Share

Sini, aku cium aja!

_Terima kasih, telah memberiku ruang di hatimu, aku tak akan mengusik apa yang menjadi masa lalumu, biar ia tetap ada dalam hatimu._

Sesi perkenalan telah usai, tapi tidak dengan laki-laki itu. Aku ragu untuk memulai, dia juga sepertinya tak punya inisiatif.

Ah, ... Apakah dia juga sama terpaksanya seperti diriku?

Cubitan Mama tiba-tiba mendarat di bagian pinggangku. 

“Aduh Ma!”

Saat aku menoleh, matanya mendelik seharusnya aku yang mendelik, tapi kenapa malah terbalik. Astaga Mama!

Aku berniat menjatuhkan bobot tubuh di samping Mama, namun sebelum itu terjadi, pinggangku lagi-lagi menjadi landasan cubitan.  

Dan lagi-lagi mata itu mendelik, seperti memberi isyarat jika aku harus segera berkenalan dengan pemuda itu. 

Hais, tapi apa iya? Aku kan cewek baik-baik, nanti dikiranya aku cewek gampangan lagi.

Grogi gaes! Sumpah, aku nervous! Ini pertama kalinya ngajakin kenalan calon pasangan, eh, ... Astaghfirullah.

“Halo, Alyah putri”

Dan hanya itu. Hanya itu kata yang akhirnya keluar. Tanganku juga berani-beraninya mengulur. Jika ditolak, muka mau ditaruh di mana, saku celana? 

“Genta” Dia menjawab dengan singkat padat, tidak jelas dan menjengkelkan.

Aku menyebut nama lengkap namun dia, ... Aish. Dan yang aku kawatirkan benar, uluran tanganku tak mendapat sambutan. 

Dasar laki-laki sok jual mahal. Palingan juga biasanya gandengan sama wanita-wanita di luaran sana, huh!

Kadung malu! Jika saja bisa, mungkin sudah meminta jin jarum tujuh enam untuk menghilangkan aku dalam sekejap dari peredaran bumi. 

Namun ada satu yang membuatku akhirnya bersyukur. Wajah yang semula aku takutkan pada laki-laki bernama Genta itu akhirnya tidak terjadi. 

Apakah yang aku lakukan sudah bisa dikatakan face shaming? Tapi untuk ukuran seorang calon suami, bukankah menilai juga diperlukan. 

Dan perbincangan antara orang tua itu akhirnya mengalir begitu saja. Aku? Hanya diam menyimak, dan sesekali menjawab jika memang ditanya.

Sedang Agus, Ia begitu asyik dengan game di ponselnya. Memang adik tak punya akhlak, sedang ada tamu saja dia masih seenak itu bermain game di hadapan mereka.

Genta Mackenzie. Ahs, nama itu, bahkan aku lupa jika Ayah sebelumnya juga sudah mengatakannya. Terlalu takut memikirkan masa depan yang kupikir akan suram.

Mackenzie ... Sekaya apa mereka, hingga anaknya saja memiliki nama marga yang sama dengan ayahnya. 

Kalau nanti aku punya anak sama dia berarti nanti anakku juga bakal kebagian marga itu di belakang dong? 

Astagfirullah, mikir apa aku. Kugetok kepalaku pelan, entah kenapa pikiranku semakin tak karuan memikirkan laki-laki yang masih asyik berbincang itu.

Ralat ucapan. Ganteng dan kaya memang bukan jaminan bahagia, tapi tidak semua bahagia bisa dibeli dengan uang. Hihihi

Kalau namanya saja ada marga  pasti dari kalangan elit, dan pasti orang kaya. Buktinya aku saja yang anak ayah dengan ekonomi termasuk menegah ke atas tidak ada marga yang digunakan. 

Berarti kalau menikah dengan dia, beruntung donk? Jadi milyuner atau milyader dadakan!? 

Kugetok lagi kepalaku berkali-kali. Kenapa tiba-tiba aku jadi matre seperti ini! Huh. Lagian yang kaya itu ayahnya, bukan dia!

“Rakhman, aku ingin mengatakan maksud kedatangan kami kesini” 

Ucapan Laki-laki seumuran Ayah yang kutahu namanya om Alan itu memecah keheningan setelah obrolan santai berakhir. 

Kamu pernah tahu nggak rasanya jadi aku yang sedang berada pada posisi ini? Grogi, dan ngeri-ngeri sedap gaes.

Yang penting kalau dibawa ke kondangan nggak malu-maluin dan bisa bikin orang iri!

Dengan pemikiran sempit itu, akhirnya aku pasrah menerima kenyataan kalau Ayah sudah kebelet anaknya ini kawin. Eh, nikah dulu ding baru nanti kawin.

Wajah panjang dengan rahang tegas, jambang tipis, rambut coklat dan sedikit gondrong.

perawakannya hampir semua mirip dengan om Alan. Tapi matanya yang minimalis sepertinya gen dari Tante Ayumi. 

Entah kenapa, waktu itu aku bisa spontan menyebut Song Kang, padahal jika diteliti lagi kedua sangatlah berbeda. Lebih ganteng Song Kang sedikit, banyakan bang Genta. Wkwkwkwk

“Hai!”

Dari kejauhan aku melihat bang Genta. Wadidaw ternyata begini di jemput sama ayang. Jedag jedug, jantungku langsung disko.

Bang Genta rupanya sudah menungguku. Aku kira ucapan Ayah soal kencan ini hanya gurauan saja, ternyata benar terjadi. 

Oh apakah ini memang cinta terasa berbeda saat menatapnya, ho ho ho🎶

Duh, nervous. Kenapa pula harus lagunitu yang aku nyanyikan. Bakal dikira udah jatuh cinta pada pandangan pertama. Padahal sebenarnya ... 

“Bang sudah lama menunggu?” 

Aku pindai penampilannya sampai atas ke bawah. Duh, boleh dilaminating nggak sih? Buat jadi pajangan di kamar biar bisa aku tatap setiap saat. 

“Baru saja. Kenapa kamu menatapku seperti itu?” 

Aku hanya cekikikan. Laki-laki ternyata bisa grogi saat ditatap wanita secantik diriku. Wkwkwkw

“Lucu aja. Abang dandanannya kek orang kantoran aku masih kek gini, kalau diibaratkan tuh kek majikan sama bawahan”  

Bagaimana tidak, aku hanya mengenakan kemeja pink dengan rok dan kerudung berwarna biru. Tanpa dandanan apa pun ditambah sudah berkegiatan sedari pagi. Coba bayangkan, betapa buluknya aku.

“Kan memang habis dari kantor A-Al”

Lagi-lagi dia mampu membuatku terkikik geli. Wajah setegas itu ternyata juga bisa melucu.

‘’Tak usah Grogi, panggil saja seperti itu. Tidak perlu ragu, aku tak masalah.” Padahal sebelumnya aku juga grogi. Wkwkwk

Sok akrab memang! Tapi kalau bukan aku siapa lagi, dia sepertinya juga masih kikuk.

Wangi parfum yang tercium saat berada dalam satu mobil menghadirkan perasaan aneh. Jujur, ini pertama kalinya satu mobil dengan laki-laki yang baru aku kenal.

“Kita mau ke mana?” 

Nah, kan! Kenapa Ayah sama om Alan tidak sekalian membuatkan rute yang harus kami datangi. Kenapa cuma merencanakan kencannya saja.

Kalau sudah dibuatkan rute kan kami tinggal datangi satu persatu. Kalau begini ... Aku saja tak tahu tempat kencan ternyaman itu di mana.

Eh, astagfirullah! Emang kalau kencan harus ngapain? Kenapa harus ada tempat ternyaman. Tempat ternyaman mah hotel, eh

Lagi-lagi otakku berpikir macam-macam. Ku tepuk bibirku pelan. Padahal bibir tak salah apa-apa tapi otaknya yang salah. Tapi masak aku harus menepuk otak, kan nggak masuk akal.

“Kenapa?”

Duh, wajahnya sih ramah senyum, ganteng. Tapi kenapa kalau nanya Cuma seperlunya aja, aku kan jadi bingung.

“E-enggak ... Enggak kok”

“Perasaan dari awal kita ketemu, kamu sering banget getok kepala sama nepuk bibir?” 

Duh, ternyata dia merhatiin aku gaes. Terhura aku. 

“Hemm?” Dia menoleh sesaat

Jiah, dia nunggu jawaban dari aku ternyata. Kira-kira bagusnya di tolak atau diterima ya?

Eh, astaga ngelantur lagi! Seperti menjadi kebiasaan baru, aku kembali menepuk bibirku.

“Tuh, ... Kan. Jangan ditepuk terus, sayang nanti sakit. Sini aku cium aja!

What! Apa katanya gaes!? Aku nggak salah dengar kan?!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status