Gita menatap Langit dengan tajam. Seolah ia meminta Langit untuk menjelaskan padanya tentang apa yang terjadi. Biru menatap keduanya bingung.
“Kalian saling kenal?” tanya Biru heran.“Dia adek gua. Yang gua ceritain adek nggak punya akhlak itu.”Biru ganti menatap Langit.“Kok lu nggak bilang kalo lu adeknya Gita?”“Kakak nggak nanya.”“Gantian gua yang nanya. Kok kalian kenal?” Gita juga ikut bertanya karena merasa tidak tahu apa-apa.“Kita ketemu di Pahawang kemarin. Waktu gua sama temen-temen lagi jalan-jalan buat foto-foto wisuda.”Gita menarik napasnya, lalu mengembuskan perlahan.“Kok lu tadi nggak bilang kalau lu udah pernah ketemu Biru?”“Kan Kakak nggak nanya. Lagian, biar surprise aja.”Refleks, Gita menjitak adiknya karena merasa dipermainkan. Dia tahu Langit sudah lama menyukai Biru, bahkan sebelum keduanya bertemu hanya karena tanpa sengaja melihat dari foto. Tapi, Gita juga memahami Biru tidak menyukai Langit karena usia mereka. Selain itu, Gita sudah sedikit bangga karena dia berhasil mempertemukan mereka berdua, setidaknya agar adiknya sedikit terhibur. Lalu, ia ingin adiknya jadi berterima kasih dengannya dan mudah menjadikan adiknya pesuruh atas dasar ‘balas budi'. Sepertinya angan-angannya hilang begitu saja.“Gua ga jadi ngerasa berutang budi sama elu, Kak,” celetuk Langit bangga. Gita yang kesal meredamnya dengan menggigit apel yang ada di sebelahnya. Ia kembali lagi menyuapi Biru yang masih terlihat lemas itu.“Kalian berdua ngobrolnya nanti lagi. Biar Biru sehat dulu. Langit, lu jangan banyak ucap kalo gamau gua suruh balik.” Gita mengingatkan keduanya. Langit yang baru duduk di sebuah kursi kecil menatap kakaknya kesal.“Padahal gua diem-diem aja,” protesnya. Gita memelototi adik laki-lakinya itu tanpa ampun. Biru menyunggingkan senyumnya. Seandainya ia juga punya saudara, mungkin akan seramai dan seasyik ini. Tapi, Biru kembali menggelengkan kepalanya. Memiliki saudara bukan berarti hal yang bagus kalau kondisinya seperti dirinya. Dengan pahit, Biru menelan semua keinginannya dengan membuang jauh-jauh harapannya.Biru menolak di beberapa suapan terakhir. Perutnya terasa mual. Gita menyodorkan teh hangatnya untuk diminum Biru, lalu menyentuh dahi sang pasien itu dan mengambil termometer di salah satu laci. Ia mencuci termometernya, dan kembali pada Biru yang sudah berbaring.“Mangap!” perintahnya.Biru menurut saja. Gita meletakkan ujung termometernya di bawah lidah Biru.“Mingkem!” perintahnya lagi. Biru tetap saja mengikuti setiap perkataan Gita.“Nah. Tunggu sampe bunyi. Kayanya panas lu agak tinggi.”Agak lama mereka menunggu, termometer akhirnya berbunyi. Benar saja. Angka yang tertulis di termometer digital itu adalah 38,8° C. Cukup, ralat, lumayan tinggi.“Ya udah. Minum obatnya dulu. Terus lu tidur. Gua temenin di sini sampe elu baikan. Lagian gua bisa ngerjain kerjaan gua dari sini.”Biru mengangguk. “Thanks,” lirihnya.“Dah. Nggak usah dipikirin. Tidur aja sana.”Karena pengaruh obat, ditambah kepalanya yang serasa ingin terbelah, Biru memejamkan matanya dan tertidur tak lama kemudian.“Aku ngapain, Kak?” tanya Langit sembari memperhatikan kakaknya yang sudah membuka laptop di meja belajar Biru.“Terserah lu. Mau keluar juga nggak apa-apa. Asal kalau gua panggil, lu harus langsung ke sini,” jawab Gita tanpa memalingkan wajahnya dari layar laptop.“Dahlah. Aku ngegame aja. Males keluar juga, panas.” Langit mengambil ponselnya dari saku dan mulai membuka aplikasi game di ponselnya. Ia pindah ke ruang tamu dan tiduran di sofa yang ada di sana.Tanpa terasa, mereka sudah terjebak dengan aktivitas mereka masing-masing. Tanpa sadar, adzan duhur berkumandang. Selagi Gita mengambil air wudhu, Biru terbangun dengan tubuh yang basah karena keringat. Ia menoleh dan mendapati layar laptop milik Gita yang masih menyala. Gadis itu perlahan beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi.“Udah bangun, Ru?” tanya Gita berbasa-basi.“Gua nggak heran kenapa orang Indonesia dikatakan negara paling ramah. Demi membuka percakapan atau berinteraksi, kadang pertanyaan yang jawabannya sudah jelas pun tetap dipertanyakan,” jawab Biru sarkastik.“Oh, berarti lo udah sehat. Alhamdulillah, lah. Bentar, gua cek suhu tubuh lu.” Gita seolah tak menganggap sarkasme Biru dan menempelkan tangannya di dahi gadis itu.“Kok masih panas?” tanyanya dengan nada dibuat syok.“Ya lu abis wudhu, pinter. Air di rumah gua dingin. Jadi lu nya dingin. Gua udah mendingan ini,” jawab Biru.“Nggak, lu masih sakit. Tapi kok dah bisa sarkas, ya? Jangan-jangan lu doppelgangernya?”“Nggak usah heboh anjir. Astaghfirullah. Lu bikin kepala gua jadi pusing lagi. Arrghh, mau gua apain sih, lo?” Biru gemas. Ia benar-benar ingin menghajar Gita, tapi tenaganya hanya untuk jalan saja masih terhuyung-huyung.Langit yang mendengar adanya keributan di dalam langsung menyusul keduanya.“Ada apa? Heboh bener.”“Tanya noh sama kakaklu,” sahut Biru kesal. Gita tertawa, sedangkan Langit makin mengernyitkan keningnya.“Tadi gua cek, katanya udah sembuh. Tapi kok masih panas,” jawab Gita sembari tertawa.“Mana ada. Kan gua bilang tanganlu itu dingin gara-gara air wudhu!” kesal Biru.“Nggak percaya. Kan yang ngerasain gua,” bantah Gita.Karena merasa perdebatan ini tidak akan selesai, Langit akhirnya meletakkan telapak tangannya di jidat Biru. Gadis itu terdiam seketika. Ia juga membalikkan tangannya dan ganti punggung tangannya yang menempel dahi.“Udah turun, kok, panasnya. Gak sepanas tadi, tapi masih agak demam. Jangan capek-capek dulu. Nanti biar disiapin makan siang sama kakak sekalian minum obat,” jelas Langit. Tanpa ia sadari, Biru sudah terdiam seribu Bahasa karena tiba-tiba dahinya disentuh seorang laki-laki. Sedangkan Gita yang menyaksikan mereka berdua menahan tawanya. Sepertinya rencananya berjalan lancar.Biru yang merasa malu berdehem dan masuk ke dalam kamar mandi. Seumur-umur, ia belum pernah didekati lawan jenis seintens tadi.Langit mendekati Gita yang masih menahan tawanya dan berbisik, “Jangan bilang kakak sengaja.”Gita tertawa pelan dan mengedipkan salah satu matanya. Ia langsung masuk kembali ke kamar Biru dan menggelar sajadah, melanjutkan ibadahnya yang tertunda setelah mengerjai adik dan temannya.***Karena Gita malas masak, dan juru masak masih terkapar sakit, Langit akhirnya berinisiatif untuk memesan makanan lewat ojek online. Selain mereka sudah mulai lapar, Biru juga sudah waktunya makan untuk minum obatnya.“Katanya tadi masalah makan siang serahin sama kakak. La sekarang ujung-ujungnya ngandalin abang gojek lagi, kan?” celetuk Langit. Gita memukul paha sang adik tanpa membantah apa pun.“Kalian akur, ya?” tanya Biru menatap kakak beradik yang sedang fokus pada urusannya masing-masing.“Nggak bisa dibilang akur juga. Nih bocah kerjaannya mancing emosi soalnya,” jawab Gita sembari menatap adiknya tajam.“Bukan gua yang mancing emosi, tapi lu nya yang gampang emosi,” bantah Langit.“Ya lihat aja sekarang. Main bantah-bantah aja ada orang ngomong juga,” jawab Gita sengit.“Ya omonganlu gak berdasarkan bukti. Memutar balikkan fakta pula.”“Omongan gua nyata, ya! Nih lagi lo buktiin langsung!”“Mana bisa gitu! Lu yang gampang kepancing emosinya!”Urat kedua kakak beradik ini seolah muncul di ujung dahi mereka. Biru yang memperhatikan interaksi keduanya tertawa pelan.“Apa yang lucu?” tanya keduanya bebarengan.“Kalian lucu! Seandainya gua punya sodara juga, mungkin rame rumah gua,” jawab Biru sembari tersenyum. Kakak beradik itu berpandangan.“Kan Kak Biru lebih tua dari Kak Gita, anggep aja Kak Gita adiknya kakak. Lumayan jago kalo disuruh bikin rusuh ini,” tawar Langit. Gita menjitak adiknya setelah mendengar kalimat terakhirnya.“Nggak kebalik? Yang suka buat rusuh kan elu!” protes Gita.“Kenapa nggak kamu aja yang jadi adek gua?” tanya Biru.“Nggak mau. Karena aku calon masa depannya Kak Biru.”Biru tercengang. “Maksud lo?”Langit hanya menjawabnya dengan tertawa, sedangkan Gita menghela napasnya. “Jalanmu masih panjang, Langit,” batin gadis itu.Manusia itu egois. Sebab, egois sendiri adalah sifat dasar manusia, yang menjadikan manusia bisa bertahan hidup di dunia ini. Menjadi egois juga bukan dosa, selama rasa itu diletakkan di tempat yang tepat. Karena, pada hakikatnya, manusia juga butuh untuk bertahan hidup di dunia yang makin kacau ini.Seperti Langit yang egois untuk tidak melepaskan Biru. Tidak, bahkan Langit tidak bisa mengatakan kalau ia egois. Ia hanya ingin menjadi seseorang yang penting bagi Biru, sosok yang menjadi penolongnya saat Langit nyaris saja salah jalan. Meskipun mungkin, Biru tak akan tahu, dan tidak mungkin tahu. Langit ingin egois dengan terus menggenggam tangan Biru, tanpa ada niat untuk melepaskannya sama sekali. Langit ingin egois dengan memiliki Biru untuk dirinya sendiri, tanpa harus repot-repot berbagi dengan siapa pun. Hanya itu.Seperti hari ini, lagi-lagi Langit sudah bertengger di atas motornya, tepat di depan rumah Biru. Setelah kejadian Biru demam sekitar sebulan yang lalu, Langit kian g
Sebagai anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang tak akur dan setiap hari hanya ada pertengkaran dalam rumah tangga, Langit memiliki keraguan pada setiap hubungan percintaan yang ia miliki. Mama dan papanya yang sama-sama bekerja dan sukses tak membuat hubungan keduanya baik, justru malah semakin memanas. Papa yang seringkali dinas keluar dan menginap sampai beberapa malam membuat mamanya sering merasa kesepian karena hanya malam lah waktunya pulang ke rumah. Karenanya, mamanya juga berakhir ikut-ikutan jarang pulang ke rumah, menyisakan Gita dan Langit yang saling menghibur satu sama lain. Itu adalah awal mula drama berkepanjangan yang ada di keluarganya dan anehnya keduanya sama-sama tidak ingin melepaskan ikatan yang membelenggu mereka ini. Entah apa alasannya, mereka berusaha mempertahankan ikatan pernikahan padahal tidak ada lagi cinta di dalamnya.Masa remaja Langit hanya berisi pelarian. Beruntung ada Gita yang terus berusaha menuntun Langit untuk tidak keluar dari jalur, s
“Biii, besok keluar, yuk!” ajak Langit dari seberang telepon. Biru yang masih menyicil pekerjaannya mengapit ponselnya dengan bahu. Kedua kakinya ia naikkan ke atas kursi dengan salah satu kaki menekuk ke arah depan, satunya bertekuk seperti sedang bersila“Besok kapan?” tanya Biru. Tangan kanannya meraih potongan brownies yang ada di atas piringnya di sebelah laptop. Mulutnya mengunyah brownies cokelat yang lembut nan lumer itu. Lidahnya seolah dimanjakan dengan kenikmatan yang menyebar di seluruh mulutnya.“Malem Minggu. Gua pengen jalan-jalan sama lo. Dah lama juga nggak jalan-jalan di kota kelahiran.”Biru berpikir sejenak. Ia kemudian membuka whatsapp di laptopnya dan membuka salah satu chat yang ada.“Sayangnya malem Minggu gua udah ada janji keluar.” Langit terdiam sebentar seolah ia sedang berpikir. “Sama Kak Gita?” tanyanya.Biru menggeleng. Tapi ia sadar kalau Langit tak akan tahu gelengannya itu akhirnya menjawab, “Nggak. Sama Alfa.”“Alfa siapa?”“Masa lupa. Pas a
Kedekatan Biru dan Alfa semakin berlanjut. Hampir setiap hari mereka berdua saling mengirim pesan, baik chat maupun telepon. Seperti hari ini. Alfa tiba-tiba mengajaknya mencari makan malam. Pilihan mereka akhirnya jatuh pada sebuah rumah makan yang buka belum lama. Mereka berniat saling berbincang sembari menikmati makan malam mereka.“Gimana sama novel kamu sekarang?” tanya Alfa dengan nada yang cukup manis masuk telinga.“Alhamdulillah lancar. Soalnya beberapa juga udah tinggal antre nerbitnya selain yang memang udah dikontrakkan seriesnya.”Alfa mengangguk. Ia menyeruput lemon tea yang ada di depannya. Suasana rumah makan ini cukup ramai meskipun tidak yang sampai penuh sesak. Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar di penjuru rumah makan, pun dengan meja keduanya.“Genre kesukaanmu apa emang?” Alfa meletakkan kembali lemon teanya di atas meja.“Aku paling suka fantasi, thriller, tragedy, hmm, apa lagi, ya? Ah, horor juga suka. Kamu paling suka baca apa?” tanya
Langit berjalan dengan cepat masuk ke dalam rumah setelah turun dari motor dengan buru-buru, melepas sandalnya sambil berlari. Bahkan helm yang masih di kepala ia lepas sambil berlari dan diletakkannya begitu saja di atas rak sepatu. Ia langsung masuk dan mendapati kakaknya sedang berdiri di sudut ruangan dan Biru yang sedang duduk dengan raut wajah yang pahit. Tangan biru sibuk pada ponselnya, sementara Gita yang berdiri sedang berbicara dengan seseorang di seberang ponselnya. “Bii, are you oke?” tanya Langit yang sebenarnya jawabannya dengan jelas ia ketahui. Biru tidak baik-baik saja. Benar-benar tidak baik-baik saja. Langit langsung duduk di sebelah Biru tanpa menunggu jawaban Biru karena ia tahu pertanyaannya tak perlu dijawab. Ia juga mengeluarkan ponselnya, menghubungi sosok yang mungkin bisa ia mintai tolong. Gita yang sudah selesai dengan urusannya langsung kembali mendekati Biru dan duduk di sebelah gadis itu. Kini Biru sedang diapit oleh dua orang kakak beradik. “Biru, bo
“Gua tahu di sini gua yang salah. Tapi gua nggak mau minta maaf. Karena percuma, toh lo nggak bakal maafin gua.” Rahang Biru mengeras. Tangannya menggenggam tangan Gita dan Langit di bawah meja dengan sangat keras. Mereka berdua tidak berbicara apa-apa, begitu pun Biru. Keduanya masih terlalu speechless dengan ungkapan Alfa dan khawatir kalau mereka bertiga membuka suara saat ini, belum sempat lelaki itu menjelaskan semuanya sudah habis karena dihajar mereka bertiga akibat emosi yang lepas kendali. Melihat tidak ada tanggapan dari mereka bertiga, Alfa akhirnya melanjutkan ucapannya. “Kenalin, ini Pak Hilmi, pengacara pribadi gua. Niat kami datang ke sini buat kasih kompensasi atas karyanya Biru yang sekarang udah beralih nama. Gua masih punya perasaan, jadi gua masih mau bayar lo buat ide sama tulisan lo. Jadi seenggaknya lo nggak rugi banget.” “Wah, manusiawi sekali. Kalo emang lo masih ngerasa lo manusia, lo nggak bakal mungkin nyuri karyanya Biru! Sialan emang. Siapa, sih, di be
Seorang laki-laki paruh baya memegang gesper dengan wajah yang merah padam. Aroma alkohol menguar dari mulutnya, dengan mata yang memerah dan omongan yang meracau. Beberapa kali tangannya menyabetkan gesper itu ke tubuh seorang perempuan yang sudah lemah. Ia tak mampu lagi menangis. Di sudut ruangan, seorang anak perempuan dengan tangan dan tubuh penuh lebam yang bajunya baru saja dibuka karena habis mengobati luka di punggung tengah menggenggam tangannya kuat-kuat. Air matanya mengalir menetes dari sudut mata yang sebenarnya diusahakan untuk tidak keluar. Suara isakan kecil terdengar sebagai upayanya menahan tangis.“Wanita jalang! Di mana kau sembunyikan uangmu, ha? Kalo suamimu ini minta uang, kamu kasih! Bukannya malah disembunyiin, lalu berbohong! Sudah berani sekarang bohong, ya?”Lagi. Lelaki itu menyabet ke istrinya yang entah sudah berapa kali ia mendaratkan sabuk kulit itu ke kulit sang istri dengan ayunan yang kuat. Dapat dipastikan kalau di punggungnya akan tersisa lukan
“Kalo gua boleh tahu, lo takut badai malem-malem karena mimpi lo ini?”Biru menggeleng. “Sayangnya bukan. Itu cuma alasan gua nggak bisa nangis aja.”Gita terdiam. Ia tidak ingin bertanya lebih jauh kecuali Biru sendiri yang menjawabnya. Biru menerawang ke depan dengan pandangan yang kosong. Ia kembali menyesap teh chamomile di gelas, lalu menarik napasnya panjang. Biru sedikit bangun dari kasur untuk meletakkan gelasnya di atas meja. Kemudian, ia duduk bersila, menghadap Gita lekat.“Langit ajak ke sini sekalian aja.” Gita mengangguk. Ia memanggil Langit dengan sedikit mengeraskan suaranya. “Langit, sini dulu!”Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Langit masuk dengan mata sayunya. Sepertinya ia tadi tertidur di sofa depan yang tak jauh dari kamar Biru. Rumah Biru memiliki satu lantai dengan dua kamar tidur, satu dapur dan satu kamar mandi. Jelas kamar mandi luar kamar. Sebuah ruang tamu yang sekalian bergabung dengan ruang keluarga. Sebuah rumah yang cocok untuk orang yang t