“Al! Besok kamu jangan ke mana-mana!”
Suara Ayah yang tiba-tiba itu, sontak mengagetkanku.
“Memang ada apa Yah?”
Tak biasanya seperti itu. Padahal tanpa di suruh pun, jika tak ada kelas maka aku akan diam saja di rumah.
Tapi pertanyaanku tidak disambut ramah. Ayah hanya memandang sekilas hingga akhirnya duduk tepat di depanku.
“Besok teman Ayah akan datang untuk melamar kamu.” Ucapnya dengan muka datar. Namun tetap membuat kumis tipisnya ikut bergerak.
Mendengar itu bukan hanya bulu kudukku. Bulu ketek dan bulu hidung pun ikut berdiri mendengar jawaban itu. Otakku benar-benar ngeblank!
Jantung sudah lari maraton, sedang hati juga mulai resah menanti ucapan selanjutnya dari Ayah.
“Dan Ayah tak akan menolak lamarannya!”
Degh! Hatiku lemas, jantungku lelah. Badanku tak lagi mampu menopang bobot sendiri, dudukku pun seketika merosot.
“Benarkan ini? Bahkan keinginan berumah tangga saja aku tak memilikinya” Hatiku terus menduga-duga.
“Ini becanda kan Yah?!” Mungkin saja kan, Ayah tahu kejahilan anak jaman sekarang hingga ingin mempraktikkan pada anaknya sendiri.
“Ayah serius! Hal seperti ini tak pantas jika dijadikan bahan guyonan!”
Jika tadi hanya jantung dan hati yang lemas, kini empedu dan pankreas pun ikut tak terima mendengar ucapan Ayah. Sungguh malang nasibku, Mak!
“Mah ... ” Aku menatap Mama dengan mata yang memerah. Ucapan Ayah memang sepertinya bukan guyonan, tapi otak masih berharap bahwa ini bukan kenyataan.
“Aku nggak mau nikah sama Om-om Yah. Aku nggak mau sama laki-laki tua!” Sesak yang kupendamkan beberapa detik ini akhirnya aku keluarkan.
Jelas! Siapa yang mau menikah dengan Om-om. Jika sudah saling kenal mungkin tak masalah, tapi ini? Bahkan seperti sedang membeli merpati yang masih terbang di awang.
“Kok tua?” gumam Ayah yang masih bisa terdengar olehku.
“Bukankah teman Ayah yang akan datang melamar aku?! Bisa disimpulkan kalau laki-laki itu sudah tua kan?!”
“Astaga! Al ... Bukan begitu.”Bukan meneruskan ucapannya. Tapi malah tawanya yang kemudian menggema. Tak ibakah pada aku, Anaknya ini.
“Teman Ayah memang datang untuk melamar kamu ... ” ucapannya terjeda karena bibirnya seperti masih menahan tawa.
“Tapi, bukan untuk dirinya sendiri. Tapi untuk anaknya!”
Demi apa! aku ingin menangis. Mataku yang semula hanya berembun dan belum basah kini telah mengucur deras.
“Lah, Malah nangis. Ini gimana siih?”
Semakin aku kencangkan saja suaraku, kala mendengar suaranya itu. Sebagai aksi protes karena dengan sesuka hatinya, menjodohkan anaknya tanpa meminta persetujuan dulu.
“Kalau ngomong yang jelas dong, Yah. jangan setengah-setengah gitu. Jatuhnya jadi ambigu!”Meski aku kecewa, namun masih belum melihat adanya celah untuk menolaknya. Biarlah aku pikirkan nanti.
“Tapi kan, bener ... ” jawabnya dengan kekehan kecil di akhir kalimatnya.
Astaga! Tak ada ibakah di hati lelaki tua yang selalu aku agungkan itu? Kenapa masih bisa menertawakanku seperti itu!
“Aku kan masih muda Yah. Kenapa harus menjodohkanku segala” Aku mendesah pelan, kali ini.
“Nggak ada yang menjodohkan kamu Al ... Nggak ada!”
“Kalau nggak ada. Lalu ini apa namanya Yah?!” Astaghfirullah.
“Kan dia yang memang mau datang melamar. Ayah nggak ada niat sama sekali buat jodohin kamu”
Orang tua memang omongannya selalu benar. Jadi yang nggak mau disalahkan bukan hanya perempuan saja, tapi laki-laki juga, sama saja.
“Lalu tadi, Kenapa bilang akan menerima lamaran itu. Apa itu masih belum cukup dikatakan bahwa Ayah mau menjodohkan aku!” Perutku tiba-tiba lapar menghadapi masalah seperti ini, huh.
Dan, lagi! Kenapa Mama dari tadi hanya diam saja, kenapa tidak membelaku. Apakah ini merupakan hasil dari konspirasi keduanya?
“Dia pemuda yang baik, meski bukan makhluk alim, tapi dia tahu kondratnya sebagai hamba tuhan. Dan yang jelas lagi dia sudah mapan juga pandai mengurus kantor. Jadi kalau sewaktu-waktu ayah butuh bantuan di kantor, ia bisa diandalkan” Alasan macam apa itu,
“Huufft ... Oke baiklah. Semoga yang Ayah katakan memang benar“ Hatiku memberikan sinyal, mungkin kali ini aku memang harus mengalah.
Bukankah perihal jodoh sudah ada aturannya, jika memang dia nantinya bukanlah jodohku pasti ada jalan untuk lari darinya. Benarkan?
“Namanya Genta. Genta Mackenzie!” Tanpa aku minta Ayah sudah menyebutkan nama pemuda yang katanya sudah mapan itu.
Optimis yang tadi sudah aku bangun, kini mendadak hilang entah ke mana. Hati yang sebelumnya sudah siap menerima, kini kembali luruh ingin menolak semuanya.
“Mah ... Aku nggak mau nikah sama dia Mah. Mendengar namanya saja aku sudah merinding.”
Entah mengapa, saat mendengar namanya disebut, aku langsung terbayang satu karakter detektif cilik dalam komik detektif Conan. Apakah ... bentuknya mirip? Aku bergidik ngeri membayangkan itu. Lupa jika air mata saja masih belum kering dari wajahku.
“Memang ada apa dengan namanya Al? Apakah kamu tidak percaya dengan pilihan Ayahmu? Insyaallah laki-laki itu benar adanya. Seperti yang Ayahmu katakan tadi”
Fix, Mama sama Ayah telah berkonspirasi dan bersekongkol untuk perjodohan ini. Aku yakin itu!
“Kak! Sesuai titah sang Romo. Kakak harus turun sekarang!” Apa-apaan itu, adik tak punya akhlak. Mengagetkan empeduku saja!
Dua puluh empat jam ternyata secepat itu berlalu, kemarin aku masih protes untuk menolak lamaran ini, namun kini keluarga pelamar sudah datang. Harus dengan cara apa aku menolaknya?!
Dan lagi, kenapa aku harus dandan secantik ini? Pakai bedak, pakai perona bibir, pakai minyak wangi, pakai baju bagus, pakai, eh ... kenapa jadi ngelantur gini!?
“Kak! Cepetan!” Suara Agus Kembali menggema. Kembali membangunkan otakku yang masih bertapa di perenungan. Dan ini, kenapa otakku berdetak kencang, eh jantungku. Apakah aku grogi?
Masih dengan hati berdebar ... Eh, astaga jantung berdebar. Eh jantung apa dada yang berdebar? Intinya itu. Aku berjalan di belakang mengikuti Agus.
Meski dia lebih muda dariku, tapi jauh lebih tinggi. Tentu langkah kakinya juga lebih lebar. Membuat aku yang langkahnya memang kecil ini akhirnya tertinggal.
Dan sialnya. Saat aku melihat wajah-wajah asing yang baru aku lihat hari ini, aku terpukau dengan satu wajah “Masyaallah duplikatnya Song Kang”
“Apa duplikatnya Kukang?” Dengan dahi yang berkerut laki-laki yang kupandangi takjub itu bertanya dengan lirih.
Astaghfirullah! Suara yang kukira hanya aku ucap dalam hati, ternyata juga terucap bibir. Dasar bibir laknat.
“Kak kalau lihat ada cowok ganteng, bisa jaga image dikit nggak? Aku kan juga ganteng, tapi Kakak nggak pernah terpesona”Astaga! Ucapan macam itu? Tidak mungkin juga jika aku terpesona dengan adikku sendiri kan? Iya kan?
Semua terkikik geli, termasuk pemuda itu. Ah, inikah kesan pertama yang aku berikan pada mereka!?
Sekilas, aku melirik Ayah. Pria setengah abad itu, sekarang memandangku dengan senyum tipisnya.
Sedangkan Mama, dia seperti menikmati obrolan dengan calon besan. Eh, ... Calon besan?
Kutepuk pelan bibirku beberapa kali. Kalau ditepuk kasar, sayang masih perawan. Wkwkwkw
Satu yang seharusnya Ayah ingat. Wajah rupawan tak bisa menjamin sebuah kebahagiaan. Uang banyak juga tak selalu bisa mengubah derita menjadi bahagia. Tapi Ayah, ... Apakah laki-laki yang bahkan kini masih kupanggil ayah itu paham akan kata hatiku?
_Terima kasih, telah memberiku ruang di hatimu, aku tak akan mengusik apa yang menjadi masa lalumu, biar ia tetap ada dalam hatimu._Sesi perkenalan telah usai, tapi tidak dengan laki-laki itu. Aku ragu untuk memulai, dia juga sepertinya tak punya inisiatif.Ah, ... Apakah dia juga sama terpaksanya seperti diriku?Cubitan Mama tiba-tiba mendarat di bagian pinggangku. “Aduh Ma!”Saat aku menoleh, matanya mendelik seharusnya aku yang mendelik, tapi kenapa malah terbalik. Astaga Mama!Aku berniat menjatuhkan bobot tubuh di samping Mama, namun sebelum itu terjadi, pinggangku lagi-lagi menjadi landasan cubitan. Dan lagi-lagi mata itu mendelik, seperti memberi isyarat jika aku harus segera berkenalan dengan pemuda itu. Hais, tapi apa iya? Aku kan cewek baik-baik, nanti dikiranya aku cewek gampangan lagi.Grogi gaes! Sumpah, aku nervous! Ini pertama kalinya ngajakin kenalan calon pasangan, eh, ... Astaghfirullah.“Halo, Alyah putri”Dan hanya itu. Hanya itu kata yang akhirnya keluar. Tan
_jika denganmu adalah takdir, lalu mencintainya hannyalah sebagai musafir. Pada akhirnya, hatiku hanya akan menuju pada cintamu yang menyambutku_ Kelihatannya aja mirip cecak, sebenarnya mah udah level komodo. Kalau udah ngegombal bikin lawannya klepek-klepek, kek aku. Wkwkwk“Move on memang sesulit itu” Kepo yang terlalu berlebihan itu tidak baik, salah satunya untuk perasaan. Belum juga jatuh cinta tapi udah patah hati. Dia punya mantan terindah. Apalah dayaku yang jomblo karatan ini, eh.“Tidak sulit, Al. Hanya saja, ... Tidak berarti move on akan melupakan semua yang telah terlewati”“Benarkah?” Pertanyaan bodoh macam apa itu, kenapa aku harus bertanya hal tak bermutu seperti itu, huh.Aku kikuk ketika bang Genta menatapku lekat “Kau tak tahu?” Huft, kukira akan ada adegan saling tatap lalu berciuman dan, .... Astaga! Ngelantur lagi Aku hanya mengedikkan bahu. Bagaimanapun aku tak pernah tahu bagaimana sulitnya move on. Maklum masih ting-ting!“Move on. Aku sudah melupakan pe
_Tidak semua yang kita inginkan dapat terwujud dengan gampang, ketika takdir sudah bermain, sebagai hamba kita bisa apa?_“Hai Mac, apa kabar! Sudah dapat ganti rupanya. Tapi kenapa selera kamu menurun drastis seperti ini.”Aku dan bang Genta seketika langsung berbalik, mendengar suara yang sepertinya menyapa ke arah meja kami. Meski sapaan yang digunakan tak pernah aku dengar.“Hai ...” Ohw, Mac ... Mackenzie!Aku nggak terima, kenapa dengan wanita lain dia juga tersenyum semanis itu!Dan apa kata wanita tadi?! Selera dia menurun drastis?Bukanya malah naik pesat ya?! Dia aja dandanannya kek gitu. Pakai dres mini, mungkin pinjam ke adiknya. Sampai bentuk tubuhnya aja terekspos sempurna. Sedang aku? Tentu lebih anggun, memakai rok span, kemeja panjang, tak lupa memakai kerudung. Seperti itu dinamakan selera turun drastis? Bukan main!Aku terus melihat gerak gerik kedua. Alhamdulillah tak ada cipika-cipiki seperti dalam dunia televisi yang sering aku lihat.“hehe” Bang Genta tersenyum
_Menolak adalah hak, tapi titah orang tua? Kadang menjadi prioritas di atas segalanya!_“Mac, pacarmu ada berapa sekarang?!Aku mulai was-was ketika Papa bertanya hal yang menurutku tak biasa.“Enggak ada Pa!” Aku berusaha berucap yakin. Padahal, jika boleh jujur, wanita yang sedang berstatus pacar denganku ada dua. Ya, aku memang play boy! Bukan karena kebutuhan tapi karena ada kesempatan.“Jangan coba-coba bohong sama Papa! Kau pikir Papa tak tahu kelakuanmu itu?!” Setua ini, aku kadang masih di anggap anak kecil oleh Papa dan Mama. Salah satunya adalah hal percintaan, seperti saat ini. “Putuskan semua pacarmu itu! Umur 28 tapi kelakuan masih seperti anak TK.” Kalau anak TK, nggak mungkin juga aku mampu mengurus perusahaan, huh!“Jika pacarmu tak seperti yang kamu gandeng kemarin siang, mungkin Papa tak masalah. Wanita-wanita dengan pakaian kurang bahan seperti itu yang kamu pilih?!”“Besok ikut Papa, Papa sama mama sudah pilihkan calon yang tepat untukmu!” Papa terus berucap p
Kami makan dengan diam, sesekali aku melirik tingkahnya. Sungguh menggemaskan. Cara makannya yang belepotan, sungguh membuat tanganku gatal, hingga refleks aku mengambil tisu dan mengelap sudut bibirnya. Jika biasanya adegan seperti ini akan berakhir pada mata saling menatap. Maka tidak untuk kisahku kali ini. Plak! Benar, tanganku di tampar sebelum tisu yang kupegang mendarat pada bibir yang menggiurkan itu. Eh Tak ada ucapan menyalahkan atau semacamnya, hanya tatapan tajam dari mata jernihnya. Sungguh lucu dan ... menggemaskan. Ia sama sekali tak membahas akan mantan yang tiba-tiba datang. Membuat hati merasa sedikit lega, setidaknya aku tak terlalu merasa bersalah dengan adanya masa lalu. Meski ketika melihat semua tingkah menggemaskannya, aku merasa begitu berdosa. Dia yang masih suci tak tersentuh, harus mendapatkan aku, yang mungkin tanganku sudah kotor dengan berbagai bakteri bernama mantan. Selesai menyantap hidangan, kami beranjak. Waktu penayangan tiket film yang kami
_Tidak ada perjalanan yang seluruhnya mulus. Ada masanya terjalnya jalan menghiasi langkah menuju esok. Namun yakinlah semua takdir akan berjalan dengan baik jika kita melaluinya dengan bersyukur_[Oke, aku tunggu, besok jangan lupa kabari, takut tiba-tiba aku amnesia, wkwkw] Jawab Alyah pada ajakan Genta. Setelah sesi perkenalan lewat jalan berdua, sepertinya ia ingin perkenalan yang lebih. Menggunakan alasan bahwa Mamanya ingin bertemu dengan calon menantu. Nampaknya hal tersebut berhasil meluluhkan Hati Anin Yang sebelum tak ingin pergi. [wkwkwkwk, bercandanya besok saja pas di rumah. Bercanda lewat chat nggak begitu menyenangkan, nggak bisa lihat ekspresimu yang sedang tertawa]Ada senyum yang terbit dari bibir tipis milik gadis yang rambutnya sedang terurai sebahu itu. Rambut lurusnya sedang tak dibalut dengan kerudung karena memang sedang di dalam kamar. Entah sadar atau tidak, tapi sepertinya gadis bernama Alyah itu sudah diam-diam menyimpan nama seseorang dalam hatinya.
Terima kasih, telah memberiku ruang di hatimu, aku tak akan mengusik apa yang menjadi masa lalumu, biar ia tetap ada dalam hatimu. Namun doaku semoga aku yang memiliki hak istimewa di hatimu, memberi warna yang baru_Aku mencoba menetralisir gugup yang sebelumnya mendera. Bagaimana nggak gugup, meskipun itu hanya sebagian bentuk dari kata salah paham.Namun setelah itu, ia mampu membuka percakapan yang mampu membuat kecanggungan di antara kami.Tak ada kecanggungan lagi antara kami, aku pun kembali bisa membuka diri. Bang Genta juga terus mencari topik untuk mencairkan suasana, tugasku hanya... ya begitulah“Sampai” ucapnya semangat namun wajahnya sedikit murung “Kenapa?” Tanyaku yang agaknya mulai penasaran.“Sampai, berarti kita enggak bisa berduaan lagi Al.” Astaga! Jawaban macam apa itu?! Bahkan mampu membuat pipiku menghangat.Dan bahkan masih sempat-sempatnya memberikan kerlingan mata yang hampir saja akan menggoda iman dan tawaku. Jangan sampai itu terjadi.Aku bergegas turun m
Sampai segitunyakah? Hanya karena pesannya tak aku jawab? Yang benar saja!Perasaan bersalah makin menjadi dalam hatiku. Meski tadi perkataan maaf sudah sempat terlontar, tapi aku tak tahu jika bang Genta sampai menanggapi acuhku hingga seperti itu.“Hehe iya Tan, Alhamdulillah kalau begitu.” Yakin! Bingung, canggung, sebab aku juga belum begitu akrab. Bahkan jika diingat, baru dua kali pertemuan antara aku dan tante Ayumi.Pagi setengah siang itu akhirnya kami gunakan untuk brkutat di dapur. Aku, Anin dan Tante Ayumi bukan hanya memasak untuk makan siang, sebelum itu kami membuat cupcake yang bahkan baru pertama kali aku ikut membuatnya. Sungguh pengalaman baru dan dengan orang yang baru pula. Senda gurau menjadi pengiring di antara kami. Menjadikan bang Genta sebagai objek yang kami bicarakan. Tentang kisah lucu yang bahkan mampu membuat aku tak malu tertawa terpingkal. Semuanya selesai tepat sebelum waktunya makan siang. Tante Ayumi menyuruh aku dan Anin untuk mengantar rantang