Share

Bab. 3

Penulis: Sellova96
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-23 10:19:55

"Ralin?"

Bukan hanya Rallin, namun semua orang yang ada didalam studio pun menolehkan kepalanya ke arah pintu. Disana, berdiri Didan dengan tampang polos. Cengiran lebar menghiasi bibirnya. Sepertinya ia salah waktu karena sudah mengganggu Rallin dan temannya.

Rallin menegakkan tubuhnya dan meletakkan gitarnya di sofa dan berjalan keluar menghampiri Didan.

"Apaan Dan?" tanya Rallin.

Didan tersenyum kikuk. Kepalanya melongok ke dalam pintu. "Gue pinjem Rallin bentar ya?" izinnya pada penghuni studio.

Gandi mengangguk seolah memberi izin. "Bawa aja. Asal di balikin," ucapnya.

Rallin memberengut kesal mendengar ucapan Gandi. "Lo pikir gue barang!" kesalnya.

Setelah itu Didan menarik tangannya pelan. Lelaki itu membawa Rallin menuju taman belakang sekolah. Taman yang sangat jarang di kunjungi. Padahal kalau dilihat, taman ini suasananya sangat tenang. Cocok untuk mereka yang biasanya memiliki beban pikiran dan butuh tempat menenangkan diri.

Rallin duduk dibangku kayu yang dibentuk panjang. Disusul Didan yang duduk disampingnya.

"Kenapa?" tanya Rallin. Tangannya bergerak merapikan anak rambutnya yang berantakan karena tertiup angin.

Didan menoleh. Menatap Rallin sebentar kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke depan. "Lo yang nulisin catatan sejarah Nadiv?" tanyanya langsung.

Rallin terdiam. Apa yang ditanyakan Didan itu memang benar ada. "Menurut lo, mungkin gak kalo gue biarin moodbooster gue dihukum sama macan liar?" tanyanya balik.

Didan menganggukkan kepalanya. Dia cukup salut dengan Rallin. Gadis itu memang gigih dalam memperjuangkan cintanya. Dia benar-benar tulus mencintai sahabatnya. Didan bahkan sampai geram sendiri dengan Nadiv. Lelaki itu terlalu menutup mata sampai ia tak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang tidak.

Bahkan Rallin sampai rela membuatkan catatan untuk Nadiv hanya karena dia tidak mau Nadiv dihukum. Kalau saja Didan yang diperjuangkan oleh Rallin, ia tak akan menyia-nyiakan gadis itu. Kapan lagi bisa mendapatkan gadis sesempurna Rallin?

"Gimana bisa lo tau kalo kelas gue ada ulangan?" tanya Didan sambil menatap Rallin dari samping.

Tampak gadis itu menarik kedua ujung bibirnya. "Apapun tentang Nadiv gue tau," ucapnya sombong kemudian menatap Didan. Pikirannya menerawang ke kejadian kemarin, saat ia hendak pulang sekolah.

Rallin berjalan menyusuri koridor sekolah. Melewati kelas-kelas yang pintunya mulai ditutup oleh satpam. Mengingat jam pulang sekolah sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Ia juga terlambat pulang karena ada urusan dengan salah satu guru. Sedangkan Maudi, gadis itu memilih pulang duluan karena di jemput ayahnya.

Sekolah belum benar-benar sepi. Masih ada beberapa siswa yang tampak berkeliaran di lapangan sekolah. Sepertinya mereka adalah anggota basket. Dilihat dari kostumnya. Ah iya! Dia baru ingat kalau sekarang hari rabu. Hari rabu adalah jadwal ekstrakurikuler basket. Dan kebanyakan anak basket itu berasal dari kelas XI IPS 1. Kelas Nadiv.

Rallin melihat Sendi. Dia adalah teman sekelas Nadiv dan Rallin cukup akrab dengan lelaki itu. Mengingat rumah mereka bersebelahan.

Rallin berjalan mendekat. Menghampiri Sendi yang sedang duduk di pinggir lapangan. Kakinya di luruskan. Keringat tampak mengucur di pelipis lelaki itu. Nafasnya juga terlihat memburu. Mungkin lelaki itu habis melakukan pemanasan dengan bola orange itu.

Rallin menepuk bahu Sendi keras. "Woi!" teriaknya tepat di telinga Sendi.

Sendi terlonjak kaget. Dia menatap tajam Rallin yang sudah memasang cengiran tanpa dosa. "Ngagetin aja sih!" gerutu Sendi.

Rallin terkekeh kemudian duduk disamping Sendi. Kakinya ikut diluruskan. Tangannya diletakkan ke belakang. Guna menyangga tubuhnya.

"Kenapa belum pulang? Mau nebeng?" tanya Sendi.

Rallin menggelengkan kepalanya. "Nggak. Gue bawa mobil kok," ucapnya.

"Besok ada ulangan dikelas gue. Materinya banyak lagi. Terus ntah kenapa gue ngerasa kayak dikasih wangsit," ucap Sendi menatap lurus ke depan.

Rallin diam. Dia menatap Sendi cengo. "Wangsit apaan?" tanyanya.

"Ya semacam pencerahan kalo besok bu Meta bakal minta ngumpulin catatannya," jawab Sendi.

Rallin menganggukkan kepalanya. Ia paham. Sendi tiba-tiba bangkit. Dia membersihkan tanah yang menempel di celananya.

"Gue kesana dulu. Lo balik sana. Udah sore," pinta Sendi sambil menepuk kepala Rallin kemudian pergi ke tengah lapangan. Berkumpul dengan teman anggotanya yang lain.

Rallin tersenyum menatap Sendi. Begitulah Sendi. Dia sudah seperti kakaknya sendiri. Sendi itu sudah seperti penjaganya disekolah. Dia itu sebelas dua belas dengan Nadiv. Sama-sama nakal dan urakan. Tapi Rallin senang bisa dekat dengan Sendi. Dia lelaki yang penyayang.

Rallin kemudian berjalan. Bukan ke arah parkiran tapi ia berbalik arah ke kelas Nadiv. Harapannya kelas itu belum dikunci oleh satpam. Dan benar saja, saat Rallin tiba disana, tampak satpam sedang memasangkan gembok di pintu.

"Pak! Pak!" teriak Rallin.

Satpam itu menoleh. Kemudian menatap Rallin yang berlari ke arahnya.

"Loh neng Tasha? Belum pulang?" tanya satpam yang bernama pak Juri itu.

Rallin terkekeh. Sejak ia masuk kelas sepuluh, pak Juri sudah memanggilnya Tasha. Saat Rallin bertanya alasannya, pak Juri dengan polosnya menjawab kalau nama Tasha lebih terlihat manis daripada Rallin. Pada saat itu Rallin hanya tersenyum menanggapinya.

"Mau ngambil buku temen pak," jawab Rallin.

Pak Juri kemudian membuka kembali pintu kelas itu. "Yaudah neng, silahkan ambil," ucap pak Juri.

Dengan segera Rallin melangkah masuk. Ia menuju bangku paling belakang dekat dinding. Ia sudah hafal betul kalau Nadiv tidak pernah membawa pulang bukunya. Maka dari itu ia langsung menilik laci meja lelaki itu. Dan benar saja. Disana banyak buku bertumpukan. Rallin yakin kalau semua buku pelajaran Nadiv disimpan disini.

Rallin mengambil semua buku yang ada di laci. Kemudian ia letakkan diatas meja. Matanya mencari tulisan buku sejarah pada sampul depan. Kemudian ia tersenyum mendapatkan apa yang ia cari. Buku dengan sampul biru bertuliskan 'Sejarah'. Rallin kemudian menata dan mengembalikan semua buku Nadiv ke dalam laci.

Ia melangkah keluar kelas sebelumnya ia memasukkan buku Nadiv ke dalam tas bermotif volkadot. Ia menyapa pak Juri kemudian berjalan ke parkiran dan pulang.

Saat malamnya, ia langsung menyalin catatan ke buku Nadiv. Rallin sampai menggelengkan kepalanya melihat betapa bersihnya buku Nadiv. Bahkan lembaran kertasnya saja masih lengket satu sama lain. Itu berarti Nadiv tidak pernah membuka buku ini.

Tak terasa jam sudah menunjukkan satu dini hari. Rallin menghela nafas sambil meregangkan jari-jarinya yang terasa pegal. Matanya sudah sangat sayu tanda ia mengantuk berat. Namun hatinya terus memberi semangat agar bisa menyelesaikan tugasnya. Ia tak mau kalau Nadiv dihukum oleh bu Meta. Ia tahu, guru itu tidak pernah main-main jika memberi hukuman.

Rallin tersenyum senang karena berhasil menyelesaikan tugasnya tepat pukul setengah tiga. Ia segera memasukkan buku Nadiv agar tidak ketinggalan. Sebelumnya ia tersenyum. Setidaknya beginilah cara dia mencintai Nadiv. Tidak akan membiarkan lelaki itu kesusahan selagi ia mampu. Ya walaupun nantinya catatan itu ntah benar dikumpulkan atau tidak, Rallin tidak masalah. Setidaknya untuk berjaga-jaga dan ia yakin pastinya catatan ini akan berguna untuk Nadiv.

Rallin merebahkan tubuhnya ke kasur berseprei gambar wajahnya. Sprei itu dulu hadiah dari ayahnya semasa ia ulang tahun. Perlahan gadis berambut panjang dengan sentuhan warna ungu di ujungnya itu menutup matanya. Semakin lelap membawanya ke alam bawah sadar.

"Woi!" teriak Didan tepat di depan wajah Rallin. Rallin terlonjak kaget dan menatap horor Didan.

"Apaan sih!" kesalnya kemudian mengusap wajahnya kasar. Bukannya apa, hanya saja air liur Didan ada yang muncrat ke wajahnya saat lelaki itu meneriakinya.

"Malah ngelamun lo. Cerita elah. Gue kepo nih," pinta Didan sambil menggoyangkan lengan Rallin. Rallin menepisnya kemudian bangkit dari duduknya.

"Ogah. Dah ah gue mau ke kelas. Bye!" Ucap Rallin sambil mengibaskan rambut ungunya itu ke wajah Didan. Kemudian ia berjalan menuju kelasnya.

"Kampret!" umpat Didan.

***

Bel pulang berbunyi nyaring. Seluruh siswa Grand Nusa bersorak senang dalam hati karena terbebas dari pelajaran yang membosankan. Apalagi jika diberi tugas, dan biasanya tugas yang belum terselesaikan akan dilanjutkan dirumah. Dan itu merupakan kebahagiaan tersendiri bagi para murid. Selain bisa mencontek, mereka juga bisa mencari jawabannya lewat internet.

Hari ini Rallin tidak membawa mobilnya. Ia sengaja, karena niatnya ingin meminta Nadiv mengantarnya. Rallin memasukkan bukunya ke dalam tas ranselnya. Kemudian menyatukan rambutnya yang tergerai menjadi satu. Dan menggulungnya ke atas lalu di kunci dengan jepitan rambut. Ia mengibaskan tangannya membuat angin mengeringkan lehernya yang berkeringat. Akhir-akhir ini, suhu di kotanya memang sedang naik.

"Panas anjir," ucapnya. Kemudian menyampirkan tasnya ke pundak.

"Pulang sama siapa?" tanya Maudi sambil memasang jepit rambut sama seperti Rallin.

"Pangeran dong. Dah ah, gue duluan. Bye!" Rallin langsung melangkah keluar meninggalkan Maudi.

Maudi hanya menggelengkan kepala lalu mengejar Rallin. Ia menyamakan langkahnya dengan langkah Rallin.

"Pulang sama gue aja lah. Ayah jemput tuh," ucap Maudi sambil menunjuk ke arah gerbang.

Rallin mengikuti arah pandang Maudi. Disana ada Hermawan, ayah Maudi. Rallin tersenyum saat Hermawan melambaikan tangan ke arahnya. Kemudian ia kembali menatap Maudi.

"Nggak deh. Kan gue udah bilang mau balik sama pangeran," tolak Rallin.

Maudi menghela nafas. "Yaudah, gue duluan ya," pamit Maudi sambil menarik pelan ujung rambut Rallin kemudian berlari.

"Aduh! Kampret lo!" teriak Rallin yang hanya ditanggapi kekehan oleh Maudi.

Rallin kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas Nadiv. Tampak didepan kelas ada Didan dan Rangga. Rallin berjalan riang menghampiri duo kampret itu.

"Woi!" teriak Rallin sambil merangkul bahu Rangga dan Didan.

"Eh bocah, ngapain disini?" tanya Rangga sambil menonyor kepala Rallin.

Gadis itu mendengus kesal karena tatanan rambutnya sedikit berantakan. Padahal tadi sudah ia sisir rapi. Prinsipnya kalau mau ketemu Nadiv harus tampil cantik. Sudah cantik saja tidak dilirik apalagi kalau ia dekil? Dan sekarang rambut rusak karena Maudi dan Rangga. Menyebalkan.

"Mau balik. Nebeng Nadiv. Dia mana? Masih dikelas ya?" tanya Rallin hendak melongokkan kepalanya ke pintu. Namun buru-buru tasnya ditarik oleh Didan sehingga ia belum sempat melihat kelas Nadiv.

"Apaan sih?" tanya Rallin kemudian kembali melongokkan kepalanya. Namun lagi-lagi tasnya di tarik. Kali ini oleh Rangga.

"Kampret lo berdua. Apaan sih?" tanya Rallin kesal karena dua orang ini menghalanginya.

Rangga tersenyum lebar kemudian merangkul bahu Rallin. Membawanya berjalan. "Nadiv udah balik. Mending lo pulang sama gue," ucap Rangga.

Rallin mengernyit. Nadiv sudah pulang? Ia sedikit tidak yakin. Karena biasanya lelaki itu akan pulang paling terakhir. Rallin menepis pelan tangan Rangga. Kemudian menatap Rangga dan Didan dengan tatapan mengintimidasi.

"Bohong lo ya?" tuduhnya sambil menyipitkan matanya.

"Gak bohong elah," ucap Didan "Udah yok ah," lanjutnya sambil menarik tangan Rallin namun segera di tepis oleh Rallin.

Gadis berombre ungu itu berlari masuk ke dalam kelas Nadiv. Sampainya di ambang pintu dia terdiam. Matanya memanas. Dadanya sesak. Entah kenapa ia merasa pasokan oksigen disini sangat menipis. Hatinya nyeri melihat pemandangan didepannya. Rasanya sakit. Lidahnya kelu hanya untuk sekedar mengucap.

Disana, Nadiv tidak sendiri. Melakukan hal gila yang membuat Rallin harus kembali merasakan sakit untuk kesekian kalinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
sama Sendi bisa gak sih? plot twist
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Can You See Me?   Epilog

    Seorang lelaki berusia 20 tahun menatap wanita paruh baya dari kaca tembus pandang. Tatapannya terlihat datar.“Setiap malam dia menangis. Setiap aku mengantarkan makanan, dia selalu mengira aku putrinya,” ujar seorang gadis berpakaian perawat membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya.“Apa kau kenal dengan putrinya? Apa kau bisa membawakan putrinya kemari?” tanya perawat.Lelaki itu tersenyum getir. “Putrinya sudah meninggal. Membuat dia hidup penuh dengan penyesalan,” jawab lelaki itu.Perawat hanya diam saja. Merasa tidak enak karena telah menanyakan hal itu. Lalu perawat itupun pamit permisi, meninggalkan lelaki itu sendiri.Lelaki itu berjalan pergi meninggalkan ruangan. Tangannya merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang sudah usang. Ia membuka kertas itu dan kembali membaca isinya yang hampir tiap malam ia baca tanpa bosan.“Teruntuk kamu, aku selalu mencintai kamu samp

  • Can You See Me?   Bab. 90

    “Nyokap gue bukan pelakor,”tekan lelaki di depan Henggar dengan matanya yang menyorot tajam.“Sudah, biar saya jelaskan,” lerai wanita itu dengan lembut.Kemudian tatapannya beralih ke Henggar. Wanita itu menatap sendu ke arah Henggar. “Saya tidak pernah merebut Papa kamu dari Mama kamu. Tapi Mama kamu yang telah merebut mas Herman dari saya,” terang wanita itu.Henggar menggeleng tak percaya. “Saya tidak percaya!”“Kamu bisa tahu saya, pasti kamu punya kalung berliontin hati, kan? Di dalamnya ada foto saya dan mas Herman,” ujar wanita itu.Henggar langsung bungkam. Benar yang dikatakan wanita itu, ia bisa tahu wanita itu karena dari liontin. Wanita itu tampak mengulas senyum tipis kemudian ia menepuk bahu Henggar.“Saya adalah istri pertama mas Herman tapi Mama kamu tidak pernah tahu tentang ini. Kenapa? Karena hubungan saya dan mas Herman tidak mendapat restu dari kedu

  • Can You See Me?   Bab. 89

    Seorang wanita dengan pakaian yang tampak glamour serta elegan itu tengah berada di sebuah studio foto. Sepertinya tengah melakukan photoshoot. Wanita itu terlihat sedang berjalan menuju ruang make up.“Ibu masih saja awet muda. Padahal sudah punya anak tiga,” puji seorang gadis yang berada di belakangnya. Sepertinya tengah membenarkan rambut yang berantakan.Wanita itu tersenyum tipis. Matanya menatap ke arah cermin yang ada di depannya. “Anakku hanya dua,” ujarnya tegas seolah tanpa beban.Gadis di belakangnya itu mengernyit. “Oh, iya? Bukankah ada tiga? Yang satu lagi perempuan?” tanya gadis itu lagi.“Hanya dua dan semuanya laki-laki. Satu anak lelakiku sudah meninggal,” tegas wanita itu lagi.Gadis hanya tersenyum simpul. Tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Kemudian ia kembali membenahi tatanan rambut milik wanita di depannya itu.“Pemirsa, sebuah fakta mengejutkan terungkap dari sal

  • Can You See Me?   Bab. 88

    Tidak ada yang baik-baik saja jika berada di posisi Henggar. Lelaki itu tampak putus asa. Ia bahkan berulang kali menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga Rallin dengan baik. Adiknya yang begitu ia sayangi, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan keadaan belum sadarkan diri. Ia tidak tahu apa yang membuat adiknya drop seperti itu.“Kemarin dia masih baik-baik aja, Di.” Henggar berkata lirih. Tatapan lelaki itu tampak kosong. Seperti tidak ada gairah hidup di dalam tatapannya.Maudi yang setia menemani Henggar pun ikut merasakan kehampaan lelaki itu. Ia juga merasa sangat terpukul. Terlebih lagi Rallin adalah sahabat satu-satunya yang mampu mengerti dirinya bahkan lebih dari siapapun termasuk orang tuanya. Melihat Rallin lemah tak berdaya membuat relung hatinya berdenyut sakit.“Doain aja yang terbaik buat dia, Gar. Gue bahkan ngerasa orang paling bodoh karena sahabat gue sakit aja gue nggak tau,” ujar Maudi miris.K

  • Can You See Me?   Bab. 87

    Dalam hidupnya, Henggar tidak pernah berfikir akan mengalami hal seburuk ini. Kehilangan saudara kembar dengan cara yang tragis menyisakan trauma yang dalam untuknya. Terjadinya perpecahan di dalam keluarganya, membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih dingin dan tertutup.Menjadi pribadi yang dingin, membuat Henggar tidak pernah merasa takut dengan apapun. Ia merasa, hatinya sudah mati. Namun untuk kedua kalinya, rasa takut yang begitu hebat kembali menyerang ulu hatinya.Derap langkah kaki yang begitu cepat seperti tengah berlari, membuat para pengunjung rumah sakit menatapnya dengan heran. Pandangan lelaki itu tampak mengabur karena buliran kristal mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak peduli dengan tatapan yang tertuju padanya. Pikirannya sekarang hanya terfokus pada adiknya, Rallin.Detak jantung Henggar mendadak terhenti saat tadi mendapati pesan dari Maudi yang mengabarkan kalau Rallin tiba-tiba mimisan lalu pingsan. Maudi juga memberitahu ruma

  • Can You See Me?   Bab. 86

    “Gila lo? Demi apa, anjir?!”Rallin menutup telinganya dengan kedua tangan. Meredam suara Maudi yang begitu melengking memekakkan telinga. Raut wajah Maudi tampak begitu terkejut setelah Rallin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi. Tepat saat Arden menyatakan perasaannya pada Rallin.Jangankan Maudi, Rallin saja sangat terkejut bahkan gadis itu tidak bisa berkata apa-apa tadi. Setelah pulang dari rumah sakit, Rallin meminta Sendi untuk mengantarkannya ke rumah Maudi. Pasalnya gadis itu tidak sedang ada di apartemen. Toh, Rallin juga enggan pergi ke apartemen Maudi yang berdekatan dengan apartemen milik Nadiv.Entahlah, Rallin rasanya sudah mati rasa dengan lelaki yang sampai saat ini masih merajai hatinya. Perlakuan serta sikap lelaki itu seolah meminta Rallin untuk pergi dari sisinya. Rallin tersenyum getir, lalu untuk apa kemarin Nadiv melontarkan janji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi kalau pada akhirnya akan terus terulang seperti in

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status