Share

Carinya Daddy Dapetnya Baby
Carinya Daddy Dapetnya Baby
Author: eagleon12

Biru

Gerimis datang dengan ringan. Cuaca juga sendu, cuaca yang sangat cocok untuk menikmati semangkuk mi instan rasa soto dengan potongan cabai rawit dan telur di dalamnya. Rasanya, menyeruput kuahnya yang segar dan hangat menjadi impian para budak korporat yang masih bergelung dengan pekerjaan mereka yang menggunung.

“Biarkan aku bergelung di selimut …” desah Biru dengan nada lelah. Gita yang sedang menikmati coklat panasnya melirik kawan baik sekaligus rekan kerjanya itu dengan tatapan malas.

“Makanya, kalau dikasih deadline jauh tuh langsung kerjain!! Udah tahu masih punya tanggungan tiga bab, malah N*****x-an, bacain manhwa, nontonin anime. Kan kaya gini lo yang keteteran,” omel Gita dengan nada menggebu-gebu.

Biru tak menjawab. Ia hanya mendesah sembari menelungkupkan kepalanya di atas meja. Layar Microsoft word di hadapannya menampilkan jejeran kata penuh. Ia baru menyelesaikan satu setengah bab dari tiga bab yang harus ia setorkan hari ini.

“Git, minta, dong.” Biru mengangkat tangan kanannya dari atas meja ke arah Gita yang sedang duduk di sebelahnya dengan posisi kedua kaki dinaikkan ke atas kursi, meringkuk laksana bayi dalam kandungan dengan tangan yang memegang mug berisi cokelat panas. Baju sweater panjang berwarna biru muda dan celana training panjang berwarna hitam membalut tubuh mungil gadis itu. Gita yang merasa sedikit iba dengan temannya itu memberikan mug di tangannya ke tangan Biru. Gadis yang menerima mug berisi cokelat panas langsung menegakkan badannya dan menyeruput dengan nikmat.

“Aaah. Aku hidup …,” desahnya

“La dari tadi lu mati?” sarkas Gita.

“Lu nggak tahu? Dari tadi gua hidup segan mati tak mau, tahu!” omel Biru. Ia langsung merengut saat mug cokelat panas itu kembali diambil alih oleh Gita.

“Baru juga sekali nyeruput,” protes Biru tak terima.

“Bikin sendiri!”

“Bikinin, Git. Gua udah pewe ini. Kalo bangun sekarang, nanti idenya buyar semua,” dalih Biru. Gita mendengkus.

“Alasan lu ada aja. Selesaiin dulu itu. Biar gua bisa buruan balik. Udah mau maghrib ini. Gua udah ada janji sama doi gua mau malem mingguan.”

“Lah. Padahal itu kan punya aku. Masa minta buatin aja gamau,” gerutu Biru yang terdengar oleh Gita. Tapi gadis itu dengan santai menjawab, “Jangan lupakan kalau harusnya hari ini novelmu yang tinggal tiga bab lagi itu beres dan diproses sama layouter. Gua ngelobi Mbak Reni buat kasih tambahan waktu biar lu bisa beresin ini. Buruan kerjain! Bayaran gua dari lu terlalu murah cuma pake segelas cokelat panas, jadi jangan protes.”

Biru kembali memanyunkan bibirnya. Tangannya mengetikkan tiap kata untuk menyelesaikan ending dari novel yang telah ia kontrakkan pada penerbit ini. Sebenarnya, untuk menyelesaikan ending, Biru seringkali bersemedi untuk mendapatkan ending epic agar pembaca tidak kabur dan menanti seri selanjutnya. Gadis itu memang sudah mengontrakkan seri fantasinya pada salah satu penerbit mayor. Hingga hari ini, ia sudah menerbitkan dua dari trilogi novel fantasinya, dan beberapa novel genre lain. Beberapa di antaranya masuk kategori best-seller. Bahkan ada yang diangkat menjadi film layar lebar, yah, meskipun mungkin tidak menjadi film yang langsung booming yang sampai menarik jutaan penonton dalam seminggu, setidaknya film adaptasi novelnya beberapa kali memenangkan award.

“Ayo, buru! Mas Dika udah nanyain nih, dah kangen katanya. Mana tinggal tiga jam lagi sampe waktu janjian dan gua belum siap-siap,” desak Gita.

“Ya lu mending buruan beberes sana! Udah bawa baju buat ngedate, kan? Kalo udah, pake aja kamar mandi gua. Biasanya juga kaya mana, loh,” jawab Biru agak kesal. Sebenarnya temannya itu tidak sepenuhnya mempertanyakan ini karena waktu janjian mereka yang sudah hampir tiba. Biasanya juga mereka pakai sistem jam karet kalau janjian. Seratus persen Biru yakin kalau Gita hanya memanas-manasinya karena ia masih jomblo. Padahal usianya dan Gita lebih tua dirinya, tapi masih juga belum mendapat pacar. Sementara Gita dan Dika sudah bertunangan dan akan menikah dalam waktu yang tak lama lagi.

Gita tertawa ringan dan menghabiskan cokelat yang tak lagi panas itu, lalu membawa mugnya ke tempat cuci piring. Rumah itu sepi, hanya ada mereka berdua di sana. Ya, memang Biru tinggal seorang diri dengan membeli sebuah rumah minimalis dari penghasilannya sebagai pengarang.

“Cuci sekalian!” teriak Biru dengan volume maksimal dan suaranya menggema di seisi rumah. Gita berdecih dan mencuci mug kotor itu, lalu diletakkannya kembali ke tempat semula.

Hubungan pertemanan mereka memang unik. Tak jarang mereka saling melempar sarkasme dan kata-kata sinis dalam percakapan mereka. Tapi, di lain waktu, mereka akan menertawakan banyak hal sepele yang bagi orang tidak ada artinya. Mereka sendiri sudah berteman kurang lebih tiga tahun.

Selesailah sudah apa yang dikerjakan Biru. Ia memberikan ending yang sedikit menggantung di bagian akhir. Gita yang membaca kembali naskah Biru mengernyitkan dahi.

“Kebiasaan buruk dah. Lu mau bikin pembaca lu mati penasaran?” tanya Gita.

“Hum um. Biar mereka nggak kabur,” jawab Biru santai.

“Up to you lah. Gua juga tinggal nunggu Mas Dika.” Gita mengalah. Mau dibagaimanakan juga, ini adalah ciri khas Biru yang tidak bisa sembarangan diubah. Meskipun begitu, fans Biru sama sekali tidak mempermasalahkan hal ini. Mereka malah sering menebak kelanjutannya dan tak jarang membuat teori-teori di twitter yang lumayan menyenangkan untuk dibaca. Meskipun Biru juga tak sekali dua kali membaca komentar negatif di sana.

“Ru ...,” panggil Gita saat keduanya sedang sama-sama terdiam di ruang tengah. Biru sedang asyik dengan manhwanya, sementara Gita dengan room chatnya dan Dika.

“Ya? Ada apa?”

“Lu nggak mau nyari pacar? Atau nyari calon suami gitu?” tanya Gita to the point.

“Hmm ... Mau. Asalkan dia ganteng, kaya, mapan, penyayang—terutama sama gua, setia, bertanggung jawab, dewasa—umurnya harus di atas gua, rajin ibadah, bertanggung jawab, nggak kasar sama cewek, nggak suka main tangan, suka sama anak kecil. Kalo ada cowok kaya gini, langsung gua bawa ke penghulu.” Biru terkekeh di akhir ucapannya.

“Waw, mimpi yang indah. Jangan lupa bangun, Mbak,” ucap Gita.

“Nanti. Kadang, hidup di mimpi itu membahagiakan, tahu! Di sana kita bisa jadi apa yang kita mau, bisa ngerasa perasaan yang kita pengen rasain.” Seulas senyum tercetak di akhir perkataannya. Gita hanya menghela napasnya. Sebenarnya, ia sama sekali belum mengenal lebih jauh partner kerjanya ini selain seorang yang sebatang kara dan tidak memiliki ketertarikan untuk mencari suami. Dia normal, kok. Buktinya dia juga mengidolakan artis K-pop tampan; terutama Kim Namjoon. Namun, hanya sebatas itu. Padahal Biru sudah masuk usia menikah, tapi gadis itu masih tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun. Meskipun Gita tak tahu banyak tentang masa lalu atau cerita di balik kehidupan Biru, Keduanya tetap kompak dalam beberapa hal. Bahkan, keduanya tetap bisa menjadi ‘teman baik’ saat salah satunya membutuhkan. Mereka memberikan perhatian setiap salah satu dari mereka membutuhkannya. Selalu seperti itu bergantian. Jadi, meskipun Gita dan Biru sama-sama tidak mengenal latar belakang masing-masing, keduanya juga bisa dikatakan akrab dalam hal yang lain.

“Mau gua kenalin ama temen gua? Gua cariin yang jomblo, deh.”

Biru menatap Gita lekat. “Lu sama gua tuaan gua. Meskipun selisih umur kita cuma setahun. Jadi, kalo lu mau nyodorin temen lu, berarti dia sepantaran, atau nggak lebih muda dari gua, dong. Nggak deh, makasih. Gua mau nyari hot daddy kaya raya.” Sebuah penolakan yang membuat Gita langsung menjitak kepala Biru tanpa banyak babibu.

“Sakit, gila!” protes sang empunya kepala.

“Gua tahu sakit. Makanya gua jitak. Segitu alerginya lu sama yang sepantaran? Kenapa harus yang lebih tua?”

“Biar cepet mati, terus dapet warisan,” kelakar Biru. Gita menyerah. Gadis itu memang sulit serius. Ia akan selalu mengalihkan pembicaraan kalau sekiranya ia tidak menyukai topiknya, dan Gita sudah sangat memahami ini.

“Yaudah besok gua cariin aki-aki kaya. Biar cepet dapet warisan.”

“Jangan aki-aki, gila!” sambar Biru.

“Kenapa?”

“Nggak mak joss di ranjang.” Biru terkekeh. Sekali lagi, Gita menjitak temannya tanpa ragu.

“Kalo temen bisa dilelang, gua lelang lu langsung.”

“Jangan, biaya perawatan gua mahal. Perut gua karet soalnya.” Untuk pernyataan Biru satu ini, Gita menyetujuinya. Gadis itu paham benar betapa perut karetnya Biru. Anehnya, berat badannya tidak pernah naik secara signifikan, dan itu cukup membuat banyak gadis frustrasi. Kalau Gita sendiri, ia bukan orang yang suka makan, jadi ia tidak iri sama sekali.

“Dahlah. Mas Dika dah mau nyampe juga. Gua jalan dulu, ya? Jangan lupa, trilogi lu masih ada sebiji lagi finalnya. Nanti malem gua check naskah yang tadi, terus gua kirim ke Mbak Reni buat di layout. Gua mau ngedate dulu. Byee.” Gita berpamitan dan langsung keluar. Tak lupa tangannya menenteng plastik putih berisi bajunya tadi. Nanti akan dititipkan di mobil Dika selagi mereka jalan berdua. Biru menatap kepergian Gita dengan senyum tipis. Ia kembali masuk ke kamarnya dan memilih untuk menghabiskan malam minggu dengan anime yang belum ia tonton.

“Kayanya gua perlu refreshing buat cari inspirasi selanjutnya,” gumam Biru saat ia tidak mendapatkan alur bagus untuk novel lainnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status