Mengabaikan Kiara yang berusaha mengejarnya, Gendhis bergegas menyusul Rai ke ruang praktik poli. Ia menemui Suster Tiwi lebih dulu, menunggu dengan sabar satu pasien yang masih berkonsultasi dengan Rai. Rasa khawatir benar-benar membuncahi dadanya, ia takut Rai diserang oleh para pasien dan bahkan ditinggalkan oleh mereka yang sudah sering berkonsultasi dengan sang suami. "Ke sini mau nambahin bikin malu Bang Christ?" tanya Kiara masih mengejar Gendhis, sepertinya sengaja memancing keributan. "Bang," Gendhis melirik Axel dan Ardi yang mengawalnya. "Tolong dong, berisik ih, ganggu pasiennya Ketua," pintanya. Mendapat kode keras dari Gendhis, Axel mendekati Kiara, tanpa berucap apa-apa. Begitu saja, Kiara sudah panik, ia memundurkan langkah, berusaha menghindari Axel tapi justru membuat tubuhnya terhuyung dan hampir terjatuh. "Gue nggak mau bikin malu Rai dengan balas nyerang lo di depan orang banyak," kata Gendhis mendekat pada Kiara. "Lo udah bukan level gue lagi sekarang!" tegas
"Bang!" Kiara tiba-tiba masuk ke ruang praktik poli Rai tanpa permisi, ia tidak mengindahkan seorang pasien yang masih mengobrol dengan Rai. "Dokter Kiara, sebentar, saya masih ada pasien," tandas Rai melirik tajam, kesal juga pada Kiara yang bersikap seenaknya. "Penting Bang," desis Kiara tak sabar. "Pasien adalah prioritas saya, Dokter Kiara," gumam Rai. Ia gerakkan kepalanya ke arah sang pasien yang melongo bingung. "Oke, tapi abis ini, aku perlu ngobrol sebentar ya Bang," pinta Kiara. Rai hanya mengangguk tanpa suara, memberi tanggapan sekenanya agar Kiara berhenti mengganggu pasiennya. Setelah mendapat umpan balik yang diharapkannya, akhirnya Kiara keluar dari dalam ruangan, menunggu di kursi panjang bersama pasien Rai yang lain, tak sabar. Kedatangan Kiara mencari Rai bukan tanpa alasan. Seperti yang sudah Rai prediksi, Mario benar-benar bertindak. Kepala rumah sakit tentunya dilema karena seperti yang banyak orang tahu, sebagian besar saham rumah sakit adalah milik kelua
"Aku masak bekal, bebas udang kok, tenang aja," sambut Gendhis di hari lain, saat Rai siap berangkat kerja untuk praktik poli pagi. "Apa menu bekal pertamaku, Ane-san?" balas Rai dengan mata berbinar, antusias sekali ekspresinya."Nasi daun jeruk, capcay sayur, sama ayam kecap, nggak pa-pa segitu aja?" "Enak nih," gumam Rai penuh semangat. "Terus sarapannya apa, Istri?" tanyanya manja. "Ada nasi putih biasa, ayam karage saus barbeque, sama tumis wortel kentang," sebut Gendhis. "Aku nyontek resepnya di aplikasi, abis nggak pernah masak," katanya. "Pokoknya semua yang kamu masak pasti kumakan," ucap Rai. "Apapun asal masakanmu," ulangnya menggemaskan. "Apa sih," Gendhis tersipu. "Nggak enak masakanku tuh," ujarnya. "Enak, siapa bilang nggak enak? Aku suka kok masakanmu, serius!" "Hilih, bilang aja nggak mau kalau suruh masak, iya kan?" "Ya aku juga masak, Sayang. Tapi emang paling enak tinggal makan begini," kekeh Rai. "Mau sarapan dong," pintanya lalu duduk di kursi makan. "Kam
Beruntung, kuah sop yang Rai minum tidak terlalu banyak, jadi meskipun efek sesak nafas karena alerginya tetap ada, Rai masih bisa mengatasinya dan tidak terlalu parah. Justru Gendhis yang panik dan merasa begitu bersalah. Ia menangis sesenggukan, tak berdaya dan hanya bisa mematung saat Rai berusaha mengatasi rasa sakitnya sendiri. Tangan Gendhis masih gemetaran, paniknya belum teratasi meski Rai sudah terlihat mendingan. "Biar kubatalin jadwal praktikku hari ini," ujar Rai meraih ponselnya dan menghubungi pihak rumah sakit. "Aku juga nggak usah ke kantor dulu," ucap Gendhis lirih. "Itu Axel kayaknya dateng," katanya beranjak perlahan, bimbang antara harus turun ke ruang tamu atau bertahan di kamar. "Biar kusuruh Axel naik, kamu pasti masih syok," gumam Rai tersenyum, tangannya melambai, isyarat agar Gendhis mendekat. "Kamu udah nggak pa-pa?" tanya Gendhis menurut, ia mendekat dan mengamati sekujur tubuh Rai. Ada beberapa ruam merah di sekitar leher dan dada Rai, tanda bahwa rea
Menjelang siang, Gendhis tampak sibuk memasak sesuatu di dapur sementara Rai melanjutkan waktu istirahatnya yang terhutang. Meski ini adalah kegiatan yang paling Gendhis benci karena memasak sama sekali bukan passionnya, ia memaksakan diri. "Sayang, masak?" tanya Rai yang baru saja bangun, ia menatap takjub pada istrinya yang tengah menghadapi alat tempurnya."He.em, liat resep di aplikasi, kebetulan bahannya ada," jawab Gendhis ceria. "Masak apa emang?" gumam Rai mendekat, ia hirup aroma masakan istrinya yang cukup menggugah selera itu. "Sop ayam?" "Iya, aku kasih sedikit tetelan daging juga sih. Sayurnya cuma kentang, wortel sama brokoli dikit. Di sini nggak ada tukang sayur muter sih ya," tandas Gendhis, sedikit mengeluhkan betapa elitnya komplek pemukiman yang Rai tinggali."Tukang sayur males ngider di sini, siapa yang mau beli," balas Rai. "Nanti belanja aja sekalian kalau kamu dari kantor. Berangkat jam berapa?" "Nggak tau. Nunggu Axel dateng. Di sana udah ada Benji sama Ba
"Rai," Gendhis terbangun keesokan paginya setelah tak sadar tertidur di sofa saking cemasnya menunggu sang suami.Saat Gendhis membuka mata, ia sudah tidur nyaman di ranjang, bukan lagi di sofa seperti semalam. Ia itarkan pandangan, cahaya matahari di celah tirai jendela belum terlalu menusuk pandangan, pertanda hari masih belum terlalu siang. Tak ada sosok Rai yang Gendhis temukan di dalam kamar. Buru-buru Gendhis turun dari ranjang, ia cari di sekitar lantai dua, biasanya Rai senang merokok sambil menikmati kopi di balkon. Namun, Rai juga tak Gendhis temukan ada di tempat favoritnya. Tergesa menuruni tangga dari lantai dua, Gendhis menuju kandang para hewan di belakang, nafasnya tersengal, tapi perasaannya lega karena Rai ia temukan tengah sibuk bermain bersama bayi harimau siberia jantannya yang diberi nama Rock."Kupikir kamu pergi," ujar Gendhis masih dengan nafas yang tak teratur. "Udah bangun?" sapa Rai mengembangkan senyumnya. Digendongnya Rock dan dibawanya mendekat pada Gen