Dengan menggunakan alasan 'Mas Satya membutuhkanku segera', Bunda dan Amira mengizinkan aku pulang lebih dahulu. Mereka sempat menanyakan keberadaan Satria, tetapi aku enggan menjawab.
Perasaan dongkol memenuhi hatiku karena sikap Satria barusan. Seakan-akan, aku wanita murahan yang dengan mudah menerima lelaki brengsek seperti Satria. Tidak akan!
Sedetik setelah aku menginjak area depan mall, sebuah mobil yang sangat aku hapal berhenti. Tidak perlu membuang banyak waktu, aku segera naik sambil menghentakkan flat shoes berulang kali di aspal.
"Kan Mas udah bilang, kamu nggak usah pergi," ucap Mas Satya sesaat setelah menjalankan mobil ini.
"Aku kan mau menghargai Bunda! Emang kamu, nggak mau ketemu Bunda?" Aku balas sengit.
Astaga, nyeri di perut mulai terasa kuat. Aku meremasnya dengan kuat, mencoba mengalihkan rasa sakit.
"Kok balas sewot sih, Din?"
"Terus apa?"
"Kamu kenapa juga bisa sama Satria tanpa Bunda atau Amira? Mau berduaan?"
"Itu bukan keinginan aku! Aku cuman ke toilet, mau telpon kamu! Kamu lama banget angkatnya!" Dengkusan kesal aku keluarkan. "Oh iya, ya. Kan lagi sama si jamu datang bulan itu! Pastinya nggak ingat sama istri sendiri!"
"Medina ...." Mas Satya menggeram. Lalu aku terdiam. Kesal.
*
Putar kanan, nyeri. Putar kiri, sakit. Telentang atau tengkurap pun sama saja. Aku sangat menderita saat tamu bulanan ini datang. Sementara tidak ada yang bisa dimintai tolong. Setelah Mas Satya mengantarku ke rumah, dia kembali lagi ke tempat kerja.
Aku menggigit bibir kuat-kuat, mengurangi rasa sakit di perut dengan menciptakan sakit yang baru. Sulit. Astaga .... Meski terus merintih, tidak ada juga gunanya.
Derit pintu terdengar. Aku memaksa untuk melirik, dan menemukan Mas Satya berlutut di lantai dekat aku berbaring.
"Kok di sini, Sayang? Naik ke tempat tidur, yuk?" ajak Mas Satya.
"Nggak mau!" tolakku, tegas.
"Kenapa? Di sini dingin."
"Nggak mau!"
"Sayang ...."
Aku tetap tidak peduli dengan panggilan Mas Satya. Tubuh kembali diputar menghadap ke kiri untuk menghindari Mas Satya.
"Mas antar ke kamar mandi?"
Aku terpekik. Tanpa disangka, Mas Satya menggendongku dalam sekali gerakan.
"Mas!"
Mas Satya tidak acuh, mantap membawaku ke kamar mandi. Dia mendudukkanku, lalu menyerahkan sebuah kantong plastik berwarna putih dengan logo salah satu minimarket dekat sini.
Tanganku yang gemetar karena rasa sakit mulai membukanya, menemukan beberapa pak pembalut juga jamu datang bulan.
"Mau Mas gantiin?" Kali ini, Mas Satya berbicara dengan nada menggoda.
Aku mendesis. Dengan tenaga lemah, aku mendorong Mas Satya keluar. Dia pasrah.
Hanya butuh beberapa menit aku di kamar mandi, kemudian keluar dari sana dengan menggunakan bathrobe. Lantai tempatku berbaring tampak basah, mengkilap. Sepertinya, noda datang bulan tembus ke lantai dan Mas Satya mengepelnya. Opiniku semakin kuat saat menemukan gagang pel dekat pintu.
"Istirahat sini, Sayang," panggil Mas Satya yang berbaring telentang di atas ranjang seraya menepuk sisi kosong di dekatnya. Saat mengucapkan itu, dia tersenyum tipis, aku balas dengan hal sama.
Tuhan ... aku sangat mencintai makhluk-Mu ini.
Aku menuruti permintaan Mas Satya. Merangkak naik ke atas ranjang, lalu berbaring di sampingnya. Seolah belum cukup, Mas Satya menarik tubuhku agar naik ke dadanya.
Deg dug! Deg dug!
Mataku bergerak kanan-kiri mengikuti irama jantungnya yang merdu. Lalu tertawa. Aku sangat menyukai saat-saat seperti ini. Begitu menenangkan sehingga separuh dari nyeri di perut seakan menguap.
Mas Satya menjulurkan jari telunjuknya untuk mengusap halus bagian tengah kening, terus turun hingga pangkal hidung. Kemudian menekannya. Aku melotot, yang disambut oleh gelak tawa dari Mas Satya.
"Mas ih! Jangan dipencet gitu! Ntar makin nyungsep ke dalem loh hidungnya."
Mendengar protesanku, Mas Satya semakin menambah gelak tawanya. Dia mencubit hidungku hingga perih. Sedetik setelah melepaskan tangannya, dia mengecup ringan bekas siksaan manis Mas Satya.
Memang sakit, tapi bahagia di dalam dada bisa membuat sakit itu begitu menyenangkan.
Aku mengetatkan pelukan. Sedikit mendongak, demi bisa melihat rahang tegasnya yang membuatku sering ketakutan, tapi terpesona di saat bersamaan, juga hidungnya yang mancung. Aku ingin menikmati keindahan ini lebih lama lagi.
"Nggak kerja emangnya, Mas?" tanyaku, hati-hati.
"Ntar malem, Sayang. Emangnya nggak suka Mas di sini?" Dia balas bertanya.
"Nggak. Aku malah suka banget. Nggak tau kenapa, aku akhir-akhir ini mudah kangen sama kamu. Aku ini istri kamu loh, Mas. Mestinya aku dapat banyak waktu sama kamu, cuman cuma sela-sela waktu kerja kamu."
Aku ingin berharap, tapi terlalu takut. Hanya bisa bercerita, semoga Mas Satya sedikit mengerti atas apa yang aku rasakan.
"Iya tau. Mas usahakan ya, Sayang." Dia mengecup tanganku yang memeluknya, lalu meletakkannya kembali ke tempat semula.
"Aku kesepian tau, Mas. Walaupun sekarang kerja pagi pulang sore, tetep aja kayak kosong aja kalau sampai rumah. Seandainya aja, kita punya ... anak. Aku nggak bakal--"
"Nggak. Kamu nggak boleh hamil dulu. Oke?"
"Kenapa, sih? Iya, aku masih kayak anak-anak. Tapi, aku rasa, aku bisa kok urus anak. Aku juga bisa belajar sama temen, kalau itu yang Mas takutin."
"Bukan itu, Sayang. Tolong mengerti satu hal ini. Mas belum siap punya anak. Kamu jangan sampai hamil, ya?"
Selalu. Jawaban buruk itu diberikan oleh Mas Satya. Meski sebenarnya berat menerima, aku tetap menghormati keputusannya.
Suara dering ponsel menghentikan aktivitas nyaman kami. Mas Satya merogoh saku celananya. Mengeluarkan smartphone yang layarnya tertulis nama Kinanti. Aku melepaskan pelukan untuk menunjukkan pada Mas Satya bahwa aku tidak suka wanita itu mengganggu kami. Namun, dia malah turun dari ranjang dan meninggalkan aku sendiri di luar kamar.
Aku menunggu kesal. Untuk menghilangkan bosan, aku mencari ponsel juga. F******k menjadi tempatku berselancar. Lebih membosankan juga sebenarnya, karena di dunia maya pun banyak orang yang memamerkan pasangan mereka.
Sementara aku masih tampak sendiri. Maka tidak heran jika masih ada beberapa yang mengajak kenalan, atau ingin mengajak membuat sebuah hubungan. Namun, berakhir dengan akun tersebut masuk ke pemblokiran karena Mas Satya selalu memantau semua aktivitasku di manapun.
Mas Satya muncul. Dia berjalan cepat menuju lemari, mengeluarkan jaket kulit hitam dari sana. Lalu menghampiriku.
"Mas kerja dulu, ya? Kamu istirahat. Nggak usah ke mana-mana. Nanti Mas bilang ke Lisa kalau kamu sakit. Mau dibawain apa nanti?" tanya Mas Satya setelah mengecup ringan keningku.
"Nggak perlu." Aku tetap fokus pada layar hape, sementara hati mulai dipenuhi oleh rasa kecewa, lagi. Aku berusaha tegar sekarang.
"Assalamualaikum!"
Aku melirik Mas Satya berlari cepat keluar kamar. Bersama satu tetes cairan terjatuh begitu saja.
"Wa alaikum--salam." Suaraku tersendat. Lalu terisak tanpa disengaja.
Ponsel dilemparkan ke tengah ranjang. Aku hanya bisa mengenang lagi kejadian barusan, juga merasakan aroma parfum Mas Satya yang tertinggal. Wajah ditenggelamkan ke bantal yang baru saja dipakainya untuk meredam tangis. Aku memang secengeng ini.
Karena aku masih merindukannya.
*
Aku sekarang tiba di bab terakhir dari kisah ini. Membuatku berada di depan laptop setelah sarapan tadi. Ditemani oleh lagu Wiz Khalifa: See You Again, dan suara shower dari kamar mandi—aku terus menarikan jemariku di atas keyboard. Hingga, pintu kamar mandi terbuka. Aku tersenyum hangat pada Mas Satya sebentar, sekadar untuk menyambut kedatangannya. Barulah meneruskan kegiatan mengetik ini. "Kan sudah dibilangin jangan terlalu capek, Sayang. Ngerjain apa?" tanya Mas Satya, setelah memperbaiki posisi handuknya, lalu bergerak ke belakangku. Sontak, laptop aku lipat agar ia tidak membaca apa yang aku tulis. "Pakaian udah aku siapin. Sarapan ada di meja, plus sama kue buat bekal kamu nanti siang. Jadwal kamu udah aku atur, nanti cek aja di iPad kamu." Aku buru-buru menjelaskan segala hal secara rinci pada Mas Satya, agar ia segera menjauh, tetapi, pria ini malah semakin merendahkan kepalanya sampai kami bisa sejajar. "Pulang jam berapa nanti?" Se
"Setelah antar Medina ke kamar, kamu ke sini lagi, Satya! Saya perlu bicara penting empat mata dengan kamu."Papa berujar tegas, sebuah ciri khas bahwa beliau tidak bisa dibantah, atau nada suaranya akan meninggi ketika memberikan perintah lanjutan. Jadi, aku hanya bisa mengangguk, dan menunduk lemas ketika Mas Satya mendorong kursi roda masuk ke kamar. Aku masih diperlakukan dengan sangat baik ketika dipindahkan ke atas tempat tidur. Mas Satya membantu melepas jilbabku, dengan senyum tipis yang memaksa untuk memperlihatkan kondisinya yang baik-baik saja. Padahal, aku tahu, kami sama-sama tegang karena panggilan Papa tadi. Mas Satya tidak membuang lebih banyak waktu. Ia langsung keluar dari kamar usai melepaskan jaketnya. Aku tiba-tiba saja berpikir; karena Papa sudah sembuh total, beliau bisa saja mengusir Mas Satya dari rumah. Aku tidak suka dengan hal ini, dan mulai berpikir keras agar bisa meyakinkan Papa bahwa aku masih perlu Mas Satya, bu
Selama masa pemulihan Papa, Mas Satya benar-benar menunjukkan keseriusannya dalam mengelola bisnis Papa—yang membuatku khawatir, karena ia juga harus mengawasi perusahaan keluarganya secara bersamaan, setelah Satria masuk penjara. Itu membuatnya jarang terlihat istirahat—meski memang sudah terbiasa selama menjadi seorang aktor, tetap saja, aku khawatir karena ia baru saja menjadi seorang pebisnis.Belum lagi, sifat cuek Papa yang meski sudah melihat semua keseriusan Mas Satya, tetap saja kesulitan untuk luluh. Hingga pada akhir pekan ini, aku sendiri yang muak melihat bagaimana sibuknya Mas Satya mengurus semua hal sendiri. Aku yang baru saja masuk ke dalam kamar, langsung menghampirinya menggunakan kursi roda, hingga berada di samping Mas Satya."Hari sabtu kerja juga, Mas?" tanyaku, sembari memperhatikan layar laptop Mas Satya.Pria itu tidak menoleh, hanya mengangguk secukupnya untuk mengiyakan pertanyaanku."Sarapan dulu?" Aku menawa
Ini hanya tentang menggerakkan kaki, tetapi aku bahkan sampai kesulitan bernapas untuk hal sederhana ini. Hingga pada akhirnya, aku kembali merosot, beberapa detik setelah Mas Satya menjauh. Ia segera menghampiri lagi diriku yang kini hanya lesehan di lantai, dengan tangan masih berpegangan kuat pada dua besi penopang tubuh. "Nggak bisa ...." Aku meringis, lalu memukul-mukul kaki yang sama sekali tidak menimbulkan sakit sedikit pun. "Ini ... bukan lumpuh permanen, 'kan?""Nggak kok." Mas Satya berlutut di depanku. "Tangan kamu aja sekarang udah bisa gerak. Tinggal kaki aja, ini. Paling beberapa bulan lagi."Mas Satya membantuku berdiri. Meski belum waktunya untuk istirahat, ia tetap menggendongku duduk di sofa. "Nggak papa. Nanti sore lanjut lagi latihannya." Mas Satya mengusap kepalaku, lalu menarik pelan sampai ia bersandar di sofa, sementara aku di dadanya. "Nggak ada kabar dari Papa lagi? Ini sudah ... empat bulan," tanyaku, sembar
Papa sama sekali belum sadar ketika aku sudah diizinkan untuk pulang. Hal ini menyebabkan aku terpaksa harus tinggal dengan Mas Satya, setidaknya sampai Papa pulih, atau ada keajaiban tubuhku bisa digerakkan. Mas Satya sungguhan memenuhi apa yang ia katakan. Usaha Papa, dia yang urus sepenuhnya, selama Papa masih belum sadar. Bahkan, meski bayarannya tidak sesuai dengan honor sinetronnya. Setiap hari, ketika Mas Satya berangkat bekerja, perawat yang akan membantu untuk keperluan terapi selama tiga jam, kemudian Bunda yang biasanya datang untuk menjagaku sampai Mas Satya pulang dari kantor.Namun, di hari keenam setelah aku keluar dari rumah sakit, Bunda tidak datang. Padahal, perawat sudah waktunya pulang. Aku juga segan menahan terlalu lama. "Mbak pulang aja. Saya bisa jaga diri, kok. Cukup bantu bawa saya ke ruang keluarga saja," ucapku ketika itu. Perempuan ini tampak tidak nyaman, tetapi tetap, ia mendorong kursi roda yang aku ken
Usai puas menjenguk Papa, aku meminta Mas Satya membawaku ke ruang rawat. Hanya saat keadaan seperti itu; meminta tolong untuk diantara saja—aku membutuhkan bantuan Mas Satya. Selain makanan, hal lainnya akan dibantu oleh perawat. Sehingga aku tidak perlu mengeluarkan suara berlebih untuk mengobrol dengan pria ini. "Kamu nggak mau keluar, Medina?" tanya Mas Satya, ketika akan melewati lift."Nggak." Aku menjawab singkat, dan secepat mungkin agar ia segera melanjutkan perjalanan, tetapi pria ini malah membelokkan kursi roda ke arah lift yang terbuka karena beberapa orang memasukinya. "Mas ...." Aku menegur tegas, seraya menoleh malas padanya. "Sejak kamu sadar, kamu nggak dapat hiburan apa pun, Dina. Aku yakin, kamu stres di ruang rawat terus. Kamu juga nggak mau nyalain televisi, atau aku tunjukkin video. Jadi, kita ke taman, ya?"Aku merapatkan kedua bibir, enggan mengeluarkan suara lagi. Mendebat pun tidak akan memberi solusi, karena pria ini