Ukh... maaf tiba-tiba menghilang semingguan padahal sebentar lagi masuk ke konflik utama. Ada beberapa halangan dan ini aku menyempatkan diri buat nyetornya. Tolong aku people... aku butuh penyemangat...! Btw aku masih males update glosarium, nanti aja akhir bulan yah.
“Kenapa malah kau yang marah?” Aku tertawa, berpikir bahwa pria bersisik di hadapanku saat ini terlihat sangat menggemaskan. Ah, membuatku teringat pada Cindy… Jadinya aku tertawa sambil merengut. “Aku tak suka, hng … valkeri.” Tahoka menatapku curiga. “Kenapa ekspresimu, hng … begitu?” “...Kau terlihat menakutkan saat marah.” “Tentu saja, hng … keturunan hidra harus, hng … terlihat menakutkan!” Tapi kau terlihat menggemaskan? Nyaris saja aku keceplosan mengatakannya melihat mata
Aku duduk tegak seperti murid teladan. Sambil menjelaskan apa-apa saja yang kuingat pada dua orang yang terdiam semenjak aku mengutarakan kecurigaan yang sebelumnya kubahas dengan Tahoka. Mereka tahu sekarang separah apa masalah yang sedang aku hadapi—bukan, kita hadapi. “…Karena itu, meski pun ingatanku kacau balau. Jangan beritahu aku, jangan koreksi ingatanku yang salah. Sepertinya ‘aku’ berpikir kemampuanku tak boleh dipakai, setidaknya sampai Ragnarök berakhir.” “Kau pikir mungkin ada seseorang yang memakai visi untuk menebak semua tindakanmu.” Aku mengangguk setuju pada komentar Brian ketika Archer sekali lagi menusukku dengan pertanyaan tajamnya yang sama sekali tak kusangka.
“Apa kau pikir kami akan mengikuti keinginanmu begitu saja?” “…Tidak.” Tentu saja tidak, dia pikir aku gila? Aku tak pernah sekali pun punya niat begitu! Yang terakhir kuingat tentang mereka itu aku hanya kelahi dari mereka dan mereka menjauhiku! …Atau begitu adanya dari ingatanku. Brian menimpali sambil melirikku. “Dia bahkan berani mengambinghitamkan Uriel.” Aku ingin membantah tapi instingku berteriak keras untuk tidak melakukannya, jadi aku menutup mulutku rapat-rapat bahkan ketika Archer mengalihkan topik dan mulai membahas tentang Pseudotopia. “Kau sama sekali tak mau cerita?” Aku mau… Tidak! Aku tak mau. Meskipun aku tahu mereka tahu apa yang terjadi secara garis besar, mendengarnya langsung dariku tetap saja… Aku tak mau mereka tahu. Beberapa helai rambutku tertiup angin dan nyaris menyakiti mataku, untung saja aku segera merapikannya sambil menatap Archer lurus. Ini pertama kalinya aku benar-benar melihat wajahnya semenjak dari rumah sakit beberapa bulan lal
Yang memenuhi pandanganku hanyalah baju biru polos yang menutupi punggung bidang Brian. Aku bisa mendengar mereka berdebat dengan kalimat memutar-mutar karena Brian yang terus-terusan mengalihkan topik. Bukan berarti Archer tak paham maksud Brian, mereka berteman bertahun-tahun, mustahil jika Archer tak mengenal Brian dengan baik.“Kita tak memerlukan itu.”“Kau tak pernah dengar tentang darling, Arsh?”“Tidak ada makhluk yang omnipoten, menyingkirlah.”“Sepertinya—”Brian berhenti bicara saat aku mengetuk punggungnya dengan telunjukku yang tak berdarah beberapa kali. Dia memalingkan wajahnya dari Archer dan melihat ke arahku. Mata kami bertemu.“Tak perlu melakukan itu.”Brian mengangkat sebelah alis sesaat, jika aku tak sedang mengamatinya aku akan kelewatan detail itu. Dia diam beberapa sebelum bergeser dari hadapanku sambil berujar, “Kau yang bilang.” Aku tak lagi menanggapinya karena sibuk mengelap mulutku yang berdarah dengan ujung lengan bajuku. Entah kenapa bau amis yan
[BAB I] BERAWAL DARI SATU TITIK _______________ Kakiku melangkah tergesa, sebelum akhirnya berhenti untuk mengetuk pintu yang berdiri di hadapanku. Aku tak repot menunggu balasan apapun lalu memasuki ruangan dengan belasan mata yang mengikuti gerak-gerikku. Mr. Maven tidak mengindahkanku, tetap melanjutkan apa yang sedang diucapkannya. Dia tak peduli apakah ada yang terlambat atau bolos, selama semua muridnya menguasai pelajarannya. Bukan tipe guru yang bertanggung jawab, harus kuakui. Tapi bukan berarti aku peduli. Selain suara Mr. Maven, cewek-cewek di sampingku membicarakan Brittany—kegilaan gadis itu. Suara beberapa cowok yang mendesis dan mengumpat pelan dengan matanya yang terfokus pada ponselnya. Novel di tasku keluar secara paksa, aku sedang tidak ingin bicara atau tertawa cekikikan bersama yang lain. Tidak setelah melihat Brian bersama pacar barunya di ruang kesehatan. Tentu saja tidak. Sebenarnya bukan karena aku menyukainya, temanku yang bodoh yang merelakan diriny
Mungkin bukan contoh yang baik, aku bolos dan membawa diriku ke game center. Bermain permainan arkade. Satu saja, danz base. Setidaknya aku bisa menari sambil mengumpat kalau gerakanku salah. Aku tidak peduli jika ada yang memerhatikan atau apa. Rasa maluku telah hilang ketika memainkan ini. Aku tak terlalu mengindahkan ponselku yang berkedip. Tidak terlalu ingin berbicara sama siapa pun. "Sudah kuduga," ucap suara di belakangku. "Cindy, dia begini setelah berteriak pada Brian dan Britt." "Kadang aku tak tahu yang bodoh di sini itu kau atau dia," oceh Cindy jelas mengejek kami. "Kalau kau
Kami bertiga membicarakan kebodohan Sally di kantin tadi siang ketika berjalan limbung ke rumah Cindy karena kami saling merangkul. Aku tak tahu mengapa seseorang seperti Sally diperbolehkan sekolah di sini dan bukannya sekolah khusus. Maksudku tidak jahat, tapi ada kalanya kemampuan Sally tidak cukup. Apalagi orang-orang bodoh semacam Brittany dan Lacey senang mempermainkan orang lain. Aku tak paham mengapa Brian berpacaran dengan cewek semacam itu. "Hei, Cindy," sapa suara yang akhir-akhir ini begitu familiar di telingaku. Nanda menatapku sebelum menambahkan, "Hei juga, Cath." Aku tidak melepaskan pandanganku darinya. Memerhatikan Nanda duduk di sofa dengan laptop dan buku berhamburan di meja persis di hadapannya.
Kami tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Bacaan ini menarik untuk dibaca, aku tidak keberatan. Kebanyakan berkaitan dengan halusinasi. Aku juga tahu beberapa penyakit mental jadi aku menuliskan nama penyakit yang kutahu. Setidaknya membantu Nanda sedikit agar tidak perlu membuang tenaga membaca semua buku ini. Saking asyiknya membaca, aku hampir lupa bahwa Nanda duduk di seberangku. Jika bukan karena Lithia berbicara, aku sudah berada di dimensi lain. "Cath, ibuku menyuruh pulang." Aku mengangkat tanganku, melihat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh lebih sedikit. Lengank