Share

Bab 4

Setelah menghabiskan makanan padang kesukaannya, Cahyadi langsung mandi di kamar mandi yang memang tersedia khusus untuknya.

Ruangan kerjanya memang terbilang cukup luas. Hampir seluruh lantai 27 digunakan untuk ruangannya, hanya sebagian yang digunakan untuk kantor Sekertarisnya dan ruang tunggu tamu.

Dengan menggunakan kaus t-shirt dalaman hitam yang dipadu dengan celana Jeans Versace dan sepatu kets berwarna putih, dia sudah siap untuk melakukan misinya.

“Chintya, apa kamu sudah siap?” tanya Cahyadi melalui panggilan interkom yang tersedia di meja kerjanya.

“Biar saya yang ke ruangan kamu. Tunggu saja di situ,” lanjut Cahyadi sambil menutup telepon interkomnya.

Chintya yang menggunakan Kaos Gucci bergambar Mickey Mouse dengan celana Jeans Hitam, baru saja selesai mengikat tali sepatu boot ketika Cahyadi memasuki ruangannya.

Dengan rambut kuncir kuda dan make upnya yang tipis, terlihat lebih segar dan menawan.

“Saya sudah siap, apa ada yang harus saya siapkan lagi sebelum berangkat?” tanya Chintya.

“Kamu telepon Mona, minta dia untuk mengutus orang mengambil cek sore ini. Dan bilang ke Bu Ida segera menyiapkan cek 150 Milyar untuk Jenderal,” perintah Cahyadi.

Setelah menyelesaikan beberapa panggilan telepon, mereka berdua pun berjalan menuju kendaraan yang berada di basement melalui lift khusus CEO.

Mengendarai kendaraan favoritnya, Mercedes-Benz SLK 350 berwarna biru, mereka berdua langsung menuju ke lokasi jalan besar di dekat lampu merah yang tertutup oleh pagar seng.

“Mr. C, anda bersemangat sekali, apakah ini sesuatu yang spesial?” tanya Chintya dari kursi penumpang.

“Tentu, ini bukan hanya spesial. Dari sinilah semuanya berawal.” ujar Cahyadi bersemangat.

“Tidak akan saya lepaskan. Apapun caranya, lokasi itu harus kudapatkan,” lanjutnya penuh tekad.

“Mr. C, Anda ingin membeli lahan baru?” tanya Chintya.

“Iya, lokasi itu harus saya ambil alih,” jawabnya.

‘Mr. C yang terjun langsung ke lokasi untuk membelinya? Ini pasti lokasi yang sangat strategis,’ guman Chintya.

Tak berapa lamapun mereka tiba di lokasi.

Parkir tepat di depan pagar seng berwarna biru, tidak ada informasi apapun di situ. Hanya tulisan “TANAH INI DI JUAL.”

“Mr. C, apakah ini lokasi yang Anda inginkan?” tanya Chintya ragu-ragu.

“Iya betul. Ini lokasinya,” jawab Cahyadi sambil tersenyum.

“Tapi … lokasi ini terlalu kecil, dan tempatnya juga kurang strategis. Anda mau bangun apa disini Mr. C?” ujar Chintya yang masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa CEO-nya langsung yang harus turun tangan untuk mengambil alih lokasi ini.

“Dari sini segalanya dibangun. Dari sinilah cerita dimulai,” ujar Cahyadi Widjoyo sambil mematikan mesin mobilnya.

Merekapun turun dari kendaraan dan mulai melihat-lihat di sekitar lokasi. Cahyadi melihat ke dalam lokasi dari sela-sela pagar seng yang tertutup.

‘AGEN IKLAN KORAN’

Papan Nama usang terpasang di atas pintu masuk bangunan tua yang ada di dalam lokasi itu.

Di dalam banyak tumbuh rumput-rumput liar, sebagian merambat sampai ke langit-langit bangunan. Di ujung lahan, terlihat seperti ada makam yang tidak terawat.

Tidak ada seseorangpun di dalam lokasi tersebut.

“Mr. C, lihat disana ada pos penjaga. Mungkin mereka mengetahui sesuatu,” ujar Chintya menunjuk kearah samping agak jauh dari lokasi.

Pos penjaga itu terbuat dari tripleks dan kayu bambu, terdapat 2 orang pemuda bertattoo yang sedang main catur sambil minum kopi dan seorang lagi sedang berbaring di sebuah bale-bale bambu.

Semakin mendekati pos penjagaan tersebut, terlihat Logo Bintang Hitam besar di tembok tripleks  bagian dalam.

“Mereka lebih terlihat seperti segerombolan preman jalanan dibandingkan sebagai penjaga,” bisik Chintya.

“Bintang Hitam itu adalah Ormas yang cukup besar di jalanan. Itu karena rata-rata dari mereka adalah preman jalanan,” ujar Cahyadi menjelaskan kepada Chintya.

“Kamu tidak usah khawatir, aku mengenal daerah ini cukup baik,” lanjut Cahyadi menenangkan.

“Permisi … boleh numpang bertanya?” ujar Chintya disamping kedua pemuda yang sedang bermain catur.

“Widiihh, siang-siang gini ada bidadari jatoh dari langit,” ujar salah satu dari mereka.

“Ternyata emang bener yaa, bidadari itu harum banget,” ucap temannya yang memakai anting sambil menghirup udara dalam-dalam ke arah Chintya.

Secara reflex, Chintya mundur selangkah melihat situasi seperti itu.

Melirik sekilas ke arah Cahyadi, dia melanjutkan, “Disitu tertulis tanahnya dijual, apa bisa tahu siapa pemilik tanah tersebut?”

“Iya betul, tanah itu emang dijual. Duduk dulu sini, masa ngobrolnya sambil berdiri di luar,” ujar pemuda yang memakai anting tersebut sambil menyiapkan kursi kayu panjang di dekat bale-bale yang sedang ditiduri seorang pemuda.

Mereka berdua duduk di kursi panjang yang telah disediakan. Tanpa sengaja, kaki Chintya menendang tumpukan Botol Bir yang terjejer di bawah kursi tersebut.

“krintiing … krintiiing”

Botol-botol tersebut jatuh berserakan di lantai.

“WOII … RIBUT KAU YA,” teriak pemuda yang tertidur di bale-bale karena terusik oleh suara botol jatuh berserakan.

“Bangun lu Black, ada tamu nih,” ujar kawannya.

Menyadari kehadiran Cahyadi dan Chintya di dekatnya, pemuda yang dipanggil Black itu duduk di pinggir bale-bale sambil mengucek mata dan merapihkan rambutnya.

“Iya tanah itu dijual, yang punya boss kita,” ujar pemuda yang memakai anting.

“Boleh kita melihat ke dalam?” tanya Cahyadi Widjoyo.

“Perintah boss, gak ada yang boleh masuk ke dalam. Kalau serius mau beli tanah itu, nanti langsung ketemu sama boss aja,” jawabnya.

“Iya, saya serius untuk membeli tanah itu. Bisa ketemu dengan boss untuk negosiasi?” lanjut Cahyadi.

Black yang sepertinya sudah sepenuhnya sadar dari bangun tidurnya, mengatakan “Gimana kita bisa tau kalian serius? Ngomong doang mah gampang. Kemaren-kemaren ada yang datang juga gitu, bilangnya serius mau beli, ternyata makelar tanah.”

“Gini aja, lu kasih uang 5 juta sekarang sebagai tanda keseriusan. Nanti kita bawa ketemu sama boss, gimana?” lanjutnya.

“Uang 5 juta tidak masalah, bisa saya kasih sekarang juga. Hanya saja, bagaimana saya bisa yakin kalau tanah itu memang milik boss kalian?” ujar Cahyadi.

“Kalau bukan punya boss kita, ngapain dia bikin pos penjagaan terus suruh kita berjaga disini,” timpalnya.

“Udah, kalau gak ada uang 5 juta, mending pergi aja dari sini. Ganggu orang tidur aja,” ujarnya ketus.

“Baik, saya akan siapkan dulu kalau begitu. Nanti saya kembali lagi dengan uang 5 juta,” ujar Cahyadi sambil berdiri dan mengajak Chintya untuk beranjak dari situ.

Berjalan disamping Cahyadi menuju Mobil Mercedes-Benz SLK 350 berwana biru, Chintya bertanya dengan penuh rasa penasaran, “Mr. C, mengapa Anda tidak berikan saja uang 5 juta agar bisa bertemu dengan boss mereka? Bukankah Anda sangat menginginkan lokasi ini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status