Share

5. Pria yang Salah di Waktu yang Tepat

[Davina, berkali-kali aku mencoba memberitahumu bahwa Fathan dan Ghina bukan hanya partner kerja. Namun, kamu terlalu naif jika tidak mau aku bilang bodoh. Aku pikir kamu juga akan memaklumi ini demi persahabatan kita. Ghina butuh pengganti Omar. Ghina itu hanya casingnya yang dewasa seperti yang ditampilkan di hadapan kita. Hatinya mudah rapuh. Kamu juga turut andil dalam hal ini, berkali-kali kamu bilang supaya Ghina move on. Sekarang dia sudah move on dengan rekan kerjanya. Fathan membuat Ghina kembali bersemangat, seperti juga aku.]

*

Kondisi Nafasya mulai membaik keesokan harinya. Davina dan Fathan bisa bernapas lega. Setelah melalui banyak pemeriksaan, dokter menyimpulkan Nafasya mengalami gangguan pernafasan. Masih akan ada observasi lanjutan, jadi Nafasya belum diperbolahkan pulang.

"Aku berangkat kerja dulu, sayang." Fathan berpamitan kepada istrinya. Sikap Fathan tidak berubah. Hal itu membuat Davina serba salah.

"Hati-hati." Hanya itu yang terucap dari bibirnya. Fathan mencium kening Nafasya sebelum berlalu dari ruangan.

"Jangan lupa hari ini mereka juga mendapat panggilan polisi untuk memberikan keterangan." Fathan berhenti sejenak mendengarkan kata-kata Davina. Mereka yang dimaksud pasti ketiga sahabatnya. Fathan memilih tidak menyahut perkataan istrinya. Tangannya meraih handle pintu.

"Tidak usah bingung mendampingi siapa, mereka semua butuh kamu dampingi!" Davina sedikit berteriak kesal. Fathan tak menjawab. Dia memilih diam, karena tahu Davina butuh mengeluarkan emosinya. Davina mengusap wajahnya dengan kasar. Membaca catatan Lulu tentang Ghina yang juga menjalin hubungan dengan Fathan membuat amarahnya naik lagi.

*

“Morning, Beb!” Ghina tersenyum kepada Omar yang berbaring di sebelahnya. Pria blasteran Bahrain-Indonesia itu terlihat dua kali lebih menggoda di pagi hari, terutama saat dia baru saja membuka matanya. Bulu mata Omar panjang dan lentik dan caranya memandang Ghina … ah, precious! Ghina sanggup menjual jiwanya demi dipandangi seperti itu.

“Morning, Princess.” Omar mengecup dahi Ghina.

“Diam di sini. Aku akan membawakan sarapan untukmu,” kata Ghina.

Omar menahan tangannya. “No, Princess. Kamu yang diam. Breakfast in bed? Aku ahlinya.”

Ghina tersipu lalu mengganguk. Matanya mengawasi Omar yang turun dari ranjang lalu menghilang di balik pintu kamar.

Tak sampai sepuluh menit Omar sudah kembali. Ghina memandanginya terheran-heran. Waktu yang terlalu singkat untuk menyiapkan sarapan. Namun  Omar masuk membawa sebuah nampan perak dengan tutup saji diatasnya.

“Sarapanmu, Princess,” sahut Omar sambil meletakkan nampan di pangkuan Ghina.

Ghina membuka tutupnya dan terkejut menemukan nampan itu tidak berisikan makanan tetapi sebuah kotak kecil biru berlabel Tiffany. Matanya membulat. “Oh, Omar?” Dia menatap Omar lembut.

Omar meraih kotak biru itu lalu membukanya. Sebuah cincin berhias berlian yang besar dan berkilau dia persembahkan kepada Ghina. “Happy Anniversary, Dear!"

Setelah bertahun-tahun kemudian, cincin dengan berlian besar itu kini Ghina simpan baik-baik dalam deposit box. Dia merasa tak ingin lagi memakainya  karena  Omar, kekasihnya, suaminya, sudah tak lagi bersamanya. Sebuah pesawat komersil tujuan Jakarta-Qatar telah jatuh membawa serta separuh jiwanya, Omar.

“Ghina, Sayang, aku turut berduka cita.” Davina datang ke rumah duka. Dia memeluk erat Ghina.

Ghina balas memeluknya dan menumpahkan seluruh air mata kepada sahabatnya. “Omar ….”

“Sshhh, yang tabah, Sayang.” Davina mengelus-ngelus punggung Ghina.

Setelah Ghina mulai dapat mengendalikan diri. Davina memperkenalkannya kepada  Fathan. “Ini Fathan, suamiku. Kamu melihatnya di pernikahan kami. Saat itu kamu terburu-buru karena harus mengejar penerbangn ke Qatar."

Fathan menyalami Ghina. “Kami turut berduka cita.”

“Terima kasih,” sahut Ghina seraya tersenyum lemah.

Awalnya Ghina menganggap Fathan biasa saja, sekedar suami dari seorang sahabatnya, tidak ada yang terlalu menarik atau pun spesial. Hatinya masih dipenuhi duka oleh kehilangan Omar yang sangat mendadak. Pernikahan mereka baru seumur jagung. Percintaan yang dia bangun bersama Omar sedang hangat-hangatnya. Ghina nyaris depresi setelah Omar pergi selama-selamanya.

Ghina berusaha mengalihkan kesedihannya dengan bekerja siang dan malam. Dia menerima lebih banyak klien, mengambil alih pekerjaan yang semestinya tak perlu dia kerjakan. Ghina baru pulang ke rumah setelah lewat tengah malam, dengan begitu dia berharap dirinya terlalu lelah untuk menyadari ranjangnya kini  telah kosong, dingin. Dia sendirian tanpa Omar.

Pukul satu dini hari, Ghina merangkak naik ke tempat tidur. Selepas kepergian Omar, Ghina punya kebiasaan baru, meringkuk di dalam selimut sambil memeriksa ponselnya. Dia masuk ke akun instagramnya. Ada banyak foto Omar di sana. Foto saat mereka berbulan madu di Cayman Island atau sekedar jepretan asal saat Omar tampak serius dengan pekerjaannya.

Sebuah pemberitahuan masuk, seseorang mengomentari postingan terbarunya yang dia unggah tadi siang: foto  sofa merah besar bergaya Victorian yang dia ambil saat berburu perabot antik untuk kliennya.

[Fathan_Rav. Nice shot! I like your style.]

[Ghinadesign. Thank you, Bro.]

[Fathan_Rav. Kukira kau sudah tidur. Lembur?]

Ghina mengetikkan balasan. [Gak, kok, di rumah aja.]

[Ga bisa tidur?]

[Gitu, deh.]

Ghina bangkit lalu mengambil foto obat tidur yang diresepkan dokter kepadanya di atas nakas. Dia mengirimkannya kepada Fathan. Sebenarnya ini hanya sebagai bukti bahwa dia memang belum bisa tidur meski telah selarut ini.]

[Sleeping pills? Are you okay, Dear?] Tulis Fathan.

[Sudah minum satu tapi masih belum ngefek.]

[Mau aku telpon?]

[Buat apa?]

[Orang-orang, sih, sering bilang kalau suaraku ini bikin ngantuk.]

[Wkwkwk. Davina mana?]

[Sudah tidur dari tadi.]

[Oh, pasti gara-gara kamu terlalu banyak bersuara.]

[Lol.]

Panggilan masuk dari Fathan.

“Halo,” jawab Ghina.

“Hai. Aku beneran suka, loh, sama foto-foto kamu di I*. Ga nyangka ternyata kamu designer interior beneran, terkenal lagi.”

“Ha, ha, ha, kamu itu niatnya mau muji atau nyinyir, sih?”

“Muji, dong, jangan skeptis gitu, ah.”

“Oke. Thanks, again.”

“Cukup bicara soal kerjaan. Itu sama sekali bukan dongeng sebelum tidur yang menarik.”

“Hmm, oke. Aku menunggu pembuktian keahlianmu.”

“Soal pekerjaan lagi? Aku?”

Ghina tertawa. “Bukan. Pekerjaanmu pasti membosankan. Aku tidak mau dengar. Keahlianmu satunya, membuat orang tertidur.”

“Oh, soal itu. Eh, anu, soal meniduri orang ini, mungkin sedikit tidak etis dibicarakan. Kau tahu kan, ini melibatkan banyak teori, banyak gaya, dan sedikit soal rasa.”

Ghina kembali tergelak. Selanjutnya Fathan malah bercerita tentang resep nasi goreng kebanggaannya dan kekecewaannya akan restoran tempatnya makan tadi siang. Fathan membuatnya nyaman dengan gurauan dan cerita recehnya hingga tanpa sadar Ghina tertidur masih dengan ponsel dalam genggamannya.

*

“Ghina, tolong aku.” Clara, rekan kantor Ghina, tiba-tiba menghadang langkah Ghina yang baru saja mau duduk di mejanya.

“Ada apa?” tanya Ghina.

“Kau tahu klien kita, Paula?”

“Ya, yang penyanyi, itu, bukan?”

“Dia minta floor plan-nya siap hari ini dan laptopku … rusak! Padahal semua filenya ada di sana.” Clara hampir menangis. “Bagaimana ini Ghina? Ga akan keburu.”

“Kau ga punya cadangannya.”

Clara menggeleng lemah. “Hanya kau satu-satunya harapanku, Ghina, please bantu aku.”

Ghina mengembuskan napas panjang. Bukan pertama kalinya dia kebagian membereskan masalah-masalah yang diciptakan oleh rekannya. Dia melirik jam, semestinya kurang dari satu jam dia harus bersiap menemui klien barunya, tetapi masalah Clara tidak bisa dia biarkan.

“Oke. Aku kenal Paula, dia klien lama kita. Berikan semua materinya, kita harus segera memulai dari awal.” Ghina kemudian memanggil asistennya seorang pegawai magang yang baru saja lulus kuliah. “Hendra, tolong jadwalkan ulang meeting kita dengan klien hari ini.”

Ghina sebenarnya paling tidak suka mengubah janji yang sudah dia buat sendiri. Namun, kadang-kadang hal buruk terjadi. Dia hanya bisa pasrah jika klien barunya akhirnya mengundurkan diri. Padahal kliennya ini lumayan menjanjikan jika setuju memakai jasanya. Sebuah perusahaan property yang tengah membangun apartemen.

Satu jam berlalu, saat Ghina sedang sibuk-sibuknya, Hendra datang. “Bu Ghina, maaf, anu,”

“Apa? Cepat selesaikan bicaramu aku sibuk!” seru Ghina tak sabaran.

“Klien kita hari ini sudah datang dan ingin bertemu dengan Ibu.”

“Apa? Aku kan tadi sudah bilang untuk menjadwalkan ulang?”

“Iya, Bu, tetapi mereka memaksa. Malah direkturnya sendiri yang sekarang datang.”

Ghina panik. Ingin rasanya dia membelah dirinya menjadi dua. “Baiklah. Pertama, aku harus mendatanginya dan meminta maaf secara pribadi. Dia di mana?”

“Masih menunggu di ruang tamu, Bu.”

Dengan langkah panjang-panjang Ghina menuju ruang tamu. Sesampainya di sana, jantungnya seakan hendak berhenti. “Fathan?”

"Hai! Aku tahu kau sibuk, tapi aku pun sama sibuknya." Fathan tersenyum melihat Ghina yang wajahnya seperti orang habis kena sidak bos.

"Ma-maafkan aku." Ghina memandang Fathan dengan tatapan memelas.

"Ya, mau bagaimana lagi." Fathan mengangkat bahu. "Kita terpaksa meeting di luar jam kerja."

Ghina tersenyum penuh arti. "Kali ini, kau bosnya."

"Hubungi aku kalau kau sudah selesai. Aku akan menjemputmu," ujar Fathan.

Ghina mengangguk. Ada desir di dadanya yang dia salah artikan sebagai tantangan pekerjaan baru, kenyataannya lebih dari itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status