Share

Biru Langit

Apa kamu tahu cuaca paling enak untuk bermain-main di laut? Yaitu saat mendung tersebar rata, tapi hujan tidak turun. Setidaknya, bagi Biru, itulah yang paling indah. Laut biru. Saking sukanya dengan laut, Biru menggunakan unsur laut untuk menjadi nama penanya. Oceana Biroe. Lucu, ya? Tapi Biru menyukainya.

Biru menatap hamparan laut di hadapannya. Biru berkilauan, dengan angin laut yang menerbangkan anak rambut yang tak bisa dikucir. Karena rambutnya yang pendek sebahu, dengan model potongan mulet, Biru tidak bisa memastikan semua helainya disatukan dalam karet rambut.

Hari ini ia sedang berjalan-jalan di Pulau Pahawang, salah satu destinasi yang berada di provinsi Lampung. Biru memasukkan kakinya ke dalam air dengan duduk di dermaga sembari menikmati semilir angin. Otaknya merangkai berbagai kemungkinan untuk alur novel selanjutnya. Sesekali ia menghela napas kalau dirasa alur di kepalanya terlalu aneh. Lalu kemudian, kembali menyusun alur gambaran kasar di imajinasinya.

Suara ramai membuyarkan lamunan Biru. Mau tak mau gadis itu menoleh ke arah ramai itu. Gerombolan anak muda bersiap-siap hendak berfoto bersama dengan ijazah di tangan mereka. Mereka juga mengenakan toga dan berjejer untuk melakukan foto kenang-kenangan.

Ah, indahnya masa muda.

Saat Biru hendak beranjak dari tempatnya duduk, seorang pemuda dari gerombolan itu datang mendekati Biru sembari membawa ponselnya.

“Kak, boleh minta foto?” tanyanya.

“O, oke,” jawab Biru agak tergagap. Maksudnya, kan mereka beramai-ramai. Tapi kenapa dia minta tolong Biru untuk difotokan? Kenapa tidak minta yang lain? Tapi Biru tidak bicara banyak. Ia menyodorkan tangannya meminta ponsel pemuda itu untuk difotokan.

“Eh, bukan kakak yang fotoin. Tapi saya mau minta foto bareng kakak.”

Seketika alis Biru berkerut. Maksudnya apa? Dia bahkan bukan artis. Apa orang itu penggemar novelnya?

“Boleh, ‘kan?” tanyanya memastikan lagi.

Biru akhirnya mengangguk. Toh fotonya bareng. Dia juga nanti mau minta fotonya. Jadi, kalau tiba-tiba ada yang santet dia, dia bakal santet balik.

Pemuda itu berdiri di sebelah Biru. “Maaf, Kak. Boleh saya rangkul, nggak?” tanya pemuda itu sopan.

“Sori. Boleh ajak foto bareng, tapi nggak boleh terlalu dekat,” jawab Biru tegas. Pemuda itu tersenyum dan mengangguk. Ia akhirnya berdiri di sebelah Biru dan mulai mengambil foto dengan kamera depan. Sebenarnya ia merasa sedikit insecure dengan pemuda di sebelahnya. Yah, karena niatnya hanya mencari inspirasi, Biru tidak berdandan banyak. Ia hanya memakai celana jeans selutut dengan kaus berwarna ungu pastel. Berbeda jauh dengan orang yang mengajaknya foto, yang memakai toga lengkap dan rapi.

“Makasih ya, Kak. Boleh minta nomor w******p-nya? Mau kirim fotonya.”

Biru mengangguk. Ia menyebutkan rangkaian nomor telepon dan langsung disimpan oleh pemuda itu.

“Namanya siapa, Kak?”

“Lah, gua kira lu ngajak foto itu kenal sama gua,” jawab Biru santai. Pemuda itu hanya tertawa kecil.

“Jadi mau disave apa ini? Masa depan?” tanyanya berkelakar.

“Hah?”

“Ya kakak ditanya nggak jawab. Kan aku nggak tahu nama kakak.”

Biru menggaruk kepalanya. “Hadeh. Gua kira lu udah tahu. Save Biru aja. Nama gua itu.”

“Kepanjangannya?”

“Buat apa panjang-panjang?”

“Buat diapalin. Biar kalau ijab qabul nanti udah apal.”

“Dih. Ngada-ngada. Kenal aja kagak.” Pemuda itu tertawa mendengar jawaban Biru. Tak lama kemudian, suara notifikasi pesan masuk di ponsel Biru. Gadis itu mengambil ponselnya dan membuka aplikasi hijau itu.

‘Tes’

‘Save, ya. Calon masa depanmu.’

Biru menatap pemuda di depannya dengan tatapan kesal. Pemuda itu tersenyum lebar seolah tak memedulikan tatapan Biru.

“Bisa jelasin maksudnya apa?” tanya Biru langsung.

“Nggak ada maksud apa-apa. Hehee. Kan kamu nggak nanya namaku.”

Biru memutar bola matanya. Ia juga menarik napasnya untuk mengatur emosinya yang dikit lagi meledak.

“Lu yang butuh, harusnya lu yang kasih tahu nama lu tanpa harus gua tanya, kan? Nggak gua save juga nggak masalah buat gua.”

“Langit. Furqan Langit Ghadi. Mamaku suka banget sama langit, makanya namaku diselipin kata langit. Jadinya namaku agak unik, kan?”

Biru benar-benar ingin menjawab, “Nggak nanya! Sumpah gua nggak nanya dan gak perlu lu kasih tahu juga karena nggak penting!” Tapi, ia menutupinya dengan senyum terpaksa yang sangat terlihat. Langit yang tahu maksud senyum itu menyunggingkan bibirnya, membentuk lengkungan senyum dengan lesung pipi dalam di pipi kanannya.

“Langit! Buruan! Kita waktunya makan siang!” Sebuah teriakan dari rombongan yang datang bersama Langit tadi memanggilnya.

“Oke. Tunggu bentar!” balas Langit dengan teriakan juga.

“Aku pamit ya, Kak. Sampai jumpa lagi!”

Langit langsung pergi setelah berpamitan dengan Biru. Bahkan, saat dia sudah sampai di rombongannya pun Langit masih sempat melambaikan tangannya ke arah Biru. Anehnya, gadis itu terus mengamati Langit bahkan sampai pemuda itu tidak terlihat. Biru menghela napas. Pemuda aneh yang sangat aneh. Hanya itu yang Biru bisa rasakan sebagai kesan pertemuan pertama. Benarkah ini adalah pertemuan pertama? Kalau pertama, pasti masih akan ada yang kedua, ketiga, dan seterusnya, kan?

Biru langsung menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba masuk dalam kepalanya.

“Kayanya karena kelamaan ngelamun, jadinya ngelantur,” gumamnya. Gadis itu akhirnya beranjak dari tempatnya duduk dan berniat untuk berjalan-jalan lagi. Mungkin ia akan menemukan ide lain guna membuang pikiran melanturnya itu.

***

Malam itu gelap. Malam itu sepi. Malam juga menyakitkan bagi Biru. Biru menyukai hujan, tapi ia tidak suka jika hujan itu harus bercumbu dengan malam. Gadis itu suka hujan, tapi ia tidak suka jika petir menjadi pemeriah suasana hujan. Terlebih itu semua ketika malam telah merayap. Dingin. Dinginnya sampai ke bagian terdalam dari tubuh dan hati Biru. Seperti dirinya kali ini. Keringatnya membanjiri, seolah dirinya baru saja terkena hujan yang deras yang ada di luar. Petir menggelegar tanpa jeda, menyambar bumi seolah cemeti yang dilecutkan penggembala untuk menggembalakan dombanya. Biru meringkuk. Tubuhnya gemetaran, rasanya benar-benar menakutkan bahkan sampai gadis itu tidak bisa bernapas dengan benar. Seandainya ia bisa tidur, mungkin ia tidak akan setakut ini. Sayangnya semua hanyalah angan-angan belaka. Bahkan, dalam mata terpejam pun Biru dapat merasakan dan melihat kilatan petir yang menyambar di luar.

“Ya Allah, tolong. Tolong hentikan petirnya. Tolong! Atau pingsankan aku saja. Kumohon. Dengan begitu, aku bisa melewati malam ini tanpa waktu yang panjang.” Gadis itu berdoa dalam tangisnya. Ia bahkan bersembunyi di balik selimut, sembari memeluk sebuah boneka koala berwarna abu-abu. Bibirnya terus menggumamkan berbagai doa yang ia bisa. Hatinya terus berharap agar ia bisa melewati malam ini dengan baik-baik saja. Atau setidaknya, sampai pagi datang. Dalam tangis dan harap itu, Biru akhirnya tertidur karena kelelahan dan badai malam itu pun berlalu.

Paginya, seperti biasa. Suhu tubuh Biru naik. Kepalanya pusing dan berat. Perutnya sakit. Keringat dingin terus keluar tanpa henti. Di tengah kepayahan itu, ponsel Biru berdering. Ia meraih ponselnya yang berada di atas meja dan menempelkannya ke telinga.

“Halo!” sapaan lirih itu keluar dari bibir Biru.

“Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam. Ada apa, Git?”

Suara Gita terdengar dari seberang ponsel. “Lu ambruk?”

“Ya. Kaya biasa.”

Gita sudah sangat hapal. Pagi tadi, ia membaca pesan masuk dari Biru yang hanya terdiri dari dua kata, tapi cukup untuk membuat Gita memahami situasinya.

“Nanti gua ke sana. Kebetulan hari ini gua WFH. Mau bubur ayam atau nasi uduk?”

“Bubur aja, tolong!”

“Oke. Nanti gua ke sana sama adek gua. Dia baru balik dari perantauannya karena udah lulus kuliah. Biar ada yang bisa bantuin gua juga,” ucap Gita. Biru menjawabnya dengan berdehem.

“Oke. Gua matiin. Kuncinya cabut dulu, biar gua bisa buka pintu rumah lu.”

“Iya. Udah tadi sekalian ke kamar mandi. Thanks banget, ya.”

“Santai aja. Kaya sama siapa. Mungkin sejam lagi gua sampe sana. Lu tidur aja dulu. Dah, Assalamu’alaikum.”

“Hmm. Waalaikumsalam.”

Panggilan berhenti. Senyum tipis tercetak jelas di bibir Biru. Hatinya terasa menghangat. Gita sudah sangat paham pada masalah Biru satu ini. Biru pernah meneleponnya tengah malam saat hujan petir karena ketakutan. Biru yang memang tinggal sendiri membuat Gita khawatir dan langsung mematikan teleponnya. Bukan apa-apa. Ia takut petir itu malah menyambar rumah Biru dan semua jadi makin kacau. Akhirnya gadis itu mengendarai mobilnya dan langsung bergegas menuju ke rumah Biru. Karena kondisi kacau, Biru juga tidak bisa beranjak dari tempat tidurnya, Gita akhirnya mencongkel jendela dapur yang tidak ditralis dan langsung masuk dari sana. Ia terkejut mendapati Biru yang sudah sangat kacau. Pun Biru juga terkejut karena Gita sampai menerobos badai hanya karna telponnya. Dari situlah, Biru tak pernah lagi menelepon Gita meskipun ia ketakutan. Sebagai gantinya, dia akan menuliskan pesan singkat agar pagi harinya, Gita bisa membantunya karena ia pasti akan jatuh sakit. Sampai saat ini, Biru belum menceritakan alasannya begitu takut dengan petir. Tapi, Gita juga tidak peduli. Ia akan langsung mengurus Biru sampai demam gadis itu turun.

Seperti hari ini. Gita langsung bersiap-siap dan membangunkan adiknya untuk menemaninya. Ia memang tinggal sendiri. Orang tuanya berada di Jakarta untuk mengurus beberapa pekerjaan di sana. Yang pasti bukan hanya Biru yang menyimpan rahasia. Gita pun sama. Tapi keduanya seolah sepakat untuk tidak mengorek kehidupan masing-masing sampai salah satu dari mereka merasa perlu terbuka.

“Kak, mau ke mana, sih, pagi-pagi udah main seret-seret aja,” protes sang adik.

“Mau tempat Biru. Dia sakit. Dah, nggak usah berisik. Kita bawa motor aja biar agak cepet. Mampir beli bubur ayam dulu tapi.”

“Kak Biru sakit? Kok kakak tahu?”

“Buat apa punya ponsel kalo nggak dipake. Hadeh. Dah, nggak usah berisik. Sengaja kakak ajak lu, katanya lu pengen ketemu, kan, sama Biru?”

Sang adik tersenyum. Ia adalah salah satu pengagum Biru. Bahkan, ia membaca semua karya Biru tanpa terkecuali.

“Emang terbaik deh, Kakak.”

***

Gita memasuki rumah Biru dengan perlahan. Tak lupa ia membawa sekresek berisi bubur ayam. Sementara kresek lain berisi berbagai macam makanan dan buah ia serahkan pada sang adik agar dia yang membawanya.

“Lah, giliran berat aja kasih gua,” keluhnya.

Gita menatap Biru dengan tatapan tajam. “Kalo niat bantu yang ikhlas! Udah, tinggal bawa segini aja pake protes. Mau ketemu Biru, nggak?”

Sang adik mencibir. Ia menggumamkan sesuatu yang membuat Gita menoleh ke arahnya dengan alis yang berkerut. “Lu ngomong apa?” tanyanya.

“Nggak ada. Salah dengar aja kakak.” Sang adik melenggang meninggalkan Gita yang menaikkan alisnya. Ia heran. Bagaimana bisa punya adik dengan kelakuan minus seperti itu. Mungkin, dia tidak sadar kalau orang lain menganggap mereka itu mirip.

Sesampainya ia di kamar Biru, Gita meletakkan kresek berisi buburnya dan mengambil alih kresek lain yang dibawa adik. Ia pergi ke dapur untuk mengambil pisau dan piring, lalu meletakkan beberapa jus ke dalam kulkas. Roti-rotian dan beberapa buah-buahan juga dimasukkannya ke dalam kulkas. Kemudian, ia kembali lagi dengan sisa buah-buahan yang akan dihidangkan ke Biru.

“Dek, panasin air. Bikinin teh, tapi jangan dikasih gula. Di lemari bagian atas ada tolak angin. Kasih tolak angin aja. Buru! Aku mau nyuapin Biru dulu,” suruh Gita. Adiknya langsung menjalani perintah sang kakak tanpa banyak protes atau mendebat.

“Ru, Biru. Yok, bangun dulu! Nanti tidur lagi. Makan dulu, terus minum obat. Tadi aku bawain obat sekalian.”

Biru perlahan membuka matanya. Meskipun tertidur, karena rasa tak nyaman di tubuhnya, tidur Biru bisa dikatakan tidur-tidur ayam. Tidur yang tidak nyenyak. Ia duduk dengan dibantu Gita. Kemudian, Gita mengambil bubur yang masih ada di plastik, menuangkan kuahnya yang masih hangat ke dalam bubur, dan sedikih mengaduknya agar lebih mudah dimakan Biru. Kebetulan mereka berdua adalah tim makan bubur ayam diaduk.

Saat Gita menyuapi Biru, adik Gita masuk dengan membawa segelas teh panas. Ia meletakkannya di atas meja, lalu menyapa Biru.

“Halo Kakak Calon Masa Depan.”

Biru yang sedang menelan makanannya hampir saja tersedak. Gita langsung menyodorkan minum.

“Kok lu di sini?” tanya Biru terkejut.

“Eh, kalian kenal?!” Gita lebih terkejut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status