Hari yang buruk. Begitulah Rallin mengatakannya. Seharusnya hari ini menjadi hari yang menyenangkan karena bisa menghabiskan waktu bersama Nadiv. Tapi ada saja pengganggunya.
Huft!
Gadis itu menghela nafasnya pelan. Ia sudah sampai apartemen sejak 30 menit yang lalu dan tidak mendapati Henggar di sini. Kemana lelaki itu? Biasanya Henggar akan memberitahunya kalau ia ingin berpergian. Tapi ini tidak sama sekali. Membuat Rallin kelimpungan sendiri. Bahkan ponsel lelaki itu tidak aktif sama sekali saat ia mencoba menghubunginya. Ia pun mencoba menghubungi seseorang.
"Hallo, Dan. Lo lagi sama Henggar nggak?" Tanya Rallin.
Terdengar suara tawa di seberang sana. "Udah punya Nadiv masih aja nanyain Henggar. Gue nggak sama dia, Lin."
Rallin mencebik. Didan belum tahu saja kalau Hengggar itu kakaknya. "oh, yaudah. Thanks, ya." Kemudian Rallin pun menutup teleponnya.
Pikirannya menerawang, menebak dimana lelaki itu berada. Biasanya tempat yang sering
Rallin tersentak karena kaget. Bahkan buku yang dipegangnya pun terjatuh. Matanya membola melihat keberadaan Herman yang sudah menatapnya seperti singa lapar. Aura kemarahan menguar jelas dari wajah lelaki itu.Tangan Rallin bergetar hebat saat Herman mulai berjalan menghampirinya. Ia perlahan bangkit dari duduknya.“Pa…” lirihnya.Plak!Wajah Rallin tertoleh ke samping saat tangan besar Herman mendarat dengan sempurna di pipinya. Meninggalkan bekas kemerahan di sana. Rasa panas menjalar dengan cepat. Membuat Rallin harus memejamkan matanya menahan rasa sakit. Bulir Kristal di matanya sudah lolos begitu saja.“Lancang! Siapa yang mengizinkan kamu masuk ke kamar ini?!” Bentak Herman membuat Rallin terlonjak kaget.“Maaf, Pa. Aku cuma kangen sama kak Rehan,” cicit Rallin. Kepalanya tertunduk tak berani menatap langsung mata Herman.“Saya sudah pernah bilang tidak ada yang boleh masu
Rallin berjalan tertatih sambil dituntun oleh Sendi. Tangannya mencengkeram erat tangan Sendi yang merengkuh pinggangnya. Sesekali ia meringis kecil karena menahan sakit. Tak tega melihat Rallin yang kesakitan, Sendi memutuskan untuk menggendong gadis itu.“Eh?” Rallin terperanjat. Tangannya langsung melingkar di leher Sendi.Sendi menunduk, memperhatikan wajah Rallin.”Nggak tega gue liat lo kesakitan,” ujarnya.Seharusnya tadi Sendi membawa gadis itu ke rumah sakit untuk mengobati lukanya. Namun gadis itu menolak dengan alasan ia tidak apa-apa dan luka itu akan segera sembuh. Tak mau memaksa, Sendi pun menuruti keinginan gadis itu dan membawanya ke apartemen milik Henggar.Rallin membantu Sendi untuk membukakan password apartemen itu. Pintu pun terbuka. Tampak Henggar yang tengah duduk di ruang tamu itu segera bangkit menghampiri Rallin. Rasa khawatir langsung terpancar di wajah lelaki itu.“Lo kenapa? Kenapa, sih, ng
Pukul delapan pagi. Waktu yang begitu siang untuk ukuran anak sekolah. Mereka akan kalang kabut karena terlambat. Namun rasanya hal itu tidak berlaku untuk Nadiv Dirgantara. Lelaki nakal yang selalu berangkat terlambat sampai membuat bu Neni, si guru BK yang mendapat julukan sebagai pacarnya itu bingung harus memberikan hukuman apa untuk Nadiv.Bu Neni tampak menghela nafasnya lelah. Ditatapnya anak nakal yang kini tengah berdiri di depannya sambil cengengesan. Benar-benar tidak memiliki rasa bersalah ataupun menyesal sedikitpun. Ah, iya, dia lupa tidak ada kata menyesal karena melanggar aturan sekolah dalam kamus hidup Nadiv.“Sekarang terserah kamu deh, ibu udah cape,” ujar bu Neni sambil menatap Nadiv malas. Ditambah lagi dengan penampilan pakaian seragam Nadiv yang selalu jauh dari kata rapi. Membuat mata bu Neni merasa ngantuk.Sementara itu, Nadiv yang tengah berdiri dengan kedua tangan di belakang tubuhnya, membentuk posisi istirahat di
Rallin berdiri sembari termenung memandangi pemandangan dari ketinggian lantai 15 itu. Matanya menatap ke hamparan rumah-rumah penduduk yang tampak kecil. Pandangannya menatap kosong. Pikirannya berkelana. Bohong kalau ia tidak kecewa setelah melihat foto yang dikirim oleh nomor tidak dikenal itu.Foto Nadiv dan Adelia tengah berciuman.Rallin tersenyum sinis. Bolehkah ia marah? Bukankah Nadiv sudah berjanji akan selalu bersamanya. Lalu ini apa? Sekali lagi, bolehkah Rallin marah pada Nadiv di saat mereka tidak memiliki hubungan khusus? Atau haruskah Rallin marah pada dirinya sendiri karena terlalu tinggi menaruh harapan pada Nadiv?Bagaimanapun juga, Adelia adalah mantan yang begitu dicintai Nadiv. Mungkin akan sulit bagi Nadiv untuk melupakan gadis itu. Lalu dengan percaya dirinya Rallin yakin kalau Nadiv sudah move on dari Adelia dan akan selalu menjadi miliknya. Damn it!Sekarang ia harus menelan pil kecewa karena Nadiv untuk kesekian kalinya. Begitu
Henggar berjalan terburu-buru ketika melewati koridor kelas Bahasa. Jika biasanya ia akan santai, namun kali ini ia tengah memiliki janji dengan seseorang. Dan orang itu sudah menunggu di tempat yang sudah dijanjikan.“Gar!” panggil seseorang membuat Henggar menghentikkan langkahnya. Lelaki itu memutar badan menghadap Sendi yang berjarak lima meter darinya.Sendi berjalan mengikis jarak di antara keduanya. “Mau kemana? Buru-buru amat,” Tanya Sendi kemudian merangkul bahu Henggar. Mengajaknya jalan bersama menuju parkiran.“Ada janji sama orang,” jawab Henggar singkat.Sendi mengernyitkan keningnya dalam. “Siapa?” tanyanya ingin tahu.Henggar tampak berdecak kemudian menonyor pelan kepala Sendi yang sedikit lebih pendek darinya. “Kepo!” ketusnya.Sendi tersenyum jenaka kemudian menunjuk-nunjuk wajah Henggar. “Mau ketemuan sama cewek lo, ya?” ledek lelaki itu sambil memain
Seorang gadis tengah berdiri di tepi pembatas rooftop sekolah. Rambutnya yang terurai berterbangan karena tersapu angin. Matanya terpejam menikmati hembusan angin sore ini. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak beberapa jam yang lalu. Namun tampaknya gadis itu enggan beranjak untuk pulang.Helaan nafas berat begitu terdengar dari gadis itu. Pikirannya bercabang tak tentu arah. Rasa penyesalan kembali menghantui benaknya. Menciptakan sesak yang begitu menyakitkan untuknya.Kehilangan orang yang dicintainya untuk kedua kalinya. Bukankah itu terlalu menyedihkan?Ingatannya kembali terlempar ke masa lalu. Masa dimana semuanya masih begitu indah. Masih begitu berwarna membuatnya seakan lupa bagaimana caranya bersedih.Dua tahun yang lalu…Gadis berseragam putih biru tengah berdiri di dekat halte bus yang letaknya tak jauh dari gerbang sekolahnya. Gadis itu tampak menyampirkan tas di bahu sebelah kanannya. Tangannya terlihat tengah mendekap bebe
Malam yang tampak cerah ditemani dengan ribuan bintang yang gemerlapan di angkasa. Lampu-lampu kota terlihat berpendar menerangi setiap sudut ibukota. Banyak pasangan muda-mudi yang berlalu lalang, menghabiskan waktu bersama. Mereka tampak seperti pasangan paling bahagia. Taman kota selalu ramai pengunjung saat malam tiba. Biasanya, kebanyakan anak lelaki yang sering nongkrong di sini. Berkumpul, duduk melingkar sambil memainkan gitar. Menyanyikan banyak lagu-lagu galau yang sempat booming di era tahun 90-an. Ditambah lagi dengan beberapa cemilan untuk menemani malam mereka. Benar-benar menyenangkan. Sama seperti kebanyakan orang, sepasang muda-mudi tengah berjalan sembari bergandengan tangan seolah enggan terpisahkan. Keduanya tampak bahagia. Saling melemparkan tawa satu sama lain. Tatapan penuh cinta terpancar jelas di mata keduanya. “Lo mau beli apa?” tanya sang lelaki sambil membenarkan anak rambut gadisnya yang tampak berterbangan ke depan karena tersapu
Seorang gadis berpakaian kasual tampak berjalan seorang diri di keramaian taman kota malam ini. Pandangan gadis itu tampak lurus ke depan. Tatapannya kosong. Seperti ada kehampaan dalam hidupnya. Tak ada binar semangat yang terpancar dari kedua bola matanya. Persis seperti orang yang kehilangan semangat untuk hidup. Di tangannya, ia menggenggam sebuah kalung yang ia temukan beberapa hari yang lalu di tangga rooftop. Kemudian pandangannya menurun, menatap kalung itu. “Kalung siapa? Cantik banget,” ujarnya sembari menatap setiap sisi kalung berliontin setengah hati itu. Adelia, gadis itu mengernyit heran. “Ini kayak kalung couple,” ujarnya lagi. Pasalnya, liontin kalung hanya berbentuk setengah hati. Kalau menurut logika, tidak mungkin, kan, kalung seperti ini hanya dijual setengah saja? Pasti ada satu lagi. Dan yang menjadi pertanyaan Adelia adalah siapa pemilik kalung ini? Jika mengingat ia menemukannya di tangga rooftop, waktu itu yang berada