“Biarkan saja. Atau sumbangkan ke orang yang membutuhkan, aku tak peduli.” Aku bisa merasakan perasaanku yang tiba-tiba menjadi jengkel melihat set PC di sebelah Cindy. Jangan bilang dia begini karena aku terlalu banyak menonton film. Apa salahnya sih menonton film. “Hei, PC ini tak salah apa-apa.” Cindy tertawa. “Kalau kau serius lebih baik untukku saja. Ini keluaran terbaru, kan?” “Silakan.” Hei! Aku suka PC itu, jangan dikasih ke orang lain sesukamu. “Cath, apa kau mau kue Red Velvet sebagai perayaan kau keluar rumah sakit?” Aku tidak suka—tapi mulutku berkata sebaliknya. “Kau tahu aku suka Red Velvet?” Aku bilang aku tidak suka! Bahkan Cindy juga bertanya. “Sejak kapan kau suka kue Red Velvet? Bukannya kau bilang kue itu pahit?” “Aku tak pernah bilang aku tak suka makanan pahit?” “Itu benar ... tapi kau kan hanya makan kue cokelat atau keju saja!” “Kue cokelat dan keju memang enak, tidak pernah mengecewakan.” Berhenti mendebat Cindy, kau perasaan aneh ter
“Terserah kau saja, Cath. Ayo berangkat.” Kupikir ayah akan mengantarku pakai mobilnya yang baru dua bulan lalu sampai itu. Ternyata tidak, dia hanya menunjukkan padaku jalan yang bisa kuambil. Memakai bus umum. Memang tak jauh tapi tetap saja. Aku ingin mencobanya. Tak sampai lima belas menit, aku telah sampai di sekolah baruku. “Catherine Brunner?” Aku menjengit pelan saat nama panjangku dipanggil, menatap guru yang duduk di hadapanku. Sesaat aku kehilangan fokus dan nyaris lupa jika aku berada di ruang guru. “Kau masuk kelas reguler,” kata guru itu lagi. Jelas dia hanya sekedar membaca berkas dataku. Bukan benar-benar memanggilku. Dia terlihat terkejut melihat dataku. Lalu berbicara memakai bahasa Belanda. “Sedikit yang melewati kelas pemula walau sudah bisa berbahasa Belanda, karena yang diajarkan hanya bukan bahasa saja.” Aku senyum malu, meresponsnya memakai bahasa yang sama pula. Walau aku tak yakin dia sedang bicara sendiri atau bicara padaku. “Ah, itu
Cewek yang dipanggil Anika itu merengut pelan. Tapi tak membantah dan segera membereskan barang-barangnya. Dan cewek di sebelahnya yang dari awal memasang wajah acuh sampai sekarang kali ini mengangkat wajahnya dan sekilas mengamatiku. “Zoey, kau bisa bantu Cath beradaptasi di sini, kan?” Zoey yang ekspresinya sama sekali tak berubah hanya mengangguk sekali. “Well, Catherine. Sekarang kau bisa duduk di sebelah Zoey.” Aku tersenyum dan mengangguk lalu menuju bangkuku yang berada di baris kedua tengah-tengah kelas diiringi suara Rogier yang protes tak terima. “Ah, Meneer!
Meski Red Dawn bisa dibilang yang terbaik di Eropa, sayangnya Red Dawn bukan milik yayasan privat. Paling tidak, perlu menerima beberapa murid tak mampu demi menjaga pamor. Walau Sally bukan salah satu dari murid tidak mampu itu—justru dia punya keluarga yang sangat mampu. Tapi kondisi keluarganya bisa dibilang agak rumit dan dia layaknya kodok di antara para ular buas. Karena itu dia tak ada bedanya dengan mereka yang menerima dana bantuan. Aku tak tahu apakah perbedaan kasta sosial di sini sama parahnya dengan Red Dawn yang dibilang terbaik di Eropa itu, yang jelas, tempat ini adalah sarang monster. “Kau benar, aku belum memilih mata pelajaran yang ingin kuambil.” Bahkan cewek bernama Zoey ini. Walau dia terlihat cuek dan datar, aku menyadari bahwa dia mengamati semua gerak-gerikku. Dia mirip dengan James, dikurangi kebiasaannya yang suka bicara dan perhatian pada orang lain secara terang-terangan. “Kita sebentar lagi sampai di ruang kesiswaan.” Setelah Zoey ingatkan, a
“Apa sekolah ini memiliki klub tenis?” “Ah, benar. Kamu adalah petenis yang lumayan terkenal.” Mw. Jansen-Willems kembali memicingkan matanya dan napasku jadi tercekat. “Walau tidak se-profesional binaan Red Dawn, setidaknya merupakan salah satu yang terbaik di Amsterdam.” Walau tujuanku bukanlah untuk bergabung dengan klub tenis sekolah ini karena ada perusahaan agensi yang membinaku dari belakang. Aku tak membantah maupun menjelaskan bahwa aku hanya ingin meminjam lapangan tenis saja untuk berlatih ketika aku tiba-tiba punya impuls hendak bermain. Setelah musim sebelumnya aku berhasil masuk ke papan peringkat delapan puluh besar—lebih tepatnya, turun dari lima puluh besar ke delapan puluh besar. Aku mulai kehilangan minat bermain tenis. Yah, seperti halnya aku tak minat menari tapi aku masih bermain arkade danz base saat kebosanan. K apan sih aku bisa bertahan lama berpegang dengan satu hal. Karena agen yang menyeretku masuk ke tim tenis junior tahu aku tak bisa dipaksa l
[BAB III] BERGELOMBANG MENUJU PUNCAK SIKU _______________ “Aku bisa paham jika dia gilanya seperti orang-orang di berita itu." Zoey masih bicara. Walau aku tak begitu memerhatikannya. "Tapi mengatakan bahwa Uriel yang memberitahunya, bukankah itu keterlaluan? Bisa-bisanya dia memakai insiden semacam ini untuk mengundang orang lain memeluk agamanya? Dasar sinting.” Karena perasaan aneh itu, aku yang awalnya berontak dan berusaha melepaskan diri akhirnya putus asa dan nyaris menyerah. Apalagi saat aku sadar, waktu saat tubuhku tak bisa dikendalikan semakin lama semakin panjang. Perasaan aneh itu melakukan berbagai macam hal yang tak bisa kuterima dan nyaris membuatku meledak. Tapi semenjak aku di sini. Bukan London, tapi Amsterdam. Pikiranku perlahan mulai jernih dan aku mulai paham satu-persatu apa yang sedang terjadi. Dia berusaha membuatku terisolasi dari orang-orang. Aku belum tahu mengapa tapi itu pasti ada kaitannya dengan tempat ini. Belanda. Tempat ini berbeda da
Ternyata klinik tak jauh dari ruangan Mw. Jansen-Willems. Kami hanya perlu dua menit. Dan kami disambut perempuan muda yang berjaga di klinik. “Oh, ada apa di sini?” “Juff Greta, temanku kakinya terkilir.” “Sini, bantu dia duduk.” Dia membantu Zoey—bukan, membantuku duduk di kasur. Lalu berjalan cepat menuju lemari kaca tak jauh di bagian kanan ruangan. Persis bersebelahan dengan kursi pijat. Aku menyadari kasur yang sedang kududuki ini bukanlah kasur biasa. Aku tak bisa membedakan apa ini sebuah klinik atau rumah spa. “Juff Greta, ini buku yang kupinjam kemarin.” Sabine dan Zoey duduk di kasur sebelah. Sementara Sabine yang mengetuk-ngetuk buku di tangannya, Zoey hanya mengamati Juff Greta tanpa ekspresi. Juff Greta yang dipanggil Sabine masih sibuk membongkar lemari kaca saat menjawab. “Oke, tunggu sebentar.” Tak memedulikan hal lainnya, Juff Greta sibuk sana-sini untuk menemukan obat untukku. Yang sebenarnya tak perlu, aku hanya sedikit terkilir. Reaksinya sangat heboh
Saat aku berhasil keluar dari ruang putih laknat itu, ada Caspar yang berdiri di samping kasur tempatku berbaring. Dengan telapak tangannya di atas dahiku. Aku ingat namanya karena dia nyaris menjadi teman sebangkuku. Apalagi tampang menjijikkannya itu. Aku tak mungkin bisa lupa. “Apa yang kau lakukan?” Caspar melihatku membuka mata tapi dia tak bergeming. Seolah yang dia lakukan saat ini sangatlah wajar. Kecuali fakta aku dan dia pertama kali bertemu beberapa jam yang lalu, bukan setahun yang lalu. Entah aku yang terlalu sensitif atau dia yang terlalu tak tahu malu. “Hmm…” Kali ini dia menggeser telapaknya dan menutup mataku. Menghalangi pandanganku agar bisa melihatnya. “Gerbangnya terbuka secara acak.” Aku meraih tangannya dan berusaha menyingkirkannya dari wajahku tapi nihil. “Singkirkan tanganmu dari wajahku.” Dia jauh lebih kuat dariku, tangannya sama sekali tak bergeming. “Kau pura-pura tuli?” “Aku tak bisa mengaturnya karena dia masih belum membaur dengan teras