Share

Catatan Detektif Kematian
Catatan Detektif Kematian
Author: Esha Aisia

1

"Ervin, ada surat lagi untukmu." Sebuah seruan lembut seorang perempuan terdengar bersamaan dengan ketukan pintu yang konstan.

Sang empunya nama lantas menoleh. "Masuk saja Edith, aku tidak mengunci pintunya."

Setelah Ervin menyelesaikan kalimatnya, segeralah terdengar derit dari handle pintu yang bergerak secara perlahan. "Kau mendapat banyak surat akhir-akhir ini. Apakah itu adalah sejumlah kasus, Ervin?"

"Kau benar. Itu sedikit menjengkelkan mengingat orang-orang bahkan memintaku untuk mencari kucing mereka yang hilang atau memperbaiki atap yang rusak. Aku bukan polisi yang melayani masyarakat," gerutu lelaki itu dengan nada jengkel yang begitu ketara. Wajahnya terlihat pias dengan jejak kemalasan luar biasa di sana.

Edith terkekeh kecil, meletakkan sejumlah surat yang ia bawa ke hadapan Ervin yang kini tengah duduk menghadap jendela besar di sudut kamarnya. Perempuan itu menepuk kepala lelaki di sampingnya beberapa kali sebelum berujar, "Ervin, jika kau mengalami kesulitan atau apapun itu, segeralah katakan padaku atau Edric, kami berdua adalah kakakmu, setidaknya walau kami tidak sepintar dirimu, kami tetap akan membantu sebisa kami."

Senyuman simpul segera Edith dapatkan dari sosok adiknya itu. "Aku tahu Edith. Tidak ada masalah apapun sejauh ini jadi kau tidak perlu memikirkannya."

"Aku mengerti. Jangan lupa turun untuk makan malam Ervin, aku harus pergi menyelesaikan beberapa pekerjaan."

"Uhm aku mengerti, jangan lupa untuk istirahat." Ervin segera membalas, menatap Edith yang kini berbalik dan dalam beberapa saat punggung perempuan itu menghilang di balik pintu kayu kamar Ervin.

Setelah kepergian sang kakak, lelaki itu segera membuka salah satu dari surat-surat yang baru saja diberikan oleh perempuan tersebut. Salah satu surat yang paling mencolok di sana, amplop kulit berwarna coklat tua. Tampak begitu misterius namun mencerminkan kesan eksentrik di antara surat-surat yang ada. Tanpa berpikir dua kali, Ervin segera membuka benda itu, mengeluarkan secarik kertas lusuh dari sana sebelum membaca tiap coretan tinta yang tertera pada benda tersebut.

"Untuk Tuan Ervin Seith Addison, kami mengundang dirimu untuk menjadi bagian dari kami, para pemuja bulan purnama. Karena yang tidak diketahui oleh banyak orang adalah, kau merupakan yang terpilih. Hanya kau yang bisa menggantikannya. Mengikuti siklus bulan lima puluh tahun. Melakukan semuanya untuk keabadiannya. Kami menunggu jawabanmu, dan jika kau tidak menjawab hingga waktunya tiba, kami mungkin akan membawamu secara paksa. Tertanda, anak-anak bulan yang terhangatkan oleh api neraka."

Ervin terdiam. Menatap surat itu dengan seksama. "Aku sudah mendapat surat yang sama dalam dua minggu terakhir. Orang bermantel hitam akan datang memasukkan surat itu ke dalam kotak surat di halaman rumah pukul 12, lalu dua jam kemudian surat itu akan di ambil oleh Edith sebelum sampai di tanganku."

"Seharusnya mereka sudah tahu jika aku menolak. Aku tidak ingin mempunyai hubungan dengan para dengan pemuja bulan atau siklus bulan lima puluh tahun yang mereka maksud itu." Lelaki itu kemudian terdiam seribu bahasa. Menatap langit-langit ruangan dengan raut tidak terbaca seraya berpikir keras mengenai banyak hal. "Tapi bagaimanapun, aku bisa merasakan para pemuja bulan ini, bukanlah orang yang bisa aku remehkan begitu saja."

"Sepertinya aku tahu harus menemui siapa di saat seperti ini." Ervin kembali bermonolog, bergegas menegakkan tubuh dan meraih mantel coklat kesayangannya. Bulan Oktober, udara yang dingin tentu saja tidak tertahankan jika ia hanya mengenakan pakaian biasa di luar ruangan.

***

Ervin melangkahkan kakinya melalui jalanan Kota London yang ramai dan sesegera mungkin memasuki kereta kuda yang terparkir tak jauh dari posisinya, "Bawa aku ke Bloomsbury," ujarnya kepada sang kusir setelah menyerahkan sejumlah koin emas. Dan setelah beberapa saat, kereta kuda itu mulai melaju membelah jalanan yang cukup ramai.

"Sekarang pukul 2 lebih 30 siang. Masih ada dua jam sampai dia meninggalkan tempat itu. Aku rasa aku masih sempat untuk datang ke sana." Ervin bergumam pada dirinya sendiri seraya melirik ke luar karena mendapati kereta kuda yang ia tumpangi tiba-tiba saja berhenti di tengah jalan. Dan di saat seperti itu sosok bermantel hitam tiba-tiba saja masuk ke dalam pandangan Ervin. Berdiri di trotoar diantara orang-orang yang berlalu lalang di sana.

Sosok itu nyaris menutup seluruh tubuhnya namun ia tahu jika sosok dengan pakaian serba hitam itu tengah berbicara dengannya. Karena entah mengapa, sebuah bisikan tiba-tiba saja terdengar seakan tepat di samping telinga Ervin. "Ervin Seith Addison, waktumu hanya tinggal satu bulan lagi. Jika kau tidak kunjung membuat keputusan, kami akan membawamu secara paksa untuk menjadi bagian dari anak-anak purnama."

Untuk sesaat Ervin tertegun, melirik sosok hitam yang menutupi wajahnya dengan topi pandora berwarna senada. Ervin lantas terkekeh kecil. "Lakukan jika kau memang bisa melakukannya. Aku bukan tipe yang bisa menurut pada orang lain dengan mudah. Lagipula aku tidak tahu mengenai itu semua. Aku akan memikirkannya lagi setelah mendapat informasi lebih."

"Kami bisa memberikan informasi secara sukarela padanmu."

"Hei tuan tidak modis, aku tidak tertarik mendapat informasi darimu, kau tidak lebih dari seorang penguntit mesum yang terus memantau kegiatanku selama berada di rumah dari gedung itu. Aku bisa mencari sendiri informasi yang aku perlukan. Lalu bisakah kau berhenti menerorku dengan surat surat itu. Hanya dalam waktu dua minggu aku sudah bisa mendapat tujuh surat yang sama. Aku sangat muak bahkan hanya dengan meliriknya." 

"Surat itu akan berhenti dikirim ke rumahmu ketika kau setuju dengan penawaran kami."

Ervin mendengus kecil, hendak menjawab namun sosok dengan pakaian serba hitam itu sudah terlebih dahulu menghilang dari pandangannya bersamaan dengan kereta kuda yang ia tumpangi kembali bergerak di jalanan yang ramai siang itu. "Aku curiga dia berkomplotan dengan kusir kereta kuda ini. Huh aku tidak peduli dengan itu. Dia sungguh pria yang tidak modis dan mirip seperti seorang teroris."

"Mungkin saja anak-anak bulan yang dia maksud adalah kelompok teroris yang mencoba untuk menggulingkan pemerintah atau apapun itu. Jangan harap aku akan bersedia bekerja denganmu, kakak perempuanku yang sangat cantik adalah orang yang duduk di kursi pemerintahan. Aku tidak bisa menghianati Edith hanya dengan ancaman seperti itu."

Ervin kembali menarik napas panjangnya, melirik hiruk pikuk kota yang padat dan sibuk. "Aku berani bertaruh dia mengetahui semuanya. Dan aku rasa tidak akan sia-sia jika aku menemuinya sekarang. Aku harus mengetahui semua kebenarannya segera."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status