Share

Bab 2

“Hallo Mr. C, bagaimana acara potong pita peresmian Mallnya? apakah lancar-lancar saja ?” tanya Mona basa-basi.

“Sebetulnya, ini ada apa Mona?” tanya Cahyadi Widjoyo penuh selidik.

“Saya hanya diminta ‘Bapak’ untuk segera menjemput anda Mr. C. Itu saja” jawab Mona dengan santai.

“Menjemput dengan melumpuhkan 3 pengawal pribadi saya? Itu lebih terlihat seperti penculikan daripada disebut menjemput.” ujar Cahyadi Widjoyo geram.

“Jika hanya sekedar untuk bertemu, kenapa kamu tidak menghubungi Chintya? Kamu berdua kan sama-sama sekertaris, seharusnya lebih paham bagaimana mengatur pertemuan” lanjutnya.

“Maaf Mr. C, saya hanya menjalankan perintah saja. Saya pun harus memberikan alasan yang baik ke ‘Bapak’ untuk tidak segera menjemput anda, agar bisa memberikan kesempatan kepada anda menyampaikan kata-kata sambutan pada saat peresmian tadi.”

“Saya tidak mengetahui apa yang terjadi, yang saya tahu keadaan saat ini sedang mendesak, dan ‘Bapak’ ingin agar anda segera hadir dihadapan beliau secepatnya.” lanjut Mona menutup pembicaraan.

Dengan pengawalan Voorijder, mobil hitam Land Cruiser melaju cepat tanpa hambatan. Sepanjang perjalanan, Cahyadi Widjoyo hanya berdiam diri menatap jalan melalui jendela kaca mobil yang tertutup.

Mona yang duduk bersebelahan dengan Cahyadi Widjoyo, tenggelam dalam kesibukannya mencatat dan berkomunikasi dengan beberapa orang melalui telepon satelit yang tersedia di dalam mobil tersebut.

Sesekali terdengar pembicaraannya mengenai Munas Partai dengan suara yang lantang dan bersemangat, kemudian suaranya menjadi pelan dan sedikit berbisik ketika membicarakan tentang Ketua Partai dan Calon Presiden.

Ketika melewati sebuah perempatan jalan besar yang cukup ramai kendaraan, Cahyadi Widjoyo melihat sebuah lokasi yang tidak asing baginya, tertutup oleh pagar seng berwarna biru yang berada di dekat lampu merah.

Dari luar pagar seng, terlihat bagian atap sebuah bangunan tua yang masih berdiri di dalam kawasan lokasi tersebut.

Matanya tidak terlepas dari tulisan besar yang terpampang di pagar seng berwarna biru itu.

‘TANAH INI DI JUAL’

‘Pak Soleh, Bang Ridwan … kalian di mana ya sekarang?’ lirihnya dalam lamunan nostalgia beberapa puluh tahun yang lalu.

Setelah 45 menit perjalanan yang melewati kebun teh, rombongan yang dikawal oleh Voorijder pun sampai di sebuah kawasan pegunungan yang cukup jauh dari pemukiman warga.

Melewati pintu gerbang yang di jaga oleh 3 orang berseragam safari hitam dan jalan berliku penuh dengan pohon cemara di sepanjang jalan, rombongan tersebut sampai di ujung jalan yang merupakan jalan melingkar di depan sebuah bangunan mewah ala eropa dengan taman air mancur tepat menghadap pintu masuk rumah.

Rombongan berhenti di depan pintu rumah setelah memutari taman air mancur tersebut.

Turun dari mobil hitam Land Cruiser, Mona segera menuntun Cahyadi Widjoyo memasuki rumah dan langsung menuju ke halaman belakang rumah.

“Mr. C, silahkan menunggu sebentar di sini ya. Tidak lama lagi ‘Bapak’ akan segera tiba” ucap Mona sambil mempersilahkan Cahyadi Widjoyo duduk di kursi taman.

Dia pun tidak langsung duduk, melainkan berdiri menatap taman yang berada di belakang rumah mewah tersebut sambil memegang tangannya ke belakang.

Lapangan luas terhampar rumput gajah pilihan dengan kontur tanah yang berbukit, dijadikan sebagai tempat untuk menyalurkan hobby golf Sang Jenderal. Di sisi barat terdapat bangunan kandang kuda yang terbuat dari kayu, dan di sisi timur terdapat helipad yang terparkir Helikopter jenis Bell berwarna biru dengan Logo C di kedua sisi pintunya.

“Permisi Mr. C, Anda ingin yang merah atau putih?” tanya seorang pelayan pria berseragam putih menawarkan Wine.

“Merah.” jawabnya singkat.

Setelah menuangkan Wine dengan tekhnik khusus di gelas crystal, pelayan tersebut membukakan sebuah kotak kayu berisi Cerutu Kolombia beserta pemotongnya dan menawarkan kepada Cahyadi Widjoyo.

Duduk dikursi taman sambil memangku kaki, Cahyadi Widjoyo menghisap Cerutu Kolombia dengan sesekali menyesap Wine yang ada ditangannya.

Walaupun terlihat tenang, namun pikirannya penuh dengan pertanyaan.

‘Keadaan mendesak seperti apa yang mengharuskan saya datang lagi ke rumah aman?’

‘Terakhir saya datang kesini, tidak lama kemudian terjadi kerusuhan besar yang membuat orang terkuat di negeri ini lengser dari kekuasaannya. Kali ini, apa yang akan terjadi lagi?’

Tak lama kemudian, Sang Jenderal pun datang dengan menunggangi Kuda Jerman berwarna coklat gelap kesayangannya.

Melihat Sang Jenderal tiba, Cahyadi Widjoyo pun segera berdiri menghampiri Sang Jenderal. Sambil memegang tali kekang dan membelai-belai kuda, Cahyadi membantu sang Jenderal turun dari tunggangannya.

“Cahyadi, sudah lama kita tidak bertemu. Saya minta maaf jika terkesan memaksa kamu untuk hadir di sini” ujar sang Jenderal.

“Tidak masalah pak, kapanpun bapak butuh saya, pasti saya segera hadir” ujar Cahyadi.

“Ayo kamu ikut saya memasukkan Deasy ke kandang,” lanjut Sang Jenderal sambil menuntun Kuda Jerman kesayangannya yang diberi nama Deasy.

Walaupun sudah purnawirawan, Sang Jenderal masih memiliki postur tubuh yang tegap. Dengan rambutnya yang khas belah pinggir dan senyumnya yang kharismatik, membuat siapapun yang bertemu dengan beliau akan menaruh hormat karena wibawanya.

“Deasy ini anak dari Anmutiq. Kuda kesayanganku dan yang paling istimewa karena keanggunannya.” ucap Sang Jenderal sambil berjalan bersebelahan dengan Cahyadi Widjoyo menuju kandang.

“Namun pada akhirnya, saya sendiri yang harus mengeksekusi dia dengan menyuntik mati Anmutiq,” lanjutnya.

“Apa yang terjadi pak?” tanya Cahyadi.

“Dia melakukan improvisasi ketika sedang berlatih melewati rintangan, yang menyebabkan kakinya patah.” ujar Sang Jenderal sedih.

“Walaupun dia menjadi kesayanganku, namun ketika melakukan improvisasi yang membuat kesalahan fatal, maka saya sendiri yang akan mengeksekusinya” ucap Sang Jederal sambil menepuk-nepuk bahu Cahyadi Widjoyo.

Cahyadi merasa ucapan Sang Jenderal barusan adalah sebuah pesan yang diberikan untuk dirinya. Sebagai seorang Jenderal yang sudah lama berkecimpung di dunia politik, tentu setiap kata yang disampaikan mempunyai makna dan pesan tersembunyi.

Cahyadi hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa berkata apapun.

“Dalam beberapa bulan ke depan, partai kita akan melaksanakan Munas. Agenda utamanya, selain memilih Ketua Partai, juga akan memutuskan Calon Presiden yang akan kita usung.” lanjut Sang Jenderal.

“Apa yang bisa saya bantu untuk memuluskan pelaksanaan Munas tersebut pak?” tanya Cahyadi Widjoyo.

“Saya membutuhkan Dana Operasional untuk membangun koalisi.” jawab Sang Jenderal.

“Baik pak, saya siapkan Dana 150 Milyar. Setelah ini saya akan minta Chintya untuk segera mengaturnya.”

“Saya juga akan siapkan pesawat jet pribadi saya, untuk memudahkan transportasi bapak ke berbagai daerah” lanjut Cahyadi.

“Kamu memang bisa diandalkan. Tidak salah saya mengasuh kamu” ujar Sang Jenderal sambil merangkul Cahyadi.

“Sampai kapanpun, saya tidak bisa membalas kebaikan bapak. Semenjak bapak mengasuh saya 20 tahun yang lalu, kehidupan saya berubah total. Saya yang minta maaf karena kurang peka memahami keadaan bapak yang sedang mengalami kesulitan.” ucap Cahyadi.

Setelah sedikit memanjakan dan memasukkan Deasy kekandangnya, Sang Jenderal mengajak Cahyadi untuk masuk ke dalam rumah besar yang di desain ala Eropa abad pertengahan.

Berada di ruangan berlantai parket kayu berukuran 7 x 10 meter yang dijadikan ruang baca dan perpustakaan oleh Sang Jenderal, mereka berdua duduk di dekat tungku perapian sambil menikmati Wine Henri Jayer Cros dan Cerutu Fuente Don Arturo AnniverXario dari Republik Dominika koleksi Sang Jenderal.

“Maaf pak, saya ingin bertanya. Situasi mendesak seperti apakah yang sedang Bapak alami saat ini?” tanya Cahyadi membuka percakapan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status