalah jika ia memiliki catatan. Paling tidaknya dibuku sejarah itu ada tulisan sedikit.
Tapi buku sejarah Nadiv dari pertama masuk kelas sebelas sampai sekarang itu masih bersih. Masih putih tidak ada tulisan apapun selayaknya buku baru. Apalagi lelaki itu tidak pernah membawa pulang bukunya. Iya, Nadiv selalu menyimpan bukunya itu di laci mejanya. Dengan alasan lebih mudah mencarinya ketimbang dirumah.
"Mati gue. Gue gak ada catatan anjing," ucapnya pada Didan, lelaki itu duduk tepat didepan bangku Nadiv.
Didan menoleh, tampak raut wajah Nadiv yang kusut. Tidak masalah jika guru yang ia hadapi ini bu Tini atau pak Bowo. Dua guru itu selalu kalah dengan Nadiv. Tapi ini bu Meta, seluruh Grand Nusa pun tahu reputasi galak yang disandang guru itu.
"Ya mana gue tau lah. Lagian lo kalo disuruh nyatet malah molor," ucap Didan.
Memang benar, Nadiv selalu tidur atau keluar kelas ketika diberi catatan oleh guru. Katanya, ia malas mencatat karena membuat tangan pegal. Kalau tidak mau mencatat kenapa sekolah? Aneh Nadiv.
"Terus gue gimana? Mati gue kalo ketauan gak punya catatan, eh tapi lo berdua juga belum kan? Aman lah, gue ada temen," ucap Nadiv lagi sedikit tenang. Ia yakin kedua temannya juga belum mencatat. Ia ingat kalau kemarin mereka bertiga membolos pelajaran disaat bu Meta tidak masuk.
"Kalo lo nyatet sekarang, gak bakal keburu. Ini banyak soalnya. Sorry, Gue sama Rangga aja sampe jam 2 pagi nyatet ini, karena feeling gue, bu Meta bakal minta catatan. Ternyata bener kan?" ucap Didan lagi.
Ia ingat betul kemarin malam ia dan Rangga sibuk mencatat pelajaran sejarah. Mereka meminjam buku Sindi, siswi unggulan dikelas ini.
"Lo kenapa gak ajak gue bangsat!" desis Nadiv kesal karena dua sahabatnya ini tidak mengajaknya.
"Ya lo sibuk ngebucin, njing!" balas Didan tak kalah kesal.
"Tunggu apalagi? Ayo kumpulkan catatan kalian. Awas aja ya kalau kalian tidak mencatat pelajaran saya," ucap bu Meta menyipitkan matanya.
Semua siswa bergegas ke depan untuk mengumpulkan catatan. Termasuk Rangga dan Didan. Sedangkan Nadiv, lelaki itu masih diam di bangkunya. Bingung harus melakukan apa.
Bu Meta menghitung jumlah buku yang ada di mejanya. Matanya menyipit.
"Ada yang gak masuk?" tanya bu Meta.
"Masuk semua bu," jawab Ina, sekretaris IPS 1.
"Kenapa kurang satu bukunya? Siapa yang belum mengumpulkan?" tanya bu Meta lengkap dengan tatapan tajamnya.
"Saya bu!" ucap Nadiv lalu mengambil bukunya di laci.
Ia sudah pasrah kalau memang harus dihukum. Toh, mau bagaimana lagi? Lagian ia juga sudah biasa di hukum. Jadi ini bukan lagi hal yang sulit untuknya.
Nadiv melangkahkan ke depan lalu menaruh bukunya ditumpukan paling atas. Kemudian ia kembali lagi ke bangkunya. Didan dan Rangga sempat menatap Nadiv, namun lelaki itu hanya menaikkan kedua alisnya.
Bu Meta pun langsung membagikan kertas ujiannya.
"Jangan ada yang mencontek. Kerjakan sendiri-sendiri," ucap bu Meta.
Perintah yang sangat sering didengar oleh seorang pelajar. Percuma guru mengatakan hal tersebut karena pada akhirnya siswa akan tetap mencontek. Toh, yang guru mau itu nilai tinggi bukan?
Bu Meta kembali duduk dan mulai memeriksa buku catatan milik muridnya. Nadiv dapat melihat bukunya yang mulai di ambil oleh bu Meta. Bu Meta membuka lembaran buku bersampul biru itu. Nadiv menunduk, ia sedang bersiap diri untuk mendengar ceramahan panjang dan berakhir dengan hukuman.
"Nadiv!" panggil bu Meta.
Oke, siap-siap
Nadiv menegakkan kepalanya. Menatap bu Meta.
"Iya bu?" sahutnya.
"Catatan kamu lengkap, tulisannya juga rapi. Nilai A buat kamu, pertahankan Div. Sepertinya kamu sudah mulai berubah," ucap bu Meta sambil tersenyum.
Hah? Lengkap? Gue gak salah denger?
Berbeda dengan penghuni kelas lainnya. Mereka kompak menatap Nadiv tak percaya. Didan dan Rangga bahkan langsung memutar kepalanya ke belakang. Mereka tidak salah dengar? Nadiv memiliki catatan lengkap? Itu seperti terdengar aneh.
Sedangkan Nadiv, lelaki itu sedang dilanda kebingungan. Keningnya mengernyit. Catatannya lengkap? Seingatnya, ia tak pernah menulis apapun di buku itu. Jangankan menulis, membukanya saja Nadiv tidak pernah. Lalu bagaimana bisa ada catatannya disana? Lengkap pula.
Rangga mengangkat tangannya lalu menepukkan kedua tangannya. Di sambung oleh yang lainnya. Mereka turut bertepuk tangan sambil menatap Nadiv tak percaya.
"Ini namanya rekor bu, Nadiv gak pernah punya catatan selengkap itu," ucap Trisna, ketua kelas yang sengklek.
Kadang membuat guru yang masuk ke kelas ini heran. Trisna, murid sengklek tidak beda jauh dari Nadiv itu bisa jadi ketua kelas. Kan masih ada Toni, murid teladan di kelas ini yang bisa dijadikan ketua kelas.
"Maka dari itu dipertahankan. Kalau perlu tingkatkan lagi Div," ucap bu Meta.
Nadiv hanya mengangguk sambil tersenyum kikuk. Namun otaknya masih berfikir, siapa orang yang sudah menuliskan catatan untuknya.
Setelah berselang lama, bel istirahat kedua berbunyi. Semua murid bergegas mengumpulkan kertas ujiannya kepada bu Meta.
"Gak paham gue, sumpah," keluh Didan sambil menyenderkan punggungnya di tembok, duduknya menyamping.
"Gue malah silangnya urutan, A B C D gitu sampe selesai," sahut Rangga.
"Eh gila lo," ucap Didan terkejut.
"Kali aja hoki," ucap Rangga.
"Gue malah A semua," ucap Nadiv sambil tersenyum miring.
"Kerad anjing!" umpat Rangga sambil tertawa mendengar ucapan Nadiv.
"Nih buku kalian," ucap Ina sambil memberikan tiga buku kepada Rangga.
Nadiv langsung mengambil bukunya dari tangan Rangga.
"Gue kepo siapa orang yang udah nulisin gue," ucapnya sambil membuka bukunya.
Di tatapnya intens tulisan yang ada dibukunya. Tulisannya kecil, rapi, dan tidak banyak coretan. Mulus. Tapi ini bukan tulisan Adelia, gadis yang tadi diduganya telah menuliskan catatan untuknya. Tulisan Adelia tidak serapi ini. Nadiv tahu itu.
"Ini bukan tulisan Adelia, " ucap Nadiv membuat kedua sahabatnya kompak menatapnya.
"Coba gue liat," ucap Didan merebut buku Nadiv.
Ia menatap lama tulisan itu. Kemudian matanya membulat. Ia tahu siapa pemilik tulisan dengan model seperti itu.
"Gue tau," ucap Didan.
"Siapa?," tanya Nadiv dan Rangga bersamaan.
"Rallin Natasha!"
***
Rallin dan Maudi berjalan menuju ruang studio bandnya. Rallin memang memegang kuasa atas studio itu. Apalagi dia anak band sekolah. Ia adalah vokalisnya. Sedangkan Maudi, gadis itu lebih tertarik untuk ikut marching band. Dan beruntungnya gadis itu yang ditunjuk sebagai mayoretnya.Rallin masuk, disana sudah ada Bagas, Reza, dan juga Gandi. Mereka adalah anggota band sekolah juga. Rallin memangku gitar yang dibawanya. Memang sudah kebiasaan rutin setiap istirahat kedua, mereka kumpul disini.
Tampak Gandi sedang memainkan gitarnya. Tidak tahu lagu apa, tapi yang jelas nadanya lembut dan enak didengar.
"Jangan genjreng-genjreng doang dong. Suaranya mana nih," ucap Bagas.
"Vokalisnya dong nyumbang suara," ucap Reza.
"Lo semua udah sering denger suara gue," ucap Rallin sambil tersenyum.
"Senyum lo manis Lin, sumpah. Kenapa sih gak ngejar gue aja daripada Nadiv," ucap Gandi.
Bukan rahasia lagi kalau Gandi juga menyukai Rallin, hanya saja Rallin tidak pernah meresponnya. Ia hanya menganggap Gandi sebagai teman. Tidak lebih.
"Gue udah kepincut sama Nadiv, gimana dong?" ucap Rallin sambil terkekeh pelan. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di sandaran sofa. Memejamkan mata. Jujur, saat ini ia mengantuk sekali karena harus begadang tadi malam.
"Anda belum beruntung. Silahkan coba lagi," ucap Reza sambil menepuk bahu Gandi.
"Lo kira Ale-Ale," sahut Bagas yang membuat semuanya tertawa.
"Gue mah sama Maudi aja, iya gak Di?" ucap Bagas sambil menaik turunkan kedua alisnya.
"Masa mayoret cantik kayak gue dapetnya pengeran kodok?," seloroh Maudi.
"Pangeran kodok kalo di cium jadi pangeran ganteng Di. Coba deh lo cium gue, kali aja gue jadi ganteng," ucap Bagas lagi.
Sebenarnya Bagas ini tampan. Lengkap dengan kulit hitam manisnya khas orang jawa. Di tambah dengan dua lesung pipi yang membuatnya terlihat mirip dengan artis Ryan Delon.
"Modus lo basi njing!" umpat Reza sambil menonyor kepala Bagas.
Semua tertawa, sampai akhirnya sebuah suara menginterupsi Rallin.
"Rallin?"
Seorang lelaki berusia 20 tahun menatap wanita paruh baya dari kaca tembus pandang. Tatapannya terlihat datar.“Setiap malam dia menangis. Setiap aku mengantarkan makanan, dia selalu mengira aku putrinya,” ujar seorang gadis berpakaian perawat membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya.“Apa kau kenal dengan putrinya? Apa kau bisa membawakan putrinya kemari?” tanya perawat.Lelaki itu tersenyum getir. “Putrinya sudah meninggal. Membuat dia hidup penuh dengan penyesalan,” jawab lelaki itu.Perawat hanya diam saja. Merasa tidak enak karena telah menanyakan hal itu. Lalu perawat itupun pamit permisi, meninggalkan lelaki itu sendiri.Lelaki itu berjalan pergi meninggalkan ruangan. Tangannya merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang sudah usang. Ia membuka kertas itu dan kembali membaca isinya yang hampir tiap malam ia baca tanpa bosan.“Teruntuk kamu, aku selalu mencintai kamu samp
“Nyokap gue bukan pelakor,”tekan lelaki di depan Henggar dengan matanya yang menyorot tajam.“Sudah, biar saya jelaskan,” lerai wanita itu dengan lembut.Kemudian tatapannya beralih ke Henggar. Wanita itu menatap sendu ke arah Henggar. “Saya tidak pernah merebut Papa kamu dari Mama kamu. Tapi Mama kamu yang telah merebut mas Herman dari saya,” terang wanita itu.Henggar menggeleng tak percaya. “Saya tidak percaya!”“Kamu bisa tahu saya, pasti kamu punya kalung berliontin hati, kan? Di dalamnya ada foto saya dan mas Herman,” ujar wanita itu.Henggar langsung bungkam. Benar yang dikatakan wanita itu, ia bisa tahu wanita itu karena dari liontin. Wanita itu tampak mengulas senyum tipis kemudian ia menepuk bahu Henggar.“Saya adalah istri pertama mas Herman tapi Mama kamu tidak pernah tahu tentang ini. Kenapa? Karena hubungan saya dan mas Herman tidak mendapat restu dari kedu
Seorang wanita dengan pakaian yang tampak glamour serta elegan itu tengah berada di sebuah studio foto. Sepertinya tengah melakukan photoshoot. Wanita itu terlihat sedang berjalan menuju ruang make up.“Ibu masih saja awet muda. Padahal sudah punya anak tiga,” puji seorang gadis yang berada di belakangnya. Sepertinya tengah membenarkan rambut yang berantakan.Wanita itu tersenyum tipis. Matanya menatap ke arah cermin yang ada di depannya. “Anakku hanya dua,” ujarnya tegas seolah tanpa beban.Gadis di belakangnya itu mengernyit. “Oh, iya? Bukankah ada tiga? Yang satu lagi perempuan?” tanya gadis itu lagi.“Hanya dua dan semuanya laki-laki. Satu anak lelakiku sudah meninggal,” tegas wanita itu lagi.Gadis hanya tersenyum simpul. Tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Kemudian ia kembali membenahi tatanan rambut milik wanita di depannya itu.“Pemirsa, sebuah fakta mengejutkan terungkap dari sal
Tidak ada yang baik-baik saja jika berada di posisi Henggar. Lelaki itu tampak putus asa. Ia bahkan berulang kali menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Rallin dengan baik. Adiknya yang begitu ia sayangi, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan belum sadarkan diri. Ia tidak tahu apa yang membuat adiknya drop seperti itu.“Kemarin dia masih baik-baik aja, Di.” Henggar berkata lirih. Tatapan lelaki itu tampak kosong. Seperti tidak ada gairah hidup di dalam tatapannya.Maudi yang setia menemani Henggar pun ikut merasakan kehampaan lelaki itu. Ia juga merasa sangat terpukul. Terlebih lagi Rallin adalah sahabat satu-satunya yang mampu mengerti dirinya bahkan lebih dari siapapun termasuk orang tuanya. Melihat Rallin lemah tak berdaya membuat relung hatinya berdenyut sakit.“Doain aja yang terbaik buat dia, Gar. Gue bahkan ngerasa orang paling bodoh karena sahabat gue sakit aja gue nggak tau,” ujar Maudi miris.K
Dalam hidupnya, Henggar tidak pernah berfikir akan mengalami hal seburuk ini. Kehilangan saudara kembar dengan cara yang tragis menyisakan trauma yang dalam untuknya. Terjadinya perpecahan di dalam keluarganya, membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih dingin dan tertutup.Menjadi pribadi yang dingin, membuat Henggar tidak pernah merasa takut dengan apapun. Ia merasa, hatinya sudah mati. Namun untuk kedua kalinya, rasa takut yang begitu hebat kembali menyerang ulu hatinya.Derap langkah kaki yang begitu cepat seperti tengah berlari, membuat para pengunjung rumah sakit menatapnya dengan heran. Pandangan lelaki itu tampak mengabur karena buliran kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak peduli dengan tatapan yang tertuju padanya. Pikirannya sekarang hanya terfokus pada adiknya, Rallin.Detak jantung Henggar mendadak terhenti saat tadi mendapati pesan dari Maudi yang mengabarkan kalau Rallin tiba-tiba mimisan lalu pingsan. Maudi juga memberitahu ruma
“Gila lo? Demi apa, anjir?!”Rallin menutup telinganya dengan kedua tangan. Meredam suara Maudi yang begitu melengking memekakkan telinga. Raut wajah Maudi tampak begitu terkejut setelah Rallin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi. Tepat saat Arden menyatakan perasaannya pada Rallin.Jangankan Maudi, Rallin saja sangat terkejut bahkan gadis itu tidak bisa berkata apa-apa tadi. Setelah pulang dari rumah sakit, Rallin meminta Sendi untuk mengantarkannya ke rumah Maudi. Pasalnya gadis itu tidak sedang ada di apartemen. Toh, Rallin juga enggan pergi ke apartemen Maudi yang berdekatan dengan apartemen milik Nadiv.Entahlah, Rallin rasanya sudah mati rasa dengan lelaki yang sampai saat ini masih merajai hatinya. Perlakuan serta sikap lelaki itu seolah meminta Rallin untuk pergi dari sisinya. Rallin tersenyum getir, lalu untuk apa kemarin Nadiv melontarkan janji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi kalau pada akhirnya akan terus terulang seperti in