Share

Bab 3

Cahyadi Widjoyo menyadari sepenuhnya bahwa jika hanya permasalahan Dana Operasional, tentunya Sang Jenderal tidak akan mendesak dia bertemu di sini.

Ini adalah salah satu rumah yang dijadikan sebagai tempat persembunyian Sang Jenderal, biasa disebut sebagai Rumah Aman. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memasuki rumah ini.

Walaupun tempat ini pemberian dari Cahyadi Widjoyo, namun dia sendiri baru 2 kali mengunjungi rumah ini untuk bertemu dengan Sang Jenderal.

“Kamu tahukan, bahwa tidak lama lagi kita akan mengadakan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden baru. Presiden kita saat ini, sangat berambisi untuk kembali memimpin negeri. Dan kita sama-sama tahu, bahwa sebetulnya yang mengatur itu semua adalah suaminya, seorang pebisnis handal.” ujar Sang Jenderal.

“Minyak. Eksplorasi Minyak Bumilah yang membuat posisi Presiden begitu krusial. Permintaan pasar saat ini sangat tinggi dari Amerika dan Eropa.” lanjutnya.

“Hanya Presiden yang bisa memutuskan, perusahaan mana yang berhak mengeksplorasi minyak di negeri kita.” ucap Sang Jenderal sambil menatap tajam kearah Cahyadi Widjoyo.

Cahyadi Widjoyo hanya terdiam sambil sesekali menyesap Wine mendengar penjelasan Sang Jenderal.

“Ada berita burung yang mengatakan bahwa suami tersebut sedang menghimpun beberapa pengusaha untuk mengusung kembali istrinya menjadi Presiden. Tentu dengan imbalan hak eksplorasi,” ujar Sang Jenderal.

“Cahyadi, apa kamu berencana untuk terjun ke bisnis eksplorasi?” tanya Sang Jenderal penuh selidik.

Cahyadi Widjoyo langsung memahami maksud dari pertanyaan Sang Jenderal.

‘Pantas saja Jenderal begitu mendesak saya untuk segera menghadap, ternyata beliau curiga saya menghianatinya,’ gumam Cahyadi dalam hati.

“Saya merasa Bisnis Properti sudah bagus, dan saya berencana untuk menjadi Raja Properti di negeri ini. Jadi sepertinya saya tidak akan berpaling ke bisnis lain agar tidak kehilangan fokus,” jawab Cahyadi dengan hati-hati.

“Memang benar, beberapa kali beliau bertemu dengan saya dan membicarakan tentang hak eksplorasi. Tapi saya sudah memutuskan untuk tidak terjun ke bisnis itu.” lanjutnya.

“Walaupun penawaran privilege yang begitu menggoda, tapi saya tidak akan mungkin menghianati Bapak. Rasa cinta Bapak terhadap negeri ini, membuat malu diri saya jika mau menerima penawaran tersebut. Jika bukan karena rasa cinta negeri dan menjaga keutuhan bangsa, bisa saja beberapa waktu yang lalu Bapak sudah mengambil alih kekuasaan di negeri ini.” sambung Cahyadi Widjoyo.

“Hahaha … saya percaya sama kamu Cahyadi,” ucap Sang Jenderal sambil tertawa bahagia.

“Mari kita bersulang … “ lanjut Sang Jenderal sambil mengangkat tinggi gelas crystal ditangannya kearah Cahyadi.

“Permisi Bapak, maaf menyela pembicaraan. Saya hanya mau mengingatkan bahwa 1 jam lagi Bapak ada janji temu dengan Mr. Kim perwakilan Asosiasi Industri dari China di kantor.” ujar Mona yang masuk ke ruangan setelah mengetahui keadaan sudah mencair.

“Ok, siapkan kendaraan. Kita sedikit lagi akan ke kantor, jangan biarkan mereka menunggu kita,” perintah Sang Jenderal ke Mona sekertarisnya.

“Cahyadi, saya mau bertanya kepada mu.”

“Jaman sudah maju, tekhnologi berkembang dengan pesat, lalu kenapa kamu tidak menggunakan handphone?” tanya Sang Jenderal penasaran.

“Saya inikan awalnya Tukang Koran pak, tidak terbiasa dengan tekhnologi, dulu pernah menggunakan Pager, kadang-kadang mengganggu ketika saya sedang bertemu dengan seseorang atau sedang meeting. Jadi biar Chintya, sekertaris saya saja yang mengurus masalah komunikasi,” jawab Cahyadi menjelaskan.

Setelah menghabiskan Wine yang tersisa di gelasnya, Sang Jenderal pun beranjak dari ruangan menuju ke arah kendaraan Land Cruiser hitam yang sudah bersedia ditaman air mancur depan pintu rumah tersebut diikuti oleh Cahyadi Widjoyo disampingnya.

Mona yang mengikuti dari belakang, terlihat sedang memberikan instruksi ke beberapa pengawal.

Sebelum menaiki kendaraannya, Sang Jenderal berbisik kepada Cahyadi Widjoyo, “Saya akan maju mencalonkan diri menjadi Presiden, bersiaplah kamu jadi Menteriku, Menteri Perumahan Rakyat.”

Cahyadi tidak berkata apa-apa, dia hanya memberikan hormat dengan sikap yang sempurna kepada Jenderal yang sudah menaiki kendaraan di ikuti Mona dan Ajudannya.

Setelah rombongan 2 mobil yang dikawal oleh Voorijder itu meninggalkan halaman rumah, Cahyadi Widjoyo berjalan ke halaman belakang dan memberikan instruksi kepada Pilotnya untuk segera mempersiapkan Helikopter pribadinya.

“Ayo, segera kita ke kantor,” perintah Cahyadi kepada Pilot.

‘Ada hal yang harus segera saya kerjakan,’ gumamnya.

Dengan menggunakan Helikopter pribadi jenis Bell yang sudah disiapkan oleh Mona sebelum mereka tiba di rumah aman, Cahyadi kembali ke kantornya.

Tidak sampai 15 menit, Cahyadi sudah tiba di kantor. Sebuah gedung setinggi 120 meter yang berada di pusat kota dengan logo huruf C terpampang besar di atas gedung.

Setelah turun melalui Helipad yang ada di rooftop, Cahyadi langsung menuju ke ruangannya di lantai 27.

Di dalam ruangannya, sudah ada seorang wanita bertubuh langsing dengan rambut yang terurai menggunakan blus berwarna hitam, membuat kulitnya yang putih terlihat semakin bersinar, sedang berdiri dengan gelisah di sudut ruangan menatap kearah jalan raya yang berada di bawah gedung.

“Mr. C, anda tidak apa-apa?” tanya wanita tersebut dengan panik ketika melihat Cahyadi Widjoyo memasuki ruangan kerjanya.

“Iya saya baik-baik saja, memangnya ada apa?” tanya Cahyadi kebingungan.

“Anda menghilang setelah peresmian tadi dan meninggalkan 3 orang pengawal yang tergeletak dilantai. Tentu kami semua khawatir,” ujarnya.

“Oh iya, tadi itu memang berlebihan. Tapi semua baik-baik saja, kamu tidak usah khawatir.” jawab Cahyadi.

“Tolong kamu cancel semua agenda hari ini. Kemudian siapkan mobil Mercy, kamu ikut saya. Tidak usah bawa supir, biar saya sendiri yang bawa mobilnya,” ucap Cahyadi memberikan instruksi kepada wanita tersebut.

“Oh iya, Chintya. Suruh seseorang siapkan saya makan. Sementara saya makan, kamu ganti baju kasual ya.” lanjutnya.

Wanita itupun segera berlalu. Sebagai seorang Sekertaris, mengatur kembali jadwal agenda kerja harian CEO bukanlah hal yang sulit, bagi Chintya itu hanya butuh waktu 10 menit. Namun pergi bersama CEO nya di jam kerja menggunakan pakaian kasual, sungguh membuat dia bingung.

‘Membatalkan seluruh agenda hari ini dan keluar menggunakan pakaian kasual berdua saja tanpa supir di jam kerja, tentu ini bukan urusan kantor. Apa ini urusan pribadi? Makan bersama diluar sepertinya tidak mungkin. Aduh, kenapa aku jadi salah tingkah begini, mau diajak kemana ya kira-kira?’ gumam Chintya menerka-nerka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status