Share

Bab 5

“Saya merasa ada yang aneh. Saya butuh informasi yang lebih detail sebelum bertemu dengan boss mereka,” ujar Cahyadi sambil memasuki kendaraan.

Mereka berduapun meninggalkan lokasi, tidak jauh dari situ Cahyadi membelokkan kendaraannya memasuki gang kecil di tengah-tengah pemukiman padat penduduk. Setelah beberapa belokan yang membuat Chintya kebingungan, mereka sudah berada di jalan besar. Cahyadi memarkirkan kendaraannya di Mini Market Circle K.

“Mr. C, kok Anda bisa mengetahui jalan di sini dengan baik?” tanya Chintya.

“Kan tadi saya sudah bilang, saya memahami daerah ini dengan sangat baik,” jawabnya sambil tersenyum.

 “Tapi Anda belum bilang bagaimana sampai bisa memahami daerah ini dengan baik,” tuntut Chintya.

“Hahaha … Ayo kita turun ngopi dulu disini, nanti saya ceritakan,” ujarnya sambil mematikan mesin mobil.

Cahyadi membiarkan Chintya masuk ke dalam Circle K untuk memesan kopi, sedangkan dia memilih untuk duduk di kursi yang tersedia di luar sambil melihat-lihat area di sekitar.

Duduk menghisap rokok Dji Sam Soe, matanya menatap tajam kearah rumah tua yang berada tepat di depan Circle K.

Dari gerobak yang terparkir di depan rumah tua tersebut, dapat diketahui bahwa di rumah tua itu menjual Bubur Ayam dan Nasi Uduk.

“Mr. C, ini kopi Anda,” ujar Chintya yang datang membawa 2 gelas kopi panas.

Aroma khas dari kopi yang keluar, menyamarkan wangi parfum Channel No. 5 sekertarisnya.

“Saya tahu kamu merokok. Bagi perokok, minum kopi tanpa menghisap rokok bagaikan masakan tanpa garam, hambar,” ujar Cahyadi tersenyum sambil menghembuskan asap dari mulutnya.

“Hahaha … bisa aja Mr. C” ucap Chintya tertawa.

“Hari ini, tidak ada istilah atasan dan bawahan. Hari ini, kamu bukan sekertarisku, tetapi temanku. Saya ingin kita santai agar bisa rileks. Itulah mengapa saya minta kamu untuk mengenakan pakaian kasual,” lanjut Cahyadi.

“Iya pak saya memang merokok,” ujar Chintya sambil mengeluarkan rokok Capri dari dalam tas nya.

“Karena Mr. C yang minta saya hari ini untuk bersikap sebagai seorang teman, saya akan melakukannya,” lanjutnya.

Cahyadi Widjoyo memang selalu bersikap lembut terhadap seluruh karyawannya tanpa terkecuali. Tidak pernah ada yang melihat Cahyadi memarahi karyawannya dengan suara keras. Jika ada yang membuat kesalahan, maka akan dinasehati dengan baik diruangannya tanpa ada satupun yang menyaksikan. Itulah yang membuat seluruh karyawannya menjadi loyal.

Sekuat dan semenarik apapun penawaran perusahaan lain untuk ‘membajak’ karyawan Cahyadi Widjoyo, tidak akan pernah berhasil.

Banyak dari karyawan senior yang telah lama mengikutinya menganggap bahwa kebaikannya karena dia adalah kerabat dekat dari Sang Jenderal.

‘Seekor Singa tidak perlu menunjukkan taringnya untuk membuktikan bahwa dia adalah Singa.’

“Mr. C, jadi bagaimana Anda bisa begitu mengenal daerah ini?” tanya Chintya yang masih penasaran.

“Jelas saya mengenal daerah ini dengan begitu baik. Karena saya dibesarkan di sini,” jawabnya sambil terus menatap ke arah rumah tua dihadapannya.

“Saya kurang paham Mr. C, maksudnya dibesarkan bagaimana?” ujar Chintya kebingungan.

“Apa kamu mengira saya sudah kaya sejak lahir?” tanya Cahyadi.

“Iya sudah tentu. Anda kerabat dekat dari Jenderal. Tidak mungkin dari keluarga biasa-biasa saja,” ujar Chintya sambil menghirup kopi panas nya perlahan.

“Saya bertemu dengan Jenderal ketika beliau menjabat sebagai Komandan Pasukan Khusus 20 tahun yang lalu. Saat itu saya berumur 28 tahun sedang menjalankan bisnis garment dan baru memulai bisnis properti. Beliau mengangkat saya sebagai anak asuhnya karena Beliau percaya saya akan membawa karirnya melesat sesuai dengan perhitungan Primbon yang diyakininya,” ujar Cahyadi mulai bercerita.

“Saya bukanlah dari keluarga kaya,” lanjutnya.

“Saya adalah penjual koran keliling. Ini adalah daerah jualan saya. Di daerah sinilah saya dibesarkan.”

“Jadi … maksudnya Anda dahulu adalah seorang penjual koran keliling?” tanya Chintya terpana menatap Cahyadi.

“Iya, betul sekali,” jawabnya singkat.

“Tapi, bagaimana … bagaimana mungkin Anda bisa menjadi seperti sekarang? Anda berada di urutan ke 17 orang terkaya di negeri ini. Bagaimana mungkin seorang penjual koran keliling bisa menjadi Milyarder bahkan umurnya masih 40 tahun-an,” tanya Chintya yang tidak dapat menerima kenyataan.

“Itu karena saya punya cara, bagaimana seorang tukang koran bisa menjadi Milyarder,” ujarnya tersenyum.

“Lokasi yang ingin saya miliki, adalah tempat bersejarah bagi saya. Itu adalah kantor pertama saya. Ketika itu kami bertiga menjalankan bisnis advertising, Saya bersama Pak Soleh dan Bang Ridwan,” lanjut Cahyadi.

“Lokasi kita ngopi saat ini, tepat berada dibelakang lahan tersebut.”

Cahyadi terdiam ketika melihat ada seorang wanita paruhbaya yang keluar dari rumah tua dihadapannya melayani orang beli Bubur Ayam.

‘Bu Romlah,’ gumam Cahyadi sedikit berbisik.

“Chintya, ayo ikut saya. Kita menemui seseorang yang saya harap mengetahui informasi lebih banyak tentang lahan itu,” ajak Cahyadi yang langsung berdiri bergegas menuju ke rumah yang berada tepat diseberang Circle K tempat mereka minum kopi.

Mereka berduapun berlalu menyebrangi jalan menuju ke rumah tersebut.

“Assalamualaykum, Bu Romlah,” sapa Cahyadi tepat ketika wanita paruhbaya tersebut selesai melayani orang beli Bubur Ayam.

“Waalaykumsalam, ini siapa ya?” jawab wanita tersebut.

“Saya Widjoyo Bu, Cahyadi Widjoyo, masih ingat sama saya?”

“Widjoyo? Ini kamu Wid? Beneran ini kamu?”

“Iya Bu, ini saya. Apa muka saya berubah?” ujar Cahyadi sambil memegang mukanya.

“Ya Allah Wid, udah lama sekali. Kirain kamu udah lupa sama kampung ini,” ujar Bu Romlah terharu.

“Ayo sini masuk. Itu isteri kamu ya? Masih muda dan cantik sekali, pinter juga ya kamu Wid pilih isteri.”

“Haha, bukan Bu. Ini sekertaris saya, kenalin namanya Chintya.”

“Salam kenal Bu, Saya Chintya, sekertarisnya Pak Cahyadi,” ujar Chintya sambil menjabat tangan Bu Romlah.

“Cantik sekali, ayo sini masuk ke dalam,” ajak Bu Romlah kepada mereka berdua.

Setelah duduk dan terpaksa makan nasi uduk karena tidak bisa menolak tawaran dari tuan rumah, Cahyadi pun mulai bertanya kepada Bu Romlah. “Saya lihat warungnya Pak Soleh itu ditutup pagar seng dan ada tulisan dijual. Bu Romlah tahu siapa pemilik tanah tersebut?”

“Ahhh … jelas saya tahu siapa pemilik tanah itu,” ucapnya sedih.

“Setelah kamu pergi dari kampung ini, tidak lama kemudian Pak Soleh membeli tanah tersebut sekembalinya beliau dari Tanah Suci untuk menunaikan Ibadah Haji,” lanjutnya.

“Oh, jadi itu sudah milik Pak Soleh. Baguslah kalau begitu,” ucap Cahyadi.

“Namun beberapa tahun kemudian, Pak Soleh meninggal dunia,” ujar Bu Romlah.

“Innalillahi wa innaillaihiroji’un,” ucap Cahyadi dan Chintya berbarengan.

“Apa beliau punya ahli waris Bu?” tanya Chintya lebih lanjut.

“Iya betul, Pak Soleh punya seorang anak perempuan yang tinggal di kampung dari isterinya terdahulu. Setelah mengetahui kabar kematian Pak Soleh, anak perempuannya sempat tinggal disitu bersama suaminya. Mereka hanya tinggal berdua karena tidak mempunyai anak,” jelas Bu Romlah.

“Anaknya bernama Wati, sedangkan suaminya bernama Ari.”

“Ari ini kerjanya hanya berjudi sabung ayam saja setiap hari. Akhirnya disitu jadi tempat kumpul para penjudi sabung ayam. Itu yang membuat Ridwan pergi dari situ,” lanjut Bu Romlah.

“Suatu ketika, dia kalah dan ayamnya mati. Dia menggadaikan sertifikat tanah itu ke rentenir untuk membeli ayam baru, yang akhirnya ayam itu hilang dicuri orang. itu yang menyebabkan mereka terlilit hutang. Karena tidak sanggup bayar, akhirnya mereka diusir dari situ,” ujar Bu Romlah sedih.

“Sekarang mereka dimana Bu?” tanya Cahyadi.

“Mereka kembali ke kampung, sudah tidak berani kembali kesini lagi.”

“Yang bikin saya sedih, ternyata itu semua adalah permainannya si rentenir,” ujar Bu Romlah.

“Permainan gimana maksudnya Bu?” tanya Cahyadi penasaran.

“Dia menyuruh anak buahnya untuk menaruh racun di pisau ayam lawan tandingnya Ari, makanya ayamnya Ari mati. Setelah itu dia membujuk Ari untuk meminjam uang kepadanya biar bisa membeli ayam baru. Kemudian malamnya, dia menyuruh anak buahnya untuk mencuri ayam tersebut,” jelas bu Romlah.

“Bu Romlah tahu informasi ini dari mana?” tanya Cahyadi.

“Saya tahu karena anak saya yang cerita. Dia dulu bekerja sama rentenir itu. Tapi dipecat karena menolak waktu disuruh mencuri ayamnya Ari.”

“Siapa nama rentenir itu Bu? Bisa kasih tahu saya dimana rumahnya?” pinta Cahyadi.

“Namanya Martin, biasa dipanggil orang Om Aten,” ujar Bu Romlah.

“Tapi kamu harus hati-hati kalau kesana, karena dia dikawal sama seseorang preman yang punya banyak anak buah. Kamu kenal sama orang itu Wid,” ujar Bu Romlah memperingatkan.

“Saya kenal dengan orang itu, Siapa dia Bu?” ujar Cahyadi penuh tanda tanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status