Share

makhluk Tuhan paling seksi

🌷🌷

Pagi-pagi buta suara Dewi sudah membuat gaduh saat nongol di kamar, padahal ayam tetangga saja belum pada bangun. Lah ini anak udah stand by aja dimari.

“The. Ada kabar baik buat kamu!” Dewi menarik selimut yang menutupi tubuhku.

“Paan, sih, Wi. Ini masih pagi tau!” Aku malas membuka mata. Lampu dan gorden pun masih tertutup rapat. Jika pun sudah siang, Bi Sumi pasti membangunkanku.

“Pagi dari Hongkong. Udah jam sembilan loh, The!” Dewi menarik tanganku agar duduk. Oke, aku manut. Dewi bisa lebih sadis dari ibu tiri jika keinginannya tidak dituruti.

Aku bisa menebak, jika Dewi bersekutu dengan Bi Sumi agar masuk zona nyamanku. Dasar mereka wanita nggak ada akhlaq!

Aku melihat Dewi sudah rapi dengan dandanan yang natural. Bibir yang hanya dilapisi lipensetip tipis, ditambah taburan bedak bayi membuatnya terlihat lebih segar kaya asinan Bogor.

“Mandi, gih. Jangan lupa hari ini ada kencan buta hari kedua!” Dewi menunjukkan angka dua dengan jarinya.

Ish, lagi-lagi Dewi mengingatkan hal yang tidak ingin aku dengar. Memang kemarin aku mengiyakan untuk melanjutkan permainan ini sampai tiga puluh hari ke depan, tapi jika dipikir ulang rasanya hanya aku yang akan lelah. Mencari jodoh tidak semudah mencari kutu di kepala kucing. Susah, Bray!

“Aku males, Wi. Mau makan dulu,” ucapku seraya berdiri hendak keluar kamar. Biasanya jam segini Bi Sumi sedang memasak sesuatu untuknya sarapan, jadi bisa sekalian minta jatah makanannya.

Di dapur tampak wanita berusia lima puluh tahun tengah menggoreng telur. Wajahnya menoleh lalu tersenyum saat menyadari kehadiranku dan Dewi.

Bi Sumi sudah mengabdi di sini hampir empat tahun, tepatnya setelah Mama meninggal. Papa meminta beliau untuk beres-beres saja, tidak mewajibkan memasak atau menginap. Jika pekerjaannya sudah selesai, ia boleh pulang dan kunci rumah bisa dititipkan ke satpam komplek.

“Sarapan, Mbak The,” tawarnya. Aku mengangguk, lalu duduk di meja makan. Dewi yang rupanya mengikuti ikut duduk di sebelahku dan membuka tudung saji. Mataku dibuat takjub dengan banyaknya makanan di sana.

“Siapa yang beli, ini? Buju buneng. Banyak bener!” seruku saat melihat makanan di meja. Ada batagor, siomay, bala-bala, dan tak lupa odading Mang Solihin yang terkenal seantero komplek seksi.

Dewi menepuk dadanya, sebagai pertanda dialah pahlawan kesiangan yang membelikan semua makanan itu.

Tanpa ba bi bu, aku mengambil dua buah odading lalu melahapnya. Tak lupa berdoa juga berharap semoga setelah memakannya aku bisa berubah menjadi cantik.

Uhukkk ... saking semangatnya aku tersedak. Dewi menepuk-nepuk punggung lalu menyodorkan segelas air.

“Pelan-pelan napa, The.”

Tersedak membuatku kehilangan selera makan. Kata mendiang Mama, kalau kita dibelikan makanan lalu tersedak, itu tandanya orang yang membelikan tidak ikhlas. Oke, fix. Dewi nggak ikhlas.

“Makan lagi, The. Aku beli ini buat kamu,” ucapnya. Aku diam sambil melap mulut dengan tissue.

“Hari ini ketemuan di mana, Wi?”

“Tempat kemarin, The.”

Dewi menyerahkan ponselnya agar aku bisa melihat seperti apa lelaki yang akan berkencan denganku hari ini.

Namanya Roy Bayangan. Lelaki blasteran karena terlihat dari bibirnya yang mirip bule Eropa, namun matanya mirip orang Arab. Bagaimana bentuknya, silakan bayangkan saja sendiri. Yang terpenting buatku, dia ganteng. Titik!

“Ketemuan jam berapa?”

“Siang ini.”

“Oke. Aku siap-siap dulu!” Aku beranjak meninggalkan dapur, mandi dan ganti pakaian.

🌷🌷

Grup Cenat cenut Cinta, sedikit aneh menurutku. Meskipun begitu, sudah banyak pasangan manusia yang naik ojek, eh, pelaminan berkat grup ini. Followersnya pun bikin geleng-geleng kepala. Banyak!

Kedai kopi ini langganan aku dan Dewi nongkrong jika pulang kerja, dan hampir semua karyawan di sini hafal benar apa yang biasa kami pesan.

Setelah memilih tempat duduk yang nyaman, seorang waiters yang mengenakan seragam kedai berwarna hitam kuning membawakan minuman. Tentu saja, es kopi ditemanu sepiring pisang goreng.

Jujur saja aku masih trauma dengan kencan pertama. Lelaki yang kemarin pun tampak sempurna, bahkan idaman banget. Namun, ya sudahlah. Jangan dibahas. Anak Mama, go away. Manja! Lalu bagaimana dengan yang sekarang?

“The, dia bentar lagi sampai!”

Dewi mengarahkan ponselnya di depan wajahku. Melalui layar GPS, aku bisa melihat bulatan kecil berwarna merah bergerak perlahan. Namun untuk kali ini Dewi enggan membiarkan aku sendiri. Dewi Fortuna ini pun ingin melihat sosok Roy Bayangan yang memiliki fans garis keras sampe ribuan.

Cringg ... lonceng di pintu berbunyi saat dibuka, pertanda ada pengunjung datang.

“Sumpah demi Dewi persik, eh salah. Demi Dewi Fortuna. Ganteng banget, Theresia!” Dewi yang duduk di sebelahku menatap ke arah pintu dengan mulut menganga. Air liurnya nyaris meluncur, namun dengan cepat ia meraih selembar tissue lalu menyekanya. Ish, jorok!

Lelaki tinggi itu sesuai dengan yang di foto. Tinggi, putih, hidung mancung, ganteng dan seksi dengan tubuh berotot. Pastinya bukan editan kamera jahanam. Ini asli ganteng made in rahim.

“Halo ... boleh saya duduk?” tanyanya. Aku hanya bisa mengangguk, kehabisan kata-kata saking terpesona dengan ciptaan Tuhan yang maha sempurna ini. Aku menoleh ke arah Dewi, ia pun sepertinya sama sepertiku. Speechless!

“Oh, iya. Maaf. Kamu Theresia, 'kan?” tanyanya, ia lalu mengulurkan tangannya. Refleks, Dewi menyambar tangan kekar itu terlebih dulu.

“Saya, Dewi. Temannya Theresia!” Dewi nyengir memamerkan keindahan senyumannya, bonus lesung pipi yang dalamnya mirip sumur.

Aku menepuk kening, tidak habis pikir dengan tingkahnya. Usia aku dan Dewi hanya berbeda setengah minggu, bedanya Dewi lebih beruntung daripada aku, karena ia akan segera melangsungkan pernikahan beberapa bulan lagi.

Aku berdehem, menetralisir radikal bebas. Dewi pun menawarkan minum untuk Roy. Dan beruntungnya lelaki ini menyukai kopi. Yes, dia lelaki sejati. Bukan lelaki rumahan yang setia di bawah ketiak Mama.

Untuk beberapa saat lamanya, kami bertiga hanyut dalam canda tawa. Roy Bayangan pandai bermain kata, membuatku terbuai dan yakin untuk melanjutkan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius.

Oh, Roy! Kamu adalah makhluk Tuhan yang paling seksi!

Pesanan kopi milik Roy datang, si Mbak waiters pun dibuat terpesona sampai saat hendak meletakkan kopi di meja, tangannya menyenggol nampan yang ia bawa dan kopi panas itu nyaris tumpah. Namun dengan cepat tangan Roy menahannya, maka jadilah adegan saling berpegangan tangan pada secangkir kopi. Membuatku sukses hareudang!

Wajah Mbak waiters memerah, setelah mengucapkan maaf dan terima kasih ia undur diri. Lalu kami pun melanjutkan obrolan.

Roy mengangkat kaki kanannya lalu bertumpu pada kaki kiri. Oh, God. Sumpah demi apa aku memperhatikan semua gerakannya. Ini cowok perfect abis!

Yang baju merah jangan sampai lolos. Genderang perang bertalu-talu menyuarakan agar jangan sampai melepaskan momen berharga ini. Roy, kamu adalah milikku!

Sesi pertanyaan tentang latar belakang pun dimulai. Roy bercerita bahwa ia adalah seorang binaragawan dan instruktur di sebuah pusat kebugaran. Ucapannya bisa dipercaya melihat tubuhnya yang kekar dan macho. Aww!

“Usiaku 42 tahun,” ucapku. Dalam hati aku berdoa agar dia tidak keberatan dengan usiaku yang sudah tua.

Roy tersenyum manis, membuta hati ini meringis ingin memiliki bibir ranumnya. Eh, belum halal, woy! Sadar, The, sadar!

Roy mengangguk paham, dan mengatakan ingin mengadakan pertemuan selanjutnya. Itu artinya jika kencan buta ini berhasil.

Horeee ... Papa ... The pulang bawa calon mantu ganteng! Please, ya. Cuma teriak dalam hati.

Saat hendak sesi pertukaran nomor telepon, aku menghidu aroma lain dari bawah meja yang membuatku mual.

Huek ... Dewi yang sudah tidak tahan dengan baunya bereaksi lebih cepat. Ia tancap gas menuju toilet.

Kepalaku berada di bawah meja, mencari sumber masalah. Masa iya ada bangkai buaya darat di kolong kedai kopi. Namun pada nyatanya bersih, bangkai nyamuk pun tidak ada. Yang ada hanya sepasang kaki yang dibalut sepatu hitam. Oh, no! Jangan-jangan ....

Tak lama Dewi muncul dan kembali duduk bergabung. Aku menatap wajah Roy yang masih terlihat tenang.

“Sorry, ya. Kamu pasti mencium aroma dari sepatu aku ya,” tuturnya polos.

Buset, itu sepatu udah berapa bulan nggak dicuci.

Dewi menyikut lenganku dan mengatakan supaya pergi, dan dengan cekatan menarik tanganku agar segera menjauh dari TKP.

“The, saya belum tau nomor hape kamu!” Terdengar teriakan Roy. Dewi semakin mempercepat langkahnya. Aku bingung dengan sikap temanku ini, di satu sisi ia ingin aku segera punya pasangan, giliran yang sempurna ada di depan mata malah disia-siakan.

“Wi ....” Aku menarik tangannya agar berhenti saat kami sudah jauh dari kedai. Ia manut, lalu menoleh ke arahku.

“Aku tekan tombol failed ya untuk kencan hari ini.”

“Kok gagal, sih, Wi!” protesku.

“Dia ganteng. Tapi nggak bisa ngerawat dirinya, The. Gimana dia mau jagain kamu coba.” Dewi mengeluarkan unek-uneknya.

“Tapi bagi aku dia sempurna, Wi!”

“Kesempurnaan hanya milik Tuhan, kamu dan aku atau dia, hanya manusia biasa!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status