Akhirnya klu tentang protagonis cerita ini muncul juga… Aku pernah bilang kan di [Guide] alasan aku pilih MC itu karena dia netral? Biar kujelaskan sedikit kenapa dia aku sebut netral. MC paham protagonis itu seperti apa karena dia adalah klon protagonis tapi bukan berarti dia setuju atau menentang apa yang dilakukan protagonis. Seperti yang dia bilang, saat dia tahu dia adalah klon, saat itu juga dia tak mau peduli pada apapun lagi, dia merasa ‘disconnect’ dari sekitarnya. Dia cuma klon yang tak tahu apa dia harus marah atau berterima kasih karena protagonis sudah menciptakannya. Dia sudah merasakan hidup sebagai ‘orang,’ sebagai individu yang punya kehendak bebas, karena itu dia kesulitan menerima kenyataan bahwa dia sebenarnya hanyalah klon. Dan itu membuat dia berbeda dari klon pada umumnya, dia tak terjerat kontrol protagonis sepenuhnya.
Yang memenuhi pandanganku hanyalah baju biru polos yang menutupi punggung bidang Brian. Aku bisa mendengar mereka berdebat dengan kalimat memutar-mutar karena Brian yang terus-terusan mengalihkan topik. Bukan berarti Archer tak paham maksud Brian, mereka berteman bertahun-tahun, mustahil jika Archer tak mengenal Brian dengan baik.“Kita tak memerlukan itu.”“Kau tak pernah dengar tentang darling, Arsh?”“Tidak ada makhluk yang omnipoten, menyingkirlah.”“Sepertinya—”Brian berhenti bicara saat aku mengetuk punggungnya dengan telunjukku yang tak berdarah beberapa kali. Dia memalingkan wajahnya dari Archer dan melihat ke arahku. Mata kami bertemu.“Tak perlu melakukan itu.”Brian mengangkat sebelah alis sesaat, jika aku tak sedang mengamatinya aku akan kelewatan detail itu. Dia diam beberapa sebelum bergeser dari hadapanku sambil berujar, “Kau yang bilang.” Aku tak lagi menanggapinya karena sibuk mengelap mulutku yang berdarah dengan ujung lengan bajuku. Entah kenapa bau amis yan
[BAB I] BERAWAL DARI SATU TITIK _______________ Kakiku melangkah tergesa, sebelum akhirnya berhenti untuk mengetuk pintu yang berdiri di hadapanku. Aku tak repot menunggu balasan apapun lalu memasuki ruangan dengan belasan mata yang mengikuti gerak-gerikku. Mr. Maven tidak mengindahkanku, tetap melanjutkan apa yang sedang diucapkannya. Dia tak peduli apakah ada yang terlambat atau bolos, selama semua muridnya menguasai pelajarannya. Bukan tipe guru yang bertanggung jawab, harus kuakui. Tapi bukan berarti aku peduli. Selain suara Mr. Maven, cewek-cewek di sampingku membicarakan Brittany—kegilaan gadis itu. Suara beberapa cowok yang mendesis dan mengumpat pelan dengan matanya yang terfokus pada ponselnya. Novel di tasku keluar secara paksa, aku sedang tidak ingin bicara atau tertawa cekikikan bersama yang lain. Tidak setelah melihat Brian bersama pacar barunya di ruang kesehatan. Tentu saja tidak. Sebenarnya bukan karena aku menyukainya, temanku yang bodoh yang merelakan diriny
Mungkin bukan contoh yang baik, aku bolos dan membawa diriku ke game center. Bermain permainan arkade. Satu saja, danz base. Setidaknya aku bisa menari sambil mengumpat kalau gerakanku salah. Aku tidak peduli jika ada yang memerhatikan atau apa. Rasa maluku telah hilang ketika memainkan ini. Aku tak terlalu mengindahkan ponselku yang berkedip. Tidak terlalu ingin berbicara sama siapa pun. "Sudah kuduga," ucap suara di belakangku. "Cindy, dia begini setelah berteriak pada Brian dan Britt." "Kadang aku tak tahu yang bodoh di sini itu kau atau dia," oceh Cindy jelas mengejek kami. "Kalau kau
Kami bertiga membicarakan kebodohan Sally di kantin tadi siang ketika berjalan limbung ke rumah Cindy karena kami saling merangkul. Aku tak tahu mengapa seseorang seperti Sally diperbolehkan sekolah di sini dan bukannya sekolah khusus. Maksudku tidak jahat, tapi ada kalanya kemampuan Sally tidak cukup. Apalagi orang-orang bodoh semacam Brittany dan Lacey senang mempermainkan orang lain. Aku tak paham mengapa Brian berpacaran dengan cewek semacam itu. "Hei, Cindy," sapa suara yang akhir-akhir ini begitu familiar di telingaku. Nanda menatapku sebelum menambahkan, "Hei juga, Cath." Aku tidak melepaskan pandanganku darinya. Memerhatikan Nanda duduk di sofa dengan laptop dan buku berhamburan di meja persis di hadapannya.
Kami tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Bacaan ini menarik untuk dibaca, aku tidak keberatan. Kebanyakan berkaitan dengan halusinasi. Aku juga tahu beberapa penyakit mental jadi aku menuliskan nama penyakit yang kutahu. Setidaknya membantu Nanda sedikit agar tidak perlu membuang tenaga membaca semua buku ini. Saking asyiknya membaca, aku hampir lupa bahwa Nanda duduk di seberangku. Jika bukan karena Lithia berbicara, aku sudah berada di dimensi lain. "Cath, ibuku menyuruh pulang." Aku mengangkat tanganku, melihat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh lebih sedikit. Lengank
"Kau bertahan pada temanmu sejak awal." Aku menyipitkan mata, menatapnya curiga. "Dari mana kau tahu?" "Cindy. Dia membicarakan segala hal padaku, termasuk kau dan Lith." "Karena mereka selalu menarikku bersama mereka," ungkapku. Aku akhirnya berhasil menenangkan diri, otakku kembali bekerja dengan normal dan kemampuan observasiku juga kembali seperti biasanya. "Tau-tau, itu menjadi kebiasaan." Aku mengamati sekitar. Rumah-rumah dengan cahaya, jalanan yang gelap. Aku hafal daerah ini. Sebentar lagi kami akan sampai.
Keesokan paginya, aku berangkat lebih cepat dari biasanya. Ibu dan adikku berada di meja makan ketika aku keluar rumah. Aku tidak pernah suka bertatap muka dengan ibu, yang ada kami selalu bertengkar. Aku tak ingin membuat keributan di pagi buta, tidak di depan adikku yang nantinya malah akan memperparah masalah yang sepele itu. Kami bertiga ini tidak seharusnya tinggal dalam satu rumah, sangat berbahaya. Aku tidak memakai apapun untuk ke sekolah, rumahku tidak sejauh Cindy atau pun Lithia. Cukup berjalan kaki. Ketika sampai aku hanya meletakkan tasku di kelas dan berjalan menuju kafetaria. Sarapan itu penting. Terutama hari ini. Kelas pertama adalah kalkulus, aku tidak ingin terlihat bodoh di depan Mrs. Nessie. Dia sangat sulit dibuat senang dan aku tidak ingin mengulang pelajaran ini. Roti isilah yang terpilih sebagai sarapanku hari ini, belum termasuk roti bakar dan susu hangat. Aku berusaha menjaga tingkah lakuku ketika Brian dan Britt memasuki kafetaria. Aku sada
"Kudengar kau menolak cowok yang disukai Cindy." James mencegat samping mejaku setelah kelas Mrs. Nessie selesai. Aku hanya diam duduk di kursi, sama sekali tak mengindahkannya. Gosip itu ternyata memang cepat tersebar dan menyampaikan fakta yang salah. Maksudku, jika orang lain tidak tahu tentu mereka juga berpikir yang Cindy maksud adalah cowok yang disukainya. Tentu saja Cindy menyukai Nanda, tapi dalam artian yang berbeda. James menggeser kursi untuk duduk di dekat mejaku. "Aku tau kau memang agak kurang ajar. Tapi yang ini kau terlalu kurang ajar." Aku menatapnya datar. Memerhatikan setiap sudut wajahnya, tak mengerti mengapa aku pernah menyukai cowok ini. Dia memang tampan, tapi dia tidak setampan Nanda. "Coba saja kalau kau berani mengadu tentang Lith padaku nanti." James tersenyum padaku, dia kelihatan agak konyol. "Maaf, aku salah omong." Lanjutnya, tak lupa menghapus senyum bodoh itu dari wajahnya. "Tapi benar kau menolak cowok yang disukai Cindy?" Aku